Hanya Doa Basa-Basi


Apa yang dilakukan seseorang ketika menunggu? Konon, katanya, orang Jepang mengisi waktu menunggunya dengan membaca buku. Orang Indonesia? Buka HP dan mengirim SMS. Saya tidak tahu, benar tidaknya anekdot itu. Tapi memang itulah tepatnya yang saya lakukan. Saya janji dengan seorang teman, dan seperti yang sering terjadi, teman saya tersebut terlambat datang. Jadilah saya menunggu, membuka HP, dan mulai mengirim SMS.
Saya menunggu di halaman Musholla Mall Pondok Gede. Gerimis mulai turun, membuat panik beberapa pejalan kaki, dan menghentikan langkah para jamaah yang hendak bergegas meninggal Musholla. Kami memang berjanji bertemu di sini, sholat dzhuhur berjama’ah. Selama menunggu, sudah beberapa orang saya SMS, entah sekedar say hello, atau karena memang ada keperluan yang terlupa (dan baru teringat ketika tak ada yang harus saya lakukan). Namun teman saya tersebut tak kunjung datang. Kehabisan cara membunuh waktu, saya pun mencoba mengulang-ulang hapalan Al-Quran saya yang tidak seberapa banyak.
Sambil menghapal, tak sengaja mata saya mengarah ke seseorang yang sedang sholat dengan kecepatan menakjubkan. Orang itu berpakaian seperti cleaning service, dengan seragam berantakan, rambut tak disisir, dengan gerakan sholat seperti ayam mematuk. Luar biasa! Ketika ruku, dia hanya membungkukkan badan tak sampai sedetik, langsung tegak kembali, dan dengan tak kalah cepat, langsung sujud. Herannya, keningnya berhasil menyentuh lantai tanpa harus cedera. Sujudnya pun demikian, tak sampai sedetik, langsung bangun lagi. Begitu seterusnya.
Bukan baru pertama kali saya melihat orang sholat diburu waktu seperti itu. Tapi jarang yang seekstrim ini. Entah apa komentar para malaikat yang sibuk mencatat di kiri kanannya.
Sholat sepert ini jelas mempunyai satu tujuan saja: menggugurkan kewajiban. Asal tidak berdosa, yang penting sholat sudah terlaksana. Mirip orang mengepel lantai, yang penting lantai sudah basah terkena kain pel. Perkara ternyata malah meratakan kotoran ke seluruh ruangan, itu soal lain. Sepertinya ada kelegaan bahwa satu kewajiban sudah tertunaikan.
Usai sholat, orang itu bergegas pergi, secepat sholatnya. Mungkin memang banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan. Atau ada atasannya yang sudah menunggu dengan tidak sabar, sambil memilin-milinkan kumis. Saya mencoba maklum, dan tidak menebak-nebak lebih jauh. Tidak baik buat kesehatan hati dan kejernihan batin. Saya memang masih terus belajar untuk jujur kepada diri sendiri, mawas diri. Waspada terhadap bisikan setan yang menelusup ke dada, yang senang menghembus-hembus sehingga ego kita menggelembung, membawa kita terbang, dan seolah sudah sah menjadi kekasih Allah, para ahli waris syurga, hanya semata-mata karena melihat kelemahan orang lain. Sungguh sikap yang kekanak-kanakan, mirip seorang anak yang tertawa melihat temannya terjatuh ketika belajar naik sepeda.
Padahal, boleh jadi orang yang kita anggap ‘cuma kayak begitu’ ternyata punya nilai lebih lain di mata Allah. Nilai lebih yang Allah hijab dari mata kita. Atau setidaknya, tak ada jaminan bahwa saya lebih baik dari pada orang itu. Mungkin jauh lebih bijak jika saya menanyakan kepada diri sendiri, mengapa Allah menakdirkan saya bertemu dengan manusia bersholat ekstrim seperti itu? Sungguh pertanyaan yang wajar kan? Kalau kita meyakini bahwa tak ada kejadian kebetulan dalam hidup ini, sewajarnya kita bertanya, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah nyata barusan? Betul kan?
