Mulianya Memaafkan


eramuslim - Ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis terkenal, Dave Pelzer, berjudul A Man Named Dave, yang menggambarkan sebuah kisah tentang keberhasilan dan kekuatan dari sikap memaafkan. Buku tersebut - yang merupakan kesimpulan dari dua buku Pelzer sebelumnya yang menjadi best seller, A Child Called “It” dan The Lost Boy – begitu menyentuh hati siapapun yang membacanya, karena tidak seperti buku sebelumnya yang membuat dada berdegub, A Man Named Dave juga mengajak kita untuk meneguhkan hati, membalas kezaliman dengan sikap memaafkan.
Sebagaimana digambarkan Pelzer, selama tidak kurang dari delapan tahun –sejak usia 4 tahun hingga usia 12 tahun- mengalami berbagai siksaan yang sangat brutal dari ibunya sendiri yang menganggap Pelzer hanya sebagai “It” yang bisa diperlakukan dengan seenaknya, meninju, menendang, melemparkan dari atas menggelundung ke dasar tangga, menginjak-injak bahkan mencekiknya sampai nyaris mati. Sebuah kebesaran hati yang mengesankan dari Dave Pelzer bahwa kemudian ia tak sedikitpun menyalahkan sikap The Mother (ibunya) selama delapan tahun itu yang menyebabkan ia tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Hingga akhirnya Pelzer menemukan dirinya sendiri di dalam hati, sampai ia mampu membebaskan diri.
Bahkan dalam catatan di belakang buku tersebut, Jack Canfield, salah seorang penulis Chicken Soup for The Soul mengatakan bahwa Pelzer adalah bukti nyata yang menunjukkan bahwa kita masing-masing memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri, tak peduli pengalaman seburuk apapun yang menimpa diri kita.
Dalam buku Mensucikan Jiwa, Said Hawwa menerangkan tentang empat kategori manusia dalam hal kemarahan, yang pertama, seperi ilalang yang cepat tersulut dan cepat pula reda. Kedua, seperti pohon bakau; lambat tersulut dan lambat pula redanya, ketiga, lambat tersulut dan cepat reda. Jenis ini yang paling terpuji, selagi tidak mengakibatkan redanya ghirah dan semangat pembelaan kebenaran. Sedangkan yang keempat, cepat tersulut dan lambat redanya. Jenis ini yang paling buruk.
Berkaitan dengan itu, Imam Ghazali pernah mengajarkan bagaimana seharusnya seorang mukmin melampiaskan kemarahan. Bahwa kesabaran seseorang memang ada batasnya dan pada saatnya telah melampaui ambang batas itu, sangat wajar bilang seseorang harus marah. Hanya saja, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengukur kadar marah itu sesuai dengan tingkat kesalahan orang membuat kita marah, selain juga kemarahan yang dilampiaskan masih wajar dan berada dibawah kesadaran yang tinggi. Inilah yang sulit, makanya Rasulullah pun pernah mengatakan bahwa memaafkan adalah sikap mulia dari seorang mukmin.
Memaafkan, bukan memberi maaf, jelas perintah dalam surat Ali Imran ayat 134, karena memaafkan bermakna lebih mulia ketimbang memberi maaf. Memaafkan adalah sikap yang diberikan secara ikhlas terlepas orang yang melakukan kesalahan, sikap dan tindak semena-mena, dan atau ketidakadilan itu memintanya atau tidak. Dan sikap memaafkan itu dikatakan Allah sebagai satu sikap orang-orang bertaqwa yang Allah sediakan bagi mereka syurga seluas langit dan bumi.
Bayangkan betapa mulianya orang-orang yang mampu “memaafkan”, karena sikap memberi maaf setelah orang meminta maaf saja sudah sedemikian luhur. Bahwa juga sikap seseorang yang meminta dimaafkan setelah melakukan satu kesalahan pun sudah begitu bagusnya. Sungguh membutuhkan kebesaran jiwa untuk bisa memaafkan kesalahan orang tanpa menunggu orang memintanya, karena pada saat itu kita telah membunuh kesombongan, dan rasa sebagai orang menang.
