Keajaiban Telah Membawa Saya Pada "Menulis"

oeramuslim - Orang tua saya bercerai saat saya belum lagi genap berusia satu tahun. Karena keluarga yang broken dan kesulitan ekonomi yang amat sangat –bahkan keluarga saya hampir bisa disebut gelandangan--, semenjak kecil, kami terbiasa bekerja sebagai buruh kasar, terutama di sawah. Pertama kali saya kerja di sawah saat kelas 2 SD, dengan upah setengah orang dewasa.
Saya dan kakak-kakak saya semua ikut Ibu. Ketiadaan Bapak bukan menjadi suatu beban bagi kami karena Ibu selalu mengajarkan kepada kami untuk tidak mengharapkan apa-apa dari Ayah.
Keadaan ekonomi keluarga saya sangat pas-pasan. Alhamdulillah, walaupun hanya mengandalkan upah buruh di sawah bersama anak-anaknya (ibu saya tidak punya lahan), kami bisa sekolah hingga SLTA. Masing-masing dari kami menyimpan cerita-cerita menyedihkan selama menempuh sekolahnya.
Khusus untuk saya, keadaan yang semacam ini ternyata menjadi bagian dari skenario Allah mengantarkan saya menjadi: Penulis!
-----
Harusnya, sekolah saya menjadi tanggungan dari kakak saya yang nomor tujuh dan nomor enam (saya anak nomor delapan). Tetapi entah karena apa, pada tengah tahun pertama, uang itu terhenti. Awalnya saya hanya mikir uang telat, mungkin digabung bulan depan... bulan depan... bulan depan....
Tanpa terasa, akhir tahun ajaran hampir menjelang. Saya pontang-panting. Uang SPP, uang kos, uang kursus, simpanan wajib Koperasi, angsuran BP3... semua nunggak. Belum lagi kaos olahraga, Pramuka yang akan mengadakan acara liburan dan harus dibayar bersamaan dengan membayar uang tes sumatif, biaya study tour yang diwajibkan untuk semua siswa....
Saya merasa bahwa waktu yang tersedia begitu singkat. Saya pontang-panting mencari tambahan uang sambil terus berharap kakak saya melunasi tunggakan-tunggakan itu segera. Salah satunya, saya berjualan makanan kecil sembari sekolah. Kebetulan ada produsen kacang bawang di dekat rumah saya di mana saya bisa membeli langsung seharga Rp 35,- dan menjualnya seharga Rp 50,-. Saya juga coba-coba membuat kaligrafi lantas dijual ke teman-teman untuk penghias sampul buku.
Yang saya rasakan paling nekat adalah saat saya memasang plakat “Menerima Pengetikan Karya Tulis” di depan rumah saya. Bermodalkan mesin tik pinjaman seorang mahasiswa yang kuliahnya tertunda, saya menerima ‘pasien pertama.’ Tidak tanggung-tanggung, pasien saya ini seorang mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Saya begitu PD saat itu mentik sampai beberapa puluh lembar. Ternyata, hasil ketikan saya dikembalikan beberapa hari kemudian. Saya hampir menangis mengingat uang yang saya gunakan untuk membeli kertas HVS, pita tik dan lembar-lembar karbon adalah uang yang saya kumpulkan dengan susah-payah.
Alhamdulillah, mahasiswa itu justru menunjukkan letak kesalahan, sekaligus mengajarkan cara mengetik yang baik dan benar, pemotongan huruf dan sebagainya. Terus terang, saya masih begitu awam. Pengetahuan bahasa saya sangat minim. Begitu juga dengan pengetahuan saya seputar pengetikan dan sebagainya.
Subhanallah... betapa ilmu yang diberikah oleh mahasiswa itu pada saya justru menjadi modal bagi saya untuk menjadi seperti sekarang ini. Kebiasaan membaca karya tulis dan mencoba mereka-reka kata saat berhadapan dengan naskah tulisan tangan yang ‘hancur minah’ justru mengasah sensitivitas saya terhadap kata dan bahasa. Saya mulai mencintai bahasa, kalimat... dan (dalam bahasa saya) mulai peka terhadapnya. Bukan itu saja. Keseharian saya yang bergelut dengan naskah skripsi, laporan PKL, atau kadang-kadang juga ada penulis cerpen amatir yang meminta jasa saya mentik naskahnya sebelum dikirim ke media massa… ternyata menumbuhkan minat saya pada dunia tulis-menulis.
