Izinkan Aku Menangis

eramuslim - Jam menunjukkan pukul 21.20 malam… Kecurian. Aku tertidur sekitar 3,5 jam setelah berbuka puasa petang tadi. Seingatku aku sedang kejar-kejaran dengan waktu di etape sulit ini. Al Qur’anku belum selesai. Tapi entah mengapa, mushaf itu tetap diam disamping bantal; dekat kepalaku? Aku menyerah lagi. Kelelahan fisik dan kepenatan pikiran. Aku hendak berapologi pada diriku sendiri.

Kegundahan apakah ini? Kekhawatiran apakah ini? Kecemasan apa lagi?

Mengapa pelupuk mataku panas. Namun, aku malu untuk menumpahkan air mata. Ya, air mata bening itu hanya boleh kutunjukkan pada-Nya. Bukan untuk memperturutkan rasa dan emosi serta mengalahkan rasio yang wajar. Meski… jebol juga tanggul itu.

Aku membuka hadits ini lagi, ”Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan berbuat untuk masa setelah mati. Orang yang lemah adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan berharap (banyak) pada Allah”. (HR.Turmuzi, dari riwayat Syaddad bin Aus ra.)

Jika kebodohan (tidak cerdas) tidaklah berakibat kepada kemurkaan Allah? Dan ternyata pengharapan pada-Nya saja tak cukup. Sering menyerah pada diri sendiri di tengah komitmen hendak berbuat. Harapan tanpa kekuatan itu disabdakan Rasulullah Saw. sebagai kelemahan. Mengapa aku lemah?

Jika saja ini bukan di etape final. Aku boleh berharap banyak untuk menjadi sang pemenang. Jika saja aku boleh berandai, jarum jam diputar. Namun, agamaku melarang pengandaian. Benar. Konsentrasi di babak ini seringkali buyar.

Aku membuka genggaman tangan kiriku. Ya, tinggal itulah hitungan hari-hari pembekalan tahun ini. Aku tak pernah tahu, mampukah aku sampai di penghujungnya. Mampukah aku menjadi yang terbaik diantara sekian juta para pemburu satu cinta, sejuta pengampunan dan seribu keberkahan? Aku malu menanyakannya pada diriku sendiri.

Masih tersisa kedengkian. Masih ada pertanyaan sikap dan prasangka buruk. Masih juga bersemanyam ketersinggungan dan gerutu ketidakpuasan. Masih ada pandangan mata khianat. Masih ada ketajaman lidah yang melukai hati. Masih juga mengoleksi berita-berita tak bernilai. Masih saja melafazkan kata-kata tak bermakna. Lantas, apa makna tengadahan tangan di tengah malam yang diiringi isak pengharapan. Sekali lagi, pengharapan yang lemah yang kalah oleh nafsu.

Aku terduduk lemas. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk mengungkapkannya. Aku pandangi lama-lama refleksi kegundahan itu.

Aku hanya boleh bertanya, kemudian kujawab sendiri. Selain itu hanya kesunyian. Meski dunia sekelilingku ramai dengan hiruk pikuk malam. Kedai sebelah rumah masih ramai. Coffee shop masih dipenuhi orang yang asyik menonton el Ahli–mungkin–, klub kebanggaan mereka sedang berlaga. Aku dibangunkan teriakan itu. Mengapa tidak suara Syeikh Masyari Rasyid yang melantunkan surat al Qiyamah, misalnya. Atau suara siapa saja yang menembus gendang telinga ini. Namun, melantunkan suara pengharapan yang kuat yang bisa menembus langit-Nya.

Atau suara-suara dari rumah-Nya yang dipenuhi isakan harapan hamba-hamba-Nya yang berlomba memburu seribu keberkahan dan sejuta pengampunan. Atau senyuman malaikat yang menyaksikan bocah-bocah kecil yang menahan kantuk berdiri sambil memegangi mushaf kecil dipojok-pojok masjid.

