Hilangkan Sifat Tercela dengan Ilmu


Di zaman modern seperti kita alami, orang-orang pintar makin banyak. Hal itu tentu sejalan dengan majunya teknologi dan ilmu itu sendiri. Ini artinya di zaman kita kini, orang-orang berilmu semakin bertambah,dibanding di masa lalu.
Dulu, sebelum listrik ditemukan, untuk belajar membaca saja seseorang harus dengan susah payah untuk mendapatkan penerangan. Alat-alat tulis belum canggih, sulit didapatkan. Lalu kapan mereka belajar, bagaimana mereka belajar? Namun, kenyataan membuktikan, bahwa banyak di antara mereka menjadi ilmuan, cendikiawan shaleh, saudagar jujur, hakim benar dan pemimpin teladan. Kita bisa menyaksikan, Imam Hanafi; seorang pedagang yang juga ahli fiqih, Imam Malik; seorang guru yang juga ahli hadis, Umar Ibn Abdul Aziz; seorang khalifah yang sederhana lagi faqih, dan masih banyak di antara mereka.
Itu manusia-manusia di masa lalu. Kenyataan di masa kini rupanya berbeda jauh. Saat ini, memang, betul orang-orang pandai, ilmuan semakin banyak. Tapi banyaknya orang pinter itu tidak membuahkan kesalehan masyarakat maupun pribadi. Justru, malah kemaksiatan, kejahatan/kriminal hampir tiap hari terjadi di sekitar kita. Inilah yang disebut oleh Ibnu Qudamah, sebagai orang berilmu yang ilmunya tak bermanfaat. Bisa saja seseorang ahli aneka disiplin ilmu, mengusai ayat-ayat, hadis-hadis dan macam-macam teori-teori modern dan klasik, namun nol sekali ilmu-ilmu yang dikuasainya itu membantu dirinya untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Ilmu yang dipelajarinya justru menjauhkanya dari taat, patuh, syukur kepada Allah Swt, Sang Maha Tahu. Na'udzubillahi mindzalik!
Orang-orang semacam inilah yang dikhawatirkan Nabi Saw. Sebab, mereka mencari ilmu bukan untuk mencari hidayah (petunjuk) dan taqwa , tapi ia hanya untuk pamer saja, untuk ujub; karena merasa lebih unggul dengan yang lain. Jika seseorang kondisinya demikian, otomatis ilmu yang diperolehnya hanyalah ilmu kemenangan. Bukannya kemenangan ilmu. Di mana ia berada, ia hanya menonjol-nonjolkan dirinyalah yang lebih. Bukankah ilmu yang dicarinya itu seharusnya mampu membuang sifat-sifat tercela itu?
Maka wajar saja jika di akhirat ia mendapat siksa yang berat. "Orang yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat baginya,"demikian tutur Nabi Saw., sebagaimana diceritakan Ath-Thabrany, Ibnu Ady dan Al-Baihaqy).
Ilmu yang tak bermanfaat itu pula yang melahirkan ulama su' (ulama buruk). Jika ia menyampaikan sebuah ilmu, harapannya bukannya ilmu ilmu semakin diamalkan orang, tapi materi duniawi yang diidamkan. Fatwanya, bukannya membawa kasih sayang, tapi malah adu domba dan hujatan, bukannya membawa berkah tapi justru fitnah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Adu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, Rasulullah Saw, pernah menasehati kita, "Barang siapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya, melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari Kiamat."
Lantas bagaimana agar ilmu yang kita pelajari tidak menjadi laknat bagi kita? Ibnu Qudamah mengingatkan, dalam menuntut ilmu sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain. Lalu ilmu yang kita pelajari jangan sampai menjadi fitnah bagi kita. Selain itu, orang yang berilmu harus bersikap tawadlu', ramah dan menghargai pendapat orang lain. Jadikanlah ilmu itu sebagai cahaya bagi kita dan orang lain.
Abdurrahaman bin Abu Laila ra berkata," Di dalam masjid ini aku pernah bertemu dengan seratus lima puluh para sahabat Rasulullah Saw. Tidak salah seorang pun di antara mereka ditanya tentang suatu hadis atau fatwa, melainkan mereka juga menanyakan kepada yang lainnya hingga merasa yakin akan kebenarannya." (saifudin)

Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta!