Bukankah ayat-ayatNya terbentang luas dalam berbagai penggalan episode kehidupan? Ayat-ayat yang terus mengalir, yang tak pernah merasa perlu menunggu kita untuk membacanya. Ayat-ayatNya tak perlu harus tampil begitu dahsyat dan mencekam seperti tsunami dan letusan gunung. Pun tak perlu fenomenal mengharu biru seperti pusaran tawaf mengelilingi ka’bah. Juga tak perlu selalu heroik seperti perang badr yang legendaris dan menggetarkan itu.
Ayat-ayatNya bisa jadi menjelma dalam jenak-jenak yang seolah tak berarti, seperti yang saya saksikan barusan. Laksana rinai hujan yang tak perlu menunggu kita siap untuk menerimanya. Agaknya malah lebih sering demikian.
Lalu? Yah, sungguh ceroboh jika merasa diri sudah baik, hanya karena melihat kelemahan orang lain. Astaghfirullah.
Maka, jika mau jujur, sebenarnya seberapa seringkah saya mampu bercengkrama denganNya saat-saat sholat?
Bercengkrama? Aduhai, indahnya kata itu! Tidakkah terlalu besar kepala jika saya menggunakan istilah itu? Mungkin jauh lebih pantas jika saya gunakan kalimat lain. Misalnya, seberapa seringkah saya mampu merasakan kehadiran Allah saat sholat?
Mampukah saya merasakan desir kehadiranNya saat mengumandangkan takbiratul ihram? Mampukah saya merasa bahwa saat itu saya sedang menghadap Sang Penguasa Jagat, yang kuasanya tak terbatas? Yang kekayaanNya tak terbayang, yang kehendaknya takkan tertolak?
Atau mungkin standardnya harus diturunkan lagi. Misalnya, seberapa seringkah saya memperjuangkan diri untuk sholat berjamaah di Masjid? Menjadi bagian dari orang-orang shalih yang senantiasa memakmurkan rumahNya? Bukankah orang-orang beriman hendaknya merasa nyaman berada di Masjid, laksana ikan di dalam air? Bukankah keengganan untuk berada di Masjid adalah tanda dari bibit-bibit kemunafikan?
Atau sebenarnya saya masih harus menurunkan standard lagi, yaitu, seberapa seringkah saya mampu sholat tepat waktu? Menjadi orang-orang yang memprioritaskan panggilan Allah, dan menyingkirkan pekerjaan apa pun ketika adzan berkumandang?
Betapa banyaknya lapisan atmosfer ketaatan yang belum saya tembus, untuk dapat menjadi kekasihNya. Mungkin karena selama ini saya hanya memiliki mimpi-mimpi kecil. Mimpi sederhana tentang hubungan denganNya. Mimpi menjadi muslim yang ‘biasa saja’, yang sesungguhnya pengkhianatan terhadap do’a “dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertaqwa”.
Mungkin karena selama ini, doa saya pun hanya doa basa-basi. Doa yang hanya meluncur dari lisan, bukan dari kejernihan hati dan kedalaman pikiran. Seperti file mp3 yang diputar berulang-ulang, bersuara namun tanpa jiwa. Atau seperti beo yang sibuk berceloteh, tak paham sedikitpun apa yang diocehkan.
Aku terhenyak menyadari betapa larutnya aku dalam kontemplasi. Menyadari kesalahan adalah awal yang baik. Namun meratapi kesalahan dapat menjadi jalan bagi setan untuk putus asa dan merasa tak berhak menjadi orang baik.
Yang terbaik adalah selalu mawas diri, menyadari pesan dari ayat-ayatNya, selalu memohon lindunganNya, karena hanya Dia Yang Maha Melindungi. Selalu waspada bahwa setan akan menyelinap pada setiap kesempatan pertama.
Seperti yang dikatakan para salafushsholih, bahwa taqwa adalah kehati-hatian.
Sabruljamil.multiply.com

