Izinkan Aku Menangis

eramuslim - Jam menunjukkan pukul 21.20 malam… Kecurian. Aku tertidur sekitar 3,5 jam setelah berbuka puasa petang tadi. Seingatku aku sedang kejar-kejaran dengan waktu di etape sulit ini. Al Qur’anku belum selesai. Tapi entah mengapa, mushaf itu tetap diam disamping bantal; dekat kepalaku? Aku menyerah lagi. Kelelahan fisik dan kepenatan pikiran. Aku hendak berapologi pada diriku sendiri.

Kegundahan apakah ini? Kekhawatiran apakah ini? Kecemasan apa lagi?

Mengapa pelupuk mataku panas. Namun, aku malu untuk menumpahkan air mata. Ya, air mata bening itu hanya boleh kutunjukkan pada-Nya. Bukan untuk memperturutkan rasa dan emosi serta mengalahkan rasio yang wajar. Meski… jebol juga tanggul itu.

Aku membuka hadits ini lagi, ”Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan berbuat untuk masa setelah mati. Orang yang lemah adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan berharap (banyak) pada Allah”. (HR.Turmuzi, dari riwayat Syaddad bin Aus ra.)

Jika kebodohan (tidak cerdas) tidaklah berakibat kepada kemurkaan Allah? Dan ternyata pengharapan pada-Nya saja tak cukup. Sering menyerah pada diri sendiri di tengah komitmen hendak berbuat. Harapan tanpa kekuatan itu disabdakan Rasulullah Saw. sebagai kelemahan. Mengapa aku lemah?

Jika saja ini bukan di etape final. Aku boleh berharap banyak untuk menjadi sang pemenang. Jika saja aku boleh berandai, jarum jam diputar. Namun, agamaku melarang pengandaian. Benar. Konsentrasi di babak ini seringkali buyar.

Aku membuka genggaman tangan kiriku. Ya, tinggal itulah hitungan hari-hari pembekalan tahun ini. Aku tak pernah tahu, mampukah aku sampai di penghujungnya. Mampukah aku menjadi yang terbaik diantara sekian juta para pemburu satu cinta, sejuta pengampunan dan seribu keberkahan? Aku malu menanyakannya pada diriku sendiri.

Masih tersisa kedengkian. Masih ada pertanyaan sikap dan prasangka buruk. Masih juga bersemanyam ketersinggungan dan gerutu ketidakpuasan. Masih ada pandangan mata khianat. Masih ada ketajaman lidah yang melukai hati. Masih juga mengoleksi berita-berita tak bernilai. Masih saja melafazkan kata-kata tak bermakna. Lantas, apa makna tengadahan tangan di tengah malam yang diiringi isak pengharapan. Sekali lagi, pengharapan yang lemah yang kalah oleh nafsu.

Aku terduduk lemas. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk mengungkapkannya. Aku pandangi lama-lama refleksi kegundahan itu.

Aku hanya boleh bertanya, kemudian kujawab sendiri. Selain itu hanya kesunyian. Meski dunia sekelilingku ramai dengan hiruk pikuk malam. Kedai sebelah rumah masih ramai. Coffee shop masih dipenuhi orang yang asyik menonton el Ahli–mungkin–, klub kebanggaan mereka sedang berlaga. Aku dibangunkan teriakan itu. Mengapa tidak suara Syeikh Masyari Rasyid yang melantunkan surat al Qiyamah, misalnya. Atau suara siapa saja yang menembus gendang telinga ini. Namun, melantunkan suara pengharapan yang kuat yang bisa menembus langit-Nya.

Atau suara-suara dari rumah-Nya yang dipenuhi isakan harapan hamba-hamba-Nya yang berlomba memburu seribu keberkahan dan sejuta pengampunan. Atau senyuman malaikat yang menyaksikan bocah-bocah kecil yang menahan kantuk berdiri sambil memegangi mushaf kecil dipojok-pojok masjid.

Sebagaimana aku boleh berharap di penghujung hari pembekalan ini, aku menjadi sang jawara. Namun, aku malu untuk berharap demikian. Sebagaimana aku juga boleh berharap menutup hariku di dunia dengan syahadah di jalan-Nya. Toh, semua menjadi misteri yang tak terjawab.

Ya, Khalid bin Walid pun yang sangat pemberani akhirnya menutup harinya di atas pembaringan. Lantas, tidakkah malu aku membandingkan pengaharapanku dengan kelemahan diriku menghadapi diri sendiri.

Sebagaimana aku mengandaikan bidadari surga. Apakah ia takkan cemburu dan marah dengan pandangan khianatku pada hal-hal yang tak seharusnya kulihat.

Sebagaimana aku berharap istana megah setelah matiku. Sudah berapakah aku menabung untuk itu. Sementara hidupku dipenuhi ambisi dan obsesi yang penuh dengan tabungan materi dan memegahkan istana duniaku. Dan aku telah mencintai dunia itu.

Sebagaimana aku berharap menikmati seteguk susu dari aliran sungai di surga-Nya. Aku lalai mengumpulkan “dana” untuk membelinya. Juga madu dan jus mangga.

Sebagaimana aku tetap berharap ingin terus mencicipi delima merah dan jeruk sankis serta buah khukh di masa setelah kefanaan ini. Tapi aku terlalu terpana oleh keindahannya yang sementara. Entah berapa tahun, bulan, hari atau bahkan hitungan detik aku masih bisa melihatnya di toko buah-buahan di sebelah rumahku.

Aku memaknai keterlaluan yang fatal ini dengan sikap yang tidak seimbang. Khayalanku dipenuhi pengaharapan. Namun, hatiku disesaki kelemahan. Akibatnya seluruh organ tubuhku lemah. Mata, telinga, mulut, kaki, tangan… semua menolak untuk diajak menggapai cinta-Nya.

