Lapar . . . . . . .?

eramuslim - Enaknya kalau punya anggota keluarga banyak itu, kita bisa bergilir mengunjungi mereka satu per satu. Makanya aku 'sedih' melihat Keluarga Berencana (KB) di kalangan umat Islam 'berhasil'. Sementara umat 'tetangga' kita membengkak tak terkontrol.

Apalagi kalau saudara-saudari kita sudah mapan semua. Aku jadi 'malu' sendiri bila mau mengingat apa yang sudah saya lakukan dulu. Ibu memang nggak selalu mampu menyediakan makanan ekstra untuk anak-anaknya. Empat orang dari tujuh kakakku sudah berkeluarga. Kebetulan tempat tinggal mereka tidak jauh dari rumah kami. Jadilah saya 'manfaatkan' kesempatan ini, utamanya jika 'kebutuhan' perut ini meningkat.

Maklum, masa anak-anak biasanya semego (doyan-doyannya nasi) orang Jawa bilang. Diantara anggota keluarga, hanya saya yang tergolong tidak sungkan-sungkan untuk persoalan yang satu ini. Masuk rumah kakak, langsung minta makan. Biasanya saya terus terang tanya kepada siapapun kakak yang saya kunjungi. 'Peduli' amat dengan kakak-kakak iparku! Toh mereka pikir aku masih anak-anak. “Bikin makanan apa Mbak?” Begitu tanyaku bila berkungjung ke rumah mereka. Barangkali aku memang tipe ndableg (kurang tahu aturan). Bisa saja bukan hanya saya pelakunya. Kalau kebutuhan perut ini mendesak, yang namanya aturan sopan-santun atau etika pergaulan, akan menjadi persoalan kedua. Yang penting kenyang!

Selama enam bulan ini salah seorang keponakanku yang baru menikah, saya suruh untuk menempati rumahku BTN, itung-itung dari pada kontrak. Sebulan terakhir ini, karena ia sering harus kerja keluar kota, sering pulang terlambat. Mereka berdua tidak bisa menempati rumah tersebut. Diputuskannya untuk tinggal bersama mertuanya di pusat kota. Minggu lalu, saya dapat kabar dari adik saya, meteran air rumah BTN tersebut diambil orang tanpa ijin si empunya alias mencuri. Yang menjadi pertanyaan saya adalah sedemikian parahkah tingkat kelaparan perut sebagian masyarakat kita, sehingga untuk memenuhinya harus mencuri barang-barang apa saja yang penting bisa diuangkan? Dari jauh, saya ikut prihatin memperhatikan nasib bangsa ini.

Lebih prihatin lagi kata Pak Zulkarnaen, seorang koordinator sebuah perusahaan konstruksi terkenal di Jakarta, bahwa tingkat pengangguran yang sudah diatas angka sepuluh juta ini mengakibatkan banyak orang (konon), kalaupun mau mencuri, yang dicuripun tidak ada. Begitu kisahnya yang terjadi di sebuah daerah di Jawa Tengah. Makanya, selama kampanye beberapa minggu lalu, jangan heran kalau beberapa orang yang menemani Pak Amien Rais dalam perjalanan beliau menuju Kampus Universitas Indonesia, HP mereka dicopet. Bukan hanya mereka, salah seorang anggota Tim Sukses Susilo B. Yudhoyono, juga 'kehilangan' HP Communicator nya. Astaghfirullah!

Kelaparan dalam arti fisik (baca: perut!) ternyata bisa mempengaruhi tingkah laku seseorang. Contoh-contoh di atas membuktikan, jika tidak pandai mengontrol, cenderung mengesampingkan nilai-nilai agama, sosial dan budaya. Tidak semuanya memang orang pinter mengatasi kelaparan ini. Ada mereka yang sangat bijaksana sekali, misalnya dengan melaksanakan puasa, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan perut keluarganya sehari-hari. Sahabat-sahabat Rasulullah SAW tidak sedikit yang melakukan kebiasaan ini.

Ada seorang sahabat yang, karena tidak adanya makanan yang cukup ini, terpaksa menyuruh istrinya menggoreng kerikil hanya karena ingin 'menghibur' anak-anaknya yang sedang tidur sementara kelaparan. Bahkan dalam riwayat lain diceriterakan, ketika mereka sedang menerima tamu pun, hanya lentera redup yang dinyalakan karena tidak ingin tamunya mengetahui makanan yang tersedia yang ternyata cuma cukup untuk sang tamu. Padahal sang tuan rumah tidak menikmati secuil makananpun di atas piringnya. Subhanallah!

