Izinkan Aku Menciummu, Ibu


eramuslim - Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Apakah Kita Tak Pernah Sombong?


eramuslim - Dahulu kala diceritakan pernah ada seorang suami dan istri yang ketika sedang duduk di depan rumahnya, melintas sepasang laki-laki dan wanita di depan mereka. Sang wanita tinggi ramping dan mengenakan baju indah, sementara yang laki-laki berpostur pendek dan sederhana. Tiba-tiba si istri yang melihat berkata, "Huh, wanita itu sungguh sombong. Dia berdandan agar dirinya tampak lebih tanpa memperhatikan orang lain."
Seketika itu suaminya berkata, "Kejar wanita itu dan minta maaf padanya."
Setelah mereka bertemu dan istri itu minta maaf, wanita itu menjelaskan bahwa dia berdandan dengan indah untuk membahagiakan suaminya agar suaminya bisa 'bangga' dengan dirinya. Dan suami wanita itu adalah lelaki pendek yang sedang berjalan bersamanya.
Cerita ini adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang kita jalani yang menunjukkan betapa mudahnya kita menilai manusia dari apa yang tampak diluarnya. Kita begitu mudah menjatuhkan hukuman predikat sombong kepada orang yang tampak tidak simpatik bagi kita. Kita dengan mudah mengatakan arogan kepada mereka yang sikapnya menurut kita tidak menyenangkan.
Kemudian kita membenci mereka dengan berlindungkan hadist "Tidak akan masuk surga orang yang dalam lubuk hatinya terdapat perasaan sombong (arogan) walaupun cuma sebesar atom." (HR Bukhari Muslim) atau bahkan dengan ayat Allah "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (Luqman:18) tanpa kita pernah tahu kenapa mereka bersikap seperti itu.
Jangan-jangan kita pernah mengatakan teman kita sombong karena tidak mau menerima uluran tangan kita, padahal bisa jadi dia begitu ingin hanya bergantung pada Allah dengan tidak merepotkan kita. Jangan-jangan kita pernah mengatakan orang lain sombong karena ia tidak pernah mau berkumpul dengan kita padahal ia ingin menjaga diri dari kesia-siaan waktu atau bahkan karena harus mengerjakan pekerjaan lain yang tidak bisa menunggu. Jangan-jangan kita pernah mengatakan kawan kita sombong hanya karena ia tidak pernah mau menegur sapa kita terlebih dahulu padahal pada dasarnya ia memang pemalu. Jangan-jangan kita pernah membenci orang karena penampilannya, padahal memang Allah yang menciptakan tubuhnya seperti itu.
Jika seperti ini yang sudah kita kerjakan, Saudaraku, maka kita harus waspada bahwa jangan-jangan kita yang sesungguhnya sombong. Kita bisa jadi telah berdosa kepada Allah karena kita sesungguhnya telah mengambil alih kekuasaan-Nya dalam menilai hati manusia. Ingatkah kita bahwa hanya Allah yang bisa melihat apa yang tersembunyi di balik hati manusia?
Kepada kawan itu pun kita juga berdosa karena telah berburuk sangka. Rasulullah Saw sendiri pernah berkata, "Berhati-hatilah kalian dari prasangka-prasangka (yang buruk). Karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan." (Muttafaqun 'alaih). Juga ketahuilah bahwa dengan mencapnya sombong kita sebenarnya telah menghina mereka yang justru bisa jadi sedang berusaha menjadi hamba Allah. Takutlah kita jika buruk sangka itu kemudian kita sebar-sebarkan, sementara kawan yang kita sakiti menangis di tengah malam mengadukan kita kepada Allah. Takutlah akan balasan perbuatan kita, Saudaraku.
Bagi saudara-saudaraku yang terzhalimi dengan diperlakukan sebagai orang sombong, tidak usah kalian berkecil hati. Apa yang kalian lakukan biarlah dinilai Allah, karena hanya Ia yang bisa memuliakan dan menghinakan kita. Luruskanlah niat dan sempurnakan amal. Serta maafkan dan doakan kami agar Allah mengampuni dosa-dosa kami yang memang suka mendewakan perasaan sendiri dan menilai segala sesuatu dari yang kasat mata ini.
Hadi Susanto (susanto@math.utwente.nl)

