Beningnya Hati

oleh Jojo Wahyudi

Sabtu siang, aku terpaksa berangkat ke kantor. Pekerjaan menumpuk menunggu untuk segera diselesaikan. Anak sulungku Zalfa yang duduk di bangku kelas dua SD, sudah sejak pukul 9.00 tiba di rumah karena mendapat giliran masuk pagi di sekolah. Dia merengek untuk ikut menemaniku ke kantor.

Wajarlah pikirku, karena aku jarang sekali mengajak anak-anakku pergi ke luar rumah pada saat hari libur. Sebenarnya aku lebih senang bercengkerama dengan mereka di rumah. Nonton berita ataupun film kartun di TV, walaupun sebenarnya kurang baik bagi anak-anak bila sering menyaksikan aksi kekerasan atau kekonyolan film-film kartun yang kadang sulit diterima akal sehat namun sanggup menghanyutkan kami ber-jam-jam dalam pengaruh “magis”nya yang luar biasa.

Kami berangkat menggunakan KRL dari Bojong Gede menuju Cikini. Begitu padatnya kereta, sehingga aku terpaksa berdiri, Alhamdulillah anakku masih bisa duduk dalam pangkuan seorang ibu yang berbaik hati.

Kepadatan semakin jadi dengan bersliwerannya para pedagang asongan, pengamen, penyapu kereta dan para pengemis. Sebagai pengguna setia KRL, sebenarnya aku sangat terganggu dengan kehadiran mereka, walaupun kadang bisa memanfaatkan kehadiran pedagang asongan untuk membeli buah-buahan murah ataupun produk import murah dari China yang banyak diperdagangkan di moda transportasi rakyat tersebut.

Pukul 12.30 kereta tiba di stasiun Cikini, kami langsung menuju Musholla untuk menunaikan sholat Dzuhur. Segera setelah selesai kukebut pekerjaan agar bisa rampung sebelum sore hari. Kubiarkan Zalfa menulis dalam “binder” princessnya, entah apa yang dia tulis. Sekali-sekali anak sulungku itu melihat-lihat pemandangan di luar jendela ruanganku yang berada di lantai delapan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16.20, bergegas kumatikan komputer dan kuajak anakku untuk bersiap-siap pulang, berharap agar dapat mengejar KRL AC tujuan Bojong Gede yang tidak berhenti di stasiun Cikini. Kami harus menumpang KRL ekonomi tujuan Jakarta Kota dahulu untuk dapat menaiki KRL AC yang memang hanya menaikan penumpang di stasiun Kota, Juanda, Gambir dan Gondangdia.

Setelah lima menit menunggu, datanglah KRL ekonomi menuju Jakarta Kota, kuraih tangan anakku dan segera masuk ke dalam rangkain gerbong kumuh yang tidak terlalu penuh dengan penumpang. Kami langsung duduk di bangku kayu panjang layaknya bangku “warteg” di bawah stasiun Cikini.

KRL merayap perlahan, mungkin menunggu antrian kereta diesel yang memang padat memasuki stasiun Gambir di sore hari.

Seperti biasa para pedagang, pengamen dan pegemis berebut mencari rupiah. Dalam keadaan padat saja mereka nekad masuk, apalagi KRL dalam kondisi tidak “full contact body”, mereka leluasa menjalankan aktifitasnya masing-masing, dari penjual tissue dan cotton bud sampai penjaja suara yang tak jarang tuna netra.

Pikiranku masih melayang dan mengendap di meja kantor, memikirkan kerjaan yang masih jauh dari rampung. Sekelebat kulihat penjual “gulali” lewat di depan kami, kulirik wajah Zalfa, matanya tertuju pada makanan kesukaan anak-anak yang menjadi musuh para ibu itu. Dia melihat hanya sekejap lalu matanya beralih ke pedagang buku mewarnai. Biarlah ujarku dalam hati, toh anak-anakku tak kurang kubelikan buku, majalah bahkan mainan anak-anak yang rata-rata kubeli dengan harga miring di dalam KRL. Tak lama pedagang buku mewarnai lewat, di belakangnya muncul penjual jeruk “lokam” yang katanya dari China. Cukup murah, seribu rupiah sebuah. Kutawari anakku, dia menggeleng. Aku tetap merogoh saku celana, selembar ribuan cukup sebagai pengganti ketergiuranku pada kuningnya jeruk tersebut. Segera kukupas kulitnya untuk menikmati kesegarannya. Kulit yang kubuang langsung di sambut sapu lidi penyapu kereta yang menggusur sampah dari ujung ke ujung gerbong, berharap ada yang memberinya recehan. Bajunya lusuh, begitu juga balita yang di gendongnya. Perhatianku beralih ke penjual koran dan memanggilnya, lumayan sebagai bacaan nanti di atas KRL AC yang tidak bisa dimasuki para pedagang asongan tersebut.

Saat kumasukan koran ke dalam ransel, sekelebat kulihat mata anakku memerah. Cukup terkejut aku melihatnya.

“Lho kenapa mata kakak?” tanyaku heran, karena sebelumnya tidak apa-apa.

Zalfa diam tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Aku tahu kebiasaan anakku, bila ditanya tak langsung menjawab, berarti ada yang tidak berkenan di hatinya.

“ Kakak haus?” dia tetap diam hanya menggeleng.

“ Mau beli permen?” saat itu pedagang permen lewat di depan kami, dia hanya menggeleng. Aku jadi penasaran.

“ Kakak ingin gulali yang tadi?” aku jadi ingat ketika penjual gulali lewat, dia tidak kutawarkan.

Aku semakin penasaran, karena kembali dia menggelengkan kepalanya, bahkan kali ini memalingkan mukanya ke kanan, menutupi sesuatu.

Kutengok kembali wajahnya, aku semakin heran, air mata sudah mengalir deras di pipi merahnya.

“ Lho kenapa kakak menangis? Kalau memang ingin gulali, nanti kalau lewat lagi kita beli ya.” ujarku berusaha menghibur seraya menghapus air matanya, karena anak sulungku itu memang tak berani membantah keputusanku yang sering mengatakan kalau gulali itu tidak baik untuk kesehatan giginya. Aku berpikir, walau suka tetapi dia tidak berani memintanya, karena itu sudah menjadi kesepakatan kami di rumah.

Zalfa tetap terdiam, sampai kami turun di stasiun Gondangdia. Setelah tiket KRL AC tujuan Bojong Gede kubeli, kami menuju peron tujuan Bogor. Kulihat wajah anakku masih muram walau air mata sudah kering dari pipinya.

Memang sangat berbeda menaiki KRL sumpek dan kumuh dengan KRL berpendingin udara. Harga tiketnya pun berbeda jauh, dua ribu rupiah berbanding sebelas ribu rupiah. Kami langsung memilih tempat untuk duduk yang memang lengang dari penumpang. Setelah kuletakan ransel di tempatnya, aku berusaha mendekati anakku yang sudah sedikit tenang, dengan melontarkan pertanyaan yang sama “Kenapa kakak menangis?”

Wajah lugunya kali ini memandangku dengan sorotan mata yang sulit aku duga.