Etape final ini banyak tikungan tajam. Dan aku terjatuh. Putaran roda keinginan tersebut trrgelincir oleh kerikil kecil bernama kelalaian. Alhamdulillah, aku masih bisa bangkit meneruskan perjalanan. Meski aku tahu, kini aku jauh tertinggal. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku masih bisa berharap untuk menjadi baik. Karena aku masih bersama orang-orang baik bahkan mereka ada di depanku; orang-orang terbaik itu.

Aku masih harus melewati tikungan tajam lainnya. Tergesa-gesa, kecerobohan, cinta dunia, rasionalisasi kesalahan, buruk sangka. Namun, aku masih punya bekal. Cinta, hati nurani dan bahan bakar ketelitian serta nasihat orang-orang shalih. Dan tikungan tajam yang paling membahayakan di akhir etape ini adalah: menduakan cinta-Nya. Ada cinta lain yang menyesak hendak menggeser kemuliaan itu.

Ada beberapa materi terakhir di ujian final ini: menanggalkan kesombongan dan ingin dipuji serta disanjung berlebihan. Menanggalkan kecintaan dunia yang berlebihan dengan qanaah dan tawadhu’.

Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun, aku tak mampu. Ya Allah aku ingin mengeluarkan air mata ini untuk-Mu. Aku khawatir kesulitan ini tersendat karena kemurkaan-Mu.

Air bening itu tersendat. Jangan-jangan karena kesalahanku. Karena tumpukan-tumpukan egoisme. Karena tumpukan-tumpukan kotoran buruk sangka. Karena tumpukan-tumpukan gerutu. Karena tumpukan-tumpukan doa-doa yang kosong. Terkunci oleh hawa nafsu.

Jika demikian, jangan Kau murkai hamba ini ya Allah. Hamba masih terus berharap pembebasan dari murka-Mu di hari-hari pembebasan ini.

“… dan sepertiga terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka,” demikian Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan pembekalan ini. Ya Allah, jadikanlah nama hamba ada dalam daftar pembebasan itu. Juga nama kedua orang tua hamba, keluarga hamba, para guru hamba, saudara-saudara hamba serta siapa saja yang mempunyai hak atas hamba. Amin.

Saiful Bahri

Sesuatu Yang Tak Ternilai

eramuslim - “Hujanlah sesukamu, toh rinainya akan kami tanggung semua” (Harun Al Rasyid). Kalimat yang terucap dari bibir sang Khalifah tersebut begitu singkat dan sederhana. Sang Khalifah seperti tidak peduli akan hujan turun tiada henti atau bahkan berhenti turun. Itu semua tidak berpengaruh terhadapnya. Meskipun ia pun sadar akan konsekuensi rinai yang muncul saat hujan turun, ia tak tergoyahkan. Tidak ada ketakutan ataupun kekhawatiran akan resiko yang muncul. Ia sadar segala sesuatu sudah diatur dengan cermat dan teliti. Ada zat yang berkuasa atas segalanya. Zat yang ketentuannya tak bisa ditolak ataupun dihindari.

Terdapat ketabahan, keberanian, dan juga prasangka baik atas apapun yang terjadi. Ini didasari atas keyakinan bahwa apapun yang ditetapkan Alloh adalah suatu kebaikan. Maka bagi orang-orang yang sangat kuat keyakinannya dan sangat dalam cintanya, apapun yang terjadi pada dirinya tidak sampai mengubah prasangka baiknya kepada Alloh. Tidak ada yang ia takuti. Hari ini ataupun esok. Alloh sajalah tumpuan terakhir, harapan yang tak akan pernah mengecewakan, dan Sang Penghitung yang Maha Teliti tiada dua.

Ada sebuah permata di hati orang-orang beriman yang saat ia terasa kelezatannya, segalanya terlihat begitu indah. Permata itu adalah iman. Saat iman meraja, tak ada lagi duka dan derita. Ini bukan karena tidak ada luka dan perih, bukan. Ada duka dan luka. Tapi luka yang ada tidak lagi terasa sakit tertutupi kesadaran akan kenikmatan yang akan diperoleh kelak sebagai hadiah tak terukur dari Alloh. Apabila ini terpatri, seorang hamba akan mampu berteriak lantang menyuarakan kebenaran, berjalan tegap diatas bara celaan orang, gigih membela kebenaran dan keadilan. Ia tak akan gentar akan terpaan gelombang yang menggila, duri, dan amukan badai kehidupan.

Iman adalah bekal seorang mukmin untuk mengarungi kehidupan. Mencuat dari lubuk hati, iman merupakan bentuk kesadaran yang sederhana akan kehidupan. Bahwa setiap kehidupan dan kematian berada di tangan Alloh. Termasuk juga didalamnya rizqi dan pengalaman hidup yang akan muncul, baik berupa kesenangan ataupun kesusahannya.

Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasululloh SAW pernah bersabda akan tiga kunci merasakan kelezatan iman: cintai Alloh dan Rasul-Nya diatas segalanya, cintai seseorang hanya karena Alloh semata, dan membenci kekufuran untuk dirinya seakan neraka terletak dihadapannya jika ia melakukannya.

Alloh adalah zat yang paling layak untuk dicintai. Ia pantas untuk dinomorsatukan. Karena ia adalah Sang Pencipta, Maha Pemurah yang memiliki cinta yang tak bermusim. Alloh juga memiliki ampunan dan rahmat yang tiada batas. Bagaikan samudra tak berpantai. Tak bertepi. Cintailah Alloh saja karena ia akan membalas berlipat dan tak akan membuat kecewa, sedih dan sakit. Sementara Rasulullah adalah sosok yang lembut, berahlaq mulia, penyantun, dan sangat dalam kasihnya untuk segenap umat. Beliau berpribadi sempurna dan pembawa suluh penerang penjuru alam raya.

