Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku

Tuhanku,
Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintaiMu…
Lembar demi lembar kitab kupelajari…
Untai demi untai kata para ustadz kuresapi…
Tentang cinta para nabi
Tentang kasih para sahabat
Tentang mahabbah para sufi
Tentang kerinduan para syuhada

Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam
Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan…

Tapi Rabbii,
Berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan kemudian tahun berlalu…
Aku berusaha mencintaiMu dengan cinta yang paling utama, tapi…
Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untukMu…
Aku makin merasakan gelisahku membadai…
Dalam cita yang mengawang
Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi…
Hingga aku terhempas dalam jurang
Dan kegelapan…


Wahai Ilahi,
Kemudian berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu…
Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakkan jiwaku kembali
Menatap, memohon dan menghibaMu:
Allahu Rahiim, Ilaahi Rabbii,
Perkenankanlah aku mencintaiMu,
Semampuku
Allahu Rahmaan, Ilaahi Rabii
Perkenankanlah aku mencintaiMu
Sebisaku
Dengan segala kelemahanku

Ilaahi,
Aku tak sanggup mencintaiMu
Dengan kesabaran menanggung derita
Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al musthafa
Karena itu izinkan aku mencintaiMu
Melalui keluh kesah pengaduanku padaMu
Atas derita batin dan jasadku
Atas sakit dan ketakutanku

Rabbii,
Aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad. Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan dienMu. Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan–makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.

Ilaahi, aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya. Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu. Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahMu. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.

Yaa, Maha Rahmaan,
Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahiim
Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu. Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagiMu. Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu. Maka izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya. Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segalanya. Izinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku, dengan mencintai sahabat-sahabatku, dengan mencintai manusia dan alam semesta.

Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii
Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku.
Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com

(29Agustus 2003, tertatih meniti cinta dalam 28 tahun waktu yang Kau berikan)

cat: Judul diatas dipinjam dari judul sebuah puisi karya A Musthofa Bisri.

Aku Memanggil Kalian...,

Berkali-kali aku memanggilnya,
Berkali-kali aku menyebutnya,
Berkali-kali
Berkali-kali
Muhammad,
Ya Muhammad,
Sang Kekasih
Rahasia Cinta
Ruh Kasih

(Emha Ainun Nadjib)

eramuslim - Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.

Bismillah, Assalamu’alaikum….

Perkenalkan!
Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap “Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.
“Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”
“Bagaimana jika sebuah genta?”
“Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani”
“Jika terompet tanduk?”
“Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?”

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.

“Wahai, utusan Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.

“Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...” lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku berseru :

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar
Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil ‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terkakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian.

Wassalamu’alaikum

***

Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya pada buku kenangan ketika SD “Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan”. Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.

Husnul Rizka Mubarikah
mahabbah12@yahoo.com

untuk yang baru saja kembali mengarah pada cahaya.

Bangsa Selebritis!

eramuslim - Waktu saya masih kecil,terakhir saat saya SMU, saya masih selalu melihat perlombaan-perlombaan ‘tradisional’ di kampung saya. Semua sederhana, tanpa neko-neko.

Terlepas masyarakat saat ini masih ‘memelihara’ tradisi lomba-lomba yang beragam sebagai ciri khas perayaan di kampung-kampung seantero bangsa ini, saya merasa ada yang hilang dari mentalitas luhur masyarakat kita yang semestinya ada, karena budaya adiluhung yang sering dibanggakan dahalu. Ruh kemerdekaan semakin terlontar jauh dari porosnya yang hakiki.

Masyarakat kita saat ini belajar banyak dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, semua proses belajar dari pengalaman sangat baik di serap oleh masyarakat. Sayang, materi ‘pengalaman’ yang diserap mayoritas masyarakat adalah pengalaman amoral, lebih banyak berprasangka dan pembodohan –pembodohan terselubung. Lihat saja perlombaan hura-hura yang digelar dari mulai lomba joged paling nginul, fashion, poco-poco, dan parahnya, para ibu-ibu yang tak lagi berbody ABG justru yang paling banyak. Bila para ibunya begitu, bagaimana para anak gadis dan jejakanya???? Masyarakat bawah lebih senang nuansa grubyak-grubyuk daripada nuansa-nuansa arif dan bersahaja. Mereka belajar dari siapa???? Selebritis dan para tokoh, tentunya!

Jadilah bangsa ini menjadi bangsa selebritis, karena memang itu yang dinikmati dan ditiru sebagian masyarakat di negeri ini. Sebenarnya, kalau kita mau melihat jujur, masyarakat kita lebih sering tercekoki hal-hal rendah tentang moral dan mentalitas. Lihat saja cara mereka merayakan sebuah moment sesakral kemerdekaan. Lihat bagaimana masyarakat kita dan para selebritis yang mereka nikmati dilayar kaca; semu! Full of Fun! Jauh dari nuansa keluhuran budaya ketimuran, jauh dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya.

Bangsa selebritis, bangsa yang demen merayakan segala moment dengan hingar bingar. Kita (masyarakat) belajar dari para pemimpinnya. Kalau pemimpin bisa korup kenapa kita nggak bisa menghibur masyarakat dengan hingar bingar ? Dampaknya? Masyarakat kita senang dengan hal-hal tiruan. Kalau selebritis bisa begini maka masyarakat juga bisa! Memaksakan bisa kalau perlu! Hiburan menjadi makanan pokok masyarakat kita, bukan lagi selingan! Sedangkan hal-hal pokok, tentang moralitas masyarakat, rasa prihatin, harga diri bangsa adalah selingan, diingat sesaat dan dilupakan perihnya.

Alhasil, malu rasanya memekikkan merdeka didalam bangsa yang terjajah budayanya, pola pikirnya, kemerdekaan adalah sebuah perjuangan. Perjuangan menjadi merdeka bukan perjuangan remeh yang semakin tua justru dinikmati sebagai ‘ulang tahun’ yang hingar bingar. Semestinya, sesuatu yang berusia setengah abad, lebih arif, lebih bijaksana, lebih matang. Bukan seperti usia 17 tahun. Itulah…. Masyarakat ini tegak bila setiap individu dan para pemimpinnya memiliki pemaknaan yang utuh tentang dirinya dan bangsanya. Bukan hanya pandai bersolek, bukan hanya senang menghibur diri sendiri , bukan hanya hingar bingar dan bergaya dengan budaya-budaya imitasi.

