oleh Jojo Wahyudi
Sabtu siang, aku terpaksa berangkat ke kantor. Pekerjaan menumpuk menunggu untuk segera diselesaikan. Anak sulungku Zalfa yang duduk di bangku kelas dua SD, sudah sejak pukul 9.00 tiba di rumah karena mendapat giliran masuk pagi di sekolah. Dia merengek untuk ikut menemaniku ke kantor.
Wajarlah pikirku, karena aku jarang sekali mengajak anak-anakku pergi ke luar rumah pada saat hari libur. Sebenarnya aku lebih senang bercengkerama dengan mereka di rumah. Nonton berita ataupun film kartun di TV, walaupun sebenarnya kurang baik bagi anak-anak bila sering menyaksikan aksi kekerasan atau kekonyolan film-film kartun yang kadang sulit diterima akal sehat namun sanggup menghanyutkan kami ber-jam-jam dalam pengaruh “magis”nya yang luar biasa.
Kami berangkat menggunakan KRL dari Bojong Gede menuju Cikini. Begitu padatnya kereta, sehingga aku terpaksa berdiri, Alhamdulillah anakku masih bisa duduk dalam pangkuan seorang ibu yang berbaik hati.
Kepadatan semakin jadi dengan bersliwerannya para pedagang asongan, pengamen, penyapu kereta dan para pengemis. Sebagai pengguna setia KRL, sebenarnya aku sangat terganggu dengan kehadiran mereka, walaupun kadang bisa memanfaatkan kehadiran pedagang asongan untuk membeli buah-buahan murah ataupun produk import murah dari China yang banyak diperdagangkan di moda transportasi rakyat tersebut.
Pukul 12.30 kereta tiba di stasiun Cikini, kami langsung menuju Musholla untuk menunaikan sholat Dzuhur. Segera setelah selesai kukebut pekerjaan agar bisa rampung sebelum sore hari. Kubiarkan Zalfa menulis dalam “binder” princessnya, entah apa yang dia tulis. Sekali-sekali anak sulungku itu melihat-lihat pemandangan di luar jendela ruanganku yang berada di lantai delapan.
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16.20, bergegas kumatikan komputer dan kuajak anakku untuk bersiap-siap pulang, berharap agar dapat mengejar KRL AC tujuan Bojong Gede yang tidak berhenti di stasiun Cikini. Kami harus menumpang KRL ekonomi tujuan Jakarta Kota dahulu untuk dapat menaiki KRL AC yang memang hanya menaikan penumpang di stasiun Kota, Juanda, Gambir dan Gondangdia.
Setelah lima menit menunggu, datanglah KRL ekonomi menuju Jakarta Kota, kuraih tangan anakku dan segera masuk ke dalam rangkain gerbong kumuh yang tidak terlalu penuh dengan penumpang. Kami langsung duduk di bangku kayu panjang layaknya bangku “warteg” di bawah stasiun Cikini.
KRL merayap perlahan, mungkin menunggu antrian kereta diesel yang memang padat memasuki stasiun Gambir di sore hari.
Seperti biasa para pedagang, pengamen dan pegemis berebut mencari rupiah. Dalam keadaan padat saja mereka nekad masuk, apalagi KRL dalam kondisi tidak “full contact body”, mereka leluasa menjalankan aktifitasnya masing-masing, dari penjual tissue dan cotton bud sampai penjaja suara yang tak jarang tuna netra.
Pikiranku masih melayang dan mengendap di meja kantor, memikirkan kerjaan yang masih jauh dari rampung. Sekelebat kulihat penjual “gulali” lewat di depan kami, kulirik wajah Zalfa, matanya tertuju pada makanan kesukaan anak-anak yang menjadi musuh para ibu itu. Dia melihat hanya sekejap lalu matanya beralih ke pedagang buku mewarnai. Biarlah ujarku dalam hati, toh anak-anakku tak kurang kubelikan buku, majalah bahkan mainan anak-anak yang rata-rata kubeli dengan harga miring di dalam KRL. Tak lama pedagang buku mewarnai lewat, di belakangnya muncul penjual jeruk “lokam” yang katanya dari China. Cukup murah, seribu rupiah sebuah. Kutawari anakku, dia menggeleng. Aku tetap merogoh saku celana, selembar ribuan cukup sebagai pengganti ketergiuranku pada kuningnya jeruk tersebut. Segera kukupas kulitnya untuk menikmati kesegarannya. Kulit yang kubuang langsung di sambut sapu lidi penyapu kereta yang menggusur sampah dari ujung ke ujung gerbong, berharap ada yang memberinya recehan. Bajunya lusuh, begitu juga balita yang di gendongnya. Perhatianku beralih ke penjual koran dan memanggilnya, lumayan sebagai bacaan nanti di atas KRL AC yang tidak bisa dimasuki para pedagang asongan tersebut.
Saat kumasukan koran ke dalam ransel, sekelebat kulihat mata anakku memerah. Cukup terkejut aku melihatnya.
“Lho kenapa mata kakak?” tanyaku heran, karena sebelumnya tidak apa-apa.