Cintailah juga saudara kita hanya karena Alloh, karena sifat cinta kita lemah. Kita butuh Alloh untuk menjaga selalu perasaan itu. Tiada keabadian tanpa izin dan kemurahan Alloh. Kita diciptakan dengan segala keterbatasan diri. Cinta saudara karena Alloh akan sangat mengagumkan manakala kita mengaca kepada hubungan kaum Anshar dan Muhajirin. Berbagai kisah yang menyentuh menggambarkan ketulusan dan sikap itsar yang luar biasa. Hinnga ada diantara mereka yang bersedia memberikan istri untuk saudaranya. Cinta karena Alloh akan membuat segalanya tampak sederhana dan penuh makna.

Membenci kekufuran adalah syarat ketiga untuk merasakan lezatnya iman. Memang tidak mudah karena iman adalah sesuatu yang tak ternilai. Tak ternilai karena tidak didapatkan secara percuma. Kecuali Alloh berkehendak lain. Tapi yakinlah bahwa hanya dengan iman saja jiwa akan terbebas dari sifat-sifat buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia. Muhammad Iqbal melukiskan dengan heroik dalam puisinya gambaran jiwa yang tercelup iman dan terhiasi keberanian yang menggelora:

Gema seruan kita terdengar melintasi gereja-gereja di Britania.
Sebelum skuadron membebaskan negeri-negeri.
Mengapa kau lupakan Afrika.
Jangan kau lupakan hamparan saharanya.
Bumi itu mendayung laksana pijar bola api.
Bentengkan dada kita sebagai pedang.
Mengapa kita gentar saat kezaliman menggila.
Kesewenangan merajalela.
Laksana kilatan kelewang yang hanya menerpa bunga-bunga terkubur rumput liar.
Mengapa sirna nyali kita pada penguasa bengis yang hendak memerangi kita?
najwasaja@yahoo.com

*Kepada semua sahabat seperjuangan: semoga ukhuwah tetap terjalin meski lewat pena.

Indahnya Kemiskinan

eramuslim - “Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo nak!” Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu ‘langganan’, tempat kami meminjam beras. Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti ‘gentong’ tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.

Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat kemana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushollah, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan. Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan disini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih ‘enak’ jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya. Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan ‘sampingan’ tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya “Capek nak. Tolong Mbah dipijatin ya?” Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.

Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing dibelakang, dan disebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat dimana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya kesana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul. Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya. Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah mananyakan “Kamu sudah belajar nak?”

Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang ‘malas’ untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil atau ballpen. Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?

Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tesrsebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. “Ini kamu bawa pulang nanti nak!” Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau. Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah! Melihat ‘keindahan’ kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membeayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi. Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami.Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan beaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.

Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil disana-sini. Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya ‘bangga’ bisa memberikan sedikit ‘sumbangan’ bagi beliau.

Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Disana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya ‘guru kecil’.

Bilamana Ramadan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu disana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat. Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam ditangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan ‘sumbangan kecil’ ini bagi Ibu saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar “Nggak bangun kamu?”. Kemudian saya dengar “Blakkkk...!”, Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di ‘amben’, sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa. Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah sholat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukanmya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai sholat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada. Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya “Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?”, sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggungjawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, “Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?” Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring diwaktu kecil!

Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan kesana kemari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang “Jangan dihabiskan, ingat lainnya!” Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan ‘jauh’ dari saudara, teman bahkan ‘kenikmatan’ dunia.

Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis. Bagi saya hal itu tidak ubahnya ‘hiburan’. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapak ku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup ‘besar’ tentunya.

Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh dibawah kami tingkat penderitannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau. Setiap akhir pekan, biasanya ada saja ‘hiburan’ yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban kristenisasi tersebut.

Ramadan ini adalah puasa ketiga Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. “ Bangun, sudah hampir Imsak!” Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang ‘layak’ kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang “Makan apa nanti ?”, sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. “Aku akan cari bayam !” kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu ya Allah atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!

Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang.....adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga ‘indah’. Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alasan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan dibanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah dibalik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah! Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia dibalik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.

Syaifoel Hardy

shardy@emirates.net.ae

Hingga Butir Nasi Terakhir

eramuslim - Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya datang juga bis yang akan membawaku keluar dari kota Jakarta yang semakin hari kurasakan semakin sesak ini. Dua hari libur pada akhir pekan ini akan kumanfaatkan untuk sekedar mengganti suasana, sekilas menghilangkan pemandangan gedung bertingkat dengan tingginya pohon kelapa, udara yang padat dengan racun, sejenak berganti udara yang masih sejuk bila dihirup dalam-dalam, aku akan lupakan hitamnya kepulan asap dari bis kota dengan warna hijau rerumputan dan pepohonan. Aahhh… tak sabar aku, kenapa bis ini lama sekali ngetemnya…

Alhamdulillah, akhirnya bis mulai bergerak. Ternyata cukup banyak juga orang yang akan bepergian hari ini. Entah karena ingin mencari suasana baru sepertiku, atau memang hal ini sudah rutin mereka lakukan. Atau mungkin rumah mereka memang di luar kota, mencari nafkah di Jakarta, sehingga harus rela pulang-pergi tiap hari.

Sejam-dua jam, nuansa yang kunantikan mulai terlihat. Hamparan sawah terbentang luas di sisi kanan bis yang aku tumpangi ini. Hey… tapi kenapa warnanya sayu begitu? Dari sekian luas sawah yang kulihat, hampir seluruhnya berwarna kecoklatan. Hanya sedikit saja yang masih menampakkan warna hijau segar. Dampak kekeringan beberapa bulan terakhir betul-betul kulihat saat ini.