Hanya Nasi dan Sepotong Bakwan

Oleh Sabrul Jamil

Menerobos masuk begitu saja, dengan langkah tak terdengar, tanpa salam atau kata lainnya, anak ini telah muncul di ruang kerjaku. Mirip makhluk halus dari negeri dongeng, yang dapat muncul tiba-tiba, mendadak ia telah berdiri tepat di sampingku, dan dengan berbinar-binar menatap layar komputerku.

Aku, yang tengah serius memeloti monitor, jadi agak terkejut, dan berpaling memandanginya. Sebaliknya, ia tidak memandangiku, namun tetap penuh antusias memandangi monitor.

“Itu apa?” tanyanya sambil menunjuk salah satu icon di komputer. Icon yang bergerak-gerak itu rupanya menarik perhatiannya. Begitu menariknya, sehingga setiap pagi, begitu tiba di sekolah, ia langsung menyempatkan diri, masuk ke ruang kerjaku yang bersebelahan dengan kelasnya.

Kelasnya memang menggunakan garasi yang menempel di rumahku. Sedangkan ruang kerjaku sebenarnya adalah ruang keluarga, yang aku sulap menjadi ruang kerja, dengan berbagai perlengkapan berteknologi tinggi.

Berbeda dengan anak lain yang tidak berani nyelonong begitu saja, Alif, sebut saja nama anak itu, memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Rasa ingin tahu itu mengalahkan rasa segan apalagi takut untuk menerobos batas-batas. Dalam hal ini, batas antara kelasnya dan ruang kerjaku.

Kali ini, karena agak santai, aku menyempatkan diri berakrab-akrab dengan anak kurus dan berkulit gelap ini.

“Alif tadi sudah sarapan?”

“Sudah, ” jawabnya. Matanya masih melotot ke arah monitor.

“Pake apa?”

“Pake nasi, sama bakwan, ” jawabnya datar.

Aku tersenyum mendengar jawaban lugunya. Nasi dan bakwan? Syukurlah. Seleranya sederhana, dan tidak neko-neko. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika Alif menjadi anak manja seperti iklan-iklan di televisi. Yang menolak minum susu dan makan roti yang penuh beraneka isi yang padat gizi. Yang hanya mau makan dan minum semaunya sendiri. Yang untuk membangkitkan selera makan dan minumnya harus dipancing dulu dengan beraneka vitamin yang mahal-mahal, atau susu yang katanya bisa menambah nafsu makan. Yah, untungnya Alif tidak seperti itu.

Orang tua Alif bukan jenis orang tua yang kelebihan duit, yang sering ‘kebingungan’ menghabiskan uang bulanan. Yang tidak cukup berlibur hanya di taman mini (taman mini maksudnya adalah taman berukuran mini yang berada di samping rumah, alias kebon). Bukan jenis orang tua yang sudah bosan pergi ke dunia fantasi (yang harga tiket sekeluarganya bisa untuk gaji satu bulan). Bukan pula jenis orang tua yang sanggup menghabiskan ratusan ribu untuk sekali makan di restoran mewah.

Orang tua Alif hanyalah sepasang tuna netra. Ayahnya nyaris buta total, sedang sang ibu memang tak bisa melihat sama sekali. Penghasilan mereka dari memijat, satu profesi khas dari orang-orang seperti mereka.

Alif kecil sering menjadi penuntun ibunya. Mereka sering terlihat ke mana-mana berdua. Alif menjadi mata bagi ibunya. Sedang sang ayah sering kali berada di musholla saat-saat lima waktu. Meski cuma ‘bersenjatakan’ tongkat, tak menghalanginya untuk menyambut panggilan azan.

Alif kecil yang pede ini mungkin mewarisi ke-pede-an orang tuanya. Orang tuanya memang pede, atau iffah. Meski tuna netra, mereka menolak tawaran beasiswa dari kami. Ada beberapa orang tua yang dhuafa secara ekonomi yang kami bebaskan dari biaya apapun. Biaya masuk, biaya bulanan, biaya kunjungan edukatif, dan biaya-biaya kecil lainnya yang lazim dipungut pihak sekolah untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Alif termasuk yang kami proyeksikan untuk menerima beasiswa.

“Kata bapaknya, selama kita masih sanggup bayar, kita harus tetap bayar, ” demikian kata sang ibu, menolak tawaran bea siswa dari kami.

Kami tentu tak bisa memaksa. Namun kami tegaskan, jika suatu ketika ada kesulitan, jangan segan-segan menceritakan kepada kami. Dan mereka membuktikan bahwa mereka memang sanggup. Tabungan hariannya termasuk rutin sehingga berjumlah cukup besar.

