Setiap Manusia Punya Kelebihan


eramuslim - Debu-debu terminal ditingkahi terik matahari dan deru mesin kendaraan siang itu berhasil membungkam mulutku dan teman-teman yang biasanya tak pernah absen mengeluarkan suara. Bertepatan dengan jam kepulangan siswa-siswa siang itu, terus terang penantian itu menghadirkan rasa bosan. Haus, panas, lelah dan sederet keluh lainnya dilantunkan oleh hati diam-diam, mungkin juga oleh empat orang temanku itu, sepertinya mereka juga sibuk dengan suara hati masing-masing. Hampir empat puluh lima menit penantian ini berlangsung, bus kota yang datang secepat kilat penuh. Bagaikan kawanan lebah, calon penumpang langsung menyerbu ketika bus yang ditunggunya datang. Aku dan teman-teman seperti kehilangan energi untuk mengikuti langkah mereka.
Tiba-tiba ada yang tersenyum padaku dari kejauhan, satu blok dari tempatku duduk. Ups! Bukan kepadaku ... tapi pada gadis yang berdiri di sampingku. Dia bukan saja tersenyum sobat! Pemandangan itu begitu memukau ... mereka sedang asyik bercerita dan bercanda. Subhaanallaah, begitu sempurna kebesaran-Mu Allah. Canda dua orang gadis tuna rungu itu tidak terpengaruh sedikitpun oleh deru mesin yang sungguh tidak bersahabat. Walaupun aku tidak mengerti bahasa isyarat tapi aku bisa mengetahui kalau mereka sedang berbagi cerita yang indah. Bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang seringkali tertawa.
Pikiranku menerawang, secuplik renungan hadir ... Begitu adilnya Allah, disaat aku dan teman-teman gusar tidak bisa bicara karena kalah bersaing dengan deru mesin disaat itu pula Allah memperlihatkan keindahan ciptaan-Nya, dua orang gadis tuna rungu itu tidak terganggu sama sekali! Mungkin saja karena keterbatasannya, mereka tidak pernah “ngegosip” karena memang mereka tidak bisa mendengarkan percakapan orang-orang normal seperti diriku yang kerap “ngomongin” orang sadar atau tidak. Pastinya, telinga mereka tidak pernah tersentuh oleh musik-musik maksiat atau kata-kata kotor dari corong televisi yang sering singgah di pendengaranku.
Ya Allah, alangkah bijak-Nya Engkau menegur hambamu ini. Aku malu… masih ada sederet keluh kesah lagi yang bersarang di hatiku dan Engkau Maha Tahu waktu yang tepat untuk mengingatkanku. Ampuni hamba ya Allah. Segala keterbatasanku mengharapkan ke-Maha Sempurnaan-Mu. Muliakan mereka dengan keberadaannya. Aamiin.
Semoga setiap kejadian bisa membawa hikmah kepada kita semua. Allah sangat menyayangi kita dan kasih sayang itu bisa berwujud apa saja, tergantung kegigihan kita untuk mengakuinya. Wallaahu a’alam.