“Kasihan Pak Tani ya dik….”, tiba-tiba Bapak yang duduk di sebelahku berkomentar. Segera kualihkan pandanganku pada penumpang yang membuatku kaget ini. Seorang bapak yang sudah cukup umur, rupanya. Kutaksir usianya sekitar 50 tahunan, terlihat dari guratan-guratan lelah di wajahnya.

“Iya Pak, kasihan”, jawabku. “Mereka sudah capek-capek menanam, ternyata panennya gagal karena kekeringan”.

“Bukan itu maksud bapak dik,” ujar si bapak sambil memandangku. “Bukan kekeringan itu yang bapak kasihani dari para petani itu.”

Lho? Bukan kekeringan? Lalu apa?

Seakan menyadari kebingunganku, si bapak melanjutkan bicaranya. “Begini. Kalau kekeringan, bagi para petani hal itu sudah biasa mereka hadapi. Mereka tahu betul resiko itu.”

Sejenak si bapak terdiam. Aku makin tak sabar menunggu penjelasannya.

“Bapak sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di sebuah restoran sebagai petugas kebersihan, dik. Selama bapak bekerja, semakin bapak sadar bahwa kita sering sekali menyepelekan pekerjaan para petani itu. Kita sama sekali tidak menghargai jerih payah mereka mencangkul sawah seharian, memupuki tanaman padi, merawatnya supaya kelak menghasilkan padi yang baik…” jelasnya.

Aku masih saja tak menangkap maksud pembicaraan ini. “Tidak menghargai bagaimana pak?”

“Setiap hari, restoran tempat bapak bekerja menghabiskan ratusan kilogram beras, untuk ditanak menjadi nasi. Setiap hari pula bapak harus rela menyaksikan berpuluh kilogram nasi yang dibuang begitu saja, karena para tamu tidak menghabiskannya. Saat membuang nasi itu, hati bapak miris, dik. Berulang-ulang bapak mohon ampun pada Gusti Allah. Berkali-kali bapak mengucap istighfar, karena bapak melihat sebuah kesia-siaan, satu bentuk pengingkaran nikmat yang luar biasa. Kadang-kadang, Bapak membayangkan mendengar tangisan butiran-butiran nasi itu, seperti yang Bapak sering ajarkan pada anak bapak, kalau tidak menghabiskan makannya...”

Aku tercekat. Entah kenapa wajahku serasa ditampar keras sekali.

“Saat itulah terlintas di pikiran bapak, wajah para petani yang bermandi peluh, sekujur badan hitam legam terbakar sinar matahari, tidak sedikit tenaga mereka terkuras untuk mencangkul sawahnya. Tak lain tak bukan mereka lakukan itu supaya mereka bisa memenuhi kebutuhan makanan bagi semua orang dan juga kebutuhan mereka sendiri, dik. Tapi ternyata, kita yang tinggal enaknya saja, tak perlu membanting tulang seperti itu, sama sekali tidak menghargai kerja keras para petani itu. Kita sama sekali tidak mau menghargai setiap butir nasi yang kita makan. Menyia-nyiakan nasi, sudah menjadi hal yang biasa saja bagi kita.”

Kini aku yang terdiam. Apa yang disampaikan si bapak, itulah yang kulakukan setiap hari. Ya, menyisakan nasi di piring seakan sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Bahkan jika ada yang makan sampai piringnya bersih tak tersisa, berbagai julukan menghujaninya. Rakus lah, doyan lah, dan ejekan lain yang sungguh memalukan, tanpa mereka sadari, siapa sebenarnya yang memalukan.

“Dik…” si bapak menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku. “Bapak turun sebentar lagi.”

“Ohya Pak… hati-hati Pak… dan terimakasih nasihatnya..” jawabku sambil menjawab uluran tangannya. Senyum renyahnya mengakhiri pertemuan kami hari itu. Sesaat kemudian bis berhenti, dan si bapak bergegas turun. Saat itulah aku sadar kalau aku belum menanyakan namanya. Ah… bapak itu juga tidak menanyakan namaku, ujarku dalam hati.

Tak lama berselang, bis berhenti di sebuah rumah makan yang cukup besar. Rasa lapar mendadak menyerangku. Tiga jam perjalanan sudah kulalui, dan perut ini ternyata sudah mulai bergerak meminta bagiannya. Aku dan beberapa penumpang lainnya bersama-sama memasuki rumah makan. Kupilih tempat duduk dekat jendela, dan memesan makanan, yang dalam waktu singkat telah siap disantap.

Saat hendak memulai makan dan melihat nasi di piring, dan nasihat si bapak di bis tadi kembali terngiang. Bergantian kupandangi nasi dan hamparan sawah melalui jendela restoran. Saat itulah aku bersyukur. Melalui si bapak itu, Allah telah berkenan untuk menegurku, bukan hanya karena aku tak tahu, pada butir nasi yang mana berkahNya akan diturunkan, bukan pula hanya karena salah satu perwujudan rasa syukur atas karunia dan rizkiNya. Namun menghabiskan hidangan yang ada, hingga butir nasi yang terakhir, merupakan salah satu cara kita berterima kasih pada para petani, yang tanpa kenal lelah, telah berusaha mempersembahkan hasil kerja terbaiknya pada kita. Tanpa keras keras mereka, sulit bagi kita untuk bisa menikmati nasi yang pulen dan lezat ini.

Sungguh, suatu cara yang mudah untuk menghargai jerih payah dan segala letih lelah mereka, yaitu dengan menghabiskan hidangan tanpa sisa. Bukan rakus, bukan kemaruk, bukan pula kelaparan.

Selamat makan ….

Ahmad Syauqie
ahmadsyauqie@telkom.net

Bening Hati Berbalas Surga

eramuslim - Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian seorang calon penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang ke arah pintu.

Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid. Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy. Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar keistimewaan dia.

Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian muncul.

Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni surga?

Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari, sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.

Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki makan, si sahabat ikut makan. Saat si sahabat mengerjakan pekerjaan rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.

Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.

Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya bermalam. Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia bertanya,“Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau lakukan sehingga kau disebut salh satu calon penghuni surga oleh Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.

Si laki-laki menjawab,” Wahai sahabat, seperti yang u lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun da satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.
Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan ubuang semua iri, dengki, dendam dan perasaaan buruk epada semua saudaraku sesama muslim.
Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi erseri-seri. “Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa pelajaran berharga.

***
Kawan, kisah di atas barangkali tak lagi asing.
Namun tiada rugi untuk ditutur kembali. Surga bukan hanya hak para wali, nabi, syuhada dan ulama. Jika kita merasa hanyalah orang kebanyakan, itu tak berarti kita tak berhak atas nikmat surga. Karena amalan kecil pun bisa menjadi kunci masuk surga. Dan ternyata kebersihan hati itu sangat besar nilainya. Jangan pernah berputus asa atas rahmatNya. Sungguh Dia Maha Pemberi Karunia. InsyaAllah, jika kita ikhlas, tulus dan mengerjakan penuh cinta, Dia takkan menyia-nyiakan hambaNya. Wallahu a’lam


Azimah Rahayu

Sepenuh Hati

eramuslim - Air hujan turun membasahi bukit. Ia mengalir melintasi tebing dan cerukan sempit. Sesekali menabrak batu dan akar pohon yang menjuntai. Membawa bersama partikel hidrogen dan oksigen. Menyelisihi daun kering yang jatuh ke bumi sambil berbisik, “Ku kan membuatmu segar kembali setelah angin dan waktu membuatmu letih.” Ia terus mengalir dan mengalir hingga bertemu “kawan” lain. Membentuk aliran ke hilir hingga jadi sungai yang mengalir ke laut.

Dengan segala kerendahan diri untuk mengalir jatuh air telah menghidupkan bumi setelah kering. Membasuh dan membawa harapan baru untuk segenap mahluk. Si sumber kehidupan ini menyimpan kelembutan dan kekuatan sekaligus. Sang Pencipta Tertinggi telah memberinya kekuatan untuk bergerak menerobos celah sempit, meluncur jatuh, membentuk aliran sungai, atau tetap diam diatas bumi dan menjadi danau.

Dengan hanya tetesan, ia mampu melubangi batu dan memecahnya. Meski memakan waktu sekian jam atau bahkan hari. Tapi sekeras apapun batu ia tetap bisa melakukannya. Bermula dari setetes saja. Terus menerus. Setetes demi setetes. Hingga batu berlubang, retak dan terbelah. Saat tetesan berhenti, batu tak lagi tertandai.

Sesosok mahluk lain di belahan bumi yang berbeda telah berusaha untuk membuat sesuatu yang berguna. Ia berusaha untuk menyimpan listrik dan mengalirkannya menjadi cahaya. Edison telah berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu mencoba membuat impiannya terwujud. Untuk berhasil menyalakan sebuah bolam, ia telah menghabiskan lebih dari seribu empat ratus bolam. Ke semua bohlam itu pecah saat tak mampu menahan panas aliran listrik. Hingga akhirnya sebuah bolam berhasil menyala. Menyala dan hampir tak pernah lagi padam hingga saat ini. Dan pemadaman lampu resmi pertama dilakukan di seluruh kota pada hari ia meninggal untuk menghargai kerja kerasnya itu.

Tetesan air yang membelah batu ataupun usaha Edison membuat bola lampu adalah cerminan pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Andai mereka berhenti bergerak dan diam, tak ada yang berubah. Takkan ada yang dihasilkan. Batu takkan pecah saat tetesan berhenti sebelum waktunya. Atau tak ada lampu penerang saat hari gelap. Tetapi kedua mahluk berbeda ini terus bekerja. Terus bekerja hingga aliran sungai muncul, membasahi bumi, mengairi sawah dan menjadi sumber minum bagi mahluk Allah yang lain. Terus bekerja hingga ada cahaya saat gelap dan penerang bagi kehidupan seluruh manusia hingga hari ini. Seluruhnya bukanlah pekerjaan setengah hati. Memulai pekerjaan yang baru tidak mudah. Butuh keberanian dan semangat tinggi. Tapi itu bukanlah yang tersulit. Yang paling sulit adalah menyelesaikan apa yang telah dimulai itu dengan kebaikan. Karena lebih banyak pengorbanan dan kegigihan yang diberikan. Dan kesungguhan hati yang berbicara pada akhirnya.

Janganlah khawatir untuk mengakhiri segala pekerjaan dengan kebaikan, karena sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Dan ternyata banyak hal yang berguna dengan bekerja sepenuh hati.

Yupik Astuti
najwasaja@yahoo.com

(untuk para sahabat di bumi Allah Gnpati :)) dan seseorang di kota hujan)

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku

Tuhanku,
Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintaiMu…
Lembar demi lembar kitab kupelajari…
Untai demi untai kata para ustadz kuresapi…
Tentang cinta para nabi
Tentang kasih para sahabat
Tentang mahabbah para sufi
Tentang kerinduan para syuhada

Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam
Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan…

Tapi Rabbii,
Berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan kemudian tahun berlalu…
Aku berusaha mencintaiMu dengan cinta yang paling utama, tapi…
Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untukMu…
Aku makin merasakan gelisahku membadai…
Dalam cita yang mengawang
Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi…
Hingga aku terhempas dalam jurang
Dan kegelapan…


Wahai Ilahi,
Kemudian berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu…
Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakkan jiwaku kembali
Menatap, memohon dan menghibaMu:
Allahu Rahiim, Ilaahi Rabbii,
Perkenankanlah aku mencintaiMu,
Semampuku
Allahu Rahmaan, Ilaahi Rabii
Perkenankanlah aku mencintaiMu
Sebisaku
Dengan segala kelemahanku

Ilaahi,
Aku tak sanggup mencintaiMu
Dengan kesabaran menanggung derita
Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al musthafa
Karena itu izinkan aku mencintaiMu
Melalui keluh kesah pengaduanku padaMu
Atas derita batin dan jasadku
Atas sakit dan ketakutanku

Rabbii,
Aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad. Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan dienMu. Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan–makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.