Saya mulai melunasi hutang-hutang saya kepada teman-teman saya, bayar SPP, kos, dan sebagainya. Sesekali kakak saya memberi uang, tetapi sangat jauh dari cukup untuk dikatakan membiayai sekolah saya. Sejak saya memutuskan menerima pengetikan karya tulis itu, saya tak lagi indekos. Saya mulai pulang pergi menempuh jarak Baturetno (tempat tinggal saya)-Wonogiri (lokasi sekolah saya) yang berjarak hampir 60 km. Banyak cerita-cerita menarik yang saya alami selama menempuh aktivitas semacam ini, hal mana akhirnya banyak saya tuangkan dalam cerpen-cerpen saya di kelak kemudian hari.
Saya juga terbiasa tidur di dalam bis dengan alasan memanfaat waktu untuk istirahat. Lumayan, dua jam berangkat dan pulang sekolah. Di rumah, saya terbiasa tidur di atas jam dua dini hari dan bangun jam empat atau jam lima. Saya juga terbiasa begadang sampai tiga hari tiga malam untuk kejar target. Biasa, tidur di bis sebagai kompensasi atau terkadang jam kosong pun nekat tidur menelungkup di meja. Ketiduran di kelas bukan hal aneh. Beberapa guru mulai maklum.
Tahun kedua sekolah, saya menapaki kehidupan yang lebih baik walaupun saya mulai berpikir tentang prestasi saya yang menurun drastis. Semester pertama saya duduk di posisi 2, lantas ke posisi 4, 14, 21... dan terakhir di posisi 36 dari 39 siswa (termasuk prestasi Mid Semester). Terus terang, ini pukulan berat bagi saya. Sejak SD, saya tak pernah pergeser dari 3 besar baik per tingkat maupun per kelas. Sekali saja saya tergeser ke posisi 4 dari 300 siswa saat saya SMP, dan saya menangis. Selebihnya itu saya berganti-ganti antara satu, dua dan tiga. Susahnya, kendati saya mulai menyadari sekolah saya berantakan namun untuk mengejarnya terlalu sulit bagi saya. Banyak pelajaran tingkat satu yang menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang diajarkan di tingkat dua. Ini yang menyulitkan. Hanya tiga saja di antara seluruh mata pelajaran yang saya merasa menguasai: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Akuntansi.
Yang terakhir itu yang mengantarkan saya menjadi salah satu bendahara di sebuah koperasi siswa yang dikelola secara profesional, di mana saya memperoleh sedikit imbalan. Ditambah dengan uang jasa mengetik, penghasilan saya cukup untuk membiayai sekolah.
-----
Awal 1994, saya menginap di rumah seorang teman di Sragen. Teman saya itu mempunyai kakak yang kuliah di sebuah perguruan tinggi di Solo, padahal orang tuanya janda. Dalam obrolan usai makan malam, kakak teman saya memperlihatkan beberapa tulisannya yang dimuat di media massa. Beliau berkata, “Kalau kamu bisa menulis seperti ini, maka kamu bisa sekolah tanpa harus merepotkan orang tua.”
Saya tertegun, tertarik... dan sembunyi-sembunyi menelan ludah saat beliau menyebut besar honor minimal yang pernah diterimanya. Jumlah yang begitu menggiurkan. Lantas terbayanglah upaya saya selama ini dalam mencukupi biaya sekolah.
Karena terbiasa menghitung-hitung penghasilan, maka betapa tergiurnya saya mendengar jumlah honor yang diterima dari menulis. Saya membayangkan, saya akan bisa kuliah di Fakultas Ekonomi, bahkan mungkin saya juga bisa menjadi seorang akuntan sebagaimana yang saya pernah idam-idamkan.
Malam itu, di rumah teman saya tersebut, saya tak bisa tidur hingga menjelang shubuh. Tak saya hiraukan ajakan teman saya untuk segera beristirahat. Pikiran saya tertuju pada tumpukan majalah yang memuat karya kakak teman saya itu. Satu per satu mulai saya buka. Saat itu saya belum tahu jenis-jenis tulisan di media massa; cerpen, opini, artikel, dan lain sebagainya.
Kebanyakan karya dari kakak teman saya tersebut berupa kisah para shahabat Rasulullah. Saya membaca berulang-ulang, mengamati... dan mencoba mencari resep untuk menulis semacam itu. Ada kalanya saya justru menikmati materi yang ditulis seperti tentang Freemasonry, teori konspirasi, perang salib, pembantaian muslim di Andalusia.... Salah satu efek dari membaca yang semacam ini, wawasan keislaman saya semakin membuka. Sebuah kejutan saya rasakan. Saya mulai mengenal Islam, agama saya. Saya mulai merasa tersentuh dengan kisah-kisah umat Islam di luar negeri, mulai membuka mata bahwa sahabat Rasulullah tidak hanya empat orang yakni; Abubakar, Umar, Utsman dan Ali.