Zalfa diam tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Aku tahu kebiasaan anakku, bila ditanya tak langsung menjawab, berarti ada yang tidak berkenan di hatinya.
“ Kakak haus?” dia tetap diam hanya menggeleng.
“ Mau beli permen?” saat itu pedagang permen lewat di depan kami, dia hanya menggeleng. Aku jadi penasaran.
“ Kakak ingin gulali yang tadi?” aku jadi ingat ketika penjual gulali lewat, dia tidak kutawarkan.
Aku semakin penasaran, karena kembali dia menggelengkan kepalanya, bahkan kali ini memalingkan mukanya ke kanan, menutupi sesuatu.
Kutengok kembali wajahnya, aku semakin heran, air mata sudah mengalir deras di pipi merahnya.
“ Lho kenapa kakak menangis? Kalau memang ingin gulali, nanti kalau lewat lagi kita beli ya.” ujarku berusaha menghibur seraya menghapus air matanya, karena anak sulungku itu memang tak berani membantah keputusanku yang sering mengatakan kalau gulali itu tidak baik untuk kesehatan giginya. Aku berpikir, walau suka tetapi dia tidak berani memintanya, karena itu sudah menjadi kesepakatan kami di rumah.
Zalfa tetap terdiam, sampai kami turun di stasiun Gondangdia. Setelah tiket KRL AC tujuan Bojong Gede kubeli, kami menuju peron tujuan Bogor. Kulihat wajah anakku masih muram walau air mata sudah kering dari pipinya.
Memang sangat berbeda menaiki KRL sumpek dan kumuh dengan KRL berpendingin udara. Harga tiketnya pun berbeda jauh, dua ribu rupiah berbanding sebelas ribu rupiah. Kami langsung memilih tempat untuk duduk yang memang lengang dari penumpang. Setelah kuletakan ransel di tempatnya, aku berusaha mendekati anakku yang sudah sedikit tenang, dengan melontarkan pertanyaan yang sama “Kenapa kakak menangis?”
Wajah lugunya kali ini memandangku dengan sorotan mata yang sulit aku duga.
“ Ayah tadi lihat ibu yang menggendong dede kecil?” dia balik bertanya padaku.
“ Ibu yang menggendong dede kecil?” aku berusaha mengingat-ingat.
“ Iya Yah, yang bajunya kotor dan menyapu kereta sambil menggendong dede kecil ”, dia mulai mau bicara rupanya
“...mmm yang di atas KRL penuh sesak itu maksud kakak?” dia menganggukan kepalanya, lalu aku melanjutkan dengan pertanyaan “Memang kenapa dengan Ibu itu kak?” aku tidak tahu terjadi apa antara anakku dengan penyapu kereta itu.
“ Kakak jadi ingat Ibu dan dede Zaidan di rumah” katanya lirih penuh perasaan. “ Kasihan sekali ya Yah, mereka berdesak-desakan sambil menyapu kereta yang kotor itu”.
“ Memang apa yang kakak inginkan?” tanyaku ingin mengetahui pendapat anakku selanjutnya.
“ Seharusnya Ayah memberikan ibu itu uang Yah “ katanya dengan wajah kecewa.
Aku terhenyak kaget mendapati kenyataan anakku bisa demikian terpengaruhnya dengan kejadian yang baru saja dilihatnya. Aku yang sudah terbiasa melihat kejadian seperti itu sudah tak tergerak lagi untuk menekuri perhelatan hidup manusia di Jakarta, yang sangat berat dan penuh perjuangan. Aku sudah terbiasa membaca slogan dan anjuran pemerintah untuk tidak memberikan uang pada pengemis dan membeli pada pedagang asongan. Tidak mendidik kata mereka.
Tapi kali ini aku jadi tersadar, betapa nuraniku sudah demikian mem”batu”nya hingga tak sempat berpikir tentang betapa sulitnya beras murah didapatkan, betapa berat perjuangan kaum tak punya mengantri minyak tanah berkilo-kilo panjangnya. Sementara aku yang mampu membeli gas hanya melihatnya dari layar televisi dan koran-koran.
Aku tidak pernah membayangkan, kenapa seorang anak kelas 6 Sekolah Dasar meninggal gantung diri karena malu belum membayar uang sekolah. Aku cuma bisa menyayangkan sikap pemerintah yang tidak cepat tanggap, tetapi menyetujui anjurannya untuk tidak memberi pada pengemis yang miskin.
Begitu asyiknya aku dengan pergulatan mencari materi, hingga tidak sempat melihat jika tetangga sebelah tersungkur sekarat mati kekurangan gizi.
Anak sulungku yang belum genap delapan tahun, telah membukakan mataku, bila ternyata hati orang tuanya sudah tidak sebening pualam. Kepedulian telah tertutup oleh ketamakan. Emphati telah lama terkubur egoisme pribadi, hingga tak tergerak hati melihat kesengsaraan di depan mata telanjang.
“ Maafkan Ayahmu Kak, yang tak lagi mempunyai hati yang bening “ kataku hanya dalam hati.
(dalam KRL antara Cikini - Bojong Gede)
Jojo_wahyudi@manulife.com