Pemimpin yang Mendengar

Oleh Ahmad Syahirul Alim Lc*
Seperti biasa, Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA menunggang keledainya di tengah kota. Selain untuk bertegur sapa dengan sahabat dan rakyatnya, Khalifah juga memeriksa kondisi rakyatnya, menolong orang-orang yang memerlukan, dan mencegah kezaliman terjadi di negerinya.

Hari itu, seorang nenek tiba-tiba menghentikan keledai yang ditumpangi Umar. Nenek itu langsung menceramahinya. "Hei Umar, aku dulu mengenalmu sewaktu kau dipanggil Umair (Umar kecil), yang suka menakuti-nakuti anak-anak di pasar Ukadz dengan tongkatmu. Maka hari-hari pun berlalu hingga kau disebut Umar, dan kini engkau Amirul Mukminin... Maka bertakwalah engkau kepada Allah atas rakyatmu! Barang siapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan barang siapa yang yakin akan al-hisab (hari penghitungan), ia akan menghindari azab (Allah)."

Umar hanya terdiam mendengar perkataan sang nenek tua itu. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Sampai-sampai Al-Jarud Al-Abidy yang menemani Umar merasa terganggu dengan sikap nenek tua itu. Al-Jarud berkata, "Hei Nenek, Engkau telah berlebihan atas Amirul Mukminin."

"Biarkanlah ia...," cegah Umar Ra kepada Al-Jarud. "Apa engkau tidak mengenalnya? Dialah Khaulah* yang perkataannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit maka Umar lebih berhak untuk mendengarnya," tutur Amirul Mukminin.

Bahkan dalam riwayat lain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ia tidak meninggalkanku sampai malam tiba, aku akan terus mendengarkannya sampai ia menunaikan keinginannya. Kecuali jika datang waktu shalat, aku akan shalat lalu kembali padanya, sampai ia menuntaskan keinginannya."

Umar RA selalu setia mendengarkan keluhan rakyatnya. Amirul Mukminin tak segan-segan untuk memohon maaf jika telah merasa lalai. Ia lalu menuntaskan hajat rakyat yang sudah menjadi kewajibannya. Sebagai khalifah, ia bahkan pernah memikul sendiri karung gandum dan menyerahkannya pada seorang janda di ujung kota.

Begitulah Umar memberikan keteladanan kepada kita semua. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari betul, kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada para pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.

Khalifah Umar bukanlah tipe pemimpin yang haus sanjungan. Sebab, ia selalu mengingat firman Allah SWT, "Janganlah sekali-kali kamu menyangka, orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 188)

--
*Khaulah, gugatannya diabadikan dan menjadi asbabunnuzul surat Al-Mujadilah


*sumber: Republika cetak (15/3/11)

Hikmah Sakit

Oleh : Riyulasdi SPdI *)

Bukit Uhud menjadi saksi sejarah yang akan menceritakan bukti kepahitan dan kepedihan yang diderita kaum muslimin. Kekalahan menghadapi kaum kafir yang paling telak.  Perih memang. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima.  Puluhan sahabat gugur sebagai syuhada. Puluhan lainnya terluka parah. Bahkan Rasulullah SAW sendiri mengalami banyak luka yang sangat memilukan. Hanya untuk sekedar shalat berjamaahpun Rasulullah dan kaum muslimin harus duduk, karena bagitu banyaknya luka yang menggores di tubuh mereka.

Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan duka lara bagi kaum muslimin, yang setiap saat mesti ditangisi dan disesali. Ada hikmah besar yang terhampar luas yang bisa dipetik oleh kaum muslimin dari peristiwa itu. Karena bagaimanapun, pengalaman hidup adalah guru yang paling bijak dalam mengajarkan sesuau kepada kita. 

Sebenarnya kaum muslimin pada awalnya tidak berada pada posisi kalah, karena Rasulullah SAW telah membentuk benteng pertahanan dari pasukan pemanah yang akan selalu melindungi barisan kaum muslimin. Ketaatan mereka terhadap perintah Rasulullah SAW memudar saat barisan pemanah itu melihat kaum Muslimin yang lain sibuk memperebutkan harta rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit pertahanan mereka untuk ikut ambil bagian dalam harta rampasan perang tersebut. Kesempatan ini adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh kaum musyrikin. Mereka mengambil alih posisi pasukan pemanah dan melakukan serangan balasan bagaikan gelombang laut yang tak mampu dihalangai oleh kaum Muslimin.

Begitulah sejarah mencatat alur peristiwa besar itu. Peristiwa Uhud setidaknya mengajarkan Kaum muslimin tentang  konsekuensi yang harus diterima oleh seseorang ketika ia mencoba untuk melanggar perintah Rasulullah saw. Karena bagaimanapun muara kesalahan dari perisiwa itu adalah sikap merasa tidak berbahaya dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan meninggalkan posisi pasukan pemanah.       

Ternyata sakit tidak selalu meninggalkan kesan kesedihan dan penderitaan bagi seseorang, tapi justru ia menjadi momentum lonjakan kebaikan dalam menyemai dan mengumpulkan butir-butir kebaikan. Dan yang terpenting dan sangat berharga adalah bahwa sakit adalah momentum untuk muhasabah terhadap nikmat kesehatan yang selama ini dinikmati. Disini sakit berungsi sebagai pengontrol terhadap nikmat kesehatan dan kesenangan yang telah dihabiskan. 

Sakit merupakan momentum pengumpulan semangat baru terhadap  perjuangan yang sedang dilakukan. Di sisi lain sakit merupakan momentum untuk pencapaian sebuah cita-cita, bahkan sakit adalah jejak-jejak untuk mengukir kegemilangan. Jendral Sudirman telah mengajarkan tentang hal itu, cukup lama beliau berteman dengan sakit bahkan untuk sekedar berjalanpun sulit, tapi ternyata sakit tidak membuat beliau patah semangat dalam mengisi bait-bait kemerdekaan, tandu ternyata bukan suatu penghalang bagi beliau untuk menghentikan perjuangan. 

Kita hanya berbicara tentang nilai positif dari rasa sakit yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena sakit sesungguhnya bukan sesuatu pemberian Allah SWT yang buruk, karena Allah SWT tidak pernah memberikan yang buruk kepada hambaNya, sakit yang menurut kita buruk, belum tentu buruk juga dalam pandangan Allah SWT. 

Ini adalah janji Allah SWT,   "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui" (QS  Al Baqarah 216). Begitulah Allah SWT mengajarkan kepada kita tentang pentingnya bersikap positif terhadap sesuatu. 

Sakit adalah bagian dari kasih sayang Allah SWT yang sangat besar bagi hambaNya. Justru karena sakitlah Umar Bin Khattab semakin merasa bersyukur kepada Allah SWT, karena diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Sakit bisa membuat kita merengkuh pahala kesabaran yang terhampar luas, sabar yang penuh dengan keindahan.  "Maka Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik." ( QS Al Ma’arij 5 )

Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti agar kita harus sangat berhati-hati dengan sakit, karena tidak semua orang mempunyai kekuatan menata masa sakit itu menjadi ladang-ladang kebaikan. "Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu," begitu beliau mewasiatkan.
*) seorang guru SDIT di Bukittinggi. Bisa dihubungi di akhriy_u@yahoo.co.id

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/11/02/24/165898-hikmah-sakit