Maafkan Aku Bu..

oleh Abu Miftah

Beberapa pekan lalu masih teringat di pikiran kita, ketika sang pedagang hewan qurban di sepanjang trotoar DKI Jakarta, dengan sejumlah kambing, domba, sapi, mereka berlomba-lomba unjuk kebolehannya. Kebolehan bukan menunjukan bahwa ia dapat berlari kencang, atau beratraksi layaknya hewan sirkus tapi kebolehan menunjukan bobot (berat), kegagahan serta kesehatannya. Bukan itu saja, di bahu jalan protokol, warna-warni spanduk, umbul-umbul bertulisan ”Menjual Hewan Qurban” lengkap dengan alternatif harga.

Seraya keberkahan Idul Adha menjadi milik orang yang berqurban dan penjual hewan qurban. Tapi lain hal dengan petugas penyapu jalan. Kenapa tidak? Namun usai ritual qurban mereka harus merelahkan menyapu sampah rumput (pakan), kotoran hewan yang menyengatkan hidung hingga noda darah yang masih berceceran di tanah. Tapi di tempat berbeda usai berqurban, si penjual mengibas uang hasil upayanya sedangkan petugas penyapu jalan dengan bayaran rendah harus rela gigit jari.

Nasib sebagai penyapu jalan masih miliknya. Apapun pekerjaan tetap ia lakukan sebagai tulang punggung keluarga. Saya masih teringat ketika seorang ibu hampir paruh baya menegurku di saat aku ditugaskan mengawasi relawan sebar brosur di bilangan Tugu Tani, Jakarta. ”Mas, tolong sampah brosur jangan tercecer di jalan, ”ujarnya letih, sambil mendorong gerobak sampah. ”Maaf bu, nanti saya beri tahu yang menyebarkan, ”jawabku miris. Pekerjaan apapun yang dilakukan ibu tersebut nampak terasa ikhlas. Kebanyakan kita sebagai pemakai jalan, ketika melintas didepannya, acuh tak acuh bahkan seakan-akan tak menghiraukan ada seorang yang berjasa pembersihkan sampah di jalan. Pikirku apa benar ibu tersebut dibayar upah murah atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Hingga pagi hari, sepanjang jalan ketika aku berangkat bekerja masih teringat pesan ibu tersebut dan kini masih mengganggu pikiran. Saatnya Qurban terbaik yang pernah menjadi taqline LAZ tempat aku bekerja, selalu menjadi pertanyaan dalam lintasan pikiran ketika aku melihat seorang penyapu jalan. Apakah Saatnya Qurban terbaik sampai ibu tersebut? Takutnya ia malah ikut antri bahkan berebut pembagian jatah seperti yang pernah saya lihat di salah satu TV nasional kita. Semoga ibu tersebut tahun depan diberi kemudahan tahun depan untuk mampu berqurban. Selagi aku masih teringat, maafkan aku ya..bu.

Lebih Tipis dari Sehelai Rambut

Tiap perkataan yang tidak ada padanya peringatan kepada Allah itu adalah tidak berfaedah, tiap-tiap diam yang tidak diikuti dengan berfikir itu adalah kelalaian dan setiap pandangan yang tidak dapat memberi pengajaran itu adalah sia-sia’. Naudzubillah….

Begitu banyak perkataan yang tidak berfaedah yang sering kita ucapkan, tak jarang..bahkan acapkali kita membicarakan hal-hal yang tidak berguna bahkan sia-sia. Begitu banyak perkataan kita yang telah menyakiti hati orang lain, memancing permusuhan, bahkan dengan lantang dan bangga melontarkan umpatan-umpatan dan olok-olokan kepada orang lain, yang sama sekali kita tidak tahu mungkin mereka yang kita olok-olokan lebih baik dari kita, justru kitalah yang merendahkan diri kita sendiri dengan olokan-olokan itu. Dengan mudahnya kita mengucapkan sumpah serapah dan janji-janji palsu untuk menutupi aib diri, padahal kita tahu begitu mudahnya Allah membukakan aib kita jika Dia berkehendak, tapi tidak Dia Maha Penyayang kepada semua makhlukNya.

