Hanya Doa Basa-Basi
Hanya Nasi dan Sepotong Bakwan
Oleh Sabrul Jamil
Menerobos masuk begitu saja, dengan langkah tak terdengar, tanpa salam atau kata lainnya, anak ini telah muncul di ruang kerjaku. Mirip makhluk halus dari negeri dongeng, yang dapat muncul tiba-tiba, mendadak ia telah berdiri tepat di sampingku, dan dengan berbinar-binar menatap layar komputerku.
Aku, yang tengah serius memeloti monitor, jadi agak terkejut, dan berpaling memandanginya. Sebaliknya, ia tidak memandangiku, namun tetap penuh antusias memandangi monitor.
“Itu apa?” tanyanya sambil menunjuk salah satu icon di komputer. Icon yang bergerak-gerak itu rupanya menarik perhatiannya. Begitu menariknya, sehingga setiap pagi, begitu tiba di sekolah, ia langsung menyempatkan diri, masuk ke ruang kerjaku yang bersebelahan dengan kelasnya.
Kelasnya memang menggunakan garasi yang menempel di rumahku. Sedangkan ruang kerjaku sebenarnya adalah ruang keluarga, yang aku sulap menjadi ruang kerja, dengan berbagai perlengkapan berteknologi tinggi.
Berbeda dengan anak lain yang tidak berani nyelonong begitu saja, Alif, sebut saja nama anak itu, memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Rasa ingin tahu itu mengalahkan rasa segan apalagi takut untuk menerobos batas-batas. Dalam hal ini, batas antara kelasnya dan ruang kerjaku.
Kali ini, karena agak santai, aku menyempatkan diri berakrab-akrab dengan anak kurus dan berkulit gelap ini.
“Alif tadi sudah sarapan?”
“Sudah, ” jawabnya. Matanya masih melotot ke arah monitor.
“Pake apa?”
“Pake nasi, sama bakwan, ” jawabnya datar.
Aku tersenyum mendengar jawaban lugunya. Nasi dan bakwan? Syukurlah. Seleranya sederhana, dan tidak neko-neko. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika Alif menjadi anak manja seperti iklan-iklan di televisi. Yang menolak minum susu dan makan roti yang penuh beraneka isi yang padat gizi. Yang hanya mau makan dan minum semaunya sendiri. Yang untuk membangkitkan selera makan dan minumnya harus dipancing dulu dengan beraneka vitamin yang mahal-mahal, atau susu yang katanya bisa menambah nafsu makan. Yah, untungnya Alif tidak seperti itu.
Orang tua Alif bukan jenis orang tua yang kelebihan duit, yang sering ‘kebingungan’ menghabiskan uang bulanan. Yang tidak cukup berlibur hanya di taman mini (taman mini maksudnya adalah taman berukuran mini yang berada di samping rumah, alias kebon). Bukan jenis orang tua yang sudah bosan pergi ke dunia fantasi (yang harga tiket sekeluarganya bisa untuk gaji satu bulan). Bukan pula jenis orang tua yang sanggup menghabiskan ratusan ribu untuk sekali makan di restoran mewah.
Orang tua Alif hanyalah sepasang tuna netra. Ayahnya nyaris buta total, sedang sang ibu memang tak bisa melihat sama sekali. Penghasilan mereka dari memijat, satu profesi khas dari orang-orang seperti mereka.
Alif kecil sering menjadi penuntun ibunya. Mereka sering terlihat ke mana-mana berdua. Alif menjadi mata bagi ibunya. Sedang sang ayah sering kali berada di musholla saat-saat lima waktu. Meski cuma ‘bersenjatakan’ tongkat, tak menghalanginya untuk menyambut panggilan azan.
Alif kecil yang pede ini mungkin mewarisi ke-pede-an orang tuanya. Orang tuanya memang pede, atau iffah. Meski tuna netra, mereka menolak tawaran beasiswa dari kami. Ada beberapa orang tua yang dhuafa secara ekonomi yang kami bebaskan dari biaya apapun. Biaya masuk, biaya bulanan, biaya kunjungan edukatif, dan biaya-biaya kecil lainnya yang lazim dipungut pihak sekolah untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Alif termasuk yang kami proyeksikan untuk menerima beasiswa.
“Kata bapaknya, selama kita masih sanggup bayar, kita harus tetap bayar, ” demikian kata sang ibu, menolak tawaran bea siswa dari kami.
Kami tentu tak bisa memaksa. Namun kami tegaskan, jika suatu ketika ada kesulitan, jangan segan-segan menceritakan kepada kami. Dan mereka membuktikan bahwa mereka memang sanggup. Tabungan hariannya termasuk rutin sehingga berjumlah cukup besar.