Kemerdekaan kita tidak pernah diraih dengan cuma-cuma apalagi hanya diberikan. Kemerdekaan itu direbut! Diperjuangkan. Ya, memang tidak sama orang yang pernah memperjuangkan sesuatu dengan orang-orang yang hanya menikmati apalagi ‘memanfaatkan’ kemerdekaan. Tidak sama seseorang yang menciptakan atau memiliki sesuatu dengan orang-orang yang hanya meminjam atau membeli sesuatu. Tidak akan sama orang-orang yang mengalami dengan orang-orang yang hanya bersimpatai, berempati apalagi hanya ‘merayakannya’. Perayaan hingar bingar dan mental pertunjukan memang tidak lagi layak untuk memaknai sebuah moment sesakaral kemerdekaan.

Pemikiran yang kritis , mental juang, militansi, kemandirian, mentalitas yang sarat dengan harga diri sebagai bangsa, pendirian yang teguh dan tidak membebek adalah hal-hal penting yang semestinya selalu semakin tebal seiring dengan merambatnya usia sebuah bangsa. Bangsa selebritis hanya kan melahirkan generasi-generasi yang lupa akan sejarah dan hakikat dirinya. Bnagsa selebritis adalah bangsa yang akan menaungi generasi-generasi manja dan cekithang-cekithing, karena mereka –nak-anak mudanya- mayoritas adalah generasi-generasi yang menjadikan hiburan sebagai menu utaman kehidupannya. Bila terus menrus demikian??? Ucapkan selamat tinggal kepada cita-cita luhur sebagai bangsa adiluhung yang berbudaya. Ganti saja dengan Republik Inul! Maka bangsa kita benar-benar bak Selebritis dan dunianya. Bangsa mercusuar dan terkenal karena banyak gossip dan masalah! Sinis memang, tapi ini realita!

Vida R. al-Adawiyah
Mahasiswi Fakultas Hukum UNS-Solo,
Koordinator Forum Belajar Perempuan’Benih’-Solo

R_aladawiyah@yahoo.com

Perjalanan Menuju Ilmu

eramuslim - Al kisah, seorang nenek tinggal beserta dua orang cucunya di sebuah gubuk kecil di kaki bukit. Nenek itu sudah cukup renta, dan sering sakit-sakitan. Setahun sudah sang nenek sakit dan kondisinya pun semakin lemah. Mengetahui kondisinya yang menjelang ajal, akhirnya ia memanggil kedua cucunya untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya.

Kedua cucu kakak beradik itu duduk di samping neneknya sambil memijiti kakinya, kemudian berkata kepada cucunya, “Cucuku, rasanya ajalku semakin dekat dan tidak akan ada lagi yang akan menjaga kalian. Untuk itu aku ingin memberikan sesuatu agar kalian tidak kekurangan setelah aku tinggalkan.” Kakak beradik itu tertegun setelah mendengar ucapan neneknya, dan berkata “Nenek jangan berkata begitu”.

Dengan lirih, sang nenek kembali berkata, ”Aku ingin kalian menuju ke suatu daerah, untuk itu aku akan memberi kalian sebuah peta perjalanan. Tapi setahuku, daerah yang dimaksud itu sangat jauh dan butuh waktu tempuh bertahun-tahun. Mungkin kalian akan sampai disana ketika usia kalian menjelang senja. Untuk biaya ke sana nenek mungkin tidak punya uang banyak. Tapi untuk perjalanan pertama akan nenek berikan emas simpanan nenek. Emas itu hanya dapat digunakan sampai ke kota pertama. Setelah itu kalian cari biaya sendiri,” jelas sang nenek.

“kenapa Kami Harus Kesana Nek?”, Kata cucu pertama. "Bukankan di kota terdekat kami bisa hidup dan tinggal di sana?" lanjutnya.

Neneknya menjawab, "Disana kalian akan mendapatkan sesuatu yang berharga."

“Apa itu nek?” tanya cucu ke dua.

“Kalian akan tahu sendiri ketika kalian sampai di sana". Akhirnya kata itu adalah kata terakhir yang tercucap dari bibir sang nenek. Dan sang nenek pun meninggal dunia.

Sehari setelah berkabung. Mereka mulai memikirkan wasiat terakhir neneknya. “Bagaimana dik, apakah kita berangkat sekarang menuju tempat yang dikatakan nenek?” ujar cucu pertama yang lebih tua beberapa tahun dari adiknya. “Sebaiknya kita berangkat segera kak” jawab adiknya.

Setelah sebulan perjalanan yang melelahkan kedua saudara itu pun sampai di sebuah desa. Di sekitar desa itu dipenuhi oleh lahan pertanian yang luas. Masyarakat disana hidup bertani. Saat mereka datang tampak sebagian besar penduduknya sedang memanen hasil pertaniannya. Melihat itu, sang kakak pun berkata, “Dik, makmur sekali negeri ini.“ Adiknya menimpali, “Di tempat kita tidak pernah kita temui hasil panen yang sebagus ini”.

Kedua saudara itu tampak terkagum-kagum dengan pandangan di depan matanya. “Oh ya... bukankah uang kita telah habis untuk sebulan perjalanan?” tanya sang kakak. “Bagaimana kalau kita mengumpulkan uang dulu untuk bekal perjalanan berikutnya?” tambahnya lagi. Adiknya setuju. Akhirnya mereka berdua bekerja pada sebuah keluarga yang memiliki lahan yang luas. Disana mereka diajarkan bercocok tanam sehingga mereka bisa menjadi pekerja di kebun itu.

Tak terasa, enam bulan sudah mereka disana. Tanaman yang mereka tanam sudah menampakkan hasil. Sepekan setelah itu mereka akan menuai panen. “Tampaknya hasil panen ini akan cukup untuk perjalanan berikutnya,” ujar sang kakak.

