Arti Cinta Seorang Ayah

Oleh Febty Febriani

Jalan tol Cipularang terlihat sepi. Arus lalus lintas di jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Bandung ini dalam kondisi yang lancar-lancar saja. Tidak terlihat ada kemacetan atau antrian panjang mobil-mobil berplat D atau B. Jam handphone saya baru menunjukkan sekitar pukul delapan pagi. Udara pagi di sekitar jalanan tol Cipularang cukup dingin. Entahlah, apakah ini hanya perasaan suhu tubuh saya saja atau pada saat itu udara di sekitar jalan tol Cipularang memang dingin.

Bus pariwisata yang membawa rombongan kantor saya terlihat lengang. Maklum, sebagian besar penumpang bis memanfaatkan waktu perjalanan Bandung-Jakarta yang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk tidur dan melepas penat. Ada sekitar tigapuluhan orang yang berada di dalam bus pariwisata itu. Sebagian besar adalah orang Jepang dan Cina. Kami hanya berdelapan dari Indonesia. Dua orang atasan saya dan dua orang rekan kerja saya. Satu orang tour leader. Satu orang sopir bus pariwisata dan satu orang lagi adalah kernet bus. Hari itu, kami bersama rombongan akan berangkat ke Yogya. Acara ke Yogya merupakan rangkaian akhir acara seminar internasional yang telah diselenggarakan di Bandung selama tiga hari sebelumnya.

Di sebelah saya adalah atasan saya yang satu bidang dengan saya di kantor. Seorang bapak yang berusia kurang lebih limapuluhan dan mempunyai tiga orang anak putri. Setelah selama lima belas tahun berdiam di negeri Paman Sam, baru pada tahun 2000 beliau kembali ke Indonesia. Karena itu karakter beliau lumayan berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Termasuk, gaya kepemimpinan beliau. Namun, saya suka dengan gaya kepemimpinan beliau. Beliau tidak segan dan tidak pula malu untuk memuji langsung bawahannya. Begitu pula dengan cara beliau menyampaikan kritikan dan teguran. Beliau juga senantiasa meluangkan waktu untuk sholat Dzuhur dan Ashar berjamaah di masjid kantor, walaupun beliau harus menuruni deretan anak tangga dari lantai empat, tempat ruangan beliau berada, menuju masjid kantor yang berada di seberang kantor kami. Baru itu yang saya tahu tentang beliau, maklum saya masih berstatus sebagai staf baru di lingkungan kantor. Baru sekitar tiga bulan saya bekerja di lembaga pemerintah ini.

Awalnya, ada sepi antara saya dan beliau. Beliau sedang menyelesaikan buku bacaannya yang lumayan tebal. Sebuah buku yang bercerita tentang rezim kepemimpinan Soeharto dalam sudut pandang orang luar negeri. Saya lebih memilih untuk mengistirahatkan mata saya. Ada kepenatan yang terasa sangat di kepala saya. Tiga hari kemarin, energi saya benar-benar tercurahkan sebagai panitia di seminar internasional itu.

Entah kenapa, mungkin karena beliau sedang jenuh membaca dan saya juga sudah merasa cukup beristirahat, akhirnya tercipta kata antara saya dan beliau. Awalnya saya bertanya kepada beliau, mengapa beliau memilih negeri Paman Sam untuk melanjutkan pendidikan master dan doktor beliau. Dengan senang hati, beliau menjelaskan alasan-alasan yang melatarbelakangi beliau melanjutkan pendidikan S2 dan S3-nya di negeri Bush itu. Tidak hanya itu, beliau juga dengan gamblang menceritakan pengalaman-pengalaman beliau selama limabelas tahun berada di Amerika Serikat. Bukan hanya pengalaman bersekolah, tetapi juga pengalaman beliau bekerja di Amerika Serikat.