Mengapa?? Mengapa kita tidak menggunakan lisan kita untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang baik, yang mengajak kepada kebaikan, mencegah kemunkaran, saling menasehati dalam taqwa, memuji dan mensyukuri keagunganNya.

Kadang kita lebih memilih untuk diam, bukankah yang seperti itu adalah selemah-lemah iman. Bahkan tidak jarang diam kita hanya sekedar diam, diam yang tidak mendoakan, diam yang pasrah kepada keadaan tanpa berusaha mengubahnya. Bukankah itu sia-sia? Begitu tipisnya iman kita, lebih tipis dari sehelai rambut yang dibelah tujuh.

Mungkin pada saat-saat tertentu kita memang perlu diam, diam mengintrospeksi diri, berpikir untuk memperbaikinya, diam merenungi kebesaranNya, berpikir mengungkap hikmah dalam segala kejadian yang tiada kejadian terjadi secara kebetulan melainkan telah direncanakan dan atas izinNya, berpikir mentafakuri kebesarannya di alam semesta, yang kesemuanya itu senantiasa bertasbih menyucikan asmanya dan tak satu pun luput dari pengawasanNya. Ternyata banyak sekali kelalaian yang tidak kita sadari.

Seringkali kita melihat kejadian di sekitar kita, akan tetapi kita tidak bisa dan tidak mau mengambil pelajaran atasnya. Akankah kita biarkan terus menerus, pandangan ini sia-sia? Hanya untuk menatap tanpa sedikitpun pelajaran yang dapat kita ambil, melihat apa saja tanpa filter, sebebas-bebasnya, bukankah jelas tuntunanNya ‘tundukanlah pandanganmu’. Pantaskah pandangan seperti ini memandang wajah Allah di surga sana??

Oleh Utari

Hari IBU Juga untuk Bapak


Beberapa hari lalu, kita sama-sama tahu kalau diperingati hari ibu. Saya dengan sangat antusias menulis tentang ibu. Betapa saya sangat mencintainya. Sosok panutan dan sahabat bagi saya hingga sering saya tak sanggup merangkai kata untuk menggambarkannya. I luv my mom... So much. Saya ingin seperti dia. Saya ingin menjadi dia… saya ingin membahagiakan dia, saya ingin mewujudkan cita-citanya.

Tapi kemudian saya sadar, dia tak lengkap tanpa sosok bapak. Lalu, kenapa tidak ada hari bapak? He, pertanyaan standar anak kecil yang hingga kini tak mampu saya jawab.

Sosoknya juga panutan, juga sahabat... Mengingatnya menguras air mata saya, mengajak saya terus berpikir dan malu.

Rasanya tak akan sanggup untuk mengikuti jalan hidupnya. Keras, lelah dan prihatin.

Aaah, lagi-lagi saya akan cengeng mengingat ini semua. Ada perasaan menyesal menyembul di dada saya hingga hari ini rasanya pikiran itu masih ada.

Dahulu, ketika beliau masih ada, saya sering memprotesnya, tidak menerima argumen darinya, tidak segera menunaikan perintahnya, beberapa kali bentrok, hingga saya punya keinginan untuk kabur dari rumah.

Saya sering merasa bapak saya kolot, terlalu keras, dan memaksakan kehendak. Yah, pikiran anak yang memasuki masa-masa SMU. Pikiran seorang anak yang egois, mau menang sendiri dan merasa orangtua tidak pernah mengerti. Walau kemudian akhirnya, kesadaran itu hadir ketika tinggal terpisah dengannya sewaktu kuliah dan waktu membantu saya mengenal dirinya.

Sering merasa hanya bisa tertegun ketika mendengar kisah hidupnya. Mencoba mengaitkan begitu iritnya beliau ketika mengeluarkan uang. Begitu kerasnya didikan kepada anak-anaknya dan banyak hal yang ternyata baru saya ”baca” di kemudian hari. Ternyata, beliau menginginkan yang terbaik untuk kami. Klise memang... Tapi memang begitu.