Ilaahi, aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya. Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu. Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahMu. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.

Yaa, Maha Rahmaan,
Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahiim
Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu. Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagiMu. Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu. Maka izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya. Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segalanya. Izinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku, dengan mencintai sahabat-sahabatku, dengan mencintai manusia dan alam semesta.

Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii
Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku.
Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com

(29Agustus 2003, tertatih meniti cinta dalam 28 tahun waktu yang Kau berikan)

cat: Judul diatas dipinjam dari judul sebuah puisi karya A Musthofa Bisri.

Aku Memanggil Kalian...,

Berkali-kali aku memanggilnya,
Berkali-kali aku menyebutnya,
Berkali-kali
Berkali-kali
Muhammad,
Ya Muhammad,
Sang Kekasih
Rahasia Cinta
Ruh Kasih

(Emha Ainun Nadjib)

eramuslim - Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.

Bismillah, Assalamu’alaikum….

Perkenalkan!
Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap “Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.
“Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”
“Bagaimana jika sebuah genta?”
“Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani”
“Jika terompet tanduk?”
“Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?”

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.

“Wahai, utusan Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.

“Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...” lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku berseru :

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar
Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil ‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terkakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian.

Wassalamu’alaikum

***

Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya pada buku kenangan ketika SD “Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan”. Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.

Husnul Rizka Mubarikah
mahabbah12@yahoo.com

untuk yang baru saja kembali mengarah pada cahaya.

Bangsa Selebritis!

eramuslim - Waktu saya masih kecil,terakhir saat saya SMU, saya masih selalu melihat perlombaan-perlombaan ‘tradisional’ di kampung saya. Semua sederhana, tanpa neko-neko.

Terlepas masyarakat saat ini masih ‘memelihara’ tradisi lomba-lomba yang beragam sebagai ciri khas perayaan di kampung-kampung seantero bangsa ini, saya merasa ada yang hilang dari mentalitas luhur masyarakat kita yang semestinya ada, karena budaya adiluhung yang sering dibanggakan dahalu. Ruh kemerdekaan semakin terlontar jauh dari porosnya yang hakiki.

Masyarakat kita saat ini belajar banyak dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, semua proses belajar dari pengalaman sangat baik di serap oleh masyarakat. Sayang, materi ‘pengalaman’ yang diserap mayoritas masyarakat adalah pengalaman amoral, lebih banyak berprasangka dan pembodohan –pembodohan terselubung. Lihat saja perlombaan hura-hura yang digelar dari mulai lomba joged paling nginul, fashion, poco-poco, dan parahnya, para ibu-ibu yang tak lagi berbody ABG justru yang paling banyak. Bila para ibunya begitu, bagaimana para anak gadis dan jejakanya???? Masyarakat bawah lebih senang nuansa grubyak-grubyuk daripada nuansa-nuansa arif dan bersahaja. Mereka belajar dari siapa???? Selebritis dan para tokoh, tentunya!

Jadilah bangsa ini menjadi bangsa selebritis, karena memang itu yang dinikmati dan ditiru sebagian masyarakat di negeri ini. Sebenarnya, kalau kita mau melihat jujur, masyarakat kita lebih sering tercekoki hal-hal rendah tentang moral dan mentalitas. Lihat saja cara mereka merayakan sebuah moment sesakral kemerdekaan. Lihat bagaimana masyarakat kita dan para selebritis yang mereka nikmati dilayar kaca; semu! Full of Fun! Jauh dari nuansa keluhuran budaya ketimuran, jauh dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya.

Bangsa selebritis, bangsa yang demen merayakan segala moment dengan hingar bingar. Kita (masyarakat) belajar dari para pemimpinnya. Kalau pemimpin bisa korup kenapa kita nggak bisa menghibur masyarakat dengan hingar bingar ? Dampaknya? Masyarakat kita senang dengan hal-hal tiruan. Kalau selebritis bisa begini maka masyarakat juga bisa! Memaksakan bisa kalau perlu! Hiburan menjadi makanan pokok masyarakat kita, bukan lagi selingan! Sedangkan hal-hal pokok, tentang moralitas masyarakat, rasa prihatin, harga diri bangsa adalah selingan, diingat sesaat dan dilupakan perihnya.

Alhasil, malu rasanya memekikkan merdeka didalam bangsa yang terjajah budayanya, pola pikirnya, kemerdekaan adalah sebuah perjuangan. Perjuangan menjadi merdeka bukan perjuangan remeh yang semakin tua justru dinikmati sebagai ‘ulang tahun’ yang hingar bingar. Semestinya, sesuatu yang berusia setengah abad, lebih arif, lebih bijaksana, lebih matang. Bukan seperti usia 17 tahun. Itulah…. Masyarakat ini tegak bila setiap individu dan para pemimpinnya memiliki pemaknaan yang utuh tentang dirinya dan bangsanya. Bukan hanya pandai bersolek, bukan hanya senang menghibur diri sendiri , bukan hanya hingar bingar dan bergaya dengan budaya-budaya imitasi.