Yang Kusyukuri Dari Sakit Ini


eramuslim - Lelaki itu –entahlah –sepertinya sudah ditakdirkan menjadi tempat bersarang bagi bermacam penyakit. Renta, lapuk, kuyu... padahal usianya belum lagi genap empat puluh. Tapi satu yang saya lihat indah padanya: pancaran kehidupan.
Lelaki ini, saya pikir, adakah yang bisa dinikmatinya dari hidup? Mungkin tak ada. Diabetes membuat ia harus mengonsumsi makanan-makanan berkadar gula rendah dan minum air putih. Sementara hipertensinya membuat ia tak boleh menyentuh makanan-makanan seperti daging, telur, bahkan konsumsi garam pun dibatasi. Padahal... apa nikmat makanan tanpa garam? Tak ada makanan ‘lezat’ yang bisa ia nikmati, pun dengan minuman ‘manis.’ Penyakit telah menceraikannya dari rasa yang menjadi simbol bagi nikmat yang Allah percikkan ke dunia.
Itu masih belum semua. Ia juga menderita lever. Ginjalnya pun tidak normal yang mengharuskannya cuci darah secara berkala. Matanya rabun, telinganya tak berfungsi dengan baik. Oya... ia juga pernah terkena stroke sehingga mengakibatkan sebagian tubuhnya lumpuh.
Sungguh, entahlah, apakah saya akan sanggup bertahan jika harus menanggung semua itu secara bersamaan. O, tidak... tentu tidak. Saya tidak akan mengambil pisau di meja itu lantas memotong urat nadi, atau mencampur segelas air dengan racun tikus atau obat serangga dan meminumnya agar dipercepat kematian itu tiba. Tak pula saya akan menggunakan ikat pinggang untuk menjerat leher. Seawam apa pun saya tentang takdir, saya tahu bahwa bunuh diri adalah sikap paling pengecut dari orang-orang yang pernah hidup.
Namun, meskipun saya bisa memastikan diri tak akan melakukan tindakan bodoh itu, namun saya tak yakin apakah saya akan terbebas dari kesibukan mengeluh.
Ya, benar. Mengeluh. Saya tidak akan mengatakan Tuhan tidak adil. Tentu adil. Keadilan dalam pandangan-Nya tentu berbeda dengan keadilan di mata seorang hamba. Dia selalu istimewa dalam membahasakan cinta. Ia juga begitu indah dalam menjelaskan keluasan makna adil. Tapi, sampai hari ini, saya masih belum bisa membaca -–kendati saya yakin-- apa yang bisa disyukuri oleh lelaki dengan sejuta penyakit ini, sehingga saya bisa mengatakan bahwa ia menerima keadilan Allah.
Kenapa? Jika lelaki itu seorang bajingan, bandit kampung atau residivis, lantas menerima penyakit semacam itu, maka saya cukup bisa mengatakan, “itu adalah balasan Allah untuk perbuatannya. Allah berkenan membalas amalannya di dunia selagi dia masih hidup. Harusnya dia beruntung sebab terhindar dari pelipatgandaan siksa di yaumil baats.”
Tapi tidak dengan lelaki ini. Ia menderita cacat dan ketidaklengkapan jasmani semenjak lahir. Penyakitnya itu menyerang jauh semenjak dia baru mulai menapaki usia remaja di mana kedewasaan menjadi syarat dihitungnya amal atas diri seseorang.
Mungkin, dengan melihatnya, saya bisa bersyukur. Bukan bersyukur atas keadaannya, tetapi bersyukur atas keadaan saya. Melihat keadaannya, saya bisa melihat betapa keluangan begitu banyak berpihak pada saya. Betapa banyak keberuntungan dan nikmat yang ada pada saya namun saya tak melihatnya selama ini. O, tak usah semua, jika saja mata lelaki ini berfungsi normal seperti saya, mungkin ia bersyukur bisa menikmati keindahan yang terpampang di depannya. Lantas saya mensyukuri penglihatan saya. Jika telinganya berfungsi normal, ia bisa mendengar keindahan suara-suara sebagaimana saya. Maka saya mensyukuri pendengaran saya. Jika... jika....
Dia, kata saya, mungkinkah memang diciptakan Allah untuk menjadi pelajaran bagi yang sehat, lantas pada saatnya nanti ia akan menjadi pelajaran bagi yang hidup? Jika benar demikian, lantas apa yang bisa menjadi hak dari lelaki ini? Perlukah baginya bersyukur atas apa yang telah ‘dikaruniakan’ Allah kepada-Nya?
Anehnya, di wajahnya saya melihat pancaran kehidupan yang membuat saya begitu silau. Saya selalu bertanya tentang rahasia dari binar hidup di wajahnya itu. Saya merasa ada lautan syukur yang begitu dalam di sana. Lautan itu menenggelamkan segala yang saya pikirkan. Karenanya, saya selalu kehilangan kata-kata untuk berkata begini dan begini di hadapannya.
-----
Lelaki ini, apa yang kurang padanya? Wajah tampan, kesehatan prima, harta bersisa, kedudukan berwibawa, istri yang sempurna.... Hampir tak ada yang bisa dicela darinya. Senyumnya ramah kepada semua mata. Ia berjalan dengan tegap namun tidak dengan gaya jumawa. Pakaiannya sahaja kendati semua orang tahu ia tak pernah papa.
Sungguh-sungguh, lelaki ini adalah gambaran kesempurnaan yang mungkin pernah Allah berikan kepada Yusuf a.s.
Kenapa saya berani menyebut denikian? Saya bukan hendak mengatakan ketampanan lelaki ini setara dengan Putranda Ya’qub a.s. itu. Saya hanya membuat tamsil bahwa lelaki ini adalah perpaduan dari keindahan, ketampanan, keimanan, keperkasaan, kekayaan, kesederhanaan, kerendahhatian... dan entah apa lagi.
Saya memandangnya dengan rasa iri. Bukan untuk saya... tapi untuk lelaki dengan sejuta penyakit yang kini tergolek di rumah sakit menjalani cuci darah secara berkala. Jika saja sedikit dari yang dimiliki lelaki sempurna ini dianugerahkan Allah kepadanya, maka alangkah saya bisa berkata, ada sedikit yang bisa disyukuri dari hidup yang diserahkan Tuhan pada umurnya.
-----
Benarkah tak ada yang disyukuri dari hidupnya itu? Entahlah, saya belum bisa menjawab. Hari ini, si lelaki sempurna tiba-tiba meninggal dunia. Cara meninggal yang cukup baik, saya rasa. Semua orang menangis, meratap-ratap atas kepergiannya. Akan banyak hal bisa dikenang dari lelaki sempurna itu. Gaya berjalannya, caranya menyapa, pandangannya yang lembut teduh, senyumnya yang hangat.... Ada begitu banyak jejak bisa dibaca setelah ia pergi kembali pada kekasihnya.
Tapi, bagaimana dengan lelaki pemilik sejuta penyakit ini? Siapa yang akan menangisinya jika ia mati nanti? Siapa akan mengenang senyumnya yang nyaris tak ada atau dikenal orang? Siapa akan mengingat gaya berjalannya sedang waktunya habis untuk bergolek di ranjang rumah sakit? Bahkan mungkin namanya tersesat dari ingatan orang-orang, tak terlacak. Nisannya akan menjadi tugu tak bernama, lantas pelan-pelan hilang dimakan usia.
Hari ini, saya melihat matahari di wajahnya. Wajahnya berpijar-pijar hingga hampir saya habis ditelan pendarnya. Paras itu cerah, senyuman penuh syukur dan keikhlasan, begitu yang saya tangkap kendati sampai hari ini saya belum juga bisa menemukan apa yang sekiranya bisa ia syukuri sehingga cukup pantas senyum itu terpahat di wajahnya.
“Yang saya syukuri dari sakit ini,” katanya pelan, “adalah bahwa Allah mengakrabkan saya dengan kematian sekaligus memberi waktu begitu panjang untuk mempersiapkan diri menyambutnya.”
Saya mengernyit oleh bisikannya. Inikah rahasia dari senyum matahari yang ada di wajahnya? Astaghfirullah... betapa bodohnya saya. Sungguh, betapa saya tak mengerti selama ini tentang rahasia syukurnya. Betapa iri saya. Bukan saja iri pada kecakapannya bersyukur, tapi juga iri betapa ia selalu diingatkan pada kematian oleh berbagai penyakit yang ia derita. Sementara sakit bagi saya adalah keluhan... keluhan... keluhan.....
Sakti Wibowo
sakti@syaamil.co.id
Cikutra, 4 Februari 2003