Usai panen, akhirnya mereka meneruskan perjalanan menuju daerah berikutnya.

Daerah kedua yang mereka temui adalah sebuah padang rumput yang luas. Mereka kembali heran, bagaimana masyarakat disana hidup? Tidak sedikitpun terlihat daerah sesubur tempat yang mereka kunjungi pertama kali. Namun, di balik bukit mereka menemui segerombolan domba yang jumlahnya ratusan. Beberapa saat setelah itu mereka sadar bahwa mata pencaharian masyarakat disana adalah beternak.

"Kak, baru kali ini aku menemui peternakan domba yang sebesar ini” ujar sang adik kagum. Kakaknya pun meng-iyakan. “Kalau begitu, seperti sebelumnya, kita harus mengumpulkan bekal dulu untuk perjalanan berikutnya. Bagaimana kalau kita coba bekerja pada tuan pemilik peternakan ini?” seru sang kakak.

Mereka mulai bekerja sambil belajar bagaimana merawat ternak yang baik.

Genap setahun, mereka kembali memikirkan perjalanan mereka. “Sudah saatnya kita berangkat dik”, ujar sang kakak tetap bersemangat. “Saya sepertinya tinggal di sini saja kak” jawab sang adik ragu. Sang kakak pun kaget mendengar ucapan adiknya. “Apa kamu tidak ingin menunaikan wasiat nenek?” tanya sang kakak menahan emosi. “Saya pikir nenek hanya menginginkan kebahagiaan untuk kita dan saya sudah bahagia disini, sebentar lagi saya akan memperoleh hasil yang cukup besar dan itu bisa saya kembangkan disini,” jawab sang adik.

Sang kakak pun akhirnya mengalah.

Pemuda itu berangkat sendiri ke daerah berikutnya. Setelah beberapa pekan perjalanannya, dia pun sampai di sebuah pantai. Dimana masyarakatnya hidup sebagai nelayan. Dan seperti biasa, ia tinggal disana beberapa waktu untuk menyiapkan bekal berjalanannya. Begitu seterusnya. Separuh dari umurnya sudah melewati berbagai daerah dengan suasana dan kehidupan yang berbeda.

Suatu saat, sang lelaki itu sampai pada suatu daerah yang unik. Dalam setiap perjalanannya baru kali ini dia menemui negeri yang memiliki alam yang indah dengan kehidupan masyarakatnya hampir semuanya makmur. Disana dia menemui daerah yang memiliki semua ciri yang ada pada setiap perjalanannya. Masyarakat disana hidup dengan berbagai corak yang berbeda, ada yang berdagang, bertani, nelayan, dan di pusat kota terdapat bangunan-bangunan indah dan megah. Sungguh sebuah negeri yang sempurna. Mendadak sang pemuda memperhatikan dirinya di sebuah cermin. Dia kaget, melihat sosok yang ada di cermin tersebut. Tampak kulit wajah yang mulai keriput dan rambut yang hampir
separuhnya memutih. Dia teringat akan perkataan neneknya. “perjalanan itu akan sampai pada usia kamu menjelang senja”.

Sang cucu akhirnya merenung, mungkinkah ini daerah akhir dari perjalanannya? Tapi apa yang akan aku dapatkan di sini? Untuk meyakinkan dirinya dia mencoba melihat peta pemberian neneknya. Benar, sepertinya inilah daerah terakhir yang aku tuju. Tapi apa yang aku dapatkan di sini?

Beberapa pekan setelah itu.

Ada pengumuman bahwa Sang Raja mencari orang yang memiliki keterampilan yang banyak dan ilmu yang luas untuk dijadikan penasehatnya. Berduyun-duyun masyarakat disana mulai mendaftar dan masing-masing harus mengikuti seleksi dari kerajaan. Setelah melalui tahap seleksi yang panjang, akhirnya diumumkan bahwa yang berhak menjadi penasehat Raja adalah seorang pemuda yang bernama Karim.

Karim. Dialah lelaki yang menghabiskan umurnya dengan melakukan perjalanan panjang tadi.

***

Sobat, perjalanan mencari ilmu adalah sebuah perjalanan panjang usia kita. Rasulullah pernah mengatakan, "Tuntutlah ilmu dari semenjak lahir hingga ke liang lahat". Betapa Rasulullah memuliakan ilmu dengan menyuruh kita belajar hingga ajal menjelang.

Kita juga pernah mendenger anjuran, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Betapa pentingnya ilmu hingga jarak yang jauh tidak menjadi hambatan untuk mempelajarinya.

Ali Bin Abu thalib mengatakan bahwa ilmu itu lebih baik dari pada harta, karena ilmu akan menjaga kamu sedangkan kamu harus menjaga harta. Ilmu itu akan bertambah jika diberikan sementara harta akan berkurang jika diberikan. Ulama itu tetap hidup meskipun jasadnya telah tiada karena pemikirannya masih tetap ada.

Rasullullah bersabda “Barang siapa yang menuntut ilmu bukan karena Allah maka ia tidak akan keluar dari dunia sehingga ilmu itu datang (memaksa) agar menuntut ilmunya itu karena Allah. Varang siapa yang menuntut ilmu karena Allah maka ia seperti orang yang berpuasa pada siang dan bangun untuk beribadah pada malam hari. Dan sesungguhnya satu bab ilmu yang dipelajari oleh seseorang itu lebih baik daripada ia mempunyai emas sebesar bukit Abu Qubais lalu ia menginfakkan pada jalan Allah Ta’ala”.

Amal adalah pasangan Ilmu. Tanpa amal, ilmu akan mati. Tanpa amal ilmu tiada guna. Tanpa amal ilmu akan pergi meninggalkan kita. Maka amalkanlah ilmu. Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ilmu itu pada mulanya adalah diam, kemudian mendengarkan, lalu menghafalkan (mengingat), lantas mengamalkannya, dan terakhir menyiarkannya”.

Saya teringat sebuah kata-kata, “tidak ada lift untuk menuntut ilmu, kita harus menaikinya melewati setiap anak tangga”. Dan Thomas Alfa Edison pun berkata, "Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration".