Ketika beliau pergi, rasanya sebagian dari diri saya hilang. Saya merasa tak sanggup lagi berdiri sambil terus bertanya-tanya. Sambil terus merasa tak percaya. Bagaimana tidak, hingga akhir hayatnya, beliau masih menyisakan 2 naskah revisi yang harus saya ketik.

Setiap huruf-huruf yang tereja, seperti berbicara pada saya. Begitu juga, dengan banyaknya benda peninggalan beliau. Lemari buku dengan koleksi buku yang jumlahnya entah berapa, tulisan-tulisan di agenda ketika dia berhaji, bekerja, berorganisasi, baju koko, sarung dan pecinya, setumpuk naskah buku sekolah, dll.

Semua gerak-gerik beliau di rumah seperti terekam kembali dalam setiap ingatan saya padanya. Ketika dia menulis, ketika dia membaca, ketika dia mengimami shalat, ketika dia menggendong saya dari lantai atas saat saya masih kecil. Obrolan kami di malam-malam ketika menemani saya menulis angka semasa SD hingga obrolan politik ketika saya sudah beranjak dewasa. Hingga senyumannya ketika saya wisuda, satu setengah bulan sebelum kematiannya.

Kalau mengingat semua, rasanya menyesal. Bukan menyesal dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Tapi, menyesal karena saya merasa belum memberikan yang terbaik kepadanya. Menyesal, karena pernah membantahnya, menyesal karena sering debat dengannya, menyesal pernah kabur dari rumah, (walau akhirnya cuma numpang tidur di rumah kakak), menyesali tingkah polah saya yang pernah membuatnya marah. Saya merasa diri ini belum menjadi anak yang baik dan sesuai harapannya.

Tapi, bukankah masih ada waktu. Berbagai kesempatan untuk menjadi anak yang solehah. Kesempatan untuk meneruskan cita-citanya, memanfaatkan warisan ilmu darinya.

Tentunya kesempatan untuk lebih mencintainya... Dengan kondisi saat ini...

Hmmm, kali ini... Hari ibu tak hanya saya dedikasikan untuk ibu tercinta, tapi juga untuk bapak...

Tanpa memperingatinya tentu saja hal itu harus tetap ada.

Novi_khansa'kreatif
http://akunovi. Multiply. Com
http://novikhansa. Rezaervani. Com/

Ah, Itu Kan Cuma Dosa Kecil!


“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”

Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.

Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.

Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).

Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).

“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”

“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”

“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.

Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”

“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”

Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.

“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."

“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)

“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.

“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."

Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.

“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.

Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)

Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.

Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri.

= sabruljamil. Multiply. Com =

Ah, Itu Kan Cuma Dosa Kecil!

oleh Sabrul Jamil

“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”

Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.

Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.

Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).

Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).

“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”

“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”

“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.

Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”

“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”

Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.

“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."

“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)

“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.

“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."

Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.

“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.

Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)

Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.

Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri.

= sabruljamil. Multiply. Com =


Beribu Pintu Rezeki untuk Berhaji


Kalimat talbiyah kembali menggema, musim haji kembali tiba. Musim yang sama, setahun yang lalu rasanya adalah hari-hari terindah dalam hidup saya dan suami. Hari-hari yang tiap kali mengenangnya, mata masih berkaca-kaca dan hati membuncah rindu yang sangat. Hari-hari yang begitu sering menjadi cerita pengantar tidur kami, berharap mimpi membawa jiwa kembali melayang ke sana. Ka’bah yang agung dan kubah hijau yang menaungi taman surga di Masjid Nabawi.

Mengenang indahnya ibadah haji, tak lepas pula kenangan akan kebesaran dan kemurahan Allah melimpahi kami dengan rezeki-Nya, hingga kami memenuhi undangan-Nya, saat itu. Cerita tersendiri yang bahkan kami pun masih sering merasa tak percaya, walau telah melaluinya.

