Oleh Febty Febriani
Jalan tol Cipularang terlihat sepi. Arus lalus lintas di jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Bandung ini dalam kondisi yang lancar-lancar saja. Tidak terlihat ada kemacetan atau antrian panjang mobil-mobil berplat D atau B. Jam handphone saya baru menunjukkan sekitar pukul delapan pagi. Udara pagi di sekitar jalanan tol Cipularang cukup dingin. Entahlah, apakah ini hanya perasaan suhu tubuh saya saja atau pada saat itu udara di sekitar jalan tol Cipularang memang dingin.
Bus pariwisata yang membawa rombongan kantor saya terlihat lengang. Maklum, sebagian besar penumpang bis memanfaatkan waktu perjalanan Bandung-Jakarta yang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk tidur dan melepas penat. Ada sekitar tigapuluhan orang yang berada di dalam bus pariwisata itu. Sebagian besar adalah orang Jepang dan Cina. Kami hanya berdelapan dari Indonesia. Dua orang atasan saya dan dua orang rekan kerja saya. Satu orang tour leader. Satu orang sopir bus pariwisata dan satu orang lagi adalah kernet bus. Hari itu, kami bersama rombongan akan berangkat ke Yogya. Acara ke Yogya merupakan rangkaian akhir acara seminar internasional yang telah diselenggarakan di Bandung selama tiga hari sebelumnya.
Di sebelah saya adalah atasan saya yang satu bidang dengan saya di kantor. Seorang bapak yang berusia kurang lebih limapuluhan dan mempunyai tiga orang anak putri. Setelah selama lima belas tahun berdiam di negeri Paman Sam, baru pada tahun 2000 beliau kembali ke Indonesia. Karena itu karakter beliau lumayan berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Termasuk, gaya kepemimpinan beliau. Namun, saya suka dengan gaya kepemimpinan beliau. Beliau tidak segan dan tidak pula malu untuk memuji langsung bawahannya. Begitu pula dengan cara beliau menyampaikan kritikan dan teguran. Beliau juga senantiasa meluangkan waktu untuk sholat Dzuhur dan Ashar berjamaah di masjid kantor, walaupun beliau harus menuruni deretan anak tangga dari lantai empat, tempat ruangan beliau berada, menuju masjid kantor yang berada di seberang kantor kami. Baru itu yang saya tahu tentang beliau, maklum saya masih berstatus sebagai staf baru di lingkungan kantor. Baru sekitar tiga bulan saya bekerja di lembaga pemerintah ini.
Awalnya, ada sepi antara saya dan beliau. Beliau sedang menyelesaikan buku bacaannya yang lumayan tebal. Sebuah buku yang bercerita tentang rezim kepemimpinan Soeharto dalam sudut pandang orang luar negeri. Saya lebih memilih untuk mengistirahatkan mata saya. Ada kepenatan yang terasa sangat di kepala saya. Tiga hari kemarin, energi saya benar-benar tercurahkan sebagai panitia di seminar internasional itu.
Entah kenapa, mungkin karena beliau sedang jenuh membaca dan saya juga sudah merasa cukup beristirahat, akhirnya tercipta kata antara saya dan beliau. Awalnya saya bertanya kepada beliau, mengapa beliau memilih negeri Paman Sam untuk melanjutkan pendidikan master dan doktor beliau. Dengan senang hati, beliau menjelaskan alasan-alasan yang melatarbelakangi beliau melanjutkan pendidikan S2 dan S3-nya di negeri Bush itu. Tidak hanya itu, beliau juga dengan gamblang menceritakan pengalaman-pengalaman beliau selama limabelas tahun berada di Amerika Serikat. Bukan hanya pengalaman bersekolah, tetapi juga pengalaman beliau bekerja di Amerika Serikat.
Dan, akhirnya saya bertanya, “Mengapa Bapak balik ke Indonesia?” Tidak ada maksud lain dari pertanyaan saya ini. Dari cerita beliau, saya bisa menyimpulkan beliau sudah dipandang sebagai seorang peneliti dan pengajar yang diakui di Amerika Serikat sana. Dan mungkin, dari sisi materi beliau akan mendapatkan income yang lebih dibandingkan dengan status beliau sebagai seorang peneliti di Indonesia. Apalagi, di negeri kita, status peneliti bukanlah sebuah status yang mempunyai prestise.