Cobalah Mencintai-Nya


eramuslim - Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan…
Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa’? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.
Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat ‘kan? Kita? Manusia yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari pembuat cinta? Cck… ckk… Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah menolak dan menjauh? Wah… wah… betapa bodohnya ...
Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?
al Birru
emine_mm@maktoob.com
GIP Depok, 10 Juli 2003
To Irs.H.; Cobalah mencintai-Nya, ya…

Kawan, Pernahkah Seberdosa Ini?


Semakin kutahu
Jika pepohonan dijadikan pena
Dan laut menjadi tinta
Niscaya takkan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya
eramuslim - Lelah. Rasanya terlalu lelah untuk terus berdo’a kepada Allah. Hari ini entah sudah kesekian kalinya aku meminta, tapi tak jua Dia mengabulkan permintaanku. Pekan lalu, saat ku membutuhkan pertolongan Nya, Ia tak segera mengulurkan tanganNya. Ah, jangankan yang baru-baru ini, puluhan bahkan ratusan pintaku bulan-bulan sebelumnya, juga tahun sebelumnya, kalau kuingat-ingat, belum juga terkabulkan.
Tapi, apa salahnya malam ini ku mencoba berdialog kembali dengan Nya, semoga saja ia mau mendengar. Baru saja kususun jemari ini, belum sempat baris kata-kata yang sebelumnya sudah kurangkai indah di dalam benakku deras terburai keluar dari mulutku, mataku menangkap tajam jemariku yang bergerak …
Astaghfirullaah … seketika dadaku sesak. Berdegub kencang. Ingin kuhapus kata-kataku diatas. Tapi sudah terlanjur tumpah. Aku malu telah lancang kepadaNya dan menihilkan semua yang telah diberikan-Nya.
Sedetik kemudian, seiring dengan menggenangnya air di pelupuk mata ini yang siap tumpah bagai gelombang yang menunggu perintah menghantam karang, benakku sudah disesaki dengan jutaan tanya …
Pernahkah aku meminta kepada Nya untuk memberikan kepadaku jemari yang lengkap dan indah ini, sehingga aku bisa banyak berbuat dengan kesempurnaan penciptaan ini. Aku tak pernah meminta sebelumnya agar Ia melengkapi tanganku ini dengan jemari, aku juga tak pernah berdo’a untuk berbagai kesempatan hingga detik ini aku masih bisa menggerakkan, dan menyentuh dengan jemariku ini. Tapi sampai detik ini, Dia masih memberikannya kepadaku …
Harus kusentuh lagi beberapa anggota tubuh ini. Kemudian aku berdiri, subhanallah, aku masih bisa berdiri. Padahal aku tak pernah sebelumnya meminta agar terus ditetapkan memiliki dua kaki sempurna, tapi Dia masih terus memberikannya. Kupandangi, ups… sebelum kulanjutkan … dengan apa aku memandang? Pernahkah aku meminta Dia menganugerahiku sepasang mata indah ini? Sehingga semua terasa begitu indah untuk dinikmati, semua alam dan lukisan semesta menjadi penghibur hati dengan adanya dua mata ini. Kuyakin juga –aku tak pernah lupa- tak pernah memohon kepada-Nya untuk tetap memberiku dua telinga dengan fungsi pendengaran yang baik. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?
Test … test … satu, satu, dua tiga ….
Sengaja aku mengetes suaraku. Masih jelas terdengar. Tapi, bukankah Dia memberikannya begitu saja kepadaku tanpa pernah aku memintanya? Lalu aku berjalan, Alhamdulillah aku masih bisa berjalan. Keluar kamar, ke ruang tengah, kulihat masih terlihat sederet makanan di meja makan, kucicipi sepotong tahu. Enak, ya enak. Tapi kenapa aku masih bisa merasakan nikmatnya sepotong tahu? Juga segarnya menyeruput sebotol juice buah yang kuambil dalam kulkas? Yang pasti, tak pernah barisan kata pinta terucap tuk sekedar memohon agar tetap diberikan kemampuan merasa …
Kuterus berjalan. Ke kamar mandi. Ada air. Kusentuh segarnya air itu. aah, sejak kapan aku merasakan kesegaran ini. Mungkinkah ketika terlahir dulu sempat aku meminta kepadaNya agar dikaruniakan kesegaran macam ini? atau … hhhhhh, kuhirup udara malam yang sejuk. Eh, apa pernah aku minta Dia tak menyetop pasokan udara untukku? Bahkan … aku masih hidup, aku masih hiduuup (teriakku) … siapa yang tahu dan bisa menerka sampai kapan aku masih bisa menikmati hidup. Tapi yang jelas tak pernah sekalipun keluar dari mulut ini rangkaian kata: “Tuhan, terima kasih atas semua nikmat Mu, sampai hari ini.” (Bayu Gaw)
Masih saja banyak pintaku
Dan air mata itupun tumpah deras membasuh kegersangan jiwa ini …