Alif memang pede. Dia sepertinya tak peduli meski kedua orang tuanya tak bisa melihat. Dia tetap bermain bersama teman-temannya, sesekali berkelahi seperti anak-anak lain, dan merobos masuk ke ruang kerjaku hanya untuk menyapaku dan menatap layar monitor yang warna warni.
Aku sering khawatir dengan masa depannya. Jika di sini, di sekolah kami, kami dapat mendidiknya, mengawasinya, melindunginya jika perlu, namun selepas taman kanak-kanak nanti, tangan kami tak lagi mampu menjangkaunya. Tapi tentu ini jenis kekhawatiran yang naif. Allah tentu yang paling berhak dan paling mampu menjaganya. Allah Yang Maha Tahu tentu memiliki maksud tersembunyi dari semua ini. Tak ada karyaNya yang sia-sia, demikian Dia berfirman dalam kita suciNya.
Lagi pula, dengan segala kekurangan dan keterbatasan fisik mereka, apa pula hakku untuk merasa lebih baik dibanding mereka. Boleh jadi di mata Allah, mereka adalah makhluk-makhluk yang lebih mulia, mutiara-mutiara kehidupan yang mengajarkan ketabahan dan ke-qonaah-an.
Mereka mungkin lebih cemerlang di mata Allah, dibandingkan bapak-bapak terhormat para pejabat, yang ke mana-mana berseliweran dengan mobil mewah. Yang tetap nyaman berbelanja di super mall, sementara rakyat yang memilih mereka digusur di mana-mana.
Di sini, saat ini, saat menulis cerita ini, aku harus belajar merundukkan hati, menepis kesombongan diri.
sabruljamil.multiply.comCahaya Subuh
Dalam rinai turunnya Hujan
Jangan Meminta-Minta
Oleh Sigit Indriyono
Jam tanganku menunjukkan tepat jam 13.00. Suasana di dalam Masjid Nabawi agak lengang. Usai sholat Dhuhur, sebagian jama’ah telah meninggalkan masjid untuk makan siang. Yang masih bertahan di dalam masjid melanjutkan dengan berbagai aktivitas. Melakukan wirid dengan tasbih di tangan, tilawah Al-Qur’an atau menuju makam Rasulullah SAW dan Raudah.
Waktu antara Dhuhur dan Asar biasanya kumanfaatkan untuk tilawah Al-Qur’an. Jika tidak, aku mengikuti antrian ke Raudah. Salah satu tempat yang utama untuk berdo’a. Al-Qur’an ukuran saku selalu berada dalam tas warna hijau yang selalu kuselempangkan di bahu. Tas serbaguna yang juga berisi buku-buku do’a dan buku panduan haji, umrah dan ziarah. Buku-buku berukuran saku tersebut diterbitkan oleh Kementrian Agama Saudi Arabia, namun berbahasa Indonesia. Dibagikan secara gratis oleh petugas di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.
Aku duduk dekat tiang masjid. Cukup sejuk, karena dari celah-celah lubang yang terdapat di bagian bawah tiang masjid keluar udara yang berasal dari alat penyejuk udara. Sebelum berangkat ke masjid, aku sempat makan siang dulu. Selama di Madinah, jama’ah haji Indonesia mendapat pembagian jatah makan dua kali, yaitu makan siang dan malam.
Saat aku sedang akan membuka Al-Qur’an, tiba-tiba datang seorang pemuda menghampiriku. Masih muda, sekitar 25 tahun umurnya dan penampilannya cukup rapi. Dari wajahnya kuperkirakan berasal dari negara Asia Selatan. ” Assalamu ‘alaikum, ” sapanya sambil menjabat tanganku. ” Wa ‘alaikum salam, ” kujawab salamnya.
Kemudian dia menyerahkan secarik kertas kecil ber-laminating. Kubaca isinya: “ Saya orang miskin. Mohon kerelaan sedekah untuk saya.” Ternyata orang ini tahu kalau aku adalah orang Indonesia. Mungkin dia memperhatikan tas selempang warna hijau yang bertulisan ‘Indonesia’. Tas pembagian yang selalu kupakai ke mana-mana selama berada di Saudi Arabia.
Tanpa berpikir panjang, kuambil satu lembar uang 10 riyal dari dompet. Kuserahkan kepada orang itu. Setelah mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan: “ Syukron....” orang itu segera berlalu menjauh ke tempat lain. Kurelakan sedekah kepadanya.