Kemerdekaan kita tidak pernah diraih dengan cuma-cuma apalagi hanya diberikan. Kemerdekaan itu direbut! Diperjuangkan. Ya, memang tidak sama orang yang pernah memperjuangkan sesuatu dengan orang-orang yang hanya menikmati apalagi ‘memanfaatkan’ kemerdekaan. Tidak sama seseorang yang menciptakan atau memiliki sesuatu dengan orang-orang yang hanya meminjam atau membeli sesuatu. Tidak akan sama orang-orang yang mengalami dengan orang-orang yang hanya bersimpatai, berempati apalagi hanya ‘merayakannya’. Perayaan hingar bingar dan mental pertunjukan memang tidak lagi layak untuk memaknai sebuah moment sesakaral kemerdekaan.

Pemikiran yang kritis , mental juang, militansi, kemandirian, mentalitas yang sarat dengan harga diri sebagai bangsa, pendirian yang teguh dan tidak membebek adalah hal-hal penting yang semestinya selalu semakin tebal seiring dengan merambatnya usia sebuah bangsa. Bangsa selebritis hanya kan melahirkan generasi-generasi yang lupa akan sejarah dan hakikat dirinya. Bnagsa selebritis adalah bangsa yang akan menaungi generasi-generasi manja dan cekithang-cekithing, karena mereka –nak-anak mudanya- mayoritas adalah generasi-generasi yang menjadikan hiburan sebagai menu utaman kehidupannya. Bila terus menrus demikian??? Ucapkan selamat tinggal kepada cita-cita luhur sebagai bangsa adiluhung yang berbudaya. Ganti saja dengan Republik Inul! Maka bangsa kita benar-benar bak Selebritis dan dunianya. Bangsa mercusuar dan terkenal karena banyak gossip dan masalah! Sinis memang, tapi ini realita!

Vida R. al-Adawiyah
Mahasiswi Fakultas Hukum UNS-Solo,
Koordinator Forum Belajar Perempuan’Benih’-Solo

R_aladawiyah@yahoo.com

Perjalanan Menuju Ilmu

eramuslim - Al kisah, seorang nenek tinggal beserta dua orang cucunya di sebuah gubuk kecil di kaki bukit. Nenek itu sudah cukup renta, dan sering sakit-sakitan. Setahun sudah sang nenek sakit dan kondisinya pun semakin lemah. Mengetahui kondisinya yang menjelang ajal, akhirnya ia memanggil kedua cucunya untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya.

Kedua cucu kakak beradik itu duduk di samping neneknya sambil memijiti kakinya, kemudian berkata kepada cucunya, “Cucuku, rasanya ajalku semakin dekat dan tidak akan ada lagi yang akan menjaga kalian. Untuk itu aku ingin memberikan sesuatu agar kalian tidak kekurangan setelah aku tinggalkan.” Kakak beradik itu tertegun setelah mendengar ucapan neneknya, dan berkata “Nenek jangan berkata begitu”.

Dengan lirih, sang nenek kembali berkata, ”Aku ingin kalian menuju ke suatu daerah, untuk itu aku akan memberi kalian sebuah peta perjalanan. Tapi setahuku, daerah yang dimaksud itu sangat jauh dan butuh waktu tempuh bertahun-tahun. Mungkin kalian akan sampai disana ketika usia kalian menjelang senja. Untuk biaya ke sana nenek mungkin tidak punya uang banyak. Tapi untuk perjalanan pertama akan nenek berikan emas simpanan nenek. Emas itu hanya dapat digunakan sampai ke kota pertama. Setelah itu kalian cari biaya sendiri,” jelas sang nenek.

“kenapa Kami Harus Kesana Nek?”, Kata cucu pertama. "Bukankan di kota terdekat kami bisa hidup dan tinggal di sana?" lanjutnya.

Neneknya menjawab, "Disana kalian akan mendapatkan sesuatu yang berharga."

“Apa itu nek?” tanya cucu ke dua.

“Kalian akan tahu sendiri ketika kalian sampai di sana". Akhirnya kata itu adalah kata terakhir yang tercucap dari bibir sang nenek. Dan sang nenek pun meninggal dunia.

Sehari setelah berkabung. Mereka mulai memikirkan wasiat terakhir neneknya. “Bagaimana dik, apakah kita berangkat sekarang menuju tempat yang dikatakan nenek?” ujar cucu pertama yang lebih tua beberapa tahun dari adiknya. “Sebaiknya kita berangkat segera kak” jawab adiknya.

Setelah sebulan perjalanan yang melelahkan kedua saudara itu pun sampai di sebuah desa. Di sekitar desa itu dipenuhi oleh lahan pertanian yang luas. Masyarakat disana hidup bertani. Saat mereka datang tampak sebagian besar penduduknya sedang memanen hasil pertaniannya. Melihat itu, sang kakak pun berkata, “Dik, makmur sekali negeri ini.“ Adiknya menimpali, “Di tempat kita tidak pernah kita temui hasil panen yang sebagus ini”.

Kedua saudara itu tampak terkagum-kagum dengan pandangan di depan matanya. “Oh ya... bukankah uang kita telah habis untuk sebulan perjalanan?” tanya sang kakak. “Bagaimana kalau kita mengumpulkan uang dulu untuk bekal perjalanan berikutnya?” tambahnya lagi. Adiknya setuju. Akhirnya mereka berdua bekerja pada sebuah keluarga yang memiliki lahan yang luas. Disana mereka diajarkan bercocok tanam sehingga mereka bisa menjadi pekerja di kebun itu.

Tak terasa, enam bulan sudah mereka disana. Tanaman yang mereka tanam sudah menampakkan hasil. Sepekan setelah itu mereka akan menuai panen. “Tampaknya hasil panen ini akan cukup untuk perjalanan berikutnya,” ujar sang kakak.

Usai panen, akhirnya mereka meneruskan perjalanan menuju daerah berikutnya.

Daerah kedua yang mereka temui adalah sebuah padang rumput yang luas. Mereka kembali heran, bagaimana masyarakat disana hidup? Tidak sedikitpun terlihat daerah sesubur tempat yang mereka kunjungi pertama kali. Namun, di balik bukit mereka menemui segerombolan domba yang jumlahnya ratusan. Beberapa saat setelah itu mereka sadar bahwa mata pencaharian masyarakat disana adalah beternak.