“ Ayah tadi lihat ibu yang menggendong dede kecil?” dia balik bertanya padaku.

“ Ibu yang menggendong dede kecil?” aku berusaha mengingat-ingat.

“ Iya Yah, yang bajunya kotor dan menyapu kereta sambil menggendong dede kecil ”, dia mulai mau bicara rupanya

“...mmm yang di atas KRL penuh sesak itu maksud kakak?” dia menganggukan kepalanya, lalu aku melanjutkan dengan pertanyaan “Memang kenapa dengan Ibu itu kak?” aku tidak tahu terjadi apa antara anakku dengan penyapu kereta itu.

“ Kakak jadi ingat Ibu dan dede Zaidan di rumah” katanya lirih penuh perasaan. “ Kasihan sekali ya Yah, mereka berdesak-desakan sambil menyapu kereta yang kotor itu”.

“ Memang apa yang kakak inginkan?” tanyaku ingin mengetahui pendapat anakku selanjutnya.

“ Seharusnya Ayah memberikan ibu itu uang Yah “ katanya dengan wajah kecewa.

Aku terhenyak kaget mendapati kenyataan anakku bisa demikian terpengaruhnya dengan kejadian yang baru saja dilihatnya. Aku yang sudah terbiasa melihat kejadian seperti itu sudah tak tergerak lagi untuk menekuri perhelatan hidup manusia di Jakarta, yang sangat berat dan penuh perjuangan. Aku sudah terbiasa membaca slogan dan anjuran pemerintah untuk tidak memberikan uang pada pengemis dan membeli pada pedagang asongan. Tidak mendidik kata mereka.

Tapi kali ini aku jadi tersadar, betapa nuraniku sudah demikian mem”batu”nya hingga tak sempat berpikir tentang betapa sulitnya beras murah didapatkan, betapa berat perjuangan kaum tak punya mengantri minyak tanah berkilo-kilo panjangnya. Sementara aku yang mampu membeli gas hanya melihatnya dari layar televisi dan koran-koran.

Aku tidak pernah membayangkan, kenapa seorang anak kelas 6 Sekolah Dasar meninggal gantung diri karena malu belum membayar uang sekolah. Aku cuma bisa menyayangkan sikap pemerintah yang tidak cepat tanggap, tetapi menyetujui anjurannya untuk tidak memberi pada pengemis yang miskin.

Begitu asyiknya aku dengan pergulatan mencari materi, hingga tidak sempat melihat jika tetangga sebelah tersungkur sekarat mati kekurangan gizi.

Anak sulungku yang belum genap delapan tahun, telah membukakan mataku, bila ternyata hati orang tuanya sudah tidak sebening pualam. Kepedulian telah tertutup oleh ketamakan. Emphati telah lama terkubur egoisme pribadi, hingga tak tergerak hati melihat kesengsaraan di depan mata telanjang.

“ Maafkan Ayahmu Kak, yang tak lagi mempunyai hati yang bening “ kataku hanya dalam hati.

(dalam KRL antara Cikini - Bojong Gede)

Jojo_wahyudi@manulife.com

Zalimnya Pemerintahan Ini…


Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. “Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?” tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng. “Gak ada minyaknya…”

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. “Saya bingung… saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa… modal gak ada…keterampilan gak punya….” Pak Jumari bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang cekung.

“Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung… mau makan apa kami kelak.., ” ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. “Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini …”

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di leher. “Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja… “ Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut ‘anggaran negara’ digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah!

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan… Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. “Nak, ini nasi bungkus yang engkau minta…” Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup. Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar… Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhir kelak… Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah…

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah…

oleh Rizki Ridyasmara  

Zalimnya Pemerintahan Ini…

oleh Rizki Ridyasmara

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. “Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?” tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng. “Gak ada minyaknya…”

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. “Saya bingung… saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa… modal gak ada…keterampilan gak punya….” Pak Jumari bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang cekung.

“Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung… mau makan apa kami kelak.., ” ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. “Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini …”

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di leher. “Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja… “ Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut ‘anggaran negara’ digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah!

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan… Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. “Nak, ini nasi bungkus yang engkau minta…” Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup. Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar… Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhir kelak… Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah…

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah…


Siapa Berdoa untuk Saya?


Dalam sebuah kajian, seorang ibu bertanya, “Sudah duabelas tahun saya menikah, tapi belum dikaruniai anak. Kalau sampai ajal menjemput nanti saya belum juga mendapatkan anak, siapa yang akan mendoakan saya di kuburan?”

Semua mata tertegun, terharu dan juga sedikit bingung memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Beberapa ibu bahkan menitikkan airmata, bisa dirasakan harapan terdalam dari ibu yang bertanya itu. Sebab bagi siapa pun wanita di muka bumi ini, memiliki buah hati dari rahimnya sendiri adalah mimpi terindah, harapan terbesar dan cita-cita tertinggi di sepanjang perjalanan hidupnya.

Namun pertanyaan itu begitu menghentak, betapa setiap orang beriman akan mendapatkan beragam ujian. Salah satunya berkenaan dengan amanah berupa anak. Bagi yang diberi amanah, tetaplah sebuah ujian agar menjaga amanah tersebut sebaik-baiknya. Ibarat seseorang yang menitipkan suatu barang berharga kepada orang lain yang dipercayainya, ia berharap barang tersebut dijaga, dipelihara sebaik mungkin, hingga pada satu saat barang itu harus dikembalikan, tetap dalam keadaan baik.

Bahkan mungkin ketika barang itu belum waktunya diambil pun, si penitip yang melihat orang yang dipercaya itu mampu menjaga amanah dengan baik, maka ia tak akan sungkan menitipkan barang lainnya. Ada dua motivasi yang muncul ketika titipan kedua diberikan, apakah memang ia telah menjaga dengan baik titipan pertamanya, atau, titipan kedua sebagai ujian agar ia mampu berbuat lebih baik lagi. Begitu pula dengan mereka yang belum diberi kesempatan.

Bukan semata karena ia belum layak mendapat amanah, juga bukan karena mereka yang diberi momongan itu lebih baik kualitas diri dan kehidupannya. Ini semua menjadi rahasia Allah, sedangkan sebagai hamba kita hanya bisa berdoa agar Allah kelak memberikan kesempatan itu meski hanya sekali.

Banyak kita jumpai, sepasang suami isteri yang shalih, taat beribadah, berkecukupan, dengan latar belakang pendidikan yang sangat menunjang, namun belum dikaruniai seorang anak. Berbagai upaya sudah dilakukan, dan tak henti berusaha lantaran tak ada sedikit pun masalah medis dalam diri suami isteri tersebut.

Jika demikian, doa dan terus bersyukur atas segala rezeki yang telah diterimanya bisa membuat Allah tersenyum dan berkenan menambahkan rezeki lainnya. Tentu saja Allah tahu persis apa yang paling diinginkan setiap hamba, meski tak satu pun hamba yang boleh mendikte keinginan Allah. Kembali ke pertanyaan di atas, “siapa yang akan berdoa untuk saya sesudah saya mati?” adalah pertanyaan dari hati terdalam seorang ibu yang memendam kerinduan teramat dalam akan hadirnya si buah hati.