eramuslim - Ada seorang yang menemui Rasulullah untuk menyatakan ketertarikannya kepada Islam dan kepada Muhammad Nabi Allah itu ia mengaku ingin menjadi bagian dari pengikut Rasul. Namun ia juga mengatakan bahwa ia masih gemar melakukan perbuatan-perbuatan lamanya seperti berzina, minum khamar (mabuk) dan berjudi. Rasul tidak menolaknya, bahkan beliau mempersilahkan ia masuk Islam dengan satu syarat, tidak berdusta. Maka kemudian orang tersebut menjadi orang yang teguh menjalankan semua ajaran Islam dengan satu koridor yang bernama kejujuran.
Kejujuran adalah bahasa universal, agama apapun, ditanah manapun kita berdiri, dan diwaktu kapanpun kejujuran tetap berlaku. Namun nampaknya keuniversalan tersebut semakin teralienasi, dimana justru saat ini yang lebih sering dianggap biasa dan lumrah adalah ketidakjujuran atau dusta. Di kantor, rumah, persahabatan, rumah tangga semakin mudah ditemui warna-warna dusta dengan berbagai ragam dan bentuknya. Dan justru pula disaat yang sama, kejujuran menjadi barang langka dan seringkalin dianggap sesuatu yang aneh.
Kalaulah Allah Swt memperingatkan kepada manusia yang beriman agar mengatakan perkataan yang benar untuk mengikuti perintah takwa (Al Ahzab:70) tentulah banyak makna yang bisa dirasakan oleh setiap manusia dari sikap kejujuran tersebut. Perhatikanlah penjelasan Rasulullah berkenaan dengan hal itu, "Hendaklah kamu selalu berada pada siklus kejujuruan, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kamu kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarkan kamu kepada surga. Jauhilah oleh kamu (jangan sekali-sekali kamu dekati) dusta, sesungguhnya dusta itu membawa kamu kepada kerusakan dan sesungguhnya kerusakan itu akan mengantarkan kamu kepada neraka."
Tak perlu membayangkan bagaimana dunia tanpa kejujuran, karena episode cerita tentang hal ini sudah berlangsung sejak zaman para Nabi hingga sekarang. Bukalah kilasan cerita tentang saudara-saudara Yusuf yang berbohong kepada ayahanda Nabi Ya'kub setelah mereka mencelakai Yusuf. Abdullah bin Ubay bin Salul, terkenal sebagai tokoh munafik pada zaman Rasululullah Muhammad yang pandai bersikap manis di depan kaum muslimin tetapi menohok dari belakang. Pada zaman sekarang dimana manusia semakin pintar, teknologi semakin hebat tentu ketidakjujuran pun semakin terbungkus rapih, semakin beragam dengan bentuk kamuflase yang halus. Saksikan bagaimana korupsi menghancurkan negeri ini, rumah tangga yang berantakan karena ada dusta yang terselip diantara keduanya, dan masih banyak lagi episode-episode kedustaan yang terus berputar hingga sekarang.
Sekarang bayangkanlah jika hidup tanpa dusta barang sehari saja. Maka bisa dipastikan hari itu tidak ada perusahaan yang dirugikan oleh kecurangan pegawainya, negara tidak bangkrut karena ulah para koruptor kelas kakap, tak ada keretakan rumah tangga karena senantiasa terlindung oleh bingkai kejujuran, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kemunafikan, tidak ada bencana besar yang timbul akibat satu bentuk ketidakjujuran yang terlalu sering dianggap sepele. Maka juga, bisa dipastikan hari itu adalah hari yang sangat dirindukan kembalinya.
Jujur saja, ide judul dan isi tulisan ini berawal dari satu label peringatan yang bertuliskan "Terima Kasih Untuk Tidak Merokok" yang dapat kita jumpai di berbagai tempat. Selain di tempat-tempat yang memang dilarang keras untuk menyalakannya seperti di pom bensin, rumah sakit, perkantoran atau ruangan-ruangan berpendingin, peringatan itu juga kadang terlihat di tempat-tempat umum lainnya seperti di kendaraan umum atau bahkan di rumah-rumah yang memang diisi oleh keluarga yang anti terhadap tembakau dan asapnya. Sangat beralasan memang jika peringatan-peringatan itu seharusnya makin diperbanyak, bahkan jika perlu di semua tempat dimana masih ada wanita (hamil), anak-anak, orang-orang yang mencintai kesehatan. Meski demikian, terkadang masih saja ada yang bandel dengan tetap menghisap tembakau rokok tersebut di tempat-tempat yang dilabeli peringatan itu tanpa mempedulikan hak orang lain yang ingin tetap sehat.
Ah, kalau saja urusan rokok yang memang begitu merugikan orang lain dan juga membuat sakit para penghisapnya sampai sedemikian banyak label peringatannya. Kenapa juga tidak dibuat saja stiker-stiker dengan bertuliskan, "Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta". Toh keluarnya sama-sama dari mulut seseorang, hasilnya juga bisa melukai dan merugikan banyak orang. Cuma bedanya, dusta juga bisa merugikan bangsa dan negara (hmmm, rokok juga sih). Si pendustanya juga bisa merasakan sakit, yang semakin ia terus berbohong maka sakit di hatinya semakin membusuk.
Ah, kalau saja urusan anti asap tembakau itu bisa sampai terbentuknya lembaga atau komunitas anti rokok, kenapa tidak dicoba untuk dirintis sebuah komunitas anti dusta, hmmm, ada yang mau memulai? untuk bisa memulainya, perhatikan terlebih dahulu kutipan hadits berikut, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasul, "mungkinkah seorang mukmin itu menjadi pengecut?" Rasulullah mengatakan, "ya mungkin". Lalu sahabat tersebut bertanya kembali, "mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?" "Ya" jawab Rasul. Lalu, "mungkinkah seorang mukmin itu pendusta?" Rasul dengan tegas menjawab, "Tidak! karena dusta tidak mungkin bersatu dengan iman". Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)