Hingga Butir Nasi Terakhir

eramuslim - Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya datang juga bis yang akan membawaku keluar dari kota Jakarta yang semakin hari kurasakan semakin sesak ini. Dua hari libur pada akhir pekan ini akan kumanfaatkan untuk sekedar mengganti suasana, sekilas menghilangkan pemandangan gedung bertingkat dengan tingginya pohon kelapa, udara yang padat dengan racun, sejenak berganti udara yang masih sejuk bila dihirup dalam-dalam, aku akan lupakan hitamnya kepulan asap dari bis kota dengan warna hijau rerumputan dan pepohonan. Aahhh… tak sabar aku, kenapa bis ini lama sekali ngetemnya…

Alhamdulillah, akhirnya bis mulai bergerak. Ternyata cukup banyak juga orang yang akan bepergian hari ini. Entah karena ingin mencari suasana baru sepertiku, atau memang hal ini sudah rutin mereka lakukan. Atau mungkin rumah mereka memang di luar kota, mencari nafkah di Jakarta, sehingga harus rela pulang-pergi tiap hari.

Sejam-dua jam, nuansa yang kunantikan mulai terlihat. Hamparan sawah terbentang luas di sisi kanan bis yang aku tumpangi ini. Hey… tapi kenapa warnanya sayu begitu? Dari sekian luas sawah yang kulihat, hampir seluruhnya berwarna kecoklatan. Hanya sedikit saja yang masih menampakkan warna hijau segar. Dampak kekeringan beberapa bulan terakhir betul-betul kulihat saat ini.

“Kasihan Pak Tani ya dik….”, tiba-tiba Bapak yang duduk di sebelahku berkomentar. Segera kualihkan pandanganku pada penumpang yang membuatku kaget ini. Seorang bapak yang sudah cukup umur, rupanya. Kutaksir usianya sekitar 50 tahunan, terlihat dari guratan-guratan lelah di wajahnya.

“Iya Pak, kasihan”, jawabku. “Mereka sudah capek-capek menanam, ternyata panennya gagal karena kekeringan”.

“Bukan itu maksud bapak dik,” ujar si bapak sambil memandangku. “Bukan kekeringan itu yang bapak kasihani dari para petani itu.”

Lho? Bukan kekeringan? Lalu apa?

Seakan menyadari kebingunganku, si bapak melanjutkan bicaranya. “Begini. Kalau kekeringan, bagi para petani hal itu sudah biasa mereka hadapi. Mereka tahu betul resiko itu.”

Sejenak si bapak terdiam. Aku makin tak sabar menunggu penjelasannya.

“Bapak sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di sebuah restoran sebagai petugas kebersihan, dik. Selama bapak bekerja, semakin bapak sadar bahwa kita sering sekali menyepelekan pekerjaan para petani itu. Kita sama sekali tidak menghargai jerih payah mereka mencangkul sawah seharian, memupuki tanaman padi, merawatnya supaya kelak menghasilkan padi yang baik…” jelasnya.

Aku masih saja tak menangkap maksud pembicaraan ini. “Tidak menghargai bagaimana pak?”

“Setiap hari, restoran tempat bapak bekerja menghabiskan ratusan kilogram beras, untuk ditanak menjadi nasi. Setiap hari pula bapak harus rela menyaksikan berpuluh kilogram nasi yang dibuang begitu saja, karena para tamu tidak menghabiskannya. Saat membuang nasi itu, hati bapak miris, dik. Berulang-ulang bapak mohon ampun pada Gusti Allah. Berkali-kali bapak mengucap istighfar, karena bapak melihat sebuah kesia-siaan, satu bentuk pengingkaran nikmat yang luar biasa. Kadang-kadang, Bapak membayangkan mendengar tangisan butiran-butiran nasi itu, seperti yang Bapak sering ajarkan pada anak bapak, kalau tidak menghabiskan makannya...”

Aku tercekat. Entah kenapa wajahku serasa ditampar keras sekali.

“Saat itulah terlintas di pikiran bapak, wajah para petani yang bermandi peluh, sekujur badan hitam legam terbakar sinar matahari, tidak sedikit tenaga mereka terkuras untuk mencangkul sawahnya. Tak lain tak bukan mereka lakukan itu supaya mereka bisa memenuhi kebutuhan makanan bagi semua orang dan juga kebutuhan mereka sendiri, dik. Tapi ternyata, kita yang tinggal enaknya saja, tak perlu membanting tulang seperti itu, sama sekali tidak menghargai kerja keras para petani itu. Kita sama sekali tidak mau menghargai setiap butir nasi yang kita makan. Menyia-nyiakan nasi, sudah menjadi hal yang biasa saja bagi kita.”

Kini aku yang terdiam. Apa yang disampaikan si bapak, itulah yang kulakukan setiap hari. Ya, menyisakan nasi di piring seakan sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Bahkan jika ada yang makan sampai piringnya bersih tak tersisa, berbagai julukan menghujaninya. Rakus lah, doyan lah, dan ejekan lain yang sungguh memalukan, tanpa mereka sadari, siapa sebenarnya yang memalukan.

“Dik…” si bapak menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku. “Bapak turun sebentar lagi.”

“Ohya Pak… hati-hati Pak… dan terimakasih nasihatnya..” jawabku sambil menjawab uluran tangannya. Senyum renyahnya mengakhiri pertemuan kami hari itu. Sesaat kemudian bis berhenti, dan si bapak bergegas turun. Saat itulah aku sadar kalau aku belum menanyakan namanya. Ah… bapak itu juga tidak menanyakan namaku, ujarku dalam hati.

Tak lama berselang, bis berhenti di sebuah rumah makan yang cukup besar. Rasa lapar mendadak menyerangku. Tiga jam perjalanan sudah kulalui, dan perut ini ternyata sudah mulai bergerak meminta bagiannya. Aku dan beberapa penumpang lainnya bersama-sama memasuki rumah makan. Kupilih tempat duduk dekat jendela, dan memesan makanan, yang dalam waktu singkat telah siap disantap.

Saat hendak memulai makan dan melihat nasi di piring, dan nasihat si bapak di bis tadi kembali terngiang. Bergantian kupandangi nasi dan hamparan sawah melalui jendela restoran. Saat itulah aku bersyukur. Melalui si bapak itu, Allah telah berkenan untuk menegurku, bukan hanya karena aku tak tahu, pada butir nasi yang mana berkahNya akan diturunkan, bukan pula hanya karena salah satu perwujudan rasa syukur atas karunia dan rizkiNya. Namun menghabiskan hidangan yang ada, hingga butir nasi yang terakhir, merupakan salah satu cara kita berterima kasih pada para petani, yang tanpa kenal lelah, telah berusaha mempersembahkan hasil kerja terbaiknya pada kita. Tanpa keras keras mereka, sulit bagi kita untuk bisa menikmati nasi yang pulen dan lezat ini.

Sungguh, suatu cara yang mudah untuk menghargai jerih payah dan segala letih lelah mereka, yaitu dengan menghabiskan hidangan tanpa sisa. Bukan rakus, bukan kemaruk, bukan pula kelaparan.

Selamat makan ….

Ahmad Syauqie
ahmadsyauqie@telkom.net

0 komentar:

Posting Komentar