Makna tertinggi dari harapan sepasang manusia, bukan sekadar bisa menimang dan mengaliri kasih sayang melalui peluk kasih dan sentuhan lembut jemari sang ibu.

Tak hanya sebentuk rindu menyanyikan lagu ‘nina bobo’ atau senandung shalawat ketika buah hatinya terlelap dalam belaiannya. Lebih, jelas lebih dari itu. Ia telah menyiapkan segala sesuatunya agar kelak anak-anak yang tumbuh dan keluar dari rahimnya, adalah anak-anak yang memahami betul peran dan multi tanggungjawabnya; kepada Tuhannya, kepada orangtuanya, juga kepada lingkungannya.

Hiburan berupa jawaban, “Meski tidak dikaruniai anak, ibu kan masih punya dua hal lainnya; ilmu yang bermanfaat dan amal shalih” hanya berlaku sesaat. Ketika ia merasa sendiri di rumah, saat suaminya mencari nafkah, suara tangis dan kelakar riang anak-anak akan mengisi hari-hari sepinya. Siapa wanita yang tak menitikkan air mata kala mengetahui segumpal darah berbentuk janin dititipkan di rahimnya? Air matanya sejernih cintanya, bulir airnya menggugurkan kerinduan teramat dalam di sepanjang hidupnya. Saya berdoa untuk semua saudara yang masih menggenggam rindu ini. (Gaw)

Sosok Seorang Ibu

oleh Delina

Pada tanggal dua Maret yang baru lalu, saya menghadiri acara hari ibu yang diselenggarakan oleh sekolah anak saya. Hari ibu berdasarkan kalender sekolah British. Anak saya yang kecil memang akan tampil menyanyi bersama teman-teman satu kelasnya. Pagi hari itu sambil mengantarkan anak-anak saya ke sekolah, saya tidak pulang ke rumah, tetapi langsung menuju ke aula tempat acara hari ibu itu diselenggarakan. Acaranya memang diadakan pada pagi hari. Lamanya sekitar empat puluh menit saja.

Bersama dengan ibu-ibu lain, saya duduk di barisan depan dengan lokasi strategis agar dapat mengambil gambar anak saya dari sudut yang mudah dan jelas. Jam pagi itu sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit.

Tak lama kemudian, tampak anak-anak keluar dari kelas masing-masing menuju ke aula pertunjukan dengan tertib. Terlihat anak saya yang masih usia taman kanak-kanak itu sudah muncul mengenakan kaos merah polos dan celana panjang putih berjalan dengan mantapnya menuju matras tempat duduk yang telah disediakan untuk kelasnya.

Beberapa menit berlalu, acara pun dimulai. Kelasnya tampil kira-kira pada menit ke sepuluh dengan membawakan puisi tentang ibu, kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu anak-anak yang dibawakan dengan gembira.

Ha ha haaa…. hi hi hiii…. no one has a mom like me Ha ha haaa…. hi hi hiii…. she’s my mom.

No one has her fingers No one has her toes No one has her kind of hair and no one has her nose…..

Sebuah lirik lagu yang membuat anak-anak bangga akan sosok ibunya masing-masing.

Saya pun jadi teringat akan sebuah cerita masa kecil. Cerita akan seorang ibu yang memiliki empat orang anak laki-laki usia sekolah. Di mana sang ayah harus melanjutkan program doktornya di luar negeri. Tidak ada pilihan lain selain harus membawa seluruh anggota keluarga pindah ke tempat yang nun jauh di sana karena gelar yang baru bisa dicapai paling tidak lima tahun lamanya. Bagi sebagian orang, kepindahan suatu keluarga ke luar negeri mungkin dianggap sebagai sesuatu yang wah. Tetapi bila tujuannya untuk menuntut ilmu dan harus mengetatkan ikat pinggang karena dana yang terbatas, tentu membuat cerita jadi lain.

Uang beasiswa yang seharusnya hanya untuk biaya hidup satu-dua orang, harus cukup untuk menghidupi enam orang. Enam orang termasuk empat anak yang harus terpenuhi gizinya karena masih dalam masa pertumbuhan. Sementara sang ayah harus berjuang keras berkutat dengan buku-buku perkuliahan yang tentu sangat menyita waktu untuk sekedar bercanda dengan keempat anaknya. Nilai yang jelek jangan sampai menghias transkrip nilai akhir kuliah, kalau tidak mau dihentikan bantuan beasiswanya atau dipulangkan ke tanah air.

Sang ibu pun harus membantu menambah penghasilan keluarga dengan menerima penitipan anak di rumahnya. Rumah yang tidak seberapa luas itu harus disulap menjadi semacam day care center. Tidak peduli rumah menjadi seperti kapal pecah karena penuhnya mainan berserakan, dan bisingnya teriakan anak-anak yang berlari ke sana kemari. Antara pekerjaan dan tugas rumah tangga sehari-hari pun tetap harus berjalan seiring.

Keluhan anak-anaknya yang sedikit terganggu karena ulah anak titipan itu, harus ditelan dengan hati tegar. Hal ini karena keyakinannya bahwa dengan pekerjaan yang dijalani inilah beliau sanggup membantu roda perekonomian keluarga.

Saat sang ibu sakit gigi dan harus beristirahat di kamar pun menjadi terusik karena ulah anak-anak yang "kreatif" bermain drum dengan memukul-mukul kaleng bekas biskuit menggunakan sendok kayu dari dapur. Membuat irama yang tidak bisa diterjemahkan dengan not-not balok. Namun semuanya tidak mengurangi keikhlasannya dalam membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang.

Kalau ada barang salah satu anaknya yang hilang padahal sangat diperlukan, pasti sang ibu akan berusaha mencarinya ke seluruh sudut rumah. Apalagi kalau barang yang hilang itu untuk keperluan sekolah. Tetapi coba kalau yang hilang itu barang milik ibu, paling anak-anak hanya balik bertanya “Lah ibu terakhir taruhnya di mana?” atau membantu menyebut beberapa tempat “ di dalam lemari kamar barangkali” atau “di meja dapur kali”, tanpa beranjak dari tempat duduknya. Atau yang lebih sopan sedikit, ikut berusaha mencari meskipun hanya sekedarnya saja, tidak mencari dengan sungguh-sungguh.

Sampai suatu saat, ada berita bahwa ayah kandungnya meninggal dunia di tanah air. Biaya tiket pulang yang sangat besar tentu menjadi salah satu penghalang untuk dapat hadir di tengah-tengah keluarga menghantarkan ayah kandungnya ke peristirahatan terakhir. Hanya doa yang dipanjatkan sang ibu kepada ayah kandungnyalah yang masih dapat diberikannya. Dan tentu itulah yang lebih penting di sisi Allah SWT daripada sekedar kehadirannya di pemakaman tetapi harus meninggalkan kewajibannya sebagai isteri dan seorang ibu.

