Menikmati Hidup
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Kamis, 16 Januari 2003
Label:
Oase iman
eramuslim - Kawan, ingin kuceritakan padamu indahnya menggenjot pedal sepeda membelah persawahan, menempuh jarak 5 sampai 10 kilometer. Angin segar menerpa, cicit burung dan lenguhan kerbau mengiringi setiap putaran roda. Kehijauan sawah sepanjang mata memandang, berbatas cakrawala langit yang biru dengan saputan awan putih di ketinggian. Sebenarnya semua itu biasa saja, karena aku anak desa. Tapi sungguh, keindahan itu menjadi terasa lebih indah karena lima tahun terakhir aku nyaris tak lagi menyentuh sepeda onthel. Ya, lima tahun terakhir aku lebih banyak naik motor atau menggunakan kendaraan umum. Bahkan ke warung tetangga berjarak dua ratus meter pun selama ini aku tak mau lagi naik sepeda.
Indah karena sambil menggenjot pedal aku mengenang masa-masa sebelum lima tahun yang lalu. Saat tiap hari aku menempuh puluhan kilometer di atas sepeda jengki atau sepeda mini, bersaing dengan bis kota di atas sadel sepeda. Bermandi peluh saat matahari siang bolong panas membakar, atau bernafas embun saat kabut pagi masih melingkupi. Kini, lima tahun kemudian, aku naik sepeda hanya sebagai selingan, sekedar sarana untuk berolahraga dan berekreasi.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, ingin kuceritakan padamu nikmatnya mengurus ternak. Mencari dan memberi makan ayam, bebek dan kambing. Juga membersihkan kandang mereka dari ranting-ranting sisa makanan, juga dari kotorannya. Bau khas ayam, serudukan kambing dan kotorannya terasa nyaman. Beberapa jam berkutat dengan mereka memang melelahkan, tapi sungguh terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana tidak nikmat dan menyenangkan, sedang aku mengerjakan semua itu hanya sekali dua, saat menjalani liburan. Dulu, lima tahun yang lalu, aku harus melakukan pekerjaan itu tiap hari. Dan kini, rasanya indah sekali, mengenang betapa beratnya pekerjaan itu dulu.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, ingin kubagi padamu tentang asyiknya menimba air dari sumur dengan tali. Meskipun lengan sempat kram dan pegal selama beberapa hari, derit roda katrolnya menimbulkan sensasi yang menggembirakan. Tempelasan air yang menerpa teramat menyenangkan. Segar. Dan keasyikan itu berubah menjadi perasaan yang indah, mengenang lima tahun yang lalu aku harus bercapai-capai menimba berpuluh-puluh ember untuk seluruh kegiatan rumah tangga, juga usaha batu bata ibu. Sedang kini, aku hanya perlu menimba saat listrik mati.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, aku ingin engkau tahu, menyenangkan sekali memasak dengan kayu bakar. Kuhembus bara-bara dengan sepenuh tenaga, agar makanan di tungku menjadi masak. Meskipun itu berarti abu berhamburan mengotori baju, keringat berleleran karena udara panas di sekitar tungku, dan panci-panci menjadi menghitam serta butuh usaha ekstra untuk mencucinya. Kata orang, memasak dengan api tungku lebih enak. Tapi bukan itu yang paling nikmat dari memasak dengan tungku dan kayu bakar, tapi karena aku sudah lebih dari lima tahun tak melakukannya. Ya, selama ini untuk memasak aku tinggal menyalakan kompor minyak atau kompor gas, menanak nasi dengan rice cooker, memasak air dengan ketel listrik. Dan kini, aku menikmati memasak dengan kayu bakar seperti sedang berpiknik. Lima tahun lalu, tiap hari aku bergulat dengan kayu bakar, abu dan tungku.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, hari ini di sini, nikmat sekali aku mengunyah potongan apel, pir dan jeruk mandarin. Buah-buahan itu beberapa tahun terakhir rasanya tak terlalu istimewa bagiku, bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Namun kini, rasanya lain sekali. Saat mengulumnya ingatan tentang masa lima tahun yang lalu melintas-lintas. Ya, lima tahun lalu, aku menahan air liur untuk sekedar dapat mencicipi melon, mangga, semangka apatah lagi buah pir, apel merah dan anggur. Tak ada uang untuk sekedar membeli sepotong, sedang jajan di sekolah pun hanya seminggu sekali, ketika ada pelajaran olah raga.
***
Kawan, hari ini, aku ingat sekali, sudah lebih dari lima tahun aku menjadi pegawai negeri. Banyak orang mengatakan, menjadi pegawai negeri itu enak. Kerjanya santai, gaji tetap.
Tapi selama ini aku merasa tidak nyaman. Pertama karena aku tidak suka bersantai-santai. Kedua, karena peningkatan prestasi dan karir berjalan sangat lambat. Ya, aku merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang bisa sekolah lagi, kemudian bekerja di tempat swasta dengan gaji besar. Aku merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang sudah menjadi para profesional, dengan gelar akademis tinggi. Aku merasa kurang dibanding teman-teman yang sudah mencapai keberhasilan jauuh di atasku: dalam hal keluarga, karir, pendidikan maupun aktifitas sosial.
Tapi hari ini aku tahu, bahwa aku pun telah mendapat pencapaian besar. Dulu aku naik sepeda ontel, kini dapat naik motor dan naik bus kemana-mana. Dulu aku harus mengurus ternak untuk biaya sekolah, kini aku memelihara binatang untuk teman. Dulu aku harus berhemat air agar hemat tenaga untuk menimba, kini aku bisa mandi sepuasnya tanpa usaha. Dulu aku harus puas dengan ubi, pisang dan pepaya dari kebun, kini aku bisa sarapan tiap pagi dengan apel dan jeruk.
Maka nikmat Allah yang manakah yang (dapat) aku dustakan?
Mensyukuri nikmat. Phrase ini terdengar teramat klise. Karena ia adalah salah satu ajaran agama Islam dan agama lain yang hampir semua orang ernah mendengarnya. Namun kekliseannya tidak membuat kalimat tersebut gampang diaplikasikan. Ada saat-saat dimana kata-kata tersebut begitu abstrak, sulit dimengerti dan berat dilaksanakan. Atau malahan mudah diucapkan, tapi perbuatan tak sesuai dengan yang dikatakan. Padahal ternyata, phrase itu ternyata bisa teramat sederhana.
Mengenang kembali lima tahun yang lalu itu, ternyata semua biasa saja. Dulu aku sanggup hidup sedemikian, maka mengapakah sekarang aku lebih tak bahagia? Mengapa aku harus membandingan diri dengan orang lain dan selalu merasa kurang?
Dulu aku sanggup menikmati apa yang ada, apa yang diberikan Allah padaku. Dulu, dengan status anak kos sejak kelas 1 SMA, aku sanggup hidup dengan uang 3-5 ribu rupiah seminggu untuk makan, ongkos jalan dan fotocopy. Oke saja bagiku berjalan kaki maupun ngontel berkilo-kilo. Mie sebungkus untuk dua kali makan pun tak masalah. Dan semua itu dahulu biasa saja. Karena saat itu aku malah belum mengenal dunia, dan apa yang kuperoleh sudah terasa cukup.
Menikmati hidup. Tampaknya itu saja kuncinya. (Azi_75@yahoo.com, hari-hari seputar lebaran)
0 komentar:
Posting Komentar