Profil Pemimpin Islam


eramuslim - Setiap insan dalam kehidupan ini mempunyai fungsi sebagai pemimpin. Minimal kepemimpinan di rumah tangga atau diri pribadi. Seorang suami adalah pemimpin bagi istri sekaligus anak-anaknya, seorang presiden adalah pemimpin bagi rakyatnya dan begitu seterusnya, dalam setiap individu manusia yang akhirnya menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.
Dewasa ini kepemimpinan cenderung dimanfaatkan untuk pemuasan hak pribadi yang ironisnya "Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan"- Mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang banyak, melupakan "amanat kepemimpinan" yang diamanahkan atas dirinya- melanggar hak-hak konstitusi yang sudah disepakati bersama, juga kolusi untuk kepentingan kekuatan kepemimpinannya.
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitab Al siyaasah al syar'iyyah: bahwa karena kepemimpinan merupakan suatu amanat maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata tapi, lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan. Peka dalam menerima solusi-solusi yang membangun atau menerima kritik-kritik yang menuju kepada perbaikan.
Substansi kepemimpinan dalam kacamata Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar "ahli", berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa ummat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur sejahtera dan tentram.
Disamping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah. Karena ketaqwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat melaksanakan kepemimpinannya? Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa berarti ta'at dan patuh -takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk perintah Allah-. Memilih pemimpin bukan didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecendrungan primordial yang sempit. Atau memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam meraih kursi jabatan atau vested interested. Tapi hendaknya kepemimpinan diberikan kepada orang yang "ikhlas" dan dipercaya dalam mengemban amanah. Senantiasa memperioritaskan kemaslahatan ummat daripada kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga.