Dan, akhirnya saya bertanya, “Mengapa Bapak balik ke Indonesia?” Tidak ada maksud lain dari pertanyaan saya ini. Dari cerita beliau, saya bisa menyimpulkan beliau sudah dipandang sebagai seorang peneliti dan pengajar yang diakui di Amerika Serikat sana. Dan mungkin, dari sisi materi beliau akan mendapatkan income yang lebih dibandingkan dengan status beliau sebagai seorang peneliti di Indonesia. Apalagi, di negeri kita, status peneliti bukanlah sebuah status yang mempunyai prestise.

“Ada hal yang sangat penting yang mendasari saya untuk segera balik ke Indonesia pada tahun 2000 itu,” begitulah kira-kira awal beliau bercerita.
“Masalah akidah anak saya yang tertua,” lanjut beliau kemudian Saya terdiam mendengar jawaban beliau.

“Waktu itu, anak saya yang paling tua masih duduk di kelas 2 SMP. Ketika di Amerika, saya membiasakan keluarga saya untuk sholat berjamaah ketika waktu Maghrib. Suatu hari, ketika saya mengajak dia untuk menunaikan sholat Maghrib, dia bertanya: Dad, why should I pray?Why should I believe the God? Saya benar-benar kaget ketika anak saya bertanya seperti itu, Fet. Saya hanya bisa terdiam. Dan waku itu, saya hanya bisa menjawab: Ok, now I can’t answer your question but next time I will explain you why we should believe our God dan why we should pray. Kemudian saya bertanya kepadanya: Why do you ask to me like that? Mau tahu jawabannya, Fet? Dia menjawab: I don’t know, Dad. That is just in my mind. Saya benar-benar gak menyangka kalau anak saya akan bertanya seperti itu. Saya sudah merasa membekali anak-anak saya dengan pemahaman yang benar tentang agama Islam. Tapi ternyata, saya salah.”

Saya melihat beliau beberapa kali meneguk air mineral ketika bercerita tentang hal itu. Mungkin, itu cara beliau untuk menenangkan gundah di hati ketika mengenang peristiwa yang terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Dan mungkin, peristiwa itu masih menyisakan trauma di hati beliau.

“Waktu itu, saya berdiskusi dengan isteri saya. Saya dan isteri memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan akidah anak saya. Tapi, saat itu, kami tidak bisa langsung kembali ke Indonesia karena anak saya masih duduk di kelas 2 SMP. Dia harus tamat SMP dulu, supaya bisa melanjutkan SMA di Indoensia. Jadilah, waktu sekitar satu tahun itu saya manfaatkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan anak saya. Alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan seorang mualaf yang juga mempunyai problem yang sama dengan saya. Anaknya juga bertanya sama seperti anak saya bertanya. Saya dibekali sebuah buku yang berjudul “If the Angle Ask”. Di buku itulah, saya menemukan jawaban atas pertanyaan anak saya,” lanjut beliau kembali.

Tidak ada pertanyaan atau komentar dari mulut saya. Saya hanya bisa terdiam dan menunggu beliau melanjutkan ceritanya.

If, I ask you to pray now, just do it. I do it because I love you. Next time, you will understand why you should pray. Begitulah, penjelasan awal dalam buku tersebut, Fet. Selanjutnya, di buku itu dijelaskan bahwa sholat itu diibaratkan sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan. Ketika kita melakukan sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan, tentu kita tidak ingin sendirian menikmatinya. Kita ingin semua anggota keluarga kita merasakan kesenangan dan kegembiraan dalam kegiatan itu. Bukankah perasaan itu manusiawi, Fet? Jawaban itu pula yang akhirnya saya sampaikan pada anak saya. Selain itu, saya berusaha berdiskusi dengannya tentang atheis, agama Islam, agama Kristen, agama Hindu dan agama Budha. Perlu waktu panjang bagi saya dan isteri saya untuk kembali menata akidah anak saya. Namun, akhirnya, doa dan perjuangan kami dikabulkan Allah. Ketika anak saya berujar: Ok, Dad, I will pray now, beribu-ribu syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Saya sangat berharap keputusan kembali ke Indonesia adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga saya, terutama untuk akidah anak sulung saya,” penjelasan panjang ini menutup pembicaraan saya dan atasan saya.