Beberapa tahun berlalu sudah. Perjuangannya tidaklah sia-sia. Sang ayah dapat meraih gelar doktor, anak-anaknya pun kini telah menjadi lelaki-lelaki dewasa yang mandiri. Allah SWT telah menghadiahkan kepada sang ibu enam orang cucu yang lucu-lucu dan lincah. Namanya pun sekarang sudah berubah sebutan menjadi eyang (sebutan kata untuk nenek bagi orang Jawa).

Eyang yang selalu tersenyum bahagia menikmati hari tuanya dengan dikelilingi keluarga besar yang sangat menyayanginya. Terimakasih eyang....

***

Untuk ibu mertuaku yang berulang tahun tanggal 23 Maret. Selamat ulang tahun Ma.....

Rabi Al-Awal 1429H


Mencintaimu Karena Allah SWT


Apa yang engkau rasakan di hari ini, suamiku? Masih samakah dengan sembilan tahun yang lalu, ketika pertama kali kita bersanding sebagai raja dan ratu sehari? Seusai ijab qabul yang engkau ucapkan dengan mantab, namun terdengar begitu syahdu di telingaku; sehingga tak kuasa ku menahan uraian air mata…
Tentu bukan kesedihan yang menggelayuti batinku. Air mata syukur karena saat itu, Allah SWT telah menakdirkanmu menjadi pendampingku.

Mulai saat itu, bersama kita mengarungi samudera di dalam bahtera rumah tangga. Banyak kejutan-kejutan, yang berasa pahit dan manis. Karena sebelumnya engkau bukanlah siapa-siapa, namun tiba-tiba menjadi pemandu hidup yang mesti aku patuhi.

Ternyata tak gampang melakukan segala apa yang telah aku ‘azamkan sebelumnya. Siapa yang tak ingin menjadi isteri sholihah. Mampu menerima dengan ikhlas segala kelebihan dan kekurangan suami. Membaktikan diri sepenuh hati kepada suami, untuk meraih ridho Illahi? Tentu setiap wanita mendambakannya. Demikian juga dengan diriku… Namun aku belum yakin benar, apakah gelar mulia itu telah pantas engkau anugerahkan kepadaku.

Tak bisa kupungkiri, betapa masih banyak tingkah kekanakan-ku membuat gundah hatimu. Sering nasihatmu kusambut dengan paras kecut, sedih, bahkan dengan berlari meninggalkanmu. Tapi percayalah.., bukan karena aku tak patuh kepadamu, melainkan karena begitu rapuhnya diriku yang belum siap dengan pola yang engkau terapkan. Engkau dibesarkan dalam keluarga yang begitu lugas dan keras. Jauh berbeda dengan segala didikan yang sebelumnya kualami… Aku yakin, suatu saat aku akan menjadi lebih tegar dan mampu menjadi sosok yang engkau harapkan.

Suamiku…sembilan tahun sudah berlalu. Tiga orang buah hati telah hadir di tengah-tengah kita. Anugerah dari-Nya yang teramat berarti, mengisi lembaran-lembaran kehidupan kita berdua. Mereka begitu indah menorehkan kisah-kisah sedih dan gembira. Ada persaudaraan yang tulus, ada pula pertengkaran-pertengkaran yang menguji kesabaran kita. Menguji keadilan dan kearifan kita sebagai orangtua.

Setelah sekian lama kita bersama, sudahkah kita saling mengenal? Adakah engkau bahagia hidup bersamaku? Setidaknya senantiasa muncul dari lubuk hatiku, untuk lebih dan lebih mengenalmu. Untuk terus dan terus menambah baktiku. Supaya dapat aku menjadi seorang yang engkau terima dengan ikhlas. Supaya dapat kita seiring sejalan menjaga dan mendidik anak-anak kita. Agar kelak, kita dapat mempertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemberi Amanah. Dan…betapa inginnya hatiku, jika aku-lah yang menjadi bidadarimu di negeri abadi… Amin.

Suamiku, dengan tulus kuucapkan…., aku mencintaimu karena Allah SWT di ulang tahun ke sembilan pernikahan kita.



oleh Fivy Miftahiyah

Mencintaimu Karena Allah SWT

oleh Fivy Miftahiyah

Apa yang engkau rasakan di hari ini, suamiku? Masih samakah dengan sembilan tahun yang lalu, ketika pertama kali kita bersanding sebagai raja dan ratu sehari? Seusai ijab qabul yang engkau ucapkan dengan mantab, namun terdengar begitu syahdu di telingaku; sehingga tak kuasa ku menahan uraian air mata…

Tentu bukan kesedihan yang menggelayuti batinku. Air mata syukur karena saat itu, Allah SWT telah menakdirkanmu menjadi pendampingku.

Mulai saat itu, bersama kita mengarungi samudera di dalam bahtera rumah tangga. Banyak kejutan-kejutan, yang berasa pahit dan manis. Karena sebelumnya engkau bukanlah siapa-siapa, namun tiba-tiba menjadi pemandu hidup yang mesti aku patuhi.

Ternyata tak gampang melakukan segala apa yang telah aku ‘azamkan sebelumnya. Siapa yang tak ingin menjadi isteri sholihah. Mampu menerima dengan ikhlas segala kelebihan dan kekurangan suami. Membaktikan diri sepenuh hati kepada suami, untuk meraih ridho Illahi? Tentu setiap wanita mendambakannya. Demikian juga dengan diriku… Namun aku belum yakin benar, apakah gelar mulia itu telah pantas engkau anugerahkan kepadaku.

Tak bisa kupungkiri, betapa masih banyak tingkah kekanakan-ku membuat gundah hatimu. Sering nasihatmu kusambut dengan paras kecut, sedih, bahkan dengan berlari meninggalkanmu. Tapi percayalah.., bukan karena aku tak patuh kepadamu, melainkan karena begitu rapuhnya diriku yang belum siap dengan pola yang engkau terapkan. Engkau dibesarkan dalam keluarga yang begitu lugas dan keras. Jauh berbeda dengan segala didikan yang sebelumnya kualami… Aku yakin, suatu saat aku akan menjadi lebih tegar dan mampu menjadi sosok yang engkau harapkan.

Suamiku…sembilan tahun sudah berlalu. Tiga orang buah hati telah hadir di tengah-tengah kita. Anugerah dari-Nya yang teramat berarti, mengisi lembaran-lembaran kehidupan kita berdua. Mereka begitu indah menorehkan kisah-kisah sedih dan gembira. Ada persaudaraan yang tulus, ada pula pertengkaran-pertengkaran yang menguji kesabaran kita. Menguji keadilan dan kearifan kita sebagai orangtua.

Setelah sekian lama kita bersama, sudahkah kita saling mengenal? Adakah engkau bahagia hidup bersamaku? Setidaknya senantiasa muncul dari lubuk hatiku, untuk lebih dan lebih mengenalmu. Untuk terus dan terus menambah baktiku. Supaya dapat aku menjadi seorang yang engkau terima dengan ikhlas. Supaya dapat kita seiring sejalan menjaga dan mendidik anak-anak kita. Agar kelak, kita dapat mempertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemberi Amanah. Dan…betapa inginnya hatiku, jika aku-lah yang menjadi bidadarimu di negeri abadi… Amin.