Tingkatan iman kita tidak bisa disamakan dengan derajat keimanan para sahabat Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, saya sebenarnya sedih melihat betapa selama pampanye kemarin, begitu banyak kertas-kertas berwarna yang menurut hemat saya, mahal harganya. Pembuangan yang mubadzir. Belum lagi media kampanye dalam bentuk lain semisal kain, plastik, papan kayu, aluminium, balon udara serta media elektronika. Adakah ini kemewahan semu? Hanya karena ingin predikat 'wah', ditempuhnya cara-cara kamuflase. Layaknya sebuah Bunglon.

Semuanya harus dibayar mahal. Coba seandainya segala ongkos media-media kampanye tadi ditukar dalam bentuk rupiah dan dimanfaatkan untuk mengatasi kesengsaraan warga kita? Saya yakin, sebagian dari empat puluh juta rakyat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan akan bisa terselamatkan. Jutaan manusia Indonesia yang sedang kelaparan, membutuhkan gula, menutupi uang sekolah, membeli beras, dan lain-lain. akan terpenuhi kebutuhannya.

Ada yang berpikir, kampanye hendaknya dijajakan tidak dengan kemasan murahan. Apalah artinya kualitas jika realitasnya sebagian besar rakyat kita menderita. Pendidikan mahal, kesehatan tak terjangkau, pekerjaan jadi langka, kejahatan merajalela. Lihat India yang katanya miskin! Saya lihat ijazah Abdul Samad, pemegang sarjana ekonomi, hanya terbuat dari selembar kertas buram. Namun nilainya? Tidak kalah dengan ijazah-ijazah kita yang berpenampilan keren dan mahal kertasnya.

Untuk mendapatkan selembar ijazah kita sesudah lulus, dibutuhkan ratusan ribu rupiah. Mungkin lebih. Belum termasuk uang wisuda. Apa arti semua ini jika akhirnya guna memperoleh pekerjaan sesudah lulus ternyata jauh lebih susah dibanding mencari mutiara di lautan? Rasulullah SAW tidak menyukai pemborosan.

Acapkali, karena kelaparan dalam artian fisik ini pula, orang jadi carnivora. Mereka 'memakan' sesamanya. Kalangan atas melalap kalangan bawah. Pejabat ngapusin rakyat. Mereka makan hak-hak saudaranya. Mereka rampas milik orang lain. Mereka kunyah sesuatu yang tidak layak. Asalkan masuk perut, tidak jadi masalah. Dalam kelas rendah, mereka bisa jadi 'pemakan segala'.

Dalam artian fisik, tengoklah, misalnya, ratusan pengemis yang setiap hari gorek-gorek tempat sampah, mencari sesuatu yang bisa dimakan di Kedung Kandang, pusat pembuangan sampah terbesar di Kotamadya Malang. Berapa jumlah anak-anak usia sekolah yang setiap pagi bongkar-bongkar kotak sampah di jalan-jalan Surabaya dan Jakarta? Padahal mata kita lewat di depannya. Kita sumbangkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk kampanye politik, dengan membuka mata lebar-lebar. Tapi kita berusaha menutup mata rapat-rapat kala melihat kaum dhuafa ini.

Padahal kita bilang ada di pihak mereka. Kita janjikan akan junjung keadilan bagi mereka! Kita akan angkat tinggi-tinggi hak-hak mereka! Nyatanya? Level kesadaran kita masih rendah. Kita lupakan naluri kemanusiaan kita! Menginginkan manusia-manusia sekitar untuk berpihak kepada kita secara politis, namun kita abaikan kebutuhan mereka yang paling mendasar.
Kondisi kita tidak beda dengan kondisi rakyat-rakyat yang lapar ini. Bedanya, perut kita sudah penuh! Kita 'hanya' secara moral, budaya, ekonomi, politik, moral, sosial dan mungkin sekali secara spiritual 'kelaparan'. Keadaan inilah yang justru membuat kita lebih para dibanding pengemis-pengemis jalanan tadi. Bagi si pengemis sedikit uang atau makanan bisa puas. Sedangkan bagi sebagian besar kita tidaklah demikian.