Hari itu saya banyak belajar bagaimana saya seharusnya menjadi orang tua yang baik untuk putra-putri saya nantinya. Saya salut dengan perjuangan beliau dan isteri untuk kembali menata akidah anak sulungnya. Saya salut dengan pilihan beliau dan isteri kembali ke Indonesia demi akidah anak sulungnya. Terima kasih, Bapak. Semoga saya bisa mencontoh perjuanganmu.


Bandung, September 2006 (inga_fety@yahoo.com)
Buat seorang Bapak yang saya salut pada beliau, saya hanya bisa berucap: terima kasih, Bapak, untuk ceritanya.

Kita Ibarat Air

Oleh Yon's Revolta

Di kaki Gunung Slamet yang dingin, suatu malam saya berbincang dengan teman-teman sesama pegiat masjid kampus. Biasanya kami lebih suka bicara tentang perkembangan politik terbaru, tapi kali ini temanya agak berbeda. Kami berbicara tentang air, kok air, apa yang menarik darinya…? Mari kita sama-sama menggalinya.

Kita ini tak ubahnya ibarat air. Dia mengalir dengan lincahnya. Jangan coba-coba diam karena akan menggenang sehingga bisa memunculkan bau tak sedap dan mengundang berbagai macam penyakit. Begitulah kita, apalagi yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim. Kita dituntut untuk senantiasa bergerak. Tentu saja bergerak di sini bukan hanya mengejar obsesi diri sendiri semata.

Tapi, memikirkan dan berbuat untuk orang lain itu perlu seperti kata Sayyid Qutb, seorang pemikir muslim dari Mesir, beliau pernah berkata, ”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil, tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”

Di sinilah keberadaan kita di dunia ini mempunyai makna. Sungguh malang ketika ada atau tidaknya kita itu tidak mempunyai makna dan pengaruh sama sekali terhadap masyarakat sekitar kita. Atau bahkan, justru keberadaan kita tidak diinginkan orang karena ketika kita hadir justru menjadi biang kerok dan pembuat masalah. Jika kondisi ini menimpa kita, duh, betapa tidak ada harganya kita di mata orang lain.

Untuk itulah, keberadaan kita sesungguhnya di dunia ini adalah sejauh mana kita bisa berbuat bagi orang lain, karena inilah rahasia pribadi unggul manusia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Pertanyaannya, apakah kita lebih sering memberikan manfaat bagi orang lain, pemberi solusi atas berbagai masalah, atau sebaliknya, tukang pembuat masalah dan pemerkeruh suasana? Ingat bahwa air bisa memberikan kesejukan, tapi juga bisa memunculkan banjir bandang.

Kemudian, kita juga bisa mengamati bahwa air itu selalu menuju ke tempat tertentu. Kita pun begitu, kehidupan kita harus mempunyai orientasi yang jelas, tujuan hidup yang jelas, tak sekedar mengalir begitu saja. Dalam hal ini, persoalan waktu menjadi penting karena orang besar, waktunya adalah sebuah sejarah tersendiri. Kita semestinya pandai memanfaatkan waktu, bukan agar menjadi orang besar, tapi agar kita bisa banyak berbuat untuk sesama untuk sebuah manfaat. Untuk itulah, kita perlu merenung ulang tentang kebiasaan yang masih kita lakukan.

Berapa banyak waktu yang terbuang untuk menonton televisi, jalan-jalan ke mall atau bersenang-senang menikmati massa muda. Sementara, seperti kata Hasan Al-Banna ”Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia”. Masihkan kita akan bermalas-malasan, sementara kita sering terlalu berbangga diri dengan identitas sebagai seorang muslim padahal jarang berjuang menyeru kebaikan apalagi mencegah kemungkaran. Duh, betapa malunya kita kepada Allah SWT ketika kita mengaku pejuang sejati.