Yanti Rahim
Muthiah11@yahoo.com

Keajaiban Telah Membawa Saya Pada "Menulis"

oeramuslim - Orang tua saya bercerai saat saya belum lagi genap berusia satu tahun. Karena keluarga yang broken dan kesulitan ekonomi yang amat sangat –bahkan keluarga saya hampir bisa disebut gelandangan--, semenjak kecil, kami terbiasa bekerja sebagai buruh kasar, terutama di sawah. Pertama kali saya kerja di sawah saat kelas 2 SD, dengan upah setengah orang dewasa.
Saya dan kakak-kakak saya semua ikut Ibu. Ketiadaan Bapak bukan menjadi suatu beban bagi kami karena Ibu selalu mengajarkan kepada kami untuk tidak mengharapkan apa-apa dari Ayah.
Keadaan ekonomi keluarga saya sangat pas-pasan. Alhamdulillah, walaupun hanya mengandalkan upah buruh di sawah bersama anak-anaknya (ibu saya tidak punya lahan), kami bisa sekolah hingga SLTA. Masing-masing dari kami menyimpan cerita-cerita menyedihkan selama menempuh sekolahnya.
Khusus untuk saya, keadaan yang semacam ini ternyata menjadi bagian dari skenario Allah mengantarkan saya menjadi: Penulis!
-----
Harusnya, sekolah saya menjadi tanggungan dari kakak saya yang nomor tujuh dan nomor enam (saya anak nomor delapan). Tetapi entah karena apa, pada tengah tahun pertama, uang itu terhenti. Awalnya saya hanya mikir uang telat, mungkin digabung bulan depan... bulan depan... bulan depan....
Tanpa terasa, akhir tahun ajaran hampir menjelang. Saya pontang-panting. Uang SPP, uang kos, uang kursus, simpanan wajib Koperasi, angsuran BP3... semua nunggak. Belum lagi kaos olahraga, Pramuka yang akan mengadakan acara liburan dan harus dibayar bersamaan dengan membayar uang tes sumatif, biaya study tour yang diwajibkan untuk semua siswa....
Saya merasa bahwa waktu yang tersedia begitu singkat. Saya pontang-panting mencari tambahan uang sambil terus berharap kakak saya melunasi tunggakan-tunggakan itu segera. Salah satunya, saya berjualan makanan kecil sembari sekolah. Kebetulan ada produsen kacang bawang di dekat rumah saya di mana saya bisa membeli langsung seharga Rp 35,- dan menjualnya seharga Rp 50,-. Saya juga coba-coba membuat kaligrafi lantas dijual ke teman-teman untuk penghias sampul buku.
Yang saya rasakan paling nekat adalah saat saya memasang plakat “Menerima Pengetikan Karya Tulis” di depan rumah saya. Bermodalkan mesin tik pinjaman seorang mahasiswa yang kuliahnya tertunda, saya menerima ‘pasien pertama.’ Tidak tanggung-tanggung, pasien saya ini seorang mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Saya begitu PD saat itu mentik sampai beberapa puluh lembar. Ternyata, hasil ketikan saya dikembalikan beberapa hari kemudian. Saya hampir menangis mengingat uang yang saya gunakan untuk membeli kertas HVS, pita tik dan lembar-lembar karbon adalah uang yang saya kumpulkan dengan susah-payah.
Alhamdulillah, mahasiswa itu justru menunjukkan letak kesalahan, sekaligus mengajarkan cara mengetik yang baik dan benar, pemotongan huruf dan sebagainya. Terus terang, saya masih begitu awam. Pengetahuan bahasa saya sangat minim. Begitu juga dengan pengetahuan saya seputar pengetikan dan sebagainya.
Subhanallah... betapa ilmu yang diberikah oleh mahasiswa itu pada saya justru menjadi modal bagi saya untuk menjadi seperti sekarang ini. Kebiasaan membaca karya tulis dan mencoba mereka-reka kata saat berhadapan dengan naskah tulisan tangan yang ‘hancur minah’ justru mengasah sensitivitas saya terhadap kata dan bahasa. Saya mulai mencintai bahasa, kalimat... dan (dalam bahasa saya) mulai peka terhadapnya. Bukan itu saja. Keseharian saya yang bergelut dengan naskah skripsi, laporan PKL, atau kadang-kadang juga ada penulis cerpen amatir yang meminta jasa saya mentik naskahnya sebelum dikirim ke media massa… ternyata menumbuhkan minat saya pada dunia tulis-menulis.
Saya mulai melunasi hutang-hutang saya kepada teman-teman saya, bayar SPP, kos, dan sebagainya. Sesekali kakak saya memberi uang, tetapi sangat jauh dari cukup untuk dikatakan membiayai sekolah saya. Sejak saya memutuskan menerima pengetikan karya tulis itu, saya tak lagi indekos. Saya mulai pulang pergi menempuh jarak Baturetno (tempat tinggal saya)-Wonogiri (lokasi sekolah saya) yang berjarak hampir 60 km. Banyak cerita-cerita menarik yang saya alami selama menempuh aktivitas semacam ini, hal mana akhirnya banyak saya tuangkan dalam cerpen-cerpen saya di kelak kemudian hari.
Saya juga terbiasa tidur di dalam bis dengan alasan memanfaat waktu untuk istirahat. Lumayan, dua jam berangkat dan pulang sekolah. Di rumah, saya terbiasa tidur di atas jam dua dini hari dan bangun jam empat atau jam lima. Saya juga terbiasa begadang sampai tiga hari tiga malam untuk kejar target. Biasa, tidur di bis sebagai kompensasi atau terkadang jam kosong pun nekat tidur menelungkup di meja. Ketiduran di kelas bukan hal aneh. Beberapa guru mulai maklum.
Tahun kedua sekolah, saya menapaki kehidupan yang lebih baik walaupun saya mulai berpikir tentang prestasi saya yang menurun drastis. Semester pertama saya duduk di posisi 2, lantas ke posisi 4, 14, 21... dan terakhir di posisi 36 dari 39 siswa (termasuk prestasi Mid Semester). Terus terang, ini pukulan berat bagi saya. Sejak SD, saya tak pernah pergeser dari 3 besar baik per tingkat maupun per kelas. Sekali saja saya tergeser ke posisi 4 dari 300 siswa saat saya SMP, dan saya menangis. Selebihnya itu saya berganti-ganti antara satu, dua dan tiga. Susahnya, kendati saya mulai menyadari sekolah saya berantakan namun untuk mengejarnya terlalu sulit bagi saya. Banyak pelajaran tingkat satu yang menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang diajarkan di tingkat dua. Ini yang menyulitkan. Hanya tiga saja di antara seluruh mata pelajaran yang saya merasa menguasai: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Akuntansi.
Yang terakhir itu yang mengantarkan saya menjadi salah satu bendahara di sebuah koperasi siswa yang dikelola secara profesional, di mana saya memperoleh sedikit imbalan. Ditambah dengan uang jasa mengetik, penghasilan saya cukup untuk membiayai sekolah.
-----