Sebagaimana aku boleh berharap di penghujung hari pembekalan ini, aku menjadi sang jawara. Namun, aku malu untuk berharap demikian. Sebagaimana aku juga boleh berharap menutup hariku di dunia dengan syahadah di jalan-Nya. Toh, semua menjadi misteri yang tak terjawab.

Ya, Khalid bin Walid pun yang sangat pemberani akhirnya menutup harinya di atas pembaringan. Lantas, tidakkah malu aku membandingkan pengaharapanku dengan kelemahan diriku menghadapi diri sendiri.

Sebagaimana aku mengandaikan bidadari surga. Apakah ia takkan cemburu dan marah dengan pandangan khianatku pada hal-hal yang tak seharusnya kulihat.

Sebagaimana aku berharap istana megah setelah matiku. Sudah berapakah aku menabung untuk itu. Sementara hidupku dipenuhi ambisi dan obsesi yang penuh dengan tabungan materi dan memegahkan istana duniaku. Dan aku telah mencintai dunia itu.

Sebagaimana aku berharap menikmati seteguk susu dari aliran sungai di surga-Nya. Aku lalai mengumpulkan “dana” untuk membelinya. Juga madu dan jus mangga.

Sebagaimana aku tetap berharap ingin terus mencicipi delima merah dan jeruk sankis serta buah khukh di masa setelah kefanaan ini. Tapi aku terlalu terpana oleh keindahannya yang sementara. Entah berapa tahun, bulan, hari atau bahkan hitungan detik aku masih bisa melihatnya di toko buah-buahan di sebelah rumahku.

Aku memaknai keterlaluan yang fatal ini dengan sikap yang tidak seimbang. Khayalanku dipenuhi pengaharapan. Namun, hatiku disesaki kelemahan. Akibatnya seluruh organ tubuhku lemah. Mata, telinga, mulut, kaki, tangan… semua menolak untuk diajak menggapai cinta-Nya.

Etape final ini banyak tikungan tajam. Dan aku terjatuh. Putaran roda keinginan tersebut trrgelincir oleh kerikil kecil bernama kelalaian. Alhamdulillah, aku masih bisa bangkit meneruskan perjalanan. Meski aku tahu, kini aku jauh tertinggal. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku masih bisa berharap untuk menjadi baik. Karena aku masih bersama orang-orang baik bahkan mereka ada di depanku; orang-orang terbaik itu.

Aku masih harus melewati tikungan tajam lainnya. Tergesa-gesa, kecerobohan, cinta dunia, rasionalisasi kesalahan, buruk sangka. Namun, aku masih punya bekal. Cinta, hati nurani dan bahan bakar ketelitian serta nasihat orang-orang shalih. Dan tikungan tajam yang paling membahayakan di akhir etape ini adalah: menduakan cinta-Nya. Ada cinta lain yang menyesak hendak menggeser kemuliaan itu.

Ada beberapa materi terakhir di ujian final ini: menanggalkan kesombongan dan ingin dipuji serta disanjung berlebihan. Menanggalkan kecintaan dunia yang berlebihan dengan qanaah dan tawadhu’.

Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun, aku tak mampu. Ya Allah aku ingin mengeluarkan air mata ini untuk-Mu. Aku khawatir kesulitan ini tersendat karena kemurkaan-Mu.

Air bening itu tersendat. Jangan-jangan karena kesalahanku. Karena tumpukan-tumpukan egoisme. Karena tumpukan-tumpukan kotoran buruk sangka. Karena tumpukan-tumpukan gerutu. Karena tumpukan-tumpukan doa-doa yang kosong. Terkunci oleh hawa nafsu.

Jika demikian, jangan Kau murkai hamba ini ya Allah. Hamba masih terus berharap pembebasan dari murka-Mu di hari-hari pembebasan ini.

“… dan sepertiga terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka,” demikian Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan pembekalan ini. Ya Allah, jadikanlah nama hamba ada dalam daftar pembebasan itu. Juga nama kedua orang tua hamba, keluarga hamba, para guru hamba, saudara-saudara hamba serta siapa saja yang mempunyai hak atas hamba. Amin.