***

Tak hanya sekedar itu, air ternyata juga mempunyai folosofi yang mendalam. Ketika ditahan atau dihambat dia akan terus mencari jalan lain, jalan keluarnya. Semasa dihambat itu, kekuatan air juga semakin besar. Lihat saja, misalnya ketika air dibendung, setelahnya akan menghasilkan energi yang besar. Inilah rahasia besar air yang kadang tidak kita sadari. Di dalam kehidupan keseharian kita, barangkali banyak persoalan atau bahkan konflik yang kita rasakan. Banyak orang yang memandang remeh cita-cita dan obsesi kita.

Namun, ketika kita berpikir positif atas berbagai onak dan duri yang melanda itu terkadang justru membuat kita semakin dewasa untuk menjalani kehidupan di kemudian hari. Syaratnya, tak usahlah terlalu banyak berkeluh kesah. Yang terpenting adalah tetaplah tegak berdiri, bergerak menyongsong obesesi-obsesi kita, Insyallah ketika kerja keras sudah kita lakukan, Allah pasti akan membalas dengan hasil kebaikan yang memuaskan bagi kita. Masalah hidup akan senantiasa ada, tinggal bagaimana kita mensikapinya. Dengan keluh kesah semata, atau bijaksana menghadapinya.

Subhanallah, semoga setelah menuliskan ini saya akan tetap tegar menghadapi variasi seni kehidupan ini. Dan, tentu saja, saya berharap, setelah membaca goresan sederhana ini, Anda juga akan mempunyai semangat hidup yang lebih baik lagi. Salam cinta dan perjuangan…!

......Teruntuk semua aktivis masjid kampus di Indonesia. freelance_corp (at) yahoo.com

Karena Waktu Tak Akan Kembali

Oleh Srirochmat Gilangtresna

Kotak bentou itu terlihat bersih. Secawan spaghetti, sepotong ika furai dan secawan salad brokoli, nampak tak bersisa. Hanya cawan-cawan kertas dengan sedikit lumuran minyak yang tertinggal di sana.

Hari ini adalah obentou no hi, hari di mana setiap anak diharuskan membawa bekal makan siang dari rumah. Ada dua kali obentou no hi dalam seminggu. Di hari lainnya anak-anak akan mendapat jatah makan siang dari sekolah. Tapi jadwal itu tidak berlaku bagi si Buyung. Karena baginya setiap hari adalah obentou no hi.

Setahun silam, saat aku dan suami mendaftarkan si Buyung ke youchien itu, urusan makan siang menjadi hal penting yang harus dibicarakan dengan pihak sekolah. Mengingat hanya si Buyung satu-satunya anak muslim yang mendaftar di saat itu.

“Hhmm… kalau begitu, untuk makan siang boleh membawa bekal sendiri dari rumah. Karena kebanyakan menu yang disajikan koki sekolah mengandung bahan yang tak bisa dikonsumsi oleh orang muslim,” ujar Kepala Sekolah setelah mendengar penjelasan kami tentang bahan makanan tertentu yang tak bisa kami konsumsi.

“Tapi tidak menutup kemungkinan bila ingin memesan dari sekolah, dengan konsekuensi membawa makanan pengganti ketika menu yang disajikan mengandung bahan yang tak bisa dimakan,” pria setengah baya yang rambutnya sudah memutih itu melanjutkan ucapannya dengan nada ramah.

Pilihan pun jatuh pada alternatif pertama. Dan itu berarti sederet menu serta setumpuk resep tambahan bagiku. Tak terlalu sulit sebenarnya, karena setiap akhir bulan pihak sekolah akan memberikan daftar menu kepada semua siswa. Di sana tertulis masakan apa saja yang akan dijadikan sajian makan siang di bulan berikutnya. Ini jelas membantuku dalam menyiapkan bekal untuk si Buyung. Meski tak selalu sama persis, tapi aku berusaha untuk membuat masakan seperti yang tercantum dalam daftar menu dari sekolah. Beruntung, bocah empat tahun itu tak pernah protes atas ketidakmiripan hasil olahan Bunda dengan olahan koki sekolah. Meski belum sepenuhnya memahami, tapi setidaknya ia tahu ada bahan makanan tertentu yang tak boleh dinikmatinya.