Awal 1994, saya menginap di rumah seorang teman di Sragen. Teman saya itu mempunyai kakak yang kuliah di sebuah perguruan tinggi di Solo, padahal orang tuanya janda. Dalam obrolan usai makan malam, kakak teman saya memperlihatkan beberapa tulisannya yang dimuat di media massa. Beliau berkata, “Kalau kamu bisa menulis seperti ini, maka kamu bisa sekolah tanpa harus merepotkan orang tua.”
Saya tertegun, tertarik... dan sembunyi-sembunyi menelan ludah saat beliau menyebut besar honor minimal yang pernah diterimanya. Jumlah yang begitu menggiurkan. Lantas terbayanglah upaya saya selama ini dalam mencukupi biaya sekolah.
Karena terbiasa menghitung-hitung penghasilan, maka betapa tergiurnya saya mendengar jumlah honor yang diterima dari menulis. Saya membayangkan, saya akan bisa kuliah di Fakultas Ekonomi, bahkan mungkin saya juga bisa menjadi seorang akuntan sebagaimana yang saya pernah idam-idamkan.
Malam itu, di rumah teman saya tersebut, saya tak bisa tidur hingga menjelang shubuh. Tak saya hiraukan ajakan teman saya untuk segera beristirahat. Pikiran saya tertuju pada tumpukan majalah yang memuat karya kakak teman saya itu. Satu per satu mulai saya buka. Saat itu saya belum tahu jenis-jenis tulisan di media massa; cerpen, opini, artikel, dan lain sebagainya.
Kebanyakan karya dari kakak teman saya tersebut berupa kisah para shahabat Rasulullah. Saya membaca berulang-ulang, mengamati... dan mencoba mencari resep untuk menulis semacam itu. Ada kalanya saya justru menikmati materi yang ditulis seperti tentang Freemasonry, teori konspirasi, perang salib, pembantaian muslim di Andalusia.... Salah satu efek dari membaca yang semacam ini, wawasan keislaman saya semakin membuka. Sebuah kejutan saya rasakan. Saya mulai mengenal Islam, agama saya. Saya mulai merasa tersentuh dengan kisah-kisah umat Islam di luar negeri, mulai membuka mata bahwa sahabat Rasulullah tidak hanya empat orang yakni; Abubakar, Umar, Utsman dan Ali.
Pagi harinya, saya nekat pulang. Perjalanan hampir enam jam dari Sragen ke Baturetno ternyata tak membuat semangat saya kendur, sebab begitu tiba di rumah, saya langsung menuangkan karya saya yang pertama yang tak henti saya reka-reka sepanjang perjalanan tersebut. Sesuai dengan apa yang saya pelajari, saya pun menulis kisah seorang sahabat. Saya ingat, judulnya: Sumayyah binti Khayyat; Darah Islam Pertama yang Mengalir di Bumi.
Tak disangka, sebulan kemudian tulisan itu muncul di sebuah majalah lokal. Saya terharu dan berkaca-kaca. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu kemudian saya masih suka memandangi halaman majalan yang memuat karya saya tersebut sembari tersenyum bangga, terkadang menitik air mata haru. Ini kejutan terbesar yang pernah saya alami. Uang sebesar Rp 30.000 saat itu menjadi begitu berharga bagi saya. Sebuah hadiah yang luar biasa.
Terlalu cepat puas. Itulah ungkapan yang tepat. Termuatnya tulisan pertama ternyata menjadi boomerang bagi saya. Saya merasa kualitas saya telah cukup. Bukan hanya di media itu. Beberapa puisi dan cerpen menyusul dimuat di media lain beberapa minggu kemudian. Dompet saya kembung. Saya mulai takabur. Saya mulai tidak selektif lagi dalam menulis, merasa telah cukup dipertimbangkan namanya. Tulisan saya semakin asal-asalan. Hasilnya, tak sampai setengah tahun kemudian, tak ada lagi media yang memuat tulisan saya. Saya mengirim, menunggu, menunggu.... dan seterusnya begitu. Nihil.
Kertas HVS, pita mesin tik, amplop, prangko... dan semua uang terbuang percuma. Saya mulai merasa sia-sia.
Beberapa bulan kemudian saya total berhenti menulis. Apalagi beberapa cerpen saya ditolak di Annida, Ummi, dan berbagai media yang menampilkan rubrik cerpen maupun nukilan tarikh.
Bersamaan dengan itu, musim mentik telah tiba lagi. Saya kembali sibuk dengan karya tulis, skripsi dan sebagainya. Saya juga kembali mengulak kacang bawang dan menjualnya di sekolah. Ranking kelas yang mulai saya titi kembali melorot. Kali ini... sungguh sangat sulit untuk bangun lagi.
Pada saat itu, menulis sudah hilang dari ingatan saya. Bisa saya katakan bahwa angan-angan untuk menggantungkan nafkah dari menulis telah saya kubur.
-----
Tahun 1996 adalah awal dari kebangkitan saya di dunia menulis. Saat itu saya lulus sekolah, dan tak ada kemungkinan melanjutkan kuliah. Biaya tak ada. Seseorang bilang bahwa yang penting adalah niat, tapi bagi saya itu nonsense. Untuk orang seperti saya, sebesar apa pun tekad, asanya tak mungkin melanjutkan kuliah tanpa terlebih dulu ada mukjizat.
Menganggur itu membuat saya mengingat lagi impian menjadi penulis. Beberapa cerpen mulai saya lahirkan. Saya mulai kembali akrab dengan perangko, amplop, kantor pos, dan sebagainya.
Hasilnya… nihil. Dunia ini tak begitu bersahabat dengan saya.
Tapi, saya terus mencoba. Kadang-kadang semangat saya naik, kadang turun, kadang hilang… lantas datang kembali. Semua itu ternyata bersinergi dengan keterlibatan saya secara lebih kental di dunia Islam. Menulis bagi saya seperti dakwah. Bolehlah bersedih jika dakwah tak bersambut, boleh bergembira dakwah diterima, boleh lemah saat ujian dating menjemput… namun tak boleh patah arang dengan alasan apa pun.
Selanjutnya, saya berusaha untuk terus memperbaiki niat saya saat berkecimpung di dunia menulis ini, adalah berusaha memberi kontribusi sekemampuan saya –meski hanya seupil-- dalam menyeru kepada kalimatul haq. Hampir dua tahun berikutnya, yakni ketika saya hamper-hampir putus asa karena tak kunjung dimuat juga, salah satu puisi saya muncul di sebuah tabloid yang cukup terkenal, lantas disusul cerpen yang dimuat di media nasional… dan begitulah selanjutnya. Beberapa waktu yang buku saya terbit atas nama sendiri. Bagai mimpi rasanya. Perjalanan yang unik. Ya, perjalanan yang menurut saya cukup ajaib dan mengantarkan saya sebagai penulis yang sampai hari ini masih juga menyimpan mimpi untuk bisa menjadi akuntan.
Allah, ingatkan saya jika salah atau lupa.
Tamparlah aku jika itu adalah cara untuk mengingatkanku kembali pada-Mu.
Sakti Wibowo
sakti@syaamil.co.id