Teringat saya kejadian suatu pagi, musim haji tiga tahun yang lalu. Saya dan suami berkendaraan motor dalam perjalanan ke suatu tempat. Jalur yang sama kami lalui tiap pagi, namun pagi itu mata saya basah saat melintasi bandara di kota kami. Satu kloter jamaah calon haji sedang mengantri menaiki tangga pesawat. "Ya Allah, kapan hamba bisa seperti mereka? Menunaikan rukun kelima…", hati saya berbisik seiring rasa ingin yang begitu menggugah. Keinginan yang nyatanya telah sejak lama saya simpan dan kian hari saya merasa kian rindu untuk mewujudkannya. Entah kenapa, perjalanan pagi itu, saat melintasi bandara dengan pemandangan barisan jamaah calon haji begitu lekat di benak saya, di hati saya.

Beberapa bulan pagi itu berlalu. Suatu sore suami tercinta pulang membawa kabar tentang beberapa kapling tanah yang dijual murah di lokasi sangat strategis. Alhamdulillah, meskipun tinggal di rumah orang tua tidak setitik pun mengurangi kebahagiaan kami, namun terbayang indah juga jika suatu saat kami bisa punya pondok mungil yang dekat dengan tempat kami beraktifitas, terutama kantor suami. Tak ingin membuang kesempatan, rencana membeli tanah pun segera kami diskusikan. Tak lupa niat ini kami sampaikan juga pada orang tua, memohon pertimbangan mereka. Ah, tabungan yang kami kumpulkan selama dua tahun menikah ditambah sedikit perhiasan yang ada ternyata masih jauh dari cukup untuk membeli sebidang tanah dengan harga miring itu. Dengan segala bentuk simpanan yang ada, baru dua puluh juta rupiah dana yang terkumpul, separo dari total empat puluh juta rupiah yang kami butuhkan. Mau tak mau, jika tekat tetap bulat, jalan meminjam sejumlah uang harus kami tempuh untuk mencukupkan kebutuhan. Alhamdulillah, orang tua bersedia memberi pinjaman dan kami berjanji akan berusaha secepatnya mengembalikan. Inshallah jauh lebih baik daripada meminjam ke bank, pilihan terakhir yang sejak dulu selalu kami hindari. Mengingat kami berburu kesempatan dengan peminat lain, segala sesuatunya pun kami pertimbangkan dengan segera. Dana dikalkulasikan, kondisi dan lokasi tanah dipastikan dan kami pun telah bertemu langsung dengan pemilik.

Kami hampir sampai pada keputusan "ya", namun ada unek-unek di hati saya. Sesuatu tentang cita-cita lain yang lama kami simpan. Tak ingin menyesal, ganjalan itu saya sampaikan pada suami. "Jika kita berani meminjam uang dan bersiap mengencangkan ikat pinggang demi sebidang tanah yang entah kapan akan sanggup kita bangun, mengapa kita tak punya keberanian yang sama untuk bisa menunaikan ibadah haji?", tanya saya pada suami. Subhanallah, Allah Yang Maha Membolak-balikan Hati. Diskusi tentang tanah yang mendominasi hari-hari kami terhenti saat itu, seketika berganti dengan diskusi tentang rencana berhaji. Orang tua kami pun tak kalah gembira. Bukankan akan lebih indah jika kita mengencangkan ikat pinggang demi berharap sebuah istana di surga?

Bismillah, dana yang tadinya untuk membeli tanah segera kami setorkan sebagai setoran awal haji, berdua. Alhamdulillah, nomor porsi masih tersisa untuk tahun yang akan datang meski kami tak bisa memastikan dari mana dana haji akan kami cukupkan. Kami perkirakan setidaknya enam puluh juta rupiah total dana dibutuhkan dan artinya empat puluh juta rupiah lagi harus kami usahakan sampai saat keberangkatan, termasuk membayar pinjaman pada orang tua. Waktu yang ada kurang dari setahun. Dari kalkulasi kami, menyisihkan dari gaji suami yang PNS muda tak mungkin cukup terkumpul dalam waktu singkat. Namun kami yakinkan hati, Allah akan memberi jalan untuk niat suci kami.

Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Tak terduga, Dia membukakan begitu banyak pintu rezeki yang tak kami bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba saja seorang teman mengajak saya mengikuti rekruitmen untuk salah satu posisi utama di kantornya. Walaupun telah cukup lama vakum dari dunia kerja, alhamdulillah saya diterima. Hal yang sama terjadi pada suami, yang dipercaya untuk mengemban tanggung jawab ekstra di kantor, dengan penghasilan tambahan tentunya. Beberapa waktu kemudian, entah ide dari mana (dari Allah tentu saja!), seorang sahabat yang lama tak bertukar kabar tiba-tiba saja menghubungi dari pulau seberang dengan setumpuk pekerjaan. Minta tolong, katanya. Rupanya ia tengah merintis usaha dan butuh tenaga konsultan dengan kemampuan yang kebetulan dimiliki suami saya. Sejak itu jam kerja suami saya menjadi hampir dua kali lebih panjang. Setelah seharian berkutat di kampus dengan kertas-kertas, buku-buku dan para mahasiswanya, malam hari disambung di rumah dengan pekerjaan di komputer, hingga larut. Walau saat itu saya pun sudah punya penghasilan yang cukup besar, suami saya punya cita-citanya sendiri, membiayai perjalanan haji kami dengan hasil keringatnya. "Tanggung jawab Ayah untuk membawa Bunda berhaji", katanya selalu.

Dalam waktu tak terlalu lama, pinjaman pada orang tua berhasil kami lunasi. Saat itu masih beliau berpesan jika kelak kami membutuhkan uang itu kembali, beliau akan mengikhlaskannya untuk perjalanan kami. Alhamdulillah rejeki mengalir terus. Di kampus pun, suami dipercaya untuk menangani beberapa penelitian bersama sejawatnya. Tak lupa kami cermati setiap rupiah yang kami terima, jangan sampai pundi-pundi kami ternoda oleh dana-dana subhat, apalagi yang haram. Naudzubillah!

Saat pelunasan tiba. Semua sumber daya yang ada kembali kami hitung. Pas! Sepertinya dana yang ada memang disediakan Allah untuk dibayarkan saat itu juga. Sedikit yang tersisa kiranya untuk memenuhi kebutuhan kami sebelum menerima gaji bulan depan. Kurang empat bulan sebelum keberangkatan, hari-hari kami jalani dengan lebih tenang karena dana yang utama telah tercukupi. Tinggal persiapan pribadi dan tambahan untuk manasik. Begitulah, rezeki itu ada saja jalannya seiring suami saya menyimpan tekadnya untuk mencukupi seluruh kebutuhan perjalanan ini dengan hasil keringatnya.

Hingga saat keberangkatan tiba, bulan-bulan yang kami jalani seperti berlalu tak terasa. Tak ada kesulitan yang begitu berarti. Bahkan sebaliknya, rezeki lain berupa berbagai kemudahan dan kesempatan juga berdatangan melengkapi keterkejutan-keterkejutan kami. Tak dapat kami gambarkan perasaan kami saat itu. Sebelum meninggalkan tanah air, kami sempatkan mewasiatkan harta yang ada pada keluarga yang ditinggalkan. Dan sungguh tak terduga, dana di tabungan kami saat itu ternyata tepat dua puluh juta! Jumlah itu tepat sebanyak dana awal yang kami miliki saat pertama mengukuhkan niat untuk berhaji, hampir setahun sebelumnya. Artinya, semua yang dilebihkan Allah untuk kami sepanjang tahun itu seakan khusus disediakan-Nya untuk berhaji, lewat keringat suami saya, sesuai tekadnya membiayai perjalanan kami ke tanah suci.