Alif memang pede. Dia sepertinya tak peduli meski kedua orang tuanya tak bisa melihat. Dia tetap bermain bersama teman-temannya, sesekali berkelahi seperti anak-anak lain, dan merobos masuk ke ruang kerjaku hanya untuk menyapaku dan menatap layar monitor yang warna warni.

Aku sering khawatir dengan masa depannya. Jika di sini, di sekolah kami, kami dapat mendidiknya, mengawasinya, melindunginya jika perlu, namun selepas taman kanak-kanak nanti, tangan kami tak lagi mampu menjangkaunya. Tapi tentu ini jenis kekhawatiran yang naif. Allah tentu yang paling berhak dan paling mampu menjaganya. Allah Yang Maha Tahu tentu memiliki maksud tersembunyi dari semua ini. Tak ada karyaNya yang sia-sia, demikian Dia berfirman dalam kita suciNya.

Lagi pula, dengan segala kekurangan dan keterbatasan fisik mereka, apa pula hakku untuk merasa lebih baik dibanding mereka. Boleh jadi di mata Allah, mereka adalah makhluk-makhluk yang lebih mulia, mutiara-mutiara kehidupan yang mengajarkan ketabahan dan ke-qonaah-an.

Mereka mungkin lebih cemerlang di mata Allah, dibandingkan bapak-bapak terhormat para pejabat, yang ke mana-mana berseliweran dengan mobil mewah. Yang tetap nyaman berbelanja di super mall, sementara rakyat yang memilih mereka digusur di mana-mana.

Di sini, saat ini, saat menulis cerita ini, aku harus belajar merundukkan hati, menepis kesombongan diri.