Saiful Bahri

Sesuatu Yang Tak Ternilai

eramuslim - “Hujanlah sesukamu, toh rinainya akan kami tanggung semua” (Harun Al Rasyid). Kalimat yang terucap dari bibir sang Khalifah tersebut begitu singkat dan sederhana. Sang Khalifah seperti tidak peduli akan hujan turun tiada henti atau bahkan berhenti turun. Itu semua tidak berpengaruh terhadapnya. Meskipun ia pun sadar akan konsekuensi rinai yang muncul saat hujan turun, ia tak tergoyahkan. Tidak ada ketakutan ataupun kekhawatiran akan resiko yang muncul. Ia sadar segala sesuatu sudah diatur dengan cermat dan teliti. Ada zat yang berkuasa atas segalanya. Zat yang ketentuannya tak bisa ditolak ataupun dihindari.

Terdapat ketabahan, keberanian, dan juga prasangka baik atas apapun yang terjadi. Ini didasari atas keyakinan bahwa apapun yang ditetapkan Alloh adalah suatu kebaikan. Maka bagi orang-orang yang sangat kuat keyakinannya dan sangat dalam cintanya, apapun yang terjadi pada dirinya tidak sampai mengubah prasangka baiknya kepada Alloh. Tidak ada yang ia takuti. Hari ini ataupun esok. Alloh sajalah tumpuan terakhir, harapan yang tak akan pernah mengecewakan, dan Sang Penghitung yang Maha Teliti tiada dua.

Ada sebuah permata di hati orang-orang beriman yang saat ia terasa kelezatannya, segalanya terlihat begitu indah. Permata itu adalah iman. Saat iman meraja, tak ada lagi duka dan derita. Ini bukan karena tidak ada luka dan perih, bukan. Ada duka dan luka. Tapi luka yang ada tidak lagi terasa sakit tertutupi kesadaran akan kenikmatan yang akan diperoleh kelak sebagai hadiah tak terukur dari Alloh. Apabila ini terpatri, seorang hamba akan mampu berteriak lantang menyuarakan kebenaran, berjalan tegap diatas bara celaan orang, gigih membela kebenaran dan keadilan. Ia tak akan gentar akan terpaan gelombang yang menggila, duri, dan amukan badai kehidupan.

Iman adalah bekal seorang mukmin untuk mengarungi kehidupan. Mencuat dari lubuk hati, iman merupakan bentuk kesadaran yang sederhana akan kehidupan. Bahwa setiap kehidupan dan kematian berada di tangan Alloh. Termasuk juga didalamnya rizqi dan pengalaman hidup yang akan muncul, baik berupa kesenangan ataupun kesusahannya.

Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasululloh SAW pernah bersabda akan tiga kunci merasakan kelezatan iman: cintai Alloh dan Rasul-Nya diatas segalanya, cintai seseorang hanya karena Alloh semata, dan membenci kekufuran untuk dirinya seakan neraka terletak dihadapannya jika ia melakukannya.

Alloh adalah zat yang paling layak untuk dicintai. Ia pantas untuk dinomorsatukan. Karena ia adalah Sang Pencipta, Maha Pemurah yang memiliki cinta yang tak bermusim. Alloh juga memiliki ampunan dan rahmat yang tiada batas. Bagaikan samudra tak berpantai. Tak bertepi. Cintailah Alloh saja karena ia akan membalas berlipat dan tak akan membuat kecewa, sedih dan sakit. Sementara Rasulullah adalah sosok yang lembut, berahlaq mulia, penyantun, dan sangat dalam kasihnya untuk segenap umat. Beliau berpribadi sempurna dan pembawa suluh penerang penjuru alam raya.