Penghasilan anggota DPR atau DPRD memang 'kecil' katanya Pak Zulkarnaen. Tapi komisi mereka? Ber M-M (milyar-milyar) masuk saku tanpa pajak. Menurut Gatra.com (22 Juni 2004), sebanyak 43 Anggota DPRD Sumatera Barat (Sumbar) dinyatakan bersalah menyelewengkan duit APBD sebesar Rp. 5.9 Milyar. Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), borok parlemen sudah mewabah. Saat ini ada 270 anggota DPRD yang sedang diperiksa, kata Bambang SH, Ketua Dewan Kode Etik ICW (Gatra.com, 22 Juni 2004). Bukankah ini membuktikan bahwa pejabat-pejabat negara kita juga sedang 'kelaparan'?

Kelaparan memang tidak harus berarti fisik. Dalam bahasa Inggris disebut 'Hunger', bisa berarti 'to feel or suffer hunger; to have an eager desire; a craving or urgent need for food or a specific nutrient' (Webster's New Collegiate Dictionary, 1996). Sekalipun secara harfiah kata 'hunger' ini kita artikan 'kelaparan', tapi tidak menutup kemungkinan, dilihat dari definisi menurut Webster's yang kedua, 'kelaparan' bisa berarti luas. Tidak terkecuali kondisi sebagian para petinggi negara kita yang haus akan pemenuhan kepentingan pribadi dibanding rakyat banyak.

Perbuatan pejabat-pejabat DPR diatas, jika dikaitkan dengan pengertian kelaparan, masuk kategori yang mana? Lapar kekuasaan, lapar kejujuran, lapar ekonomi, lapar politik, lapar sosial, lapar kegamaan, atau kombinasi dari berbagai jenis kelaparan ini? Karena kelaparan ini, hingga yang namanya malu, harga diri, martabat bangsa, nilai moral dan agama, serta predikat positif sosial lainnya tidak pernah mendapatkan tempat dalam hati ini untuk dijadikan bahan pertimbangan mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu melihat uang dan kekuasaan, 'kelaparan' merajalela! Astaghfirullah!

“Ana kerja di sebuah pabrik!” kata Mukhsin, seorang ikhwan di Jakarta. “Antum beruntung sekali, karena jutaan saudara-saudara kita di negeri ini yang tidak memiliki kesempatan seperti antum. Sepanjang pekerjaan itu halal, patut bersyukur!” kataku jujur.

Di negeri ini sudah terlalu banyak orang yang terjangkit penyakit yang satu ini: kelaparan. Dalam ruang lingkup internasional, kelaparan perut akan bisa ditangani dengan campur-tangannya badan dunia misalnya UNICEF atau UNHCR bagi kasus-kasus pengungsi. Namun bagaimana dengan kelaparan sosial, moral, spiritual, politik, budaya dan ekonomi yang melanda bangsa ini?
Bangsa-bangsa lain hanya mampu menjadi penonton, melihat betapa 'cerdik'nya orang-orang kita dalam mempermainkan warga sendiri. Pedihnya, sebagian besar warga kita belum terlalu 'cerdik' mengamati fenomena kelaparan ini. Sudah dalam kondisi lapar, nyatanya kita masih 'mau' dimanfaatkan oleh orang-orang yang 'kelaparan' kekuasaan. Kejujuran belum mendapat tempat yang layak di hati masyarakat kita.

Di tengah-tengah menjamurnya kejanggalan-kejanggalan kehidupan yang ada, kita masih bisa terlena dengan 'makanan' yang bersifat sementara mengenyangkan. Makanan yang kita kunyah belum sanggup memberikan kepuasan dalam arti Holistik, suatu pendekatan yang memperlakukan manusia seutuhnya, dari berbagai pandangan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Kelaparan akan mudah ditangani apabila menyerang perut. Sebaliknya, kelaparan akan kompleks sekali sifatnya bila menjalar ke segala sendi kehidupan manusia. Layaknya kebutuhan umat Islam akan sholat wajib. Betapa laparnya kehidupan spiritual ini sekiranya kaum Muslimin hanya sholat seminggu sekali (hari Jum'at) saja. Betapa laparnya kehidupan sosial seorang Muslimin, apabila tidak pernah terlibat dalam jamaah. Betapa laparnya kaum Muslimin yang tidak mau menyalurkan aspirasi politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lapar memang beda dengan kelaparan. Lapar masih dalam batas konotasi 'positif'. Dalam kondisi normal, orang yang lapar perutnya, akan cepat kenyang dan pulih kondisinya hanya dalam hitungan menit. Akan tetapi kelaparan bertendensi 'negatif'. Malah bisa jadi penyakit menahun jika tidak segera terobati. Orang yang kelaparan butuh waktu berbulan-bulan hingga tahunan guna menormalisasi keadaan.