sabruljamil.multiply.com

Cahaya Subuh


Suara adzan subuh menggema keseluruh penjuru alam, seruannya terbawa hembusan angin pagi untuk mengetuk pintu-pintu setiap hamba agar memulai pagi ini dengan bersujud kepada-Nya. Tiada yang lebih menyenangkan selain dapat mengawali hari dengan shalat subuh berjama’ah.
Sungguh besar manfaat yang bisa diperoleh dari shalat subuh berjama’ah. Dalam suatu hadits yang shahih Rasulullah pernah bersabda, ”Barangsiapa yang shalat subuh berjama’ah maka ia bagaikan shalat sepanjang malam, ” itu dari segi pahala. Untuk kesehatan, kita bisa menghirup udara yang benar-benar bersih yang sangat sulit didapat di wilayah jabotabek, lumayan untuk membersihkan paru-paru.
Seperti biasa aku sudah bersiap-siap mendatangi panggilan menuju kemenangan itu. Sungguh syukur aku panjatkan kepada-Nya atas anugerah hidayah ini, hidayah berupa kesempatan untuk dapat menjawab segala seruan-Mu. Kebiasaan shalat shubuh berjama’ah mampu aku pertahankan sampai sekarang, sungguh karunia yang patut disyukuri. Bukan hal yang mudah, tapi tidak juga dianggap sulit membiasakan bangun pada waktu subuh, hanya diperlukan komitmen yang kuat dan sedikit usaha maka kebiasaan itu akan terbangun. Yang sulit adalah membangun komitmennya ini, butuh perjuangan.
Kakiku melangkah menuju masjid yang tidak jauh dari rumahku, hanya beda satu blok saja. Lagi-lagi aku beruntung rumahku tidak jauh dari masjid, dan memang sudah menjadi impianku untuk bisa tinggal di sebuah rumah yang letaknya harus berdekatan dengan masjid, dan Allah mengabulkan mimpi itu.
Derap langkah kakiku terus menyusuri jalan yang penuh dengan hamparan rahmat, setiap aku langkahkan kaki kananku maka diangkatlah aku satu derajat. Ketika kaki kiriku bergantian melangkah, terhapuslah satu dosaku. Suara binatang malam yang sayup-sayup terdengar menjadi saksi atas setiap langkahku di akhirat kelak, semoga.
Semakin dekat aku dengan tempat yang paling mulia di muka bumi ini. Mulai terlihat semakin jelas plang nama masjid yang baru saja dibuat. Masjid Al-Kautsar, ya itulah nama masjidnya. Bangunan yang baru 80% jadi sehingga di beberapa tempat masih telihat pekerjaan bangunan masjid yang belum selesai. Masjid ini sudah berjalan tiga tahun pembangunannya, meskipun tersendat-sendat kami bersyukur proses pembangunannya sudah hampir selesai.
Ba’da shakat sunnah, iqamat pun dikumdangkan tanda shalat subuh akan segera dimulai. Dua shaf terbentuk, membentuk garis lurus selurus qalbu-qalbu mereka. Suara takbir menggema tanda imam sudah memulai shalat subuh dan mutiara-mutiara rahmat pun mulai bercucuran membasahi jiwa-jiwa pencari Tuhan. Terlihat memang hanya dua shaft, namun seandainya mata lahir ini mampu melihat akan terlihat barisan para malaikat pada shaf ketiga hingga shaf terakhir masjid, yang ikut serta mengamini setiap lafadz-lafadz doa yang terucap.
Subuh ini yang menjadi imam adalah Pak Kholis, pria yang berumur empat puluh tahunan itu memang kerap menjadi imam dalam setiap shalat wajib. Hal itu dikarenakan hafalan qurannya yang paling banyak, kalau aku perhatikan juz 28 – juz 30 sudah ada diluar kepalanya. Pak Kholis yang janggutnya tidak kalah panjang dengan janggut yang dimiliki Pak Pur ini terkenal dengan As Sudaisnya Al-Kautsar.
As Sudais adalah nama imam Masjidil Haram di Mekah, yang qira’ahnya terkenal paling merdu seantero jagad dan banyak para imam yang menirukan logat qira’ahnya. Bagi mereka yang pernah naik haji tentu pernah merasakan bermakmum di belakang imam As Sudais dan mersakan betapa merdu dan indahnya setiap ayat yang dikumandangkannya, menyentuh dan masuk hingga ke relung-relung hati bahkan bisa melahirkan butiran air mata.
Dalam mengimami shalat subuh, Pak Kholis senang sekali membacakan surat Ash Shaff, surat ke-61 pada juz 28. Surat ini memang memiliki makna yang cukup dalam, didalamnya begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik. Sang imam sering kali mengulangi bacaannya apabila telah mencapai ayat kesepuluh, yang berbunyi, ” Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” Sungguh ayat yang mampu menggetarkan setiap insan yang mendengarnya, yang dapat menimbulkan sejuta tanya pada diri akan perniagaan apakah yang saat ini kita lakukan. Beberepa makmum mulai terdengar suara isak begitu ayat ini diulang dua kali. Suasana pun hening penuh khusyuk di bawah guyuran kalam Ilahi.
Sekitar delapan menit shalat subuh pun selesai dilaksanakan, cukup sebentar. Delapan menit yang tidak mampu dilewati oleh jutaan muslim yang asyik terlelap berselimutkan kulit nafsu yang setan kenakan disekujur tubuhnya. Diri mereka terlalu lelah setelah tiga jam menemani Piala Champion yang sudah mulai bergulir dan ditayangkan oleh salah satu televisi swasta nasional. Yang lebih aneh lagi para petugas ronda yang mendapat giliran mengamankan lingkungan semalam suntuk, namun begitu masuk waktu subuh mereka membubarkan diri tanpa menyahut sedikitpun seruan adzan yang dikumandangkan. Mereka memang berjasa mengamankan lingkungan, namun bagaimana dengan keamanan mereka di akhirat kelak.
Cahaya terpancar dari rumah Allah yang mulia itu. Pancaran cahaya yang berasal dari kekhusyuan yang tercipta dari para pencari Tuhan. Pancaran cahayanya mengalahkan gemerlap kelap-kelip bintang yang masih sangat jelas terlihat di cakrawala yang membentang. “Ya Rabb terimalah sujud kami di pagi ini, jadikanlah pembuka pintu rahmat-Mu dan berilah kami kekuatan untuk melakukan yang terbaik pada hari ini.”
Tambun, 7 Februari 2008
www.galih0302.multiply.com