Suamiku, dengan tulus kuucapkan…., aku mencintaimu karena Allah SWT di ulang tahun ke sembilan pernikahan kita.


Selalu Ada Harapan untuk Mereka


"Mie rebus-nya dua mas, pake telor", ujar temanku malam itu kepada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan gerobak tuanya.

Kemudian kami duduk sambil menunggu mie selesai direbus. Malam memang sudah agak larut. Tapi tak ada gemerlap bintang malam ini. Langit semakin kelam saja. Sesekali hujan masih mengguyur bergantian dengan mendung, berulang-ulang sejak siang tadi. Dua buah balok kayu disulap menjadi dua buah bangku panjang yang memang tidak begitu nyaman untuk kami duduki, namun dalam suasana dan keadaan seperti ini tentunya jika memilih berjongkok dipinggir jalan, tentunya ini jauh lebih baik.

Sampai hari ini musim penghujan belum juga usai. Bahkan yang lebih gak jelas, kini cuaca sudah benar-benar sulit untuk diprediksi, sebentar hujan sebentar panas. Dan ternyata memang benar, sesaat kemudian hujan gerimis kembali mengguyur salah satu pojok di kota metropolitan ini.

Dari kejauhan seorang wanita menggendong anaknya setengah berlari menuju ke arah kami. Bajunya sudah agak basah, tangan kirinya bersusah payah menggendong anaknya, semetara tangan kanannya menjinjing sebuah kantong plastik berwarna hitam. Hingga akhirnya iapun sampai dan bernaung di bawah tenda yang sebagian tendanya sudah tidak lagi utuh sempurna, tenda yang kini kamipun berada dibawahnya.

"Tadi ada baju bagus mas, warnanya merah ati, ada bunga-bunga dibagian pinggangnya. Cocok banget buat anak kita, ...", ujarnya sumringah pada lelaki tadi yang ternyata suaminya itu, namun sesaat kemudian ia terhenti tak melanjutkan ceritanya.

Mendengar itu suaminya hanya tersenyum. Seakan menenangkan hati isterinya untuk bersabar. Dalam kondisi seperti ini memang bukan hal gampang mengais rezeki bagi mereka yang menggantungkan usahanya dijalanan seperti mereka. Bukan yang berada di dalam sebuah gedung bertingkat yang lengkap dengan kursi nyaman, seperangkat komputer serta pendingin ruangan. Mereka yang berada di jalanan harus bersaing dengan panas dan hujan yang tidak pernah disangka-sanngka kedatangannya. Kadang mereka harus gulung tikar menyelamatkan dagangannya ketika hujan sudah begitu amat derasnya.

Sesaat aku menoleh ke arah mereka. Kulit-kulit keriput menghiasi wajah mereka. Kilatan cahaya lampu petromax tergambar jelas di antara keringat yang menjulur di sekitar kulit lengannya. Lekukan-lekukan tulang begitu sempurna meliuk hampir pada setiap sisi tubuhnya. Baju yang lusuh masih melekat ditubuhnya yang kini menggigil dalam kedinginan dan guyuran air hujan.

Namun, yang membuat aku kagum dari mereka adalah meskipun dalam kondisi demikian, selalu hadir adanya rasa ingin memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Seperti yang baru saja diutarakan wanita itu pada suaminya. Mungkin andaikan ada rezeki, jatah untuk diri mereka sendiri akan jauh berada di urutan kesekian puluh daripadanya. Yang mereka utamakan tentunya untuk mereka buah hatinya. Subhanalloh...

Mereka sudah tidak lagi memperhatikan bagaimana kesehatan mereka, bagaimana kondisi tubuh mereka, apalagi bagaimana dengan penampilan mereka. Yang terpenting bagi mereka hanyalah satu, yaitu bagaimana anak-anaknya mampu tumbuh dan menjadi seorang yang akan mampu ia banggakan satu saat nanti di kemudian hari.

Jika itu telah tercapai, maka seluruh perjuangan dan penderitaannya seakan luluh lantah berganti sejuta nuansa bangga dan bahagia. Meskipun ternyata dalam perjalanannya tidak semuanya semulus demikian, tidak sedikit yang membuat kita miris, ketika banyaknya mereka anak-anak yang justru tidak menyadari akan hal ini, hingga akhirnya mereka yang dulu dimanjakan dengan sejuta kasih sayang dari orang tuanya, namun justru ketika dewasa mereka seakan melupakan segala jasa dari mereka orang tuanya. Na'udzubillah

Hari berselang, waktu sudah berlalu...

Hari ini, aku menemukan kembali wanita itu. Kondisinya memang sudah berbeda. Kini panas matahari sudah kembali memanggang suasana kota, bukan lagi hujan yang mengguyur di tengah petala. Sebuah gerobak tua masih setia menemani perjalanan panjang kisah kehidupan mereka. Dekat di samping kanannya seorang gadis kecil berlari-lari, alhamdulillah baju merah ati dengan bunga-bunga dipinggangnya kini sudah melekat ditubuh kecilnya itu. Ia sang buah hati kini melompat-lompat dan tertawa riang di samping wanita itu. Sementara wanita itu hanya berdiri dan tersenyum memandang puas disebelah suaminya, menikmati kebahagian anak tercintanya.

Cantik, gadis kecil itu begitu cantik dengan baju barunya itu. Ia memang jauh lebih baik dengan kondisi ketika pertama kali kami melihatnya pada malam itu. Ia telah berubah. Hanya mereka yang tidak berubah, mereka yang kini berdiri memandang keceriaan suasana, mereka yang cukup ikhlas serta penuh kesabaran dengan kondisi seperti sekarang ini, mengenakan baju yang pas-pasan, penampilan yang mengenaskan, serta keringat-keringat yang bercucuran. Namun, jauh di dalam palung hati mereka, aku yakin, selalu ada seikat do'a dari mereka, sebuncah harapan untuk putra-putrinya, sebersit bahagia akan kehadiran sukses ia buah hatinya di hari kemudian.

Wallahu'alam bish-shawab.



oleh Dikdik Andhika Ramdhan 

Pelajaran dari Sebuah Kematian


Allah telah mengingatkanku pada hari ini. Sungguh aku merasa bersyukur atas kasih sayang yang selalu Dia tunjukkan kepada diriku. Sebuah kejadian yang selalu menjadi pelajaran bagi diriku untuk selalu terus berusaha menjadi hamba-Nya yang baik.

Aku mendengar berita duka itu menjelang jam pulang kantor, sekitar pukul setengah lima sore. "Galih, ayahnya Pak Andi meninggal, mau ikut takziah?" Demikian sebuah informasi disampaikan oleh teman kantorku sembari bertanya kepada diriku apakah akan ikut serta bertakziah. Aku pun mengiyakan ajakan bertakziah tersebut mengingat Pak Andi adalah teman satu section dengan diriku. Bukankah bertakziah merupakan salah satu hak saudara seiman.