"Kak, baru kali ini aku menemui peternakan domba yang sebesar ini” ujar sang adik kagum. Kakaknya pun meng-iyakan. “Kalau begitu, seperti sebelumnya, kita harus mengumpulkan bekal dulu untuk perjalanan berikutnya. Bagaimana kalau kita coba bekerja pada tuan pemilik peternakan ini?” seru sang kakak.

Mereka mulai bekerja sambil belajar bagaimana merawat ternak yang baik.

Genap setahun, mereka kembali memikirkan perjalanan mereka. “Sudah saatnya kita berangkat dik”, ujar sang kakak tetap bersemangat. “Saya sepertinya tinggal di sini saja kak” jawab sang adik ragu. Sang kakak pun kaget mendengar ucapan adiknya. “Apa kamu tidak ingin menunaikan wasiat nenek?” tanya sang kakak menahan emosi. “Saya pikir nenek hanya menginginkan kebahagiaan untuk kita dan saya sudah bahagia disini, sebentar lagi saya akan memperoleh hasil yang cukup besar dan itu bisa saya kembangkan disini,” jawab sang adik.

Sang kakak pun akhirnya mengalah.

Pemuda itu berangkat sendiri ke daerah berikutnya. Setelah beberapa pekan perjalanannya, dia pun sampai di sebuah pantai. Dimana masyarakatnya hidup sebagai nelayan. Dan seperti biasa, ia tinggal disana beberapa waktu untuk menyiapkan bekal berjalanannya. Begitu seterusnya. Separuh dari umurnya sudah melewati berbagai daerah dengan suasana dan kehidupan yang berbeda.

Suatu saat, sang lelaki itu sampai pada suatu daerah yang unik. Dalam setiap perjalanannya baru kali ini dia menemui negeri yang memiliki alam yang indah dengan kehidupan masyarakatnya hampir semuanya makmur. Disana dia menemui daerah yang memiliki semua ciri yang ada pada setiap perjalanannya. Masyarakat disana hidup dengan berbagai corak yang berbeda, ada yang berdagang, bertani, nelayan, dan di pusat kota terdapat bangunan-bangunan indah dan megah. Sungguh sebuah negeri yang sempurna. Mendadak sang pemuda memperhatikan dirinya di sebuah cermin. Dia kaget, melihat sosok yang ada di cermin tersebut. Tampak kulit wajah yang mulai keriput dan rambut yang hampir
separuhnya memutih. Dia teringat akan perkataan neneknya. “perjalanan itu akan sampai pada usia kamu menjelang senja”.

Sang cucu akhirnya merenung, mungkinkah ini daerah akhir dari perjalanannya? Tapi apa yang akan aku dapatkan di sini? Untuk meyakinkan dirinya dia mencoba melihat peta pemberian neneknya. Benar, sepertinya inilah daerah terakhir yang aku tuju. Tapi apa yang aku dapatkan di sini?

Beberapa pekan setelah itu.

Ada pengumuman bahwa Sang Raja mencari orang yang memiliki keterampilan yang banyak dan ilmu yang luas untuk dijadikan penasehatnya. Berduyun-duyun masyarakat disana mulai mendaftar dan masing-masing harus mengikuti seleksi dari kerajaan. Setelah melalui tahap seleksi yang panjang, akhirnya diumumkan bahwa yang berhak menjadi penasehat Raja adalah seorang pemuda yang bernama Karim.

Karim. Dialah lelaki yang menghabiskan umurnya dengan melakukan perjalanan panjang tadi.

***

Sobat, perjalanan mencari ilmu adalah sebuah perjalanan panjang usia kita. Rasulullah pernah mengatakan, "Tuntutlah ilmu dari semenjak lahir hingga ke liang lahat". Betapa Rasulullah memuliakan ilmu dengan menyuruh kita belajar hingga ajal menjelang.

Kita juga pernah mendenger anjuran, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Betapa pentingnya ilmu hingga jarak yang jauh tidak menjadi hambatan untuk mempelajarinya.

Ali Bin Abu thalib mengatakan bahwa ilmu itu lebih baik dari pada harta, karena ilmu akan menjaga kamu sedangkan kamu harus menjaga harta. Ilmu itu akan bertambah jika diberikan sementara harta akan berkurang jika diberikan. Ulama itu tetap hidup meskipun jasadnya telah tiada karena pemikirannya masih tetap ada.

Rasullullah bersabda “Barang siapa yang menuntut ilmu bukan karena Allah maka ia tidak akan keluar dari dunia sehingga ilmu itu datang (memaksa) agar menuntut ilmunya itu karena Allah. Varang siapa yang menuntut ilmu karena Allah maka ia seperti orang yang berpuasa pada siang dan bangun untuk beribadah pada malam hari. Dan sesungguhnya satu bab ilmu yang dipelajari oleh seseorang itu lebih baik daripada ia mempunyai emas sebesar bukit Abu Qubais lalu ia menginfakkan pada jalan Allah Ta’ala”.

Amal adalah pasangan Ilmu. Tanpa amal, ilmu akan mati. Tanpa amal ilmu tiada guna. Tanpa amal ilmu akan pergi meninggalkan kita. Maka amalkanlah ilmu. Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ilmu itu pada mulanya adalah diam, kemudian mendengarkan, lalu menghafalkan (mengingat), lantas mengamalkannya, dan terakhir menyiarkannya”.

Saya teringat sebuah kata-kata, “tidak ada lift untuk menuntut ilmu, kita harus menaikinya melewati setiap anak tangga”. Dan Thomas Alfa Edison pun berkata, "Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration".

Yanti Rahim
Muthiah11@yahoo.com