Dalam rinai turunnya Hujan


Hujan masih belum berhenti, titik-titik air kini menjelma seakan butiran-butiran kristal yang menghiasi hamparan dunia. Ia kembali datang setelah hampir beberapa pekan lamanya ia tak kunjung tiba. Matahari pagi entah di mana kini ia bersembunyi, sejak shubuh tadi memang ibu kota diselimuti oleh dinginnya suasana. Embun yang biasanya tersipu dan dengan cepat berlalu, berganti karena hangatnya suasana, kini bertengger kokoh di kedinginan cakrawala.
Dari balik jendela, aku melepaskan pandang jauh ke arah sana, arah di mana sebuah tanah lapang terhampar di ujung sana. Beberapa anak kecil masih dengan asyiknya berlari, dan mengejar sebuah bola putih yang kini telah bercampur dengan coklatnya tanah lapang.
Sesekali masih terdengar olehku, sorak sorai mereka ketika berhasil memasukkan bola tersebut ke gawang lapang. Mereka tersenyum, dan akupun tersenyum.
Tanah-tanah itu kini berganti basah, setelah dengan rengkuhnya meneguk tetes-tetes air hujan. Bagaikan iringan -iringan kafilah yang kehausan di tengah padang sahara, kemudian menemukan sebuah mata air yang memancar dan kemudian mempersembahkan kesegaran bagi jiwa-jiwa yang dahaga.
Ingatanku memutar ulang pada masa itu, masa di mana aku berada di antara mereka yang juga sedang berada dalam dahaga serta kehausan dalam menantikan kesejukan iman. Saat itu, ta'lim-ta'lim di pelbagai majelis menjadi bagian dari untaian agenda mingguan kami.
Masih terdengar jelas ditelingaku saat itu, ketika seorang lelaki setengah baya dengan sorban putihnya yang melingkar di atas kepalanya, serta dibalut dengan pakaian serba putih pula membungkus hampir seluruh tubuhnya berujar pada kami.
"Lihatlah tanah itu, begitu kering dan kerontang, menantikan hujan yang entah kapan akan datang. Mereka bagaikan jiwa-jiwa muda dari hamparan ummat ini, yang kini bertebar diseluruh jagat raya, menantikan guyuran-guyuran serta beningnya cahaya Islam, yang akan menjadikan mereka kembali merasakan kesejukan iman", ucapnya saat itu.
Sejenak ia menarik nafas panjang. Sementara kami hanya terdiam saat itu.
"Ketika nanti hujan itu telah tiba, dengan segera tanah-tanah itu mereguknya dalam suka cita, lalu... sesaat kemudian tanah itu menjadi kembali sejuk dan daripadanya tumbuh subur berbagai macam karunia Alloh. Begitulah kiranya pula ummat yang mau menerima apa yang disampaikan Alloh dalam wahyu-wahyu-Nya melalui para rasul-Nya."
"Namun, coba antum lihat kesebelah sana, di mana hamparan tembok kini telah menutupi sebagian tanah lapang disebelah sana", katanya sambil menunjuk jauh arah sebelah kiri tempat kami sekarang berada.
"Andaikan hujan datang, dan membasahinya, maka dengan angkuhnya tembok-tembok itu menepis keberadaanya, membiarkan tetes-tetes air hujan tersebut pergi dan berlalu dengan hampa. Tak berbekas, dan tak pula sanggup membasahinya hingga memberikan kesejukan daripadanya. Apalagi sampai membuatnya subur dan tumbuh bermacam karunia Alloh padanya", lanjutnya panjang lebar.
Kami hanya tertunduk malu saat itu, meresapi satu persatu untai kata-nya yang seakan menyadarkan kami atas segala kealfaan diri selama ini. Begitu sering kami melalaikan segala peringatan dar-Nya, yang ia sampaikan dalam lembaran surat-surat cintanya, yang Ia tuangkan dalam mushaf suci-Nya. Kami kadang justru merasa lebih asyik dengan karya-karya sastra para pujangga, yang padahal tak sedikitpun mereka memiliki satu kuasa jika Alloh tak berikan satu bekal dan karunia ilmu kepadanya.
Kadang kemodernan zaman memang begitu tamaknya membentengi diri-diri ini, lalu merengkuh dan menambah keangkuhan daripada diri kita, menganggap kita telah meraih segalanya. Seperti halnya lapisan tembok yang kini melapisi sebagian tanah lapang itu. Indah, namun ternyata begitu sombongnya menerima untaian kuasa-Nya, seperti pula seorang diri yang begitu sulit untuk meyakini tanda-tanda kebesaran Illahi. Padahal, di balik benteng-benteng kemodernan zaman tersebut, jiwa-jiwa kita yang hampa serta gersang masih menantikan guyuran-guyuran kesejukan Islam, yang dapat mengembalikan jiwa-jiwa kita menjadi bagian dari jiwa-jiwa para hamba yang muthmainnah. Hamba-hamba yang Alloh persilakan untuk nanti bersama dengan mereka para ahli ibadah kepada-Nya, hamba-hamba yang Alloh persilakan untuk jika kembali hanya kepada pangkuan-Nya, serta hamba-hamba yang Alloh persilakan untuk dapat menikmati keindahan dalam surga-Nya.
Wallahu'alam bish-shawab.
Oleh Dikdik Andhika Ramdhan