“Ngapain sih Jeng, capek-capek bikin bentou tiap hari? Mendingan pesan dari sekolah. Selain praktis, kandungan gizinya pun terjamin,” komentar seorang teman.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku memang bukan ahli gizi yang mahir menghitung kadar gizi dari setiap porsi masakan. Tapi rasa-rasanya setiap orang bisa belajar untuk menyajikan menu yang seimbang kandungan gizinya.

“Sudah begitu kita hanya membawa makanan pengganti bila dibutuhkan. Kalau memang keberatan, kan nggak harus bawa. Toh menu yang disajikan pihak sekolah sudah beraneka macam,” lanjutnya.

Aku tak hendak bersilat lidah dengannya, cukup kukatakan bahwa aku tak merasa direpotkan dengan urusan bentou si Buyung. Ya, aku menikmatinya. Karena aku tahu waktu tak bisa berjalan mundur. Si Buyung akan tumbuh semakin besar seiring dengan bergulirnya waktu. Dan tak akan ada pengulangan masa baginya, untuk menjadi anak usia empat tahun dengan sekotak bentou buatan Bunda. Waktu tak akan pernah kembali…

************

“Bunda, ashita no obentou wa nani?”
Kulirik daftar menu yang terpampang di dinding dapur. Ada tertulis butaniku to moyashi no itamemono di deretan menu besok hari.
“Mmm.. bagaimana kalau hoshigata onigiri, gyuuniku to moyashi no itamemono, kroket jagung dan yoghurt strawberry?”
Ung!” lelaki kecil itu mengangguk dengan lengkung pelangi terbalik menghias wajahnya.

Ah… Cinta, masakan Bunda mungkin tak selezat masakan koki di sekolahmu. Tapi, tahukah engkau Nak, selalu ada butiran cinta yang Bunda taburkan di setiap porsi yang tersaji untukmu.

Bumi Sapporo, 05072006
gilang_tresna@yahoo.com

Catatan:
Bentou = bekal makan
Ika furai = cumi goreng dengan balutan tepung panir
Youchien = TK
Ashita no obentou wa nani = bekal untuk besok apa
Butaniku to moyashi no itamemono = sejenis tumis berbahan daging babi dan tauge
Hoshigata onigiri = nasi kepal berbentuk bintang
Gyuuniku to moyashi no itamemono = sejenis tumis berbahan daging sapi dan tauge

Kesendirian yang Bermakna

Chandra Kurniawan

Kesendirian, suatu waktu di mana kita tak bisa menghindarinya. Banyak momen di mana kita harus tinggal seorang diri; saat di kamar mandi; saat di rumah tak ada orang kecuali kita; saat berada di sebuah ruangan warnet. Saat kesendirian itu muncul, saat di mana setan dengan gencarnya menggoda kita. Karena biasanya, kita akan jauh lebih semangat beribadah ketika ada orang di sekitar kita. Apalagi jika orang yang di dekat kita adalah orang yang shalih, yang senantiasa “menularkan” kebaikan pada diri kita. Ketika penghalang itu tak ada, setan pun dengan leluasa menerobos masuk dalam hati dan pikiran kita.

Karena iman yang lemah, kita pun kerap terjebak pada bujuk rayu setan. Kita menuruti apa mau setan. Tadinya kita rajin shalat, membaca al-Quran, tiba-tiba menjadi makhluk jalang yang bersuka cita pada kemaksiatan. “Ah... tidak ada yang melihat saya melakukannya,” bisiknya dalam hati.

Saat kesendirian itulah keimanan kita sedang diuji, apakah kita benar-benar mencintai Allah dengan setulus hati, apakah kita hanya takut kepada-Nya ataukah ibadah yang kita lakukan selama ini hanya sandiwara dan ingin dipuji oleh orang yang sedang bersama kita?

Saat sendiri, berarti kita hanya berdua-duaan dengan Allah. Alangkah baiknya kita gunakan kesempatan itu untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika dalam keramaian kita berdzikir seratus kali. Maka saat sendirian, kita harus lebih dari itu. Uwais al-Qarny Ra. pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang bisa mengenal Tuhannya, sementara dia lebih banyak bersama selain-Nya.”