Aku teringat pada seorang warga negara Bangladesh. Dia bekerja sebagai petugas cleaning service di pemondokan haji yang kutempati di Madinah. Orangnya rajin dan sangat cekatan. Saat di Makkah, aku juga sempat berbincang dengan seorang pemuda berasal dari Sukabumi. Sudah hampir setahun tinggal di Saudi Arabia. Umurnya 24 tahun. Bekerja sebagai cleaning service di Abraj Al-Bait Shopping Center yang berlokasi di depan Masjidil Haram. Mereka mau bekerja dan tidak mau meminta-minta kepada orang lain. Berbeda dengan orang yang meminta sedekah kepadaku di dalam Masjid Nabawi.
Profesi apapun yang mendatangkan rezeki halal adalah mulia. Umat Islam dianjurkan untuk bekerja, dan bukan meminta-minta. Rasulullah SAW adalah seorang pedagang. Rasulullah SAW sangat menekankan keutamaan bekerja, seperti tersirat dalam sabda beliau: ''Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Dan barangsiapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla.'' (HR Ahmad).
Dalam realitas saat ini, banyak orang yang enggan bekerja pada tempat yang menurutnya kurang pas buat dirinya, karena itu mereka lebih memilih menganggur. Akhirnya menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Bagi orang-orang yang menganggur, berkhayal dan berangan-angan merupakan kesibukan sehari-hari. Ngobrol ke sana-sini yang tidak bermanfaat banyak dilakukan oleh mereka. Tak jarang mereka terjerumus dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.
Bekerja atau bahkan menciptakan lapangan kerja, jika dilakukan dengan ikhlas mencari ridho Allah SWT akan bernilai ibadah. Namun perlu diingat, orang yang bekerja dalam kondisi sesibuk apapun tidak boleh melalaikan perintah-perintah-Nya. ” laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayarkan zakat”. (QS An Nuur [24]: 37).
Rabu, 06/02/2008 09:52 WIB
Nasib Uang Receh
Nasib Uang Receh
6 Peb 08 09:52 WIB
Kirim teman
Oleh Abumiftah
Meski harus memilih membiarkannya tergeletak di sembarang tempat. Uang receh selalu bernasib kurang beruntung. Ia selalu dibiarkan berada disetiap sudut ruang bahkan sepanjang jalan protokol, dibiarkan terlindas kendaraan penguna jalan. Lucunya di sejumlah swalayan, uang receh menjadi alternatif uang kembalian. Jika tidak ada uang receh, kasir memberikan kepada costumer dengan sejumlah permen. Itupun terkadang sudah tak layak untuk di konsumsi. Ironis memang, tapi itulah uang receh.
Tapi lain hal dengan masyarakat kecil yang biasa berjuang hidup dipinggiran kota. Uang receh ternyata sangat bermanfaat. Terlebih ketika ia menjajakan diri (pengemis) di sepanjang jalan Ibu kota. Dan bagi ’si pak ogah’ atau jasa parkir, uang receh selalu ditunggu di setiap sudut gang.
Sekilas ketika bicara uang receh, seperti mengungkapkan makna kosong tanpa isi. Padahal jika kita menyisihkan waktu sejenak untuk mendengar atau merenung. Kenapa manusia menciptakan uang tersebut? Tanpa uang receh, uang senilai miliaran rupiah mungkin tak akan pernah ada di permukaan.
Paradigma berfikir tentang uang receh sudah seharusnya diubah. Uang receh kini bukan lagi menjadi aikon uang sisa yang tercecer tapi uang yang sangat bermanfaat. Dengan meletakkan atau memasukan uang receh dalam tempat khusus (celengan) pastinya banyak manfaatnya. Pekerjaan ini memang pekerjaan kecil. Tapi sulit untuk memulainya.
Kita termasuk enggan belajar dari metologi si miskin. Mereka lebih percaya, memasukan uang receh pada celengan berbentuk bambu atau terbuat tanah liat. Sedikit demi sedikit akan bermanfaat nantinya. Memang kita termasuk orang yang tidak bisa menabung di celengan, juga malas (gengsi) menggunakan uang receh.
Kita dapat memulai hari ini. Dengan memasukan uang receh ke dalam celengan pastinya akan bermanfaat. Kita tak usah ragu lagi, uang receh yang terkumpul akan dimanfaatkan oleh teman-teman kita yang membutuhkan. Sejenak kita tinggalkan kesenangan dunia. Beri harapan si miskin, walau hanya sisa uang belanja atau ongkos. Semoga Allah SWT akan melipatgandakan pahala kita. Amin