Khalifah Abu bakar Assiddiq ra pernah berpidato saat dilantik menjadi pemimpin ummat sepeninggalan Rasulullah Saw yang mana inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
"Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. 'Orang lemah' diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. 'Orang kuat' diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua".
Ada 7 poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra ini, diantaranya:
1. Sifat rendah hati.
Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus di istimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang diatas pundaknya terletak tanggungjawab besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang "partner" dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti "tuan dengan hambanya". Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya ke-egoan mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
2. Sifat terbuka untuk dikritik.
Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Tidak seyogiayanya menganggap kritikan itu sebagai hujatan, orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya mendzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai "mitra"dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat manapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Disinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
3. Sifat jujur dan memegang amanah.
Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah didatangi putranya saat dia berada dikantornya kemudian bercerita tentang keluarga dan masalah yang terjadi dirumah. Seketika itu Umar mematikan lampu ruangan dan si anak bertanya dari sebab apa sang ayah mematikan lampu sehingga hanya berbicara dalam ruangan yang gelap, dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu yang kita gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan keluarga.
4. Sifat berlaku adil.
Keadailan adalah konteks real yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Keadilan bagi manusia tidak ada yang relatif. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang esensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja-berat sebelah. Dan orang yang "lemah" harus dibela hak-haknya dan dilindungi sementara orang yang "kuat" dan bertindak zhalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya.
5. Komitmen dalam perjuangan.
Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus Istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah di sepakati bersama.
6. Bersikap demokratis.
Demokrasi merupakan "alat" untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam term ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama. Ibaratnya seorang imam dalam sholat yang telah batal maka tidak diwajibkan baginya untuk meneruskan sholat tersebut, tetapi ia harus bergeser kesamping sehingga salah seorang makmum yang berada dibelakang imam yang harus menggantikannya.
7. Berbakti dan mengabdi kepada Allah
Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pandangan Allah, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah Allah. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridho Allah semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan sholat lima waktu contohnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan sholat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar (lihat Q.S.Al Ankabuut :45 ). Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah ridho menerima apa yang dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk lebih maju lagi dan sabar serta tawakkal dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan, sabar dan tawakkal saat menghadapi kegagalan.
Dari rangkaian syarat-syarat pemimpin diatas sedikit dapat kita jadikan pandangan dalam memilih sosok pemimpin, dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan pemimpin yang baik dalam kacamata Islam yang bisa kita gali baik yang tersurat maupun tersirat di dalam Al Qur'an dan Hadist-hadist Nabi Saw.
Pemimpin ibarat seorang "supir" bus yang membawa penumpang-penumpangnya pada suatu tujuan dengan selamat dan memuaskan. Sebagai seorang supir pastilah harus menguasai dan ahli dalam menyupir serta segala "tetek-bengek" nya, baik itu teknisi atau perbengkelannya dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh polisi pada rambu-rambu lalu-lintas. Kondektur bus tersebut adalah tim ahli yang juga dibutuhkan partisipasinya, yang membantu supir dalam mengontrol keadaan bus dan mendata jumlah penumpang serta menjaga barang-barang bawaan penumpang. Dalam hal ini kondektur diumpamakan dewan-dewan legislatif yang turut berpartisipasi selalu membantu program-program kerja pemimpin dalam membawa bangsa dan rakyatnya. Kaca spion, lampu, rem dan lainnya merupakan peralatan yang harus ada dan lengkap untuk menempuh perjalanan. Peralatan-peralatan seperti kaca spion, setir, klakson dan lainnya itu seperti perundang-undangan yang disepakati bersama dan layak untuk dipakai. Mana mungkin penumpang akan naik sebuah bus yang tak ada kaca spion, rem, lampu dan peralatan-peralatan lainnya? Peralatan-peralatan itu juga bisa di- "utak-atik" dengan selera masing-masing menurut mode dan selera yang sama-sama disepakati. Kalau bus dengan peralatan-peralatan yang telah disepakati bersama dapat menghantarkan penumpang ke tujuannya, mengapa tidak perundang-undangan yang disetujui bersama dapat menjadikan rakyat kepada tatanan kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Supir yang sudah ahli dengan peralatan-peralatan yang lengkap belum menjadi jaminan untuk sampai ketujuan kecuali dengan do'a mengharap lindungan Allah. Tak lebihnya juga, seorang pemimpin dengan dewan-dewan legislatifnya serta rakyat belum menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kecuali dengan ridho dan hidayah Allah. Disinilah pentingnya ketaqwaan itu, dengan kepatuhan dan ketaatannya kepada yang Maha Kuasa. Pemimpin hanya bisa mengusahakan selamat sampai tujuan, namun yang menentukannya tetaplah Allah. Selanjutnya, bentuk jalan yang berliku-liku berlubang dan tikungan atau mulus lurus dan tak putus-putus merupakan kodrat yang ada pada alam ini. Itulah ibaratnya sunnatullah yang telah Allah tentukan kepada makhluknya. Ada kanan pastilah ada kiri. Lurusnya jalan pastilah ada tikungan. Mulusnya jalan pastilah ada lubang-lubangnya. Inilah ketentuan-ketentuan Allah yang tidak mungkin kita lari dari-Nya.
Supir pun harus bisa bersikap equal menyikapi tuntutan para penumpang yang dianggap sehat dan baik. Tuntutan penumpang pastilah tidak jauh dari tuntutan keselamatan bersama. Begitu juga, seorang pemimpin haruslah seimbang dengan tuntutan-tuntutan rakyat yang tidak menyalahi konstitusi demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Tuntutan rakyat biasanya lahir karena melihat adanya kepincangan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.
Begitulah sepatutnya yang diharapkan dari kehidupan ini pada diri seorang pemimpin dalam membawa ummat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan bagi hidup dirinya dan rakyat yang dipimpinnya. Begitu pula, hendaknya dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan kepemimpinan menurut tuntunan ajaran islam seperti yang diuraikan di atas. Menjelang Pemilu 2004 nanti diharapkan pada pemimpin untuk komitmen pada konstitusi yang ada. Dan diharapkan juga ketelitian rakyat dalam memilih pemimpinnya sesuai tuntunan ajaran islam. Wallahu 'a'lam.
"Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah mewahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan selalu menyembah (mengabdi) kepada Kami." (QS. Al-anbiya':73)
Mukhlis Zamzami
Mahasiswa Aligarh Muslim University, India.
mukhliszamzami@yahoo.com

My Beloved Bunda ... (Surat Untuk Bunda)


Oh ibuku, dengarkanlah suara dalam hatiku.
Ku bersyukur, ku bahagia
Akan limpahan rahmat-Nya

Ku ingat hari-hari yang indah
Ku ingat masa masa lalu
Betapa senang ketika ku bersama ibu.

Kau ajar aku mengenal Allah,
Lewat apa yang dicipta
Kau ajar aku mencinta Allah
Lewat sholat dan puasa

Jalinan kasih darimu ibu,
Terukir indah dalam hatiku,
Kesabaranmu tak pernah pupus oleh sang waktu

(Bestari)
eramuslim - Hari cerah, matahari begitu gembira membagikan sinarnya ke penjuru bumi. Ditemani kipas angin yang berputar, saya menulis ulang sebuah surat tak bertanggal untuk seorang bunda. Surat yang ditulis pada sebuah catatan harian dan tak tersampaikan. Hanya goresan pinsil usang, saat saya sampai pada usia label 17 tahun.