Suatu ketika, di malam yang dingin dan sunyi, Imam Abu Hanifah bermunajat di sebuah masjid. Di sana beliau menghabiskan waktunya dengan shalat, dzikir, dan berdoa hingga shubuh. Tak disangka, ada orang yang melihat ibadahnya itu. Setelah mengetahui ada yang memperhatikannya, beliau lalu berkata kepada orang tersebut agar merahasiakan perihal apa yang dilihatnya.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak terlalu banyak melaksanakan puasa dan shalat sunnah. Akan tetapi, kesendiriannya dipenuh dengan hal-hal yang berguna dan bermakna.

Seorang ulama bernama Umar Tilmisani pernah menceritakan pengalamannya. Di suatu malam, Imam Hasan al-Banna – gurunya – memanggil namanya, “Ya Umar, apakah engkau sudah tidur?” Lantas Umar menjawab, “Belum ya syaikh.” Kemudian Imam Hasan al-Banna kembali masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian Imam Hasan al-Banna kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Tapi kali ini Umar sengaja tidak menjawabnya, karena pasti nanti akan bertanya lagi hal yang sama. Umar pura-pura tidur.

Setelah tidak ada jawaban dari Umar, Imam al-Banna masuk kembali ke kamarnya. Beberapa saat lamanya pertanyaan yang sama tidak segera muncul, Umar pun melihat apa yang dilakukan gurunya itu di dalam kamarnya. Demi melihatnya, Imam Hasan al-Banna sedang bermunajat dengan tangisan menyayat hati. Akhirnya tahulah Umar, jika gurunya itu menginginkan kesendirian dalam bermunajat kepada-Nya, sehingga amalan hanya semata-mata karena Allah.

Sungguh asyik berdua-duaan bersama Allah sehingga Allah akan menganugerahi cahaya pada wajah kita. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Kenapa orang yang rajin shalat malam wajahnya tampak bercahaya?” Imam Hasan menjawab, “Karena dia berdua-duaan dengan Allah sehingga Allah menghadiahinya sebagian dari cahaya-Nya.”

Seorang yang taat di kala ramai maupun sepi akan mereguk manisnya iman. Dia akan mendapatkan peningkatan kualitas iman dalam dirinya. Sesungguhnya semua ibadah yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Kita berlaku demikian laksana melemparkan kayu Hindi (bahan minyak wangi) ke tengah bara api, kemudian wanginya tercium oleh manusia, namun mereka tak tahu dari mana sumber wewangian itu.

Ada orang yang jika kita mendekatinya terasa damai. Ketika menatap wajahnya, semakin mendorong kita untuk banyak mengingat Allah. Semakin bergaul akrab dengannya, terasa kebaikan-kebaikannya. Cintanya kepada kita bukan kamuflase sesaat, tetapi merupakan cinta murni yang datang dari-Nya. Terasa di sekeliling kita “harum mewangi” ketika kita bersamanya.

Namun, ada orang yang jika kita semakin dekat dengannya, hati kita semakin hampa, keras membatu, dan kotor oleh maksiat. Mungkin pada mulanya, kita menganggapnya orang baik. Namun lama kelamaan ketahuan belangnya, hatinya lebih busuk dari bangkai dan lebih kejam dari binatang liar. Merekalah orang-orang yang hanya taat di kala ramai, namun berbuat maksiat di saat sendiri.