“Ada hal yang sangat penting yang mendasari saya untuk segera balik ke Indonesia pada tahun 2000 itu,” begitulah kira-kira awal beliau bercerita.
“Masalah akidah anak saya yang tertua,” lanjut beliau kemudian Saya terdiam mendengar jawaban beliau.
“Waktu itu, anak saya yang paling tua masih duduk di kelas 2 SMP. Ketika di Amerika, saya membiasakan keluarga saya untuk sholat berjamaah ketika waktu Maghrib. Suatu hari, ketika saya mengajak dia untuk menunaikan sholat Maghrib, dia bertanya: Dad, why should I pray?Why should I believe the God? Saya benar-benar kaget ketika anak saya bertanya seperti itu, Fet. Saya hanya bisa terdiam. Dan waku itu, saya hanya bisa menjawab: Ok, now I can’t answer your question but next time I will explain you why we should believe our God dan why we should pray. Kemudian saya bertanya kepadanya: Why do you ask to me like that? Mau tahu jawabannya, Fet? Dia menjawab: I don’t know, Dad. That is just in my mind. Saya benar-benar gak menyangka kalau anak saya akan bertanya seperti itu. Saya sudah merasa membekali anak-anak saya dengan pemahaman yang benar tentang agama Islam. Tapi ternyata, saya salah.”
Saya melihat beliau beberapa kali meneguk air mineral ketika bercerita tentang hal itu. Mungkin, itu cara beliau untuk menenangkan gundah di hati ketika mengenang peristiwa yang terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Dan mungkin, peristiwa itu masih menyisakan trauma di hati beliau.
“Waktu itu, saya berdiskusi dengan isteri saya. Saya dan isteri memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan akidah anak saya. Tapi, saat itu, kami tidak bisa langsung kembali ke Indonesia karena anak saya masih duduk di kelas 2 SMP. Dia harus tamat SMP dulu, supaya bisa melanjutkan SMA di Indoensia. Jadilah, waktu sekitar satu tahun itu saya manfaatkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan anak saya. Alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan seorang mualaf yang juga mempunyai problem yang sama dengan saya. Anaknya juga bertanya sama seperti anak saya bertanya. Saya dibekali sebuah buku yang berjudul “If the Angle Ask”. Di buku itulah, saya menemukan jawaban atas pertanyaan anak saya,” lanjut beliau kembali.
Tidak ada pertanyaan atau komentar dari mulut saya. Saya hanya bisa terdiam dan menunggu beliau melanjutkan ceritanya.
“If, I ask you to pray now, just do it. I do it because I love you. Next time, you will understand why you should pray. Begitulah, penjelasan awal dalam buku tersebut, Fet. Selanjutnya, di buku itu dijelaskan bahwa sholat itu diibaratkan sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan. Ketika kita melakukan sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan, tentu kita tidak ingin sendirian menikmatinya. Kita ingin semua anggota keluarga kita merasakan kesenangan dan kegembiraan dalam kegiatan itu. Bukankah perasaan itu manusiawi, Fet? Jawaban itu pula yang akhirnya saya sampaikan pada anak saya. Selain itu, saya berusaha berdiskusi dengannya tentang atheis, agama Islam, agama Kristen, agama Hindu dan agama Budha. Perlu waktu panjang bagi saya dan isteri saya untuk kembali menata akidah anak saya. Namun, akhirnya, doa dan perjuangan kami dikabulkan Allah. Ketika anak saya berujar: Ok, Dad, I will pray now, beribu-ribu syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Saya sangat berharap keputusan kembali ke Indonesia adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga saya, terutama untuk akidah anak sulung saya,” penjelasan panjang ini menutup pembicaraan saya dan atasan saya.
Hari itu saya banyak belajar bagaimana saya seharusnya menjadi orang tua yang baik untuk putra-putri saya nantinya. Saya salut dengan perjuangan beliau dan isteri untuk kembali menata akidah anak sulungnya. Saya salut dengan pilihan beliau dan isteri kembali ke Indonesia demi akidah anak sulungnya. Terima kasih, Bapak. Semoga saya bisa mencontoh perjuanganmu.
Bandung, September 2006 (inga_fety@yahoo.com)
Buat seorang Bapak yang saya salut pada beliau, saya hanya bisa berucap: terima kasih, Bapak, untuk ceritanya.