Hari jumat, musibah ini pun kembali membawaku ke masa dua tahun yang silam, di mana pada hari jumat ini pula ayahku dipanggil oleh yang Kuasa. Suatu kejadian yang tidak pernah aku duga sebelumnya, ia datang dengan tiba-tiba tanpa ada kabar sebelumnya. Aku terduduk sejenak untuk mengatur nafas yang sedikit sesak sembari megingat kejadian dua tahun silam itu. Aku merasakan sekali apa yang sedang dirasakan oleh Pak Andi dan ini fitrah manusia.

Sekitar pukul setengah enam sore kami pun berangkat menuju rumah duka di daerah Pondok Gede. Aku memperikirakan bahwa perjalanan akan melewati waktu maghrib dan kemungkinan pukul setengah tujuh baru sampai di rumah duka. Benar saja, ketika mobil yang aku tumpangi hendak keluar pintu tol Pondok Gede adzan maghrib pun berkumandang. Suara muadzin pun berkumandang saling bersahutan antara masjid yang satu dengan yang lainnya. Panggilan muadzin pun mengetuk hatiku, memanggil jiwa yang lemah ini untuk segera bersujud. Namun aku tidak bisa menyambut penggilan tersebut dengan segera, mengingat waktu itu aku sedang berada di antara kepadatan kendaraan yang hendak keluar pintu tol. Aku memutuskan untuk shalat maghrib di tempat Pak Andi nanti.

Alhamdulillah perjalanan pun dapat ditempuh dengan lancar. Sekitar pukul setengah tujuh rombongan kantor tiba di rumah duka. Aku melihat sebuah tenda sedang dipasang di depan rumah duka tersebut. Aku kemudian masuk untuk menemui Pak Andi. Di depan pintu rumah rupanya Pak Andi sudah berdiri menyambut rombongan kantor. Aku tidak lupa untuk menyalami beliau sambil mengucapkan rasa belasungkawa. Hanya ucapan turut berduka yang aku sampaikan kepada Pak Andi, tidak lebih. Selebihnya aku hanya memandang sesosok tubuh yang terbujur kaku di atas sebuah ranjang. Tubuhnya tertutup oleh beberapa helai kain.

Aku terus memperhatikan sosok jenazah tersebut, aku perhatikan dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Batinku mulai mengajakku berbicara, "Lihatlah sosok menusia itu, terbujur kaku. Inilah akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Kini dia akan segera menghadap Sang Pencipta untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat selama hidupnya. Bagaimana dengan kamu, Galih? Kamu pun akan seperti itu, segera, dan akan tiba giliranmu."

Aku berdiri dalam diam, mencoba merenungi apa yang dibicarakan oleh batinku. Ya, aku akan seperti itu, segera. Aku tidak tahu apakah aku siap menghadapinya.

Sayup-sayup aku mendengar percakapan atasanku dengan Pak Andi. Dari situ aku mendengar bahwa kematian ayah Pak Andi terjadi dengan tiba-tiba, malah ia sempat melaksanakan shalat jumat. Percakapan itu kembali membuat diriku semakin diam, semakin dihantui rasa takut. Takut akan akhir hayat yang tidak bisa aku duga sedang apa aku ketika ajal menjemput. Suatu akhir yang sangat tidak bisa diramalkan oleh siapapun.

Akhirnya aku keluar dari rumah duka tersebut karena mengingat aku belum melaksanakan shalat maghrib. Aku pun bergegas menuju masjid yang tidak jauh letaknya dari rumah duka tersebut. Bersama tiga orang teman, kami pun melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Dalam sujudku aku berdoa semoga Allah memberikanku akhir yang baik.

Aku teringat dengan sebuah hadits yang menerangkan bahwa manusia itu tergantung akhirnya. Setiap aku bertakziah aku selalu bertanya pada diri sedang apakah aku ketika ajal datang? Sedang dalam ketaatan ataukah sedang bermaksiat? Ya, Allah, aku benar-benar takut, takut akan akhir yang buruk.

Namun, ada hal yang sering membuatku heran dalam setiap bertakziah. Aku sering melihat para pentakziah tertawa dan bercanda di sana satu sama lain. Seolah kematian seseorang merupakan acara komedi yang dapat mengundang sejuta tawa. Ataukah mereka adalah sekelompok orang yang sudah siap dengan segudang amal sehingga tidak terlihat sedikitpun wajah duka? Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan para sahabatnya bahwa seandainya menusia itu tahu dasyatnya hari akhir kelak, tentu manusia akan lebih banyak menangis dan sedikit tertawa.

Sekitar pukul delapan akhirnya rombongan kantor berpamitan. Dalam perjalanan pulang kembali aku merenungi diri ini. Akan seperti apa aku ketika ajal menjemput? Apakah sedang berada dalam ketaatan ataukah sedang bermaksiat kepada Allah?

Tambun 14 Maret 2008


Nenek Penjual Nasi Kuning

oleh Yunny Touresia

Wajahnya yang sudah penuh kerutan, tersenyum lebar menyambut langkah kaki saya yang mendekatinya. Deretan gigi yang sudah menghitam tampak menyembul ketika menjawab salam saya. “ Wa’Alaikum salam…”, ujar beliau lantang. Sejenak kemudian dengan sigap tangannya bergerak membungkusi nasi kuning sesuai pesanan. Pagi ini saya memang membeli cukup banyak nasi kuning, ada acara kecil di kantor. Kalimat syukur beliau lantunkan demi mendengar jumlah yang saya pesan. “ Alhamdulillah, pagi-pagi, rezeki dari Allah” ujarnya sumringah.

Nasi kuning. Makanan khas sarapan pagi yang sangat terkenal di Sengata. Di masak dengan santan dan diberi warna kuning dari kunyit. Agar lebih wangi dan menggugah selera, ketika di tanak, diberi beberapa helai daun pandan. Lauk yang paling cocok menemani nasi kuning biasanya ikan gabus, ayam, daging ataupun telor ayam rebus yang dimasak bumbu bali dengan warna merah cabai yang mengoda. Di sajikan dengan taburan bawang goreng dan serondeng (kelapa parut yang diberi bumbu seperti urap ). Mmmhh….sungguh lezat rasanya. Saya sendiri termasuk penggemar nasi kuning. Hingga tahu persis di mana saja warung nasi kuning yang enak. Ada di Sengata lama, juga ada di daerah teluk lingga. Kali ini saya mampir, di langganan saya, di daerah teluk lingga.

Saya sudah kenal sekali dengan nenek penjualnya. Biasanya kami akan bercerita tentang berbagai hal. Tentang pekerjaan, tentang bunga, sampai tentang harga bahan pokok di pasaran. Kebanyakan beliau yang memulai percakapan. Seperti sekarang.

“Maaf ya, ini potongan ayamnya agak kecil. Harga ayam naik betul. Sampai bingung aku nih mo jual”. Ujar si nenek sambil menaruh potongan ayam di atas nasi yang mengepul.