Surat ini juga saya sampaikan untuk semua bunda yang ada di dunia, sebuah ekspresi penghargaan yang tak sebanding dengan hal yang engkau persembahkan bagi kami anak-anaknya. Sebuah tanda cinta, tanda berkelindannya rasa bahagia. Menjadi seorang bunda adalah hal terindah yang pernah saya lihat. Bunda adalah segalanya.

SURAT KEPADA BUNDA
Pojok kamar bercat putih pucat, malam sudah dari tadi beranjak.
Menjumpai Bunda,
Apa kabar bunda?
Bunda, aku ingin menyebutmu demikian, sebagai penghormatan yang tiada tara.
Malam ini, bulan sembunyi dengan angkuhnya, hingga aku tak bisa memandangi warna peraknya. Bintang yang gemerlapan itupun malah ikut mempermainkanku dengan tidak menampakkan diri. Padahal aku sangat ingin bermain-main sejenak, menerbangkan berbagai perasaan. Pada patahan malam ini, hanya ada deru angin yang sedang mencandai daun-daun pohon mangga di seberang kamar. Aku merasakannya dalam gelap. Sesekali aku memandangi langit megah tak berpenyangga.

Bunda,
dalam keheningan hebat ini aku selalu membayangkan senyuman ikhlas yang bunda sunggingkan setiap menjumpaiku. Sebuah senyuman yang sudah menjadi desah nafas tiada pamrih. Aku memahatnya dalam tiap bingkai indah di ruang hati yang sudah menemaniku selama ini.

Oh iya bunda,
aku masih ingat saat aku dengan tanpa beban memintamu menjadi seorang putri raja. Dan bunda menjelma putri raja sepenuh hati, menemaniku bermain saat aku menjadi permaisuri raja. Aku senaang sekali. Padahal kemarinnya aku menginginkan mu berubah menjadi pendongeng, dan sebentar kemudian engkau mulai membuaiku dengan banyak cerita. Aku mungkin akan mengingatnya selalu dalam benak sebagai kenangan tidak biasa. Saat bunda melompat seperti kodok, tertawa menyeramkan seperti nenek sihir, berdesis kepedasan saat monyet mencuri cabai petani. Saat itu aku pasti latah mengikutimu.

Baru kusadari, ternyata bunda bisa menjelma peran apa saja. Koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau seorang psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita rutinitas ku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa lelap sedikitpun, kala aku harus terbaring mengalami sakit dan itu gratis. Kali lain engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan seorang pangeran, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa yang belakangan itu terjadi. Oh iya aku tidak lupa, ketika bunda menjahitkan ku sebuah gaun krem bermotif sekuntum bunga, meski kau kerjakan manual tapi hasilnya membuatku berucap, "Wah bunda hebat!". Dan aku selalu mengangsurkan geraian rambut ini, tentu saja dengan berdendang bunda akan melakukannya dengan hasil baik.
"She is a special barber".

Bunda sayang, besok adalah hari "jadiku". Yah, setiap hari bertanggal 4 di bulan ini ku lewati setiap tahun. Ingatkah bunda, tentang hari besar itu? Aku tahu jawabannya, karena tiap hari itu, bunda akan menyambut dan memelukku dengan berucap "Tambah satu tahun lagi usia anak bunda". Meski tidak pernah ada pesta, aku selalu senang, karena sudah ada hadiah yang paling indah, it's u bunda!.

Bunda, tujuh belas tahun, usiaku esok, Sudah selama itukah aku menapaki hidup? Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini Budi" dan menghapal perkalian 3. Sepertinya baru kemarin aku merepotkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan ibukota propinsi di Indonesia. Ah bunda, masih segar rasanya merengek-rengek ingin ikut ke kota bersamamu. Padahal sekarang aku bisa pergi kapan saja tanpa takut tidak ditemani.

Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu? (Aku sangat yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata "beban"). Bagimu, aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal, kasih sayang, ketulusan, kebijaksanaan, keluhuran budi, kekayaan alami, kecerdasan, kearifan. Untukmu, aku adalah perwujudan cinta hakiki. Satu hari bunda menangis melihat darah yang keluar ketika aku terjatuh, dan bunda memelukku erat, "Sayang... berikan rasa sakit itu untuk bunda". Ah bunda, andai saat itu bisa kubujuk untuk kembali, aku tak akan meraung-raung dan tidak membuatmu khawatir, aku akan berkata "Aku baik-baik saja bunda".

My dear bunda,
surat ini sengaja aku tulis. Agar aku bisa menyapamu dengan agung, biar perasaan romantis ini bisa leluasa mengalir. Aku malu menyampaikannya secara langsung. Rasa terima kasih yang menggumpal dalam dada ini biarlah terangkai dalam kalimat-kalimat berirama sopran. Ah, bunda, aku tak punya keberanian untuk menyanjungmu terang-terangan, seperti yang selama ini bunda persembahkan. "Ayo sayang, tidurlah" atau "Duh anak bunda paling cantik sedunia" atau "Jangan begitu, bunda yakin kau anak pintar dan mampu melakukannya dengan baik" bahkan "Anak sholehah tak akan melakukan ini", "Geulis, pinter,sholeh......, anak gadis tak baik menyanyi di kamar mandi".