Berani Hidup

eramuslim - Aktivitas harian kadang menghadirkan rasa bosan sampai ke tingkat jenuh. Badan malas bergerak dan otak jadi malas mikir. Sangat tidak produktif! Yah, hari itu giliran saya mengalami entah untuk yang keberapa kalinya. Walau telah banyak buku teori yang dibaca sebagai penangkal, masih saja gagal.

Bermalas-malasan menjadi satu-satunya pilihan sambil berusaha merangkai khayalan yang indah tentang segala obsesi yang belum tercapai. Silih berganti dengan berandai-andai yang tanpa sadar membawa kepada rasa putus asa, "andai saja…" dan sederet rasa penyesalan yang tak kunjung usai. (Jauh sekali dari ummat dambaan Rasulullah: seorang mukmin yang kuat).

Kuasa Allah mengalihkan khayalan itu jadi sebuah perenungan yang panjang. Suara hati berebutan dalam proses penyadaran.

"Kamu Pengecut, kamu tidak berani hidup! Orang yang berani hidup akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena hidup yang sekarang hanyalah sementara. Dia takkan menyia-nyiakannya, dia ingin hidup bahagia selamanya disamping Rabbul Izzati”

“Bukankah kamu pernah membaca? Rasulullah bersabda “dunia adalah sebaik-baik kendaraan menuju akhirat". Dengan caramu sekarang, jangan harap deh kamu bisa menghasilkan yang terbaik".

"Wake up donk! Atau kamu ingin bergabung bersama mereka yang bunuh diri hingga kamu tidak perlu lagi capek di hari esok atau kamu akan biarkan syarafmu tegang terus jadi tidak berfungsi hingga esok hari tidak usah berpikir lagi?”.

“Allah kuasa memberi peringatan dalam bentuk apapun. Kenapa harus menunggu peringatan itu datang kalau akal sehat masih mampu memperbaiki kesalahan yang terjadi? Menurut berita terbaru, 3 dari 1000 orang di Indonesia sakit jiwa. Kamu ingin menambah panjang daftar itu?”

Na’udzubillaahi min dzalik. Saya sadar... kemalasan telah 'mengecilkan' keberadaan Sang Khalik yang telah mempersembahkan semua yang terbaik untuk hamba-Nya. Awan beraneka rupa, tak pernah sama dari hari ke hari. Dihadirkan-Nya duka agar saya bisa merasakan indahnya bahagia, dihadiahi-Nya rasa gagal agar saya bisa memanjatkan syukur yang tak berhingga ketika berhasil. Sayalah yang menjadikan hidup terasa menjemukan. Astaghfirullahal’adziim. Sesungguhnya Allah tidak pernah zalim kepada hamba-hambaNya. Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazhaalimin.

Ya, segala hal yang bersifat manusiawi selalu bisa jadi alasan hingga kita permisif dalam menyikapi kemalasan dan kejenuhan. Bukan berarti, kita harus memaksakan diri dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan! Masih banyak alternatif lain untuk menjadikan hidup bermakna. Hobi tidak pernah mendatangkan rasa jenuh bukan? Namanya juga hobi –hal-hal yang disukai dan disenangi. Bagi yang hobi memasak, segera bangkit dari tempat tidur, masak makanan terbaik dan suguhkan untuk keluarga tercinta. Bagi yang hobi jalan-jalan, simaklah keagungan ciptaan-Nya dan ajaklah anak yatim, bahagiakan hati mereka. Percayalah, kebahagiaan itu menular! Bagi yang hobi membaca, bacalah sebanyak-banyaknya buku, cari hikmahnya dan ceritakan kepada yang lain. Tanpa disadari, kita sudah berdakwah. Atau langkahkan kaki ke rumah sahabat lama, guru atau orang yang pernah menyakiti kita sekalipun. Yakinlah, silaturahmi bisa merubah suasana hati. Dan jika memang terlalu lelah, berdzikirlah dalam diam... rasakan bahwa Dia begitu dekat... dekaaaat sekali...