“Belum lagi harga minyak goreng. Masa seliter sudah limabelas ribu ”, ujar beliau lagi. Saya mangut-mangut, mengiyakan. Yah, memang begitulah keadaannya sekarang …

“Tuh, si Darto, tukang sate yang biasa mangkal kalo malam di depan apotik A ngeluh juga. Kata isterinya pusing mau jual berapa lagi setusuk. Ada aja harga yang naik setiap harinya. Si Ani jua, yang jual gorengan di sebelah warung itu bilang, kalo bisa minyak goreng di ganti air, alangkah senangnya”.

Senyum saya mengembang mendengar ucapannya. Logat Banjar nampak kental menghiasi setiap kalimat yang beliau keluarkan.

“Coba wakil rakyat kita di sini, yah, bisa nurunin harga. Wakil rakyat kan kerjanya mbantu rakyat yang kesusahan. Termasuk pedagang kecil, kaya nenek ini “.

Tangan beliau berhenti membungkus. Di hitungnya deretan nasi kuning yang berjejer. Sudah lima bungkus, berarti tinggal lima bungkus lagi untuk pesanan saya. Kemudian beliau melanjutkan kalimatnya.

“Ih, coba nenek ya, jadi wakil rakyat itu, yang nomor satu pasti harga sembako murah semuanya…”

“Jangan lupa untuk pasang listrik juga ya nek…” ujarku. Teringat rumahku yang hanya mengandalkan genset sebagai penerangan karena aliran listrik belum ada.

“Iya, pasang listrik juga. Di rumahmu di jalan Pendidikan, belum ada listriknya kan? Air PDAM juga nanti di pasang. Biar kita enak kaya orang di perumahan (maksudnya di komplek perusahaan yang airnya terkenal sangat bagus dan lancar), jadi kita gak usah ngobatin air sumur lagi. Pokoknya untuk masyarakat, Insya Allah beres. Nenek juga akan bantu tukang nasi kuning, tukang sate, tukang gorengan, pokoknya semua pedagang kecil. Nenek kasih mitsubisi biar harga murah, jadi mereka bisa tetap jualan”. Ujar beliau mantap. Persis seperti para politikus yang sedang berorasi. Ada binar –binar harapan terpancar jelas di matanya yang sudah mulai memutih warnanya.

“Maksud nenek subsidi, kan? Artinya dana bantuan dari pemerintah, sehingga harga yang sampai ke rakyat bisa lebih murah harganya. Kalau Mitsubishi itu merk mobil, nek “. Ucap saya sekedar membenarkan. Lucu juga mendengar beliau salah menyebut kata itu.

“Oh iya, maksudnya itu. Maklum sudah tua, pendengaran nenek waktu nonton di TV ya, mitsubisi. Ujar beliau tersipu.

“Tapi nanti kalo sudah jadi wakil rakyat, jangan lupa sama janjinya ya, nek…” saya menggoda beliau. “ Insya Alloh. Nenek kan sudah banyak merasakan sulitnya kehidupan rakyat kecil”

“ Alhamdulillah, Amiiin….” Saya mengamini harapan beliau.

“ Tapi…….”. Tiba-tiba nenek berhenti berucap. Tangannya menghitung jumlah nasi kuning pesanan saya sudah lengkap jumlahnya. Sambil tangannya meraih plastik putih untuk menampung bungkusan nasi kuning, beliau berujar lagi.

“Tapi sayang di sayang ….., nenek cuma pedagang nasi kuning…, ” kali ini sambil terkekeh. Kerutan di wajahnya bergerak-gerak. Saya juga tak mampu menahan senyum.

“Gayanya nenek itu, kaya orang ngerti politik aja…”

“Iya dong. Kaya orang politik. Yang ngomong-ngomong kalo mau pemilu itu loh. Nanti kalo sudah terpilih, diam deh…”. Senyum masih ada di bibirnya.

Saya termangu. Rupanya itulah batas wakil rakyat dan politik di mata beliau. Sederhana sekali. Beliau juga seolah sudah makhfum sekali dengan kondisi yang terjadi.

Nasi kuning pesanan saya sudah siap, tersusun rapi dalam kantong plastik di hadapan saya. Kalimat syukur kembali terlontar dari beliau, ketika lembaran rupiah sudah berpindah ketangannya. Menurut beliau, walaupun keadaan serba sulit sekarang, kita harus banyak bersabar, dan jangan sampai lupa bersyukur. Karena mengeluh juga tak mengubah keadaan.

“ Alhamdulillah, biarpun untungnya kecil, masih bisa jualan. Masih bisa bantu-bantu keluarga. Maaf ya, nenek tadi cuma curhat, daripada di pendam, bikin sakit hati ”.

Begitulah kalimat terakhir yang saya dengar tadi darinya. Kalimat yang sarat dengan optimisme dan keikhlasan.

Saya sudah jauh meninggalkan beliau menuju ke arah kantor ketika percakapan kami tadi kembali berputar di kepala saya. Membuat senyum kembali tercipta. Dari ucapannya, saya menangkap bahasa halus khas rakyat yang meminta konsistensi ucapan yang dilontarkan para wakil rakyat sebelum duduk di kursinya dengan tindakan riil yang dapat di rasakan oleh rakyat kecil, seperti beliau. Para wakil rakyat yang beliau pilih namanya setiap lima tahun pemilihan, pun ketika beliau tidak tahu persis siapa mereka.

Duhai nenek! Ternyata begitulah nasib pedagang kecil. Mungkin benar, banyak juga yang bernasib sepertimu. Berusaha tetap tegar menggapai rezekiNya, merayap perlahan di tengah harga-harga yang semakin tinggi berlari. Saya salut padamu, nek! Karena begitu banyak kalimat syukur yang dapat kau cipta di atas himpitan yang kau rasakan. Engkau masih bersabar walau di tengah kepayahan.

Kita memang dapat belajar dari siapa saja, tentang apa saja. Hari ini saya telah mendapatkan sebuah pelajaran lagi dari seorang nenek penjual nasi kuning.

*Insya Alloh tambah laris ya, nek! Semoga harapan nenek juga di dengar oleh para wakil rakyat, nun jauh di sana …

http://yunnytouresia.multiply.com

Nenek Penjual Nasi Kuning dan Wakil Rakyat


Wajahnya yang sudah penuh kerutan, tersenyum lebar menyambut langkah kaki saya yang mendekatinya. Deretan gigi yang sudah menghitam tampak menyembul ketika menjawab salam saya. “ Wa’Alaikum salam…”, ujar beliau lantang. Sejenak kemudian dengan sigap tangannya bergerak membungkusi nasi kuning sesuai pesanan. Pagi ini saya memang membeli cukup banyak nasi kuning, ada acara kecil di kantor. Kalimat syukur beliau lantunkan demi mendengar jumlah yang saya pesan. “ Alhamdulillah, pagi-pagi, rezeki dari Allah” ujarnya sumringah.

Nasi kuning. Makanan khas sarapan pagi yang sangat terkenal di Sengata. Di masak dengan santan dan diberi warna kuning dari kunyit. Agar lebih wangi dan menggugah selera, ketika di tanak, diberi beberapa helai daun pandan. Lauk yang paling cocok menemani nasi kuning biasanya ikan gabus, ayam, daging ataupun telor ayam rebus yang dimasak bumbu bali dengan warna merah cabai yang mengoda. Di sajikan dengan taburan bawang goreng dan serondeng (kelapa parut yang diberi bumbu seperti urap ). Mmmhh….sungguh lezat rasanya. Saya sendiri termasuk penggemar nasi kuning. Hingga tahu persis di mana saja warung nasi kuning yang enak. Ada di Sengata lama, juga ada di daerah teluk lingga. Kali ini saya mampir, di langganan saya, di daerah teluk lingga.