Demikianlah, perjalanan ke tanah suci akhirnya terlaksana sesuai harapan kami. Hanya hingga saat ini, kami masih seakan tak percaya bagaimana masa-masa itu kami lalui. Bagaimana rezeki-rezeki itu mengalir dari mata air-mata air rezeki yang Allah hadirkan untuk kami. Sungguh kami telah membuktikan ada beribu pintu rezeki untuk niat suci berhaji. Maka, berniatlah! Berhajilah!

*Tanggal delapan bul

Pelajaran dari Tukang Tambal Ban


Sore itu, saya memacu sepeda motor dari arah Cawang ke Cililitan. Menjelang tiba di PGC (Pusat Grosir Cililitan), sepeda motor yang saya naiki terasa oleng, makan lama makin terasa ketidakstabilannya. Ketika sepeda motor saya hentikan dan saya tengok ban belakangnya, tahulah saya ternyata bannya bocor.

Saya menghela nafas berusaha menenangkan diri di tengah keramaian lalu lintas yang agak macet itu. Saya tuntun pelan-pelan sepeda motor itumenembus kemacetan jalan denganpara pengendara sepeda motor yang berseliweran meliuk di tengah kemacetan di sebelah kanan saya. Saya harus waspada, karena di sebelah kiri saya adalah para pedagang buah yang ruang bagian depannya telah banyak tersita untuk dilewati para pengendara sepeda motor. Jika sepeda motor yang saya tuntun jatuh dan mengenai pedagang buah, pastilah berantakan buah-buahan itu jadinya. Alhamdulillah saya mampu melewati mereka dengan lancar.

Sepeda motor saya tuntun ke arah Halim (Jl. Cililitan Besar), arahmenuju pulang. Saya yakin di sepanjang jalan itu akan saya temukan tukang tambal ban. Begitu sampai di perempatan Cililitan saya bertanya kepada tukang ojek tentang tukang tambal ban terdekat yang bisa saya jangkau. Ia menunjuk ke arah Halim. Sekitar 50 meter dari situ, ada tambal ban di sebelah kiri, yaitu di tempat ngeteam (mangkal) angkot Trans Halim.

Saya melanjutkan perjalanan dengan menuntun sepeda motor saya. Benar, tidak lama kemudian di sisi kiri jalan saya lihat peralatan kompresor dan tambal ban. Beruntung sekali, tidak ada ‘pasien’ lain selain diri saya. Setelah mengkonfirmasi kepada si tukang tambal ban, saya segera mengatur posisi sepeda motor agar siap dikerjakan. Karena sudah beberapa kali ditambal, saya mintakan kepada tukang tambal ban ituagar ban dalamnya diganti saja dengan ban yang baru.

Lega rasanya sudah menemukan tukang tambal ban setelah sekian lama menuntun sepeda motor. Saya menduduki bangku dipan yang tersedia. Suasana masih terlihat ramai, lebih ramai dibanding dulu karena ada pusat grosir itu. Tambal ban yang saya singgahi, sebelah kanannya adalah warung makan, di mana masih banyak para sopir yang mangkal minum atau makan di sana. Di sebelah kiri adalah tukang jual buah yang sesekali duduk menemani saya. Di sepanjang jalan berjejer mobil Trans Halim yang sedang ngeteam menunggu penumpang. Di seberang adalah lapak-lapak buah, warung makan, lapak koran, dan lapak berjualan lainnya yang berjejer rapi. Tidak jauh dari tambal ban ini adalah Masjid Raya Al-Huda yang sering ramai dikunjungi pengendara mobil atau sepeda motor yang mampir menunaikan sholat.

Ketika saya beristirahat sambil mengamati suasana itulah, aku sedikit dikejutkanoleh celoteh si tukang tambal ban itu,
“Ini ada lapisan karet ban di dalam buat apa? Wah, lapisannya juga sudah rusak. Coba saya periksa. ”
Si tukang tambal ban itu masih sibuk memeriksa keadaan ban sepeda motor saya yang dirasakan kejanggalannya. Saya pun tidak banyak tahu maksud tukang tambal ban sebelumnya yang menaruh lapisan ban (antara ban luar dengan ban dalam). Setahu saya agar lebih awet dan tidak cepat bocor.