Ah, ternyata dunia ini sungguh indah. Kunci menghilangkan rasa jenuh, ternyata sangat sederhana: BERGERAK! Hingga kita akhirnya hanya punya dua pilihan: ingin hidup seratus tahun lagi untuk berkarya atau ingin mati besok karena kita yakin hidup kita selama ini telah mengantongi cukup bekal dalam menyongsong kehidupan hakiki di surga-Nya. BERANI HIDUP!!! Wallaahu 'a'lam.

farah_adibah@yahoo.com

Untuk diri sendiri jika rasa jenuh melanda dan untuk mengenang kembalinya Papa Boediwardoyo menghadap Illaahi 9 Agustus 2002, semoga tenang di sisi Allah.

Kenapa Tidak Minta Yang Terbaik?


eramuslim - Manusia memang tidak pernah luput dari yang namanya “menyesal”. Setelah menyesal, barulah dia merasa sedih dan memohon ampun pada Sang Khalik. Memang seperti itulah kodratnya. Tetapi bagi hamba yang telah mencapai titik keimanan yang lebih, tentunya ia tidak akan mengalami hal seperti diatas, dia akan pasrah kepada-Nya, dan menerima semua keputusan-Nya dengan lapang dada, sehingga tidak tampak penyesalan di wajahnya.
Manusia memang diberi nafsu oleh Allah Swt. Jika nafsu itu bisa dikelola dengan baik, artinya apa yang diinginkannya semata-mata adalah untuk mencapai keridhoan-Nya, maka apapun hasilnya, insya Allah, akan menyenangkan. Lain halnya jika manusia bernafsu akan suatu hal, tetapi ia tidak mengelolanya dengan baik, maka hasil apapun yang diberi Allah dianggapnya sebagai suatu tanda bahwa Allah tidak sayang lagi padanya.
Manusia hanya manusia pemikir, begitu kata teman saya, semuanya akan kembali kepada Allah juga. Ketika usaha sudah kita lakukan dengan segenap kemampuan kita, sudah sepatutnya semua hasilnya pun kita serahkan pada Allah, tidak lantas memaksa Allah untuk mengabulkan apa maunya kita sendiri. Allah Maha Tahu segalanya, apa yang ada di hati kita Dia tahu, apa yang terbaik untuk kita jelas Dia sangat tahu. Kenapa masih saja kita memaksakan suatu keinginan kepada-Nya?
Seringkali kita baca ayat yang menyebutkan bahwa, apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, dan apa yang buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah, tapi kenapa pula kita seringkali tidak merealisasikan ayat tersebut?
Banyak rahasia Allah yang tidak kita ketahui, mungkin dibalik apa yang buruk menurut kita, Allah menyimpan suatu keberhasilan untuk kita di kemudian hari. Atau sebaliknya, mungkin dibalik apa yang baik menurut kita tersimpan suatu kegagalan di hari depan, sehingga tidak Ia kabulkan apa yang kita minta tersebut.
Sudah sepantasnya kita ber-husnudzon kepada Allah. Tidak berat rasanya di setiap do’a kita meminta Allah memberikan yang terbaik untuk hari depan kita, beratkah mengucapkan sebaris kata-kata itu? Mungkin berat karena hati kita masih dikuasai oleh nafsu. Nafsu yang menyelimuti hati punya porsi lebih besar dari kepasrahan kita kepada-Nya. Coba kita latih untuk bisa mengucapkan kalimat itu di hadapan-Nya, setiap kita berdo’a. Jika kita sudah mampu mengatakannya, insya Allah, hati kita telah pasrah kepada-Nya dan insya Allah hasil apapun yang Allah berikan akan dapat kita terima dengan ikhlas dan lapang dada. Allah pun, insya Allah, akan memberikan pahala buat kita. Amiin.
Berdo’a apa saja memang Allah anjurkan, asalkan itu adalah kebaikan. Tapi tidak ada salahnya jika di setiap akhir do’a kita sisipkan kata-kata itu, sehingga hati lebih tentram. Saya yakin hasil apa pun yang akan Allah berikan akan dapat kita terima dengan ikhlas dan menjalaninya pun akan dengan senang hati.
Mulailah untuk dapat meminta yang terbaik kepada Allah, jangan sampai kita terbelenggu oleh nafsu kita sendiri. Ingat, Allah Maha Tahu dan akan memberi yang terbaik untuk hamba-Nya yang beriman. Wallahu’alam bishowab.
Terimakasih ya Allah, hamba tahu inilah yang terbaik untuk hamba.
Azkia_Salsabila

Allah Juga kah Yang Mentakdirkan Manusia Dosa?