Saya sudah kenal sekali dengan nenek penjualnya. Biasanya kami akan bercerita tentang berbagai hal. Tentang pekerjaan, tentang bunga, sampai tentang harga bahan pokok di pasaran. Kebanyakan beliau yang memulai percakapan. Seperti sekarang.

“Maaf ya, ini potongan ayamnya agak kecil. Harga ayam naik betul. Sampai bingung aku nih mo jual”. Ujar si nenek sambil menaruh potongan ayam di atas nasi yang mengepul.
“Belum lagi harga minyak goreng. Masa seliter sudah limabelas ribu ”, ujar beliau lagi. Saya mangut-mangut, mengiyakan. Yah, memang begitulah keadaannya sekarang …

“Tuh, si Darto, tukang sate yang biasa mangkal kalo malam di depan apotik A ngeluh juga. Kata isterinya pusing mau jual berapa lagi setusuk. Ada aja harga yang naik setiap harinya. Si Ani jua, yang jual gorengan di sebelah warung itu bilang, kalo bisa minyak goreng di ganti air, alangkah senangnya”.
Senyum saya mengembang mendengar ucapannya. Logat Banjar nampak kental menghiasi setiap kalimat yang beliau keluarkan.

“Coba wakil rakyat kita di sini, yah, bisa nurunin harga. Wakil rakyat kan kerjanya mbantu rakyat yang kesusahan. Termasuk pedagang kecil, kaya nenek ini “.
Tangan beliau berhenti membungkus. Di hitungnya deretan nasi kuning yang berjejer. Sudah lima bungkus, berarti tinggal lima bungkus lagi untuk pesanan saya. Kemudian beliau melanjutkan kalimatnya.

“Ih, coba nenek ya, jadi wakil rakyat itu, yang nomor satu pasti harga sembako murah semuanya…”
“Jangan lupa untuk pasang listrik juga ya nek…” ujarku. Teringat rumahku yang hanya mengandalkan genset sebagai penerangan karena aliran listrik belum ada.

“Iya, pasang listrik juga. Di rumahmu di jalan Pendidikan, belum ada listriknya kan? Air PDAM juga nanti di pasang. Biar kita enak kaya orang di perumahan (maksudnya di komplek perusahaan yang airnya terkenal sangat bagus dan lancar), jadi kita gak usah ngobatin air sumur lagi. Pokoknya untuk masyarakat, Insya Allah beres. Nenek juga akan bantu tukang nasi kuning, tukang sate, tukang gorengan, pokoknya semua pedagang kecil. Nenek kasih mitsubisi biar harga murah, jadi mereka bisa tetap jualan”. Ujar beliau mantap. Persis seperti para politikus yang sedang berorasi. Ada binar –binar harapan terpancar jelas di matanya yang sudah mulai memutih warnanya.

“Maksud nenek subsidi, kan? Artinya dana bantuan dari pemerintah, sehingga harga yang sampai ke rakyat bisa lebih murah harganya. Kalau Mitsubishi itu merk mobil, nek “. Ucap saya sekedar membenarkan. Lucu juga mendengar beliau salah menyebut kata itu.

“Oh iya, maksudnya itu. Maklum sudah tua, pendengaran nenek waktu nonton di TV ya, mitsubisi. Ujar beliau tersipu.

“Tapi nanti kalo sudah jadi wakil rakyat, jangan lupa sama janjinya ya, nek…” saya menggoda beliau. “ Insya Alloh. Nenek kan sudah banyak merasakan sulitnya kehidupan rakyat kecil”

“ Alhamdulillah, Amiiin….” Saya mengamini harapan beliau.
“ Tapi…….”. Tiba-tiba nenek berhenti berucap. Tangannya menghitung jumlah nasi kuning pesanan saya sudah lengkap jumlahnya. Sambil tangannya meraih plastik putih untuk menampung bungkusan nasi kuning, beliau berujar lagi.
“Tapi sayang di sayang ….., nenek cuma pedagang nasi kuning…, ” kali ini sambil terkekeh. Kerutan di wajahnya bergerak-gerak. Saya juga tak mampu menahan senyum.

“Gayanya nenek itu, kaya orang ngerti politik aja…”
“Iya dong. Kaya orang politik. Yang ngomong-ngomong kalo mau pemilu itu loh. Nanti kalo sudah terpilih, diam deh…”. Senyum masih ada di bibirnya.

Saya termangu. Rupanya itulah batas wakil rakyat dan politik di mata beliau. Sederhana sekali. Beliau juga seolah sudah makhfum sekali dengan kondisi yang terjadi.

Nasi kuning pesanan saya sudah siap, tersusun rapi dalam kantong plastik di hadapan saya. Kalimat syukur kembali terlontar dari beliau, ketika lembaran rupiah sudah berpindah ketangannya. Menurut beliau, walaupun keadaan serba sulit sekarang, kita harus banyak bersabar, dan jangan sampai lupa bersyukur. Karena mengeluh juga tak mengubah keadaan.

“ Alhamdulillah, biarpun untungnya kecil, masih bisa jualan. Masih bisa bantu-bantu keluarga. Maaf ya, nenek tadi cuma curhat, daripada di pendam, bikin sakit hati ”.

Begitulah kalimat terakhir yang saya dengar tadi darinya. Kalimat yang sarat dengan optimisme dan keikhlasan.

Saya sudah jauh meninggalkan beliau menuju ke arah kantor ketika percakapan kami tadi kembali berputar di kepala saya. Membuat senyum kembali tercipta. Dari ucapannya, saya menangkap bahasa halus khas rakyat yang meminta konsistensi ucapan yang dilontarkan para wakil rakyat sebelum duduk di kursinya dengan tindakan riil yang dapat di rasakan oleh rakyat kecil, seperti beliau. Para wakil rakyat yang beliau pilih namanya setiap lima tahun pemilihan, pun ketika beliau tidak tahu persis siapa mereka.

Duhai nenek! Ternyata begitulah nasib pedagang kecil. Mungkin benar, banyak juga yang bernasib sepertimu. Berusaha tetap tegar menggapai rezekiNya, merayap perlahan di tengah harga-harga yang semakin tinggi berlari. Saya salut padamu, nek! Karena begitu banyak kalimat syukur yang dapat kau cipta di atas himpitan yang kau rasakan. Engkau masih bersabar walau di tengah kepayahan.

Kita memang dapat belajar dari siapa saja, tentang apa saja. Hari ini saya telah mendapatkan sebuah pelajaran lagi dari seorang nenek penjual nasi kuning.

*Insya Alloh tambah laris ya, nek! Semoga harapan nenek juga di dengar oleh para wakil rakyat, nun jauh di sana …