Karena jika kita tak mampu melakukannya, dan menelan kemarahan itu karena ketidakmampuan untuk melampiaskannya seketika maka ia akan kembali ke dalam bathin dan menyelinap ke dalamnya lalu menjadi kedengkian. Kata Said Hawwa, makna kedengkian ialah hati senantiasa merasa berat dalam menelan kemarahan, merasa benci kepadanya dan lari darinya. Kedengkian adalah buah dari kemarahan.
Sikap yang sebaiknya dilakukan seseorang adalah, selain memaafkan adalah meningkatkan kebaikan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap hawa nafsu dan syetan maka hal itu merupakan maqam orang-orang yang tergolong shiddiqin, dan termasuk perbuatan orang-orang yang mencapai maqam Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Karena Hidup Hanya Sekali ...


Seberat apapun beban hidup kita hari ini ...
Sekuat apapun godaan yang harus kita hadapi, Sekokoh apapun cobaan yang harus kita jalani, Sebesar apapun kegagalan yang kita rasai, Sejenuh apapun hari-hari kita lalui
Jangan pernah berhenti berharap pada pertolongan Ilahi ...
Jangan pernah berhenti berdoa kepada Rabbi, Karena harapan adalah masa depan, Karena harapan adalah sumber kekuatan, Karena doa adalah pintu kebaikan, Karena doa adalah senjata orang beriman
.
eramuslim - Kita mungkin pernah merasakan betapa tidak berartinya hidup ini, jenuh dan membosankan. Kita seperti manusia yang tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Hari-hari yang kita lalui hampa tiada arti. Kegagalan kita temui disana-sini. Cobaan dan rintangan kita hadapi tiada henti. Beban hidup tarasa berat menjerat. Bagi mereka yang tidak punya iman, mengakhiri hidup yang indah ini seringkali menjadi pilihan.
Hidup ini hanya sekali, terlalu indah untuk kita buat sia-sia, karena memang Allah menciptakan makhluknya tidak untuk sia-sia. Betapa bahagianya hidup ini bila kita jalani dengan penuh semangat dan optimisme yang tinggi. Betapa indahnya hidup ini bila hari-hari kita jalani dengan senyum kebahagiaan dan sikap positif memandang masa depan. Betapa sejuknya bila kita sabar menghadapi setiap permasalahan, kemudian kita berusaha memecahkannya dan mengambil ibroh dari setiap kejadiaan.
Sebuah pakupun akan menghadapi masalah pada tubuhnya bila tidak tepat menempatkan diri. Bila ia terletak di tanah basah, suatu saat ia akan berkarat, tidak memiliki guna, terinjak, bahkan mungkin suatu saat akan terkubur bersama karat yang menyelimutinya. Tapi bila kita bisa menempatkannya di tempat yang tepat, kita tancapkan pada sebuah dinding, walaupun ia berkarat, paku itu berguna bagi manusia. Sebagai penyangga, tempat gantungan, atau sebagai penyatu berbagai benda.
Begitu pula kehidupan manusia. Bila kita tidak tepat menempatkan diri kita, tidak sadar siapa diri kita, tidak tahu untuk apa kita di dunia, kita hanyalah seonggok jasad hidup yang terlunta-lunta. Bila kita tidak memanfaatkan potensi yang ada, selalu memandang negatif setiap peristiwa, membiarkan diri berlumur dosa, bahkan tidak tahu dengan Sang Pencipta, kita adalah makhluk hidup yang tidak berguna. Kemudian hidup ini pun terasa berat untuk kita lalui.
Masalah dan cobaan adalah bunga kehidupan orang-orang beriman. Kembalilah kepada Tuhan bila kita menghadapinya agar kita tenang. Lihat, apakah kita sudah tepat menempatkan diri. Jangan menjadi paku yang terletak di tanah basah. Tapi jadilah paku yang dapat menyangga kehidupan manusia. Walaupun kecil, tanpa paku itu sebuah bangunan besar tidak akan pernah berdiri. (Yesi Elsandra, Saudaraku, aku tunggu senyummu lagi)