Selagi kita merasa lapar dalam aspek sosial, politik, psikologis ataupun spiritual, akan mungkin sekali dengan mudah terobati. Namun jika sudah terjangkit penyakit kronis yang namanya 'kelaparan' ini, bukan hanya kita sendiri yang bakal jadi korban. Orang lain pun bisa dibikin hancur, turut menanggung dampak komplikasinya, gara-gara teknik pengobatan kita yang kurang profesional. Segala cara diterobos: no speed limit!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Kebahagiaan Ada Dalam Rasa Puas

eramuslim - Saya pergi ke Ma’had Riyaadhil ‘Ilmi untuk belajar, dan meninggalkan keluarga saya di wilayah selatan. Selama belajar itu saya tinggal bersama paman-paman saya dalam keadaan yang serba susah, studi yang melelahkan, transportasi yang sulit, dan urusan rumah tangga yang rumit.

Setiap pagi saya berjalan kaki selama kurang lebih tiga sampai tiga setengah jam. Siang harinya, saya pulang dengan berjalan kaki juga dengan waktu tempuh yang hampir sama atau lebih. Pagi, siang dan malam hari saya ikut membantu memasak, menyapu rumah, mencuci, memperbaiki perabotan, menertibkan dapur, belajar, dan juga mengikuti kegiatan kampus.

Saya berhasil mendapatkan prestasi yang menggembirakan, dan pekerjaan di rumah selalu beres. Baju yang saya miliki hanya satu, yang setiap hari saya cuci, gosok, dan pakai. Baju itu pula yang saya pakai di rumah, ke kampus, dan ke pertemuan-pertemuan yang saya ikuti. Beasiswa yang saya terima sangat minim untuk kebutuhan rumah tangga, sewa rumah, dan untuk makan. Sehari-harinya menggunakan dari uang beasiswa ini.

Kami hanya mampu membeli sedikit daging, dan jarang-jarang makan buah. Setiap hari pekerjaan saya belajar, menghafal dan membaca. Dalam sebulan hanya sekali atau lebih untuk refreshing. Tak kurang dari tujuh belas mata pelajaran yang dipelajari, termasuk bahasa Inggris, geometri, aljabar, serta ilmu-ilmu umum lainnya. Tentunya di samping mata pelajaran agama dan bahasa Arab. Sejak kelas l Menengah Atas saya telah meminjam buku-buku sastra dari Ma’had Riyaadhil ‘Ilmi. Jika saya membaca buku-buku sastra rasanya sedang tidak bersama teman-teman, karena saking konsentrasinya.

Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa walaupun saya berada dalam kehidupan yang serba sulit dan melarat namun saya sangat bahagia. Saya bisa tidur dengan pulas, tenang, dan puas.

Kemudian, dengan nikmat Allah, saya mendapatkan tempat tinggal yang luas, makanan yang cukup, berbagai macam pakaian, dan kehidupan yang mudah. Namun demikian, saya merasa tidak berada dalam kepribadian saya yang dulu. Kini banyak sekali kesibukan, gangguan, dan tekanan.

Ini semua menunjukkan bahwa tercukupinya segala sesuatu bukan berarti kebahagiaan dan ketenangan. Oleh sebab itu, jangan mengira bahwa penyebab kesedihan, keresahan, dan kesuntukan yang Anda alami itu adalah karena kekurangan materi atau tidak adanya fasilitas-fasilitas yang mewah dalam kehidupan Anda. Tidak benar, cara berpikir seperti itu. Banyak orang yang hidup pas-pasan tapi lebih bahagia daripada kebanyakan orang yang kaya raya.***

Dr. Aidh al-Qorny
Dari buku Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), penerbit Qisthi Press