Pagi harinya, saya nekat pulang. Perjalanan hampir enam jam dari Sragen ke Baturetno ternyata tak membuat semangat saya kendur, sebab begitu tiba di rumah, saya langsung menuangkan karya saya yang pertama yang tak henti saya reka-reka sepanjang perjalanan tersebut. Sesuai dengan apa yang saya pelajari, saya pun menulis kisah seorang sahabat. Saya ingat, judulnya: Sumayyah binti Khayyat; Darah Islam Pertama yang Mengalir di Bumi.
Tak disangka, sebulan kemudian tulisan itu muncul di sebuah majalah lokal. Saya terharu dan berkaca-kaca. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu kemudian saya masih suka memandangi halaman majalan yang memuat karya saya tersebut sembari tersenyum bangga, terkadang menitik air mata haru. Ini kejutan terbesar yang pernah saya alami. Uang sebesar Rp 30.000 saat itu menjadi begitu berharga bagi saya. Sebuah hadiah yang luar biasa.
Terlalu cepat puas. Itulah ungkapan yang tepat. Termuatnya tulisan pertama ternyata menjadi boomerang bagi saya. Saya merasa kualitas saya telah cukup. Bukan hanya di media itu. Beberapa puisi dan cerpen menyusul dimuat di media lain beberapa minggu kemudian. Dompet saya kembung. Saya mulai takabur. Saya mulai tidak selektif lagi dalam menulis, merasa telah cukup dipertimbangkan namanya. Tulisan saya semakin asal-asalan. Hasilnya, tak sampai setengah tahun kemudian, tak ada lagi media yang memuat tulisan saya. Saya mengirim, menunggu, menunggu.... dan seterusnya begitu. Nihil.
Kertas HVS, pita mesin tik, amplop, prangko... dan semua uang terbuang percuma. Saya mulai merasa sia-sia.
Beberapa bulan kemudian saya total berhenti menulis. Apalagi beberapa cerpen saya ditolak di Annida, Ummi, dan berbagai media yang menampilkan rubrik cerpen maupun nukilan tarikh.
Bersamaan dengan itu, musim mentik telah tiba lagi. Saya kembali sibuk dengan karya tulis, skripsi dan sebagainya. Saya juga kembali mengulak kacang bawang dan menjualnya di sekolah. Ranking kelas yang mulai saya titi kembali melorot. Kali ini... sungguh sangat sulit untuk bangun lagi.
Pada saat itu, menulis sudah hilang dari ingatan saya. Bisa saya katakan bahwa angan-angan untuk menggantungkan nafkah dari menulis telah saya kubur.
-----
Tahun 1996 adalah awal dari kebangkitan saya di dunia menulis. Saat itu saya lulus sekolah, dan tak ada kemungkinan melanjutkan kuliah. Biaya tak ada. Seseorang bilang bahwa yang penting adalah niat, tapi bagi saya itu nonsense. Untuk orang seperti saya, sebesar apa pun tekad, asanya tak mungkin melanjutkan kuliah tanpa terlebih dulu ada mukjizat.
Menganggur itu membuat saya mengingat lagi impian menjadi penulis. Beberapa cerpen mulai saya lahirkan. Saya mulai kembali akrab dengan perangko, amplop, kantor pos, dan sebagainya.
Hasilnya… nihil. Dunia ini tak begitu bersahabat dengan saya.
Tapi, saya terus mencoba. Kadang-kadang semangat saya naik, kadang turun, kadang hilang… lantas datang kembali. Semua itu ternyata bersinergi dengan keterlibatan saya secara lebih kental di dunia Islam. Menulis bagi saya seperti dakwah. Bolehlah bersedih jika dakwah tak bersambut, boleh bergembira dakwah diterima, boleh lemah saat ujian dating menjemput… namun tak boleh patah arang dengan alasan apa pun.
Selanjutnya, saya berusaha untuk terus memperbaiki niat saya saat berkecimpung di dunia menulis ini, adalah berusaha memberi kontribusi sekemampuan saya –meski hanya seupil-- dalam menyeru kepada kalimatul haq. Hampir dua tahun berikutnya, yakni ketika saya hamper-hampir putus asa karena tak kunjung dimuat juga, salah satu puisi saya muncul di sebuah tabloid yang cukup terkenal, lantas disusul cerpen yang dimuat di media nasional… dan begitulah selanjutnya. Beberapa waktu yang buku saya terbit atas nama sendiri. Bagai mimpi rasanya. Perjalanan yang unik. Ya, perjalanan yang menurut saya cukup ajaib dan mengantarkan saya sebagai penulis yang sampai hari ini masih juga menyimpan mimpi untuk bisa menjadi akuntan.
Allah, ingatkan saya jika salah atau lupa.
Tamparlah aku jika itu adalah cara untuk mengingatkanku kembali pada-Mu.
Sakti Wibowo
sakti@syaamil.co.id

0 komentar:

Posting Komentar