Publikasi: 01/08/2003 10:26 WIB
Ada sebuah wacana menarik ketika seorang anak muda melontarkan pertanyaan kepada seorang Ustadz.
“Ustadz, Allah jugakah yang mentakdirkan manusia dosa ?”, tanya pemuda itu membuka percakapan.
“Manusia itu sudah diberi akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang berpahala dan mana yang dosa. Jadi manusia itulah pada hakekatnya yang mendhalimi dirinya sendiri, sehingga dia terjerumus
dalam dosa”, jawab sang ustadz dengan senyum ramah di bibirnya.
“Jadi, kuncinya pada akal manusia ?”.
“Ya, justru itulah yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lain”.
“Lalu, siapa yang menggerakkan akal sehingga dia bisa memilih jalan sorga atau neraka ?”, anak muda itu terus mengejar dengan pertanyaan.
“Faktor utama kualitas output itu ditentukan oleh kualitas input. Itulah hukum dasar produksi; yang juga berlaku untuk akal kita. Analoginya, kalau bahannya cuma semen, pasir dan air, mustahil bagi kita untuk membuat ubin marmer. Ubin marmer inputnya ya marmer. Artinya, agar otak kita memutuskan jalan sorga, inputnya harus amal kebaikan. Misalnya pengajian, tartil Qur’an, majelis taklim, teman sholeh/sholekhah dan segala tuntunan Qur’an –
Hadist.”
“Siapa yang menggerakkan hati sehingga mampu memilih input dengan kualitas surga ?”
“Allahlah Sang Muqollibal Qulub (Pembolak Balik Hati)”, jawab Sang Ustadz dengan mantab.
“Jadi artinya Allah penentu “input surga” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia mampu memilih jalan ke surga. Allah juga penentu “input neraka” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia memilih jalan dosa. Bisakah saya menyimpulkan bahwa Allah juga yang menentukan manusia dosa ?”,
Si anak muda tadi berusaha menyimpulkan dari obrolan dengan sang ustadz.
Sang ustadz hanya tersenyum dengan kerut didahinya. Ia lalu mengatakan, "Demi Allah; tidak ada selembar daun keringpun yang jatuh tanpa izin-Nya. Tidak ada setetes darahpun yang mengalir dalam tubuh ini tanpa izin-Nya. Tidak ada kematian seserat neuronpun di otak kita tanpa seizin-Nya. Tidak ada setitik pikiran dan seucap katapun yang sanggup dilontarkan manusia tanpa seizin-Nya. Allahlah yang memberi hidayah manusia sehingga suatu kebaikan ringan dia kerjakan."
Mari ikuti beberapa uraian berikut. Shalat sudah menjadi kebutuhan, ucapan santun menjadi trade mark dan ibadah apapun terasa nikmat. Namun kadang kondisi ini membuat manusia makin lalai. Bukan lalai pada Tuhannya, tapi yang paling sering adalah lalai pada saudara sesama muslimnya. Dia berfikir bahwa orang setingkat dia harus hidup dengan komunitasnya. Dia takut kalau orang yang keimanannya dibawahnya, atau jauh dibawahnya akan memberi dampak negatif bagi perkembangan rohaninya. Walhasil, dia hanya hidup di kalangan komunitas exclusive bikinannya sendiri. Kalau kondangan saja, dia selalu ngumpul sesama “jalur” dan tidak membaur. Sukanya mengorek kekurangan kelompok lain dan merasa diri/kelompoknyalah yang paling hebat.
Inilah sisi lain yang dengan kasih sayang-Nya, Allah berusaha mengubah dengan “takdir lain”. Dia takdirkan dosa dengan apapun penyebab yang mungkin. Shalat tahajjud sampai kelelahan dan tertidur sebelum adzan subuh. Akhirnya terbangun Jam 06.30 pagi.. Langsung mandi, berangkat kerja dan tidak sempat lagi shalat subuh. Dapat sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Ibarat dapat tambal baju, tapi tidak pakai baju. Karena amalan sunnah itu hanyalah amalan tambahan sebagai tambal bolongnya amalan wajib. Bolong karena kurang ikhlas, riya’ atau hal lain.
Mari kita lihat saudara-saudara kita yang sedang dijalur “kurang beruntung”. Pekerjaan utama sebagai penjaja tubuh. Dapat duit untuk judi sambil minum-minuman keras. Setelah duitnya habis dia “jualan” tubuh lagi. Begitulah kesehariannya dia jalani dengan normal menurut ukurannya sendiri. Tidak ada kata dosa.
Duapuluh tahun berikutnya ketika usianya menginjak empatpuluhan, nilai jualnya sudah turun drastis. Persaingan makin ketat dengan munculnya “daun-daun muda” baru. Cari duit sudah sulit. Badanpun mulai sakit-sakit. Setelah di-cek ke dokter, ternyata kena AIDS. Hari demi hari tubuhnya kian kurus.
Detik demi detik dari setiap sisa nafasnya hanyalah untuk menanti kereta kematian. Dia terhenyak, “kepada siapa lagi aku minta pertolongan ?” Akhirnya dengan rasa malu dia menyebut sebuah nama yang sudah terkubur selama duapuluh tahun. “Allah……….Allah……….Allah……”, mulutnya gemetaran menyebut dengan air mata meleleh penuh ketulusan. Dia yakin se-yakin yakinnya hanya Allahlah yang sanggup menolong. Sajadahpun dia cari lalu digelar untuk shalat, taubat dan taubat. Tak ada sedikitpun kesombongan terbesit dihatinya. Karena memang tidak ada yang pantas dia sombongkan dihadapan siapapun. Dosanya menumpuk sedang amal sorganya baru dia mulai. Inilah sisi yang lebih “lain” lagi sehingga Allah mengubah takdirnya. Dari sesat menjadi hidayah. Subhanallah.
Dari kedua contoh yang saling bertolak belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa takdir Allah itu adalah tuntutan kasih sayang-Nya. Dia Maha Tahu dengan cara apa Dia membuat manusia berjalan di trotoar yang benar dalam ukuran-Nya. Semuanya bertujuan agar sang mahluk tunduk pada Sang Khalik dengan setunduk-tunduknya. Penuh keihlasan. Ikhlas dengan tujuan hanya kepada Allah. Bukan hanya untuk mencari popolaritas ditengah-tengah manusia, karena namanya memang sudah miring dalam pandangan manusia.
Perbaikan demi perbaikan tidaklah berarti lagi dimata manusia. Lalu kepada siapa dan kepada siapa lagi dia harus minta pertolongan ? Inilah titik kulminasi kepasrahan yang diciptakan Allah pada sang hamba agar dia benar-benar kembali ke pangkuan-Nya. Dengan demikian pertolongan dan keagungan Tuhan bukan hanya sekedar kalimat-kalimat puisi, lagu atau nyanyian tapi lebih dari itu; dia akan rasakan dengan sepenuh hati. Kesimpulannya bahwa Allah tidak akan menjatuhkan takdir dengan sia-sia.
Dengan kasih sayang-Nya, tidak ada satupun dari takdir-Nya yang merugikan manusia. Semua bertujuan agar manusia kembali ke pangkuan-Nya dengan kesucian karena dia berangkat ke dunia dengan kesucian pula. Semua bertujuan agar manusia benar-benar sepenuhnya bergantung pada-Nya, sehingga tidak ada kemusyrikan dihatinya, walaupun sebesar zarrah.

Kupersembahkan buat semua sahabat muslim / muslimahku di seluruh dunia, khususnya Nina dan Zulfa.
sugito@aitbatam.com