My love bunda,
Kedewasaan (sebuah kata yang kutemukan dalam pelajaran bahasa indonesia) seharusnya menjadi milik seorang yang berusia 17 tahun kan? He..he.. sepertinya aku akan meminta bantuanmu agar bisa memilikinya. Tolong yah!

Bunda, dalam sunyi, aku menyempatkan diri mengingat pesanmu bulan lalu "Seiring usia yang bertambah, sebaliknya jatah umur kita berkurang. Seseorang yang bergembira dengan hari kelahirannya, sesungguhnya dia bersuka dengan majunya kematian". Iya bunda, aku setuju dengan nasihatnya. Aku seharusnya menambah kadar mawas diri, memperbaiki kualitas akhlak dan kepribadian, semakin ringan menolong sesama, makin bijak dalam memilih dan tentu saja kian cendikia. "Tidak lupa diri". Itu tambah bunda kemudian.

Bunda, terima kasih sudah menyeberangkan aku ke usia ini dengan selamat. Terima kasih juga atas rambu-rambu yang senantiasa menjadi pengarah hingga aku tidak terantuk dan tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena telah menjadi seorang ibu yang bijaksana, seorang yang selalu mewarnaiku dengan do'a-do'a ikhlas, seorang yang mendorongku untuk menjadi kaya ilmu dan budi. Jasa indah bunda tak terbilang. Aku hanya mampu menggoreskanya dalam sebentuk puisi sederhana:
Dia seperti Rimbun pohon kebijaksanaan,
Yang selalu naungi dunia kecil milikku
Sebarkan wangi kedamaian
tak henti memberiku semangat menapaki hidup

Dia, menjelma telaga teduh sepanjang waktu,
Tempatku bertambat, bermain dan bermimpi
Riak airnya membiakkan banyak kebahagiaan
Menemani segala bentuk hari yang ku lalui

Aku tak pernah mendapatinya kering,
Meski musim tidak terhitung berganti
Aku tak pernah melihatnya tumbang
Walau gelombang yang mendera bertubi-tubi

Dia tetap tersenyum menjumpaiku
Dia tetap membagi aku dengan kecupan sayang
Bunda, aku menyebutmu demikian
Dan bunda, malam ini sudah sepatutnya aku mengulurkan renda-renda do'a untuk mu. Doa yang bunda sendiri ajarkan. "Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, Sayangilah mereka seperti mereka menyayangi dan mendidik aku di waktu kecil".

My beloved bunda,
bila esok tiba, tak kan kusia-siakan untuk mereguk kebersamaan dengan engkau. Kesempatan untuk mendulang lebih banyak hal menakjubkan juga tidak akan kumubadzirkan. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam naungan langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya. Engkau adalah muara dari segala hal yang aku butuhkan. Aku tidak akan menjadi apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan bunda, bantu aku manjadi sosok yang diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian. Akhirnya semoga bunda baik-baik saja. Semoga Allah selalu menyayangimu dengan memberimu kekuatan untuk selalu menyayangiku :). Bunda, tunggu aku besok, aku berjanji untuk membuatmu tersenyum menatap bola raksasa itu pergi ke kaki langit.
"Hueammmm" aku mengantuk, jam mungil yang tergantung memberitahuku bahwa jarum pendeknya sudah ada di angka 2.
Sekian dulu bunda.
Peluk cium dari ananda
mahabbah12@yahoo.com
Untuk yang baru saja pulang menjumpai ibundanya.

Kehormatan, Jangan Dicari!