Barangsiapa yang kesendiriannya baik dan penuh makna, akan menyebarlah aroma keutamaannya dan hati pun akan senantiasa mencium wewangiannya. Jagalah perilaku Anda dalam kesendirian, karena hal itu sangat bermanfaat.

http://penulis-muda.blogdrive.com

Menikah Membuatku Jadi Kaya

Azimah Rahayu

Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami.
Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak?
Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga).
Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan.
Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

@Azimah, 070606

Bahagia Setiap Hari

MZ Omar

Ahmad dan Nurul bekerja di sebuah perusahaan ternama di bagian customer care, di mana mereka bekerja untuk menangani keluhan pelanggan perusahaan. Bagi Ahmad pekerjaannya begitu menyiksa dirinya, setiap hari ia harus melayani keluhan demi keluhan sehingga membuat dirinya menjadi begitu tertekan hingga akhirnya suasana itu membentuk karakter dirinya, ia jadi begitu mudah marah, uring-uringan dan pekerjaan menjadi berantakan bahkan hubungannya dengan sang isteri ikut terganggu. Lain halnya dengan Nurul, buat dirinya pekerjaannya melayani komplain customer adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan. Menantang, katanya. Hasilnya, ia menjadi lebih mampu memanage emosi dirinya dan meningkatkan kemampuannya berkoordinasi dan berkomunikasi dengan bagian lainnya untuk mengatasi persoalan yang timbul.

Bisa kita lihat perbedaan pilihan yang dibuat oleh Ahmad dan Nurul pilihan untuk tertekan, stres, berkeluh kesahatau memilih untuk berkembang melalui situasi yang ada. Dan ternyata setiap hari kita selalu disuguhkan dengan yang namanya pilihan. Coba saja anda perhatikan, dari sejak bangun tidur hingga kembali tidur, aktivitas kita selalu berbentuk pilihan. Contohnya, pada pagi hari kita bisa memilih untuk bangun pagi atau tetap bermalas-malasan di tempat tidur sehingga bangun kesiangan. Waktu berangkat ke tempat kerja, kita bisa memilih jalur biasa yang panjang dan macet atau jalur memotong dengan konsekwensi harus lewat jalan sempit dan banyak lubang, kita bisa memilih ngebut atau jalan perlahan. Tinggal keputusan kita untuk memilih mana yang kita inginkan. Terserah kita mau menentukan yang mana, bebas saja.

Namun yang perlu dicermati adalah konsekwensi dari pilihan tersebut yang tidak bisa kita tolak. Kembali ke contoh di atas jika kita memilih untuk berada di posisi Ahmad maka hasilnya kita menjadi tidak bisa berkembang dan justru malah membuat kita mundur dan membuang begitu banyak energi. Sehingga menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu memikirkan konsekwensi pilihan kita.

Jika ada suatu waktu kosong segeralah membuat pilihan yang membawa manfaat, hindari pilihan untuk santai, atau mengobrol tidak menentu. Tanamkan dalam diri bahwa hari ini adalah “the best time” untuk saya melakukan hal-hal produktif. Berkembang setiap hari dan selalu melakukan yang terbaik.

Hindari ungkapan seperti:

”Duh sengsaranya diri ini, gaji kecil, hutang banyak, anak sakit, serasa runtuh dunia ini”

“Waduh, rapaaatttt melulu, kapan istirahatnya, stres berat nih!”

“Dasar anak kecil, kerjanya nangis melulu udah gitu main melulu rumah jadi berantakan nih!”

Padahal bisa jadi kita rubah pilihan kita menjadi:

“Alhamdulillah masih gajian pelan-pelan bisa lunasin hutang mudah-mudahan berkah dan Allah tambahkan rezeki”

“Yes, seneng banget nih! Di rapat nanti ketemu orang-orang penting jadi bisa belajar dari mereka”

“Sabar-sabar, memang sulit mengurus anak tapi ini bisa jadi ladang amal dan belajar, sabar….”

Rasullulah SAW, walaupun sudah dijamin oleh Allah SWT dari dosa-dosanya tetap memilih untuk bersungguh-sungguh mengerjakan shalat tahajjud hingga bengkak kakinya. Padahal bisa saja beliau memilih untuk tenang-tenang saja, toh tetap saja ketekunannya tidak berubah.

Dengan memilih untuk menjadi bahagia sebenarnya kita juga sedang mensyukuri karunia Allah yang telah diberikan kepada kita. Ada yang tertarik untuk berbahagia setiap hari?

MZ Omar