Cintailah juga saudara kita hanya karena Alloh, karena sifat cinta kita lemah. Kita butuh Alloh untuk menjaga selalu perasaan itu. Tiada keabadian tanpa izin dan kemurahan Alloh. Kita diciptakan dengan segala keterbatasan diri. Cinta saudara karena Alloh akan sangat mengagumkan manakala kita mengaca kepada hubungan kaum Anshar dan Muhajirin. Berbagai kisah yang menyentuh menggambarkan ketulusan dan sikap itsar yang luar biasa. Hinnga ada diantara mereka yang bersedia memberikan istri untuk saudaranya. Cinta karena Alloh akan membuat segalanya tampak sederhana dan penuh makna.

Membenci kekufuran adalah syarat ketiga untuk merasakan lezatnya iman. Memang tidak mudah karena iman adalah sesuatu yang tak ternilai. Tak ternilai karena tidak didapatkan secara percuma. Kecuali Alloh berkehendak lain. Tapi yakinlah bahwa hanya dengan iman saja jiwa akan terbebas dari sifat-sifat buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia. Muhammad Iqbal melukiskan dengan heroik dalam puisinya gambaran jiwa yang tercelup iman dan terhiasi keberanian yang menggelora:

Gema seruan kita terdengar melintasi gereja-gereja di Britania.
Sebelum skuadron membebaskan negeri-negeri.
Mengapa kau lupakan Afrika.
Jangan kau lupakan hamparan saharanya.
Bumi itu mendayung laksana pijar bola api.
Bentengkan dada kita sebagai pedang.
Mengapa kita gentar saat kezaliman menggila.
Kesewenangan merajalela.
Laksana kilatan kelewang yang hanya menerpa bunga-bunga terkubur rumput liar.
Mengapa sirna nyali kita pada penguasa bengis yang hendak memerangi kita?
najwasaja@yahoo.com

*Kepada semua sahabat seperjuangan: semoga ukhuwah tetap terjalin meski lewat pena.

Indahnya Kemiskinan

eramuslim - “Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo nak!” Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu ‘langganan’, tempat kami meminjam beras. Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti ‘gentong’ tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.

Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat kemana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushollah, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan. Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan disini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih ‘enak’ jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya. Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan ‘sampingan’ tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya “Capek nak. Tolong Mbah dipijatin ya?” Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.

Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing dibelakang, dan disebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat dimana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya kesana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul. Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya. Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah mananyakan “Kamu sudah belajar nak?”

Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang ‘malas’ untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil atau ballpen. Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?

Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tesrsebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. “Ini kamu bawa pulang nanti nak!” Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau. Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah! Melihat ‘keindahan’ kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membeayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi. Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami.Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan beaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.

Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil disana-sini. Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya ‘bangga’ bisa memberikan sedikit ‘sumbangan’ bagi beliau.

Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Disana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya ‘guru kecil’.

Bilamana Ramadan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu disana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat. Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam ditangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan ‘sumbangan kecil’ ini bagi Ibu saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar “Nggak bangun kamu?”. Kemudian saya dengar “Blakkkk...!”, Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di ‘amben’, sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa. Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah sholat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukanmya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai sholat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada. Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya “Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?”, sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggungjawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, “Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?” Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring diwaktu kecil!

Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan kesana kemari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang “Jangan dihabiskan, ingat lainnya!” Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan ‘jauh’ dari saudara, teman bahkan ‘kenikmatan’ dunia.

Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis. Bagi saya hal itu tidak ubahnya ‘hiburan’. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapak ku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup ‘besar’ tentunya.

Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh dibawah kami tingkat penderitannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau. Setiap akhir pekan, biasanya ada saja ‘hiburan’ yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban kristenisasi tersebut.

Ramadan ini adalah puasa ketiga Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. “ Bangun, sudah hampir Imsak!” Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang ‘layak’ kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang “Makan apa nanti ?”, sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. “Aku akan cari bayam !” kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu ya Allah atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!

Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang.....adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga ‘indah’. Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alasan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan dibanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah dibalik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah! Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia dibalik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.

Syaifoel Hardy

shardy@emirates.net.ae