Jagalah Keseimbangan


eramuslim - Orang-orang yang tinggi idealismenya tidak jarang hanya beraksi pada tataran wacana, bahwa ia harus melakukan gebrakan besar ini, terobosan besar itu. Tetapi pada kenyataannya energinya seringkali habis hanya untuk menelorkan dan membahas wacana-wacana besar itu dan tidak sampai pada aktualisasi ide. Di sisi seberangnya, ada orang-orang yang justru aktif melakukan hal-hal kecil, tetapi melulu dan berkutat disitu. Tidak ada hal-hal besar dan ideal yang menjadi tujuannya. Maka jadilah apa yang dikerjakannya hanya sebatas menghabiskan waktu, sehingga pada saat umurnya sudah menua barulah ia menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini adalah hal kecil yang tidak membuatnya besar.
Jika kita mau mengambil pelajaran, apa yang dikatakanya Rasulullah, mulailah dari diri sendiri sebenarnya tidak hanya bermakna keteladanan agar bisa dicontoh oleh orang lain. Kalimat itu juga bisa mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang baik harus dimulai dari dalam baru kemudian keluar. untuk bisa menjangkau hal-hal diluar, seharusnya kita sudah menggenggam segalanya yang ada didiri ini, untuk melangkah ke depan, sebaiknya dipastikan kaki ini sudah mampu berdiri menapak dengan kuat, selanjutnya terserah, mau berlari atau melakukan lompatan sejauh apapun. Untuk bisa menguasai (memimpin) orang lain, sudah sepantasnya kita tak lagi bingung mengendalikan diri, untuk dapat berbicara dengan baik kepada orang lain berarti juga sebelumnya kita lebih dulu mengerti apa yang sebenarnya hendak kita sampaikan. Semua itu berlaku secara alami, dan jika ada yang mencoba melanggar aturan alami itu, sudah bisa dipastikan ketidakmaksimalannya. Anda bisa saja melompat namun mungkin kaki anda akan terkilir atau patah. Anda bisa juga berbicara dengan bebasnya meski anda sendiri pun tidak jelas apakah memahaminya atau tidak, tapi jangan salahkan kalau orang lain hanya akan mengangguk didepan anda sebelum kemudian perlahan meninggalkan anda.
Sesuai dengan proses kejadian manusia, bahwa tidak ada manusia yang langsung terlahir besar. Ia dimulai dari seorang bayi merah tanpa daya apapun, kemudian tumbuh sebagai anak lincah yang baru bisa berjalan satu-dua langkah. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sekolah. Bertambahlah pengetahuannya dari yang sudah ada sebelumnya. Ketika besar, selain pengetahuan, kemampuan motoriknya juga lebih sempurna. Demikian halnya dengan pekerjaan, melakukan hal yang kecil terlebih dulu sebelum mencoba sesuatu yang besar, mengangkat yang ringan terlebih dulu sebelum yang berat, kerjakan dulu yang terjangkau tangan, sebelum memaksakan sesuatu yang diluar cakrawala kita.
Namun yang perlu diingat, pesan mulailah dari diri sendiri bermakna bergerak. Arti kata 'mulai' berarti melakukan sesuatu yang tidak berhenti disitu. Jadi ketika sudah melakukan hal yang kecil, cobalah sesuatu yang lebih besar. Jangan puas dengan pekerjaan yang ringan-ringan saja, sebelum mencicipi kenikmatan dari hasil kerja berat. Dan melangkahlah keluar menembus cakrawala agar menghabiskan waktu hidupnya dari perkembangan ke perkembangan berikutnya.
Sebaiknya kita tidak seperti seorang anak kecil yang melempar batu jauh ke depan, dan meminta temannya mengambilkannya. Padahal setelah melempar batu, semestinya kita berlari menuju dimana batu terjatuh dan kemudian melemparkannya kembali ke depan. Sehingga di medan lemparan berikutnya bukan tidak mungkin kita menemui hambatan yang berbeda, bisa berupa angin kencang yang menghambat laju batu, atau pohon besar yang menghalangi. Dan seterusnya seperti itu. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa bergerak dan tidak puas berhenti disatu tempat mengulangi rutinitas yang sama, dan jelas tidak berkembang. Tidak ada sesuatu yang baru. Juga tidak mengalami tantangan baru.
Oleh karenanya, bekalilah diri ini dengan jam penunjuk waktu dan kompas sebagai penunjuk arah (tujuan). Jangan hanya memiliki jam tangan karena kita akan terjebak pada rutinitas yang melelahkan tanpa tujuan (cita-cita) yang jelas namun waktu yang ada habis tanpa hasil yang signifikan. Jangan pula hanya melengkapi diri dengan kompas tanpa jam penunjuk waktu. Karena kita hanya akan sibuk menentukan tujuan tanpa melakukan apa-apa karena kita tidak pernah tahu kapan harus memulai.
Bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dalam segala hal, itu suatu keniscayaan terhadap signifikansi hasil yang bakal diraih. Berada pada posisi aman dan tidak berani mencoba tantangan baru, jelas membuat kita menjadi kerdil. Berpikir besar tentang semua idealisme tanpa memulainya dengan hal-hal yang kecil, tentu ibarat calo di terminal bis kota. Orang lain sudah sampai di tujuan kita masih tertinggal di landasan. Menikmati pekerjaan rutin yang kecil dan cukup puas dengan hasil yang didapat ternyata juga terkadang membuat hati mendengki terhadap orang-orang yang berhasil karena hidup dinamis dan berani bergerak (maju).
Padahal jelas-jelas Allah memerintahkan kita untuk menjadi ummatan wasathan, agar diri ini senantiasa menyeimbangkan posisi dan keadaan. Tidak jatuh terpuruk dan terus menerus berkubang dengan kesulitan, tetapi juga tetap menjaga jarak untuk tidak merasa sejajar dengan Yang Maha Tinggi agar tidak menjadi takabur. Wallahu a’lam bishshsowaab (Bayu Gautama)