Jangan Meminta-Minta

Oleh Sigit Indriyono

Jam tanganku menunjukkan tepat jam 13.00. Suasana di dalam Masjid Nabawi agak lengang. Usai sholat Dhuhur, sebagian jama’ah telah meninggalkan masjid untuk makan siang. Yang masih bertahan di dalam masjid melanjutkan dengan berbagai aktivitas. Melakukan wirid dengan tasbih di tangan, tilawah Al-Qur’an atau menuju makam Rasulullah SAW dan Raudah.

Waktu antara Dhuhur dan Asar biasanya kumanfaatkan untuk tilawah Al-Qur’an. Jika tidak, aku mengikuti antrian ke Raudah. Salah satu tempat yang utama untuk berdo’a. Al-Qur’an ukuran saku selalu berada dalam tas warna hijau yang selalu kuselempangkan di bahu. Tas serbaguna yang juga berisi buku-buku do’a dan buku panduan haji, umrah dan ziarah. Buku-buku berukuran saku tersebut diterbitkan oleh Kementrian Agama Saudi Arabia, namun berbahasa Indonesia. Dibagikan secara gratis oleh petugas di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Aku duduk dekat tiang masjid. Cukup sejuk, karena dari celah-celah lubang yang terdapat di bagian bawah tiang masjid keluar udara yang berasal dari alat penyejuk udara. Sebelum berangkat ke masjid, aku sempat makan siang dulu. Selama di Madinah, jama’ah haji Indonesia mendapat pembagian jatah makan dua kali, yaitu makan siang dan malam.

Saat aku sedang akan membuka Al-Qur’an, tiba-tiba datang seorang pemuda menghampiriku. Masih muda, sekitar 25 tahun umurnya dan penampilannya cukup rapi. Dari wajahnya kuperkirakan berasal dari negara Asia Selatan. ” Assalamu ‘alaikum, ” sapanya sambil menjabat tanganku. ” Wa ‘alaikum salam, ” kujawab salamnya.

Kemudian dia menyerahkan secarik kertas kecil ber-laminating. Kubaca isinya: “ Saya orang miskin. Mohon kerelaan sedekah untuk saya.” Ternyata orang ini tahu kalau aku adalah orang Indonesia. Mungkin dia memperhatikan tas selempang warna hijau yang bertulisan ‘Indonesia’. Tas pembagian yang selalu kupakai ke mana-mana selama berada di Saudi Arabia.

Tanpa berpikir panjang, kuambil satu lembar uang 10 riyal dari dompet. Kuserahkan kepada orang itu. Setelah mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan: “ Syukron....” orang itu segera berlalu menjauh ke tempat lain. Kurelakan sedekah kepadanya.

Aku teringat pada seorang warga negara Bangladesh. Dia bekerja sebagai petugas cleaning service di pemondokan haji yang kutempati di Madinah. Orangnya rajin dan sangat cekatan. Saat di Makkah, aku juga sempat berbincang dengan seorang pemuda berasal dari Sukabumi. Sudah hampir setahun tinggal di Saudi Arabia. Umurnya 24 tahun. Bekerja sebagai cleaning service di Abraj Al-Bait Shopping Center yang berlokasi di depan Masjidil Haram. Mereka mau bekerja dan tidak mau meminta-minta kepada orang lain. Berbeda dengan orang yang meminta sedekah kepadaku di dalam Masjid Nabawi.