eramuslim - Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima yang masih utuh belum dikemas. Amru Bin Ash mendapati seekor burung betina bertengger diatas tendanya tengah mengerami telurnya. Karena itu, ia terpaksa menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian tersebut sungguh mengherankan dua penyusup dari pasukan musuh yang menyamar dalam pasukan kaum mukminin. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu karena sebelumnya para pembesar dan masyarakat yang akan diserang mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya. Pasukan mukmin tak jadi menyerang wilayah yang direncanakan tersebut, karena dua penyusup tadi telah mengkhabarkan kepada penguasa dan masyarakat tentang kemuliaan dan sifat kasih kaum mukminin. Mereka pun menerima kedatangan Amru bin Ash dan pasukannya dengan tangan terbuka.
Satu kisah menarik tentang kemuliaan Islam dan kaum mukminin yang sepatutnya direnungkan oleh ummat Islam saat ini. Betapa keterpurukan atau kejayaan Islam, bergantung pada ummat Islam itu sendiri. Anda tak perlu memalingkan muka ketika seorang turis ‘iseng’ bertanya kepada Anda, “Kereta api ini kotor sekali? Bukankah sebagian besar penumpang kereta ini adalah muslim?” Tidak hanya kereta api atau angkutan umum lainnya yang tak terjaga kebersihannya, tapi juga semua sarana umum seperti jembatan penyeberangan, halte, telepon umum, dan (bahkan) rumah sakit. Telepon umum misalnya, selain tidak bersih dan penuh coretan, sebagian besar sudah tidak berfungsi dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Memang belum tentu ‘orang muslim’ yang melakukannya, tapi juga tidak bisa disalahkan jika orang menganggap demikian karena kenyataannya, ummat Islam memang penghuni terbesar di jagad Indonesia ini.
Fenomena-fenomena aneh kadang membuat kita harus berpikir kenapa sampai terjadi. Bukan sekedar soal Inul yang didukung habis-habisan oleh banyak pihak dan ketidakberdayaan Rhoma Irama dan para ulama menentang goyang ngebor penyanyi asal Pasuruan itu. Masalah Inul ini, jadi cerminan bagi ummat Islam bahwa seolah kita sama sekali tak memiliki harga diri dan kekuatan untuk menentang bentuk-bentuk ketidakbenaran. Betapa tidak, karena dalam lingkungan internal ummat Islam itu sendiri, kita tak bisa banyak berbuat dan mencari solusi. Misalnya saja, kenapa bisa terjadi seorang jama’ah kehilangan sandal di Masjid? Orang bisa saja mengatakan bahwa pencurinya pasti bukanlah salah seorang jama’ah masjid itu sendiri karena salah satu tujuan orang melakukan sholat adalah menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi ketika orang tak lagi takut untuk mencuri di suatu tempat suci seperti masjid, adalah hal memprihatinkan, bahwa suatu saat, orang akan bisa berbuat semaunya di (dalam) masjid. Meski tidak harus disamakan, ini seperti perumpamaan orang yang berani mencuri di kantor polisi, sungguh ironi.
Para Pelajar di sekolah yang menyontek saat ujian mata pelajaran agama, mungkin bisa jadi contoh lain betapa nilai-nilai agama tidak sepenuhnya menjadi baju yang senantiasa melekat dari diri, sehingga sebagian masyarakat kita belum benar-benar menghargai agamanya (dan ajaran-ajaran didalamnya) sendiri. Jadi bukan tidak mungkin, di negara yang mayoritas ummat beragama Islam ini, -berkaca pada kasus Inul- kebenaran akan teramat mudah diberangus oleh kebatilan. Bahwa juga, mereka yang mencoba berusaha menegakkan kebenaran akan menanggung resiko menjadi pesakitan, mendapat teror dari berbagai pihak dan akhirnya harus mengaku menyerah kalah. Yang menyedihkan, hampir sebagian besar pendukung ketidakbenaran itu adalah mereka yang mengaku masih beragama Islam, ironi bukan?
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagai muslim Anda akan risih dan merasa malu (seolah Islam tidak memiliki harga diri) menyaksikan hampir di setiap kendaraan umum orang-orang berpeci dan berjilbab lusuh menyodorkan amplop atau tromol pembangunan masjid atau yayasan yatim piatu tertentu. Pertanyaannya, apakah lembaga Badan Zakat Infaq Shodaqoh (BAZIS) yang dibentuk pemerintah sudah tidak lagi dipercayai memegang amanah mengumpulkan infaq atau memang masyarakatnya sendiri yang mulai berat untuk sekedar mengulurkan tangan sehingga harus ada yang menjemput infaq mereka dengan tromol dan amplop? Padahal praktek semacam ini pun, bukan rahasia lagi sangat mungkin dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin mencari kekayaan dari sisa-sisa kebaikan masyarakat kita.
Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan kita untuk mencari-cari kehormatan, atau memaksa orang lain untuk memberikan penghormatannya. Karena yang beliau contohkan adalah, menghargai dan menghormati diri sendiri, maka dengan sendirinya, orang lain, ummat lain akan menghargai dan menghormati kita dengan utuh. Hal demikian dibuktikan langsung oleh beliau dalam kisah pemindahan Hajar Aswad. Semua pembesar kaum Quraisy dari berbagai kabilah pada saat itu merasa paling berhak mendapatkan kehormatan memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula, sehingga sempat terjadi perselisihan. Namun akhrnya, disepakati bahwa yang datang paling pagi keesokan hari di tempat tersebutlah yang berhak dan mendapatkan kehormatan tersebut. Keesokan paginya, ternyata semua orang mendapati pemuda Muhammad tiba lebih awal di tempat tersebut dan berhak memindahkan Hajar Aswad. Namun bukan Muhammad jika tak bersikap bijaksana, dia ulurkan sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad diatasnya, lalu Muhammad meminta empat pemimpin kabilah saat itu memegang masing-masing ujung sorban. Akhirnya, semua pembesar kabilah kaum Quraisy itu merasa puas dan senang karena mendapatkan kehormatan yang sama.
Kisah tersebut, tentu memberikan hikmah penting bagi kita ummat Rasulullah, bahwa kehormatan bukan dicari seperti halnya orang yang menunaikan ibadah haji karena hendak mendapat gelar haji dan dipanggil “Pak Haji”. Tetapi nilai-nilai seperti kesabaran dan pengorbanan yang didapat dari ibadah haji-lah yang mestinya tersemat dalam diri seorang muslim, sehingga orang akan menghormatinya bukan sebagai “Pak Haji” melainkan sebagai orang yang didalam dirinya terpatri nilai ibadah haji. Contoh ini juga berlaku dalam hal apapun di masyarakat kita, hanya dengan menghargai dan menghormati ajaran-ajaran agama sendiri, orang lain akan menghormati kita tanpa diminta. Wallaahu ‘a’alam bishshowaab (Bayu Gautama)