Profesi apapun yang mendatangkan rezeki halal adalah mulia. Umat Islam dianjurkan untuk bekerja, dan bukan meminta-minta. Rasulullah SAW adalah seorang pedagang. Rasulullah SAW sangat menekankan keutamaan bekerja, seperti tersirat dalam sabda beliau: ''Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Dan barangsiapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla.'' (HR Ahmad).

Dalam realitas saat ini, banyak orang yang enggan bekerja pada tempat yang menurutnya kurang pas buat dirinya, karena itu mereka lebih memilih menganggur. Akhirnya menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Bagi orang-orang yang menganggur, berkhayal dan berangan-angan merupakan kesibukan sehari-hari. Ngobrol ke sana-sini yang tidak bermanfaat banyak dilakukan oleh mereka. Tak jarang mereka terjerumus dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.

Bekerja atau bahkan menciptakan lapangan kerja, jika dilakukan dengan ikhlas mencari ridho Allah SWT akan bernilai ibadah. Namun perlu diingat, orang yang bekerja dalam kondisi sesibuk apapun tidak boleh melalaikan perintah-perintah-Nya. ” laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayarkan zakat”. (QS An Nuur [24]: 37).


Rabu, 06/02/2008 09:52 WIB

Nasib Uang Receh

Nasib Uang Receh

6 Peb 08 09:52 WIB

Kirim teman

Oleh Abumiftah

Meski harus memilih membiarkannya tergeletak di sembarang tempat. Uang receh selalu bernasib kurang beruntung. Ia selalu dibiarkan berada disetiap sudut ruang bahkan sepanjang jalan protokol, dibiarkan terlindas kendaraan penguna jalan. Lucunya di sejumlah swalayan, uang receh menjadi alternatif uang kembalian. Jika tidak ada uang receh, kasir memberikan kepada costumer dengan sejumlah permen. Itupun terkadang sudah tak layak untuk di konsumsi. Ironis memang, tapi itulah uang receh.

Tapi lain hal dengan masyarakat kecil yang biasa berjuang hidup dipinggiran kota. Uang receh ternyata sangat bermanfaat. Terlebih ketika ia menjajakan diri (pengemis) di sepanjang jalan Ibu kota. Dan bagi ’si pak ogah’ atau jasa parkir, uang receh selalu ditunggu di setiap sudut gang.

Sekilas ketika bicara uang receh, seperti mengungkapkan makna kosong tanpa isi. Padahal jika kita menyisihkan waktu sejenak untuk mendengar atau merenung. Kenapa manusia menciptakan uang tersebut? Tanpa uang receh, uang senilai miliaran rupiah mungkin tak akan pernah ada di permukaan.

Paradigma berfikir tentang uang receh sudah seharusnya diubah. Uang receh kini bukan lagi menjadi aikon uang sisa yang tercecer tapi uang yang sangat bermanfaat. Dengan meletakkan atau memasukan uang receh dalam tempat khusus (celengan) pastinya banyak manfaatnya. Pekerjaan ini memang pekerjaan kecil. Tapi sulit untuk memulainya.

Kita termasuk enggan belajar dari metologi si miskin. Mereka lebih percaya, memasukan uang receh pada celengan berbentuk bambu atau terbuat tanah liat. Sedikit demi sedikit akan bermanfaat nantinya. Memang kita termasuk orang yang tidak bisa menabung di celengan, juga malas (gengsi) menggunakan uang receh.

Kita dapat memulai hari ini. Dengan memasukan uang receh ke dalam celengan pastinya akan bermanfaat. Kita tak usah ragu lagi, uang receh yang terkumpul akan dimanfaatkan oleh teman-teman kita yang membutuhkan. Sejenak kita tinggalkan kesenangan dunia. Beri harapan si miskin, walau hanya sisa uang belanja atau ongkos. Semoga Allah SWT akan melipatgandakan pahala kita. Amin