Setelah meraba-raba kondisi dalam dari ban luar, dia berujar,
“Gini nih ceritanya, biasanya kalau ban sepeda motornya bocor, orang suka maksain diri naik atau menuntun dengan nyalain mesin. Jadinya ya begini. Lapisan dalam dari ban luarnya rusak terutama yang tergesek oleh velg. Untuk menutupi lubang akibat gesekan itu, dikasihlah karet ban pelapis. ” Mendengar itu saya tersindir karena memang kadang saya suka begitu atau terlambat mengetahui bahwa ban telah bocor.

“Jadi akibat dinaikin waktu bocor tadi, ban luarnya sebenarnya jadi rusak di dalam. Nampaknya aja bannya masih bagus dari luar, tetapi sebenarnya sudah keropos. Kalau ban luarnya ngga cepat diganti, akan cepat bocor lagi. Nah, melapisi dengan karet ban bukanlah solusi, ini solusi sementara saja karena kondisi ban luarnya sudah begitu. Kalau ada rezeki mending diganti aja ban luarnya. ” Ia menambahkan.

Dia berujar bahwa ia mengungkapkan kondisi ini kepada setiap orang yang menambalkan bannya. Dia berharaporang menjaditahu dan lebih berhati-hati. Ia terlihat tulus, karena ia sendiri memang tidak menyediakan ban luar dan service pemasangannya. Penggantian itu bisa dilakukan di bengkel atau pas ketika service rutin di bengkel resmi.

Jujur, saya baru kali ngeh dan paham kronologi terjadinya ban bocor dan kiat agar terhindar dari kebocoran yang terlalu sering. Saya pun mencoba bertanya kenapa ban belakang kok mudah bocor dibanding ban luar. Ia menjawab, “Gampang saja. Karena ban belakang ini fungsinya tiga, sedangkan ban depan fungsinya cuma satu. Ban belakang selain berfungsi menahan beban rem, juga beban panas dari mesin dan beban barang atau muatan. Makanya ban belakang lebih sering bocor. Seandainya ban depan yang difungsikan demikian, malah bisa berbahaya. Jika ban depan yang tiba-tiba bocor, pasti akan banyak kecelakaan yang terjadi. ” Ya, sayamemahami, mengingatroda depan berfungsi sebagai pengatur keseimbangan dan kendali.

***

Sungguh, kemurahan hati untuk berbagi ilmu dari bapak tukang tambal ban itu, menggugah saya untuk mengenalnya lebih dekat. Bapak itu tidak menyebut nama aslinya. Hanya saja dia berujar bahwa orang sering memanggilnya Doyok karena selintas mirip dengan pelawak nasional Doyok yang sudah Almarhum itu. Dia berusia 53 tahun, berasal dari kecamatan Ciledug, kota Cirebon. Anak dan isterinya tinggal di sana, dan ia sebulan sekali pulang untuk menyambangi mereka. Sebenarnya anaknya ada empat, namun yang dua telah dipanggil Allah Swt ketika berusia satu dan empat tahun. Anaknya yang sisa, kini sudah menikah dan mempunyai anak. Sedangkan anaknya yang terakhir masih sekolah STM di Cirebon.

Beliau menapaki Jakarta sejak tahun 1974 (ketika berusia 20 tahun), jadi sudah 33 tahun dia menghabiskan waktu dengan mengadu nasib di kota metropolitan ini. Profesi sebagai tukang tambal ban telah dilakoninya selama 11 tahun. Sebelumnya, dia berprofesi sebagai pedagang dan menjalani berbagai jenis pekerjaan lainnya.

Tempat kerjanya saat ini yang tidak seberapa luas, berfungsi juga sebagai rumahnya. Dipan tempat duduk yang disediakan untuk pelanggan dan sering dijadikan tempat kongkow para pengemudi angkot yang menunggu penumpang, adalah dipan yang digunakan sebagai tempat tidurnya di malam hari. Untuk urusan MCK boleh jadi dia memanfaatkan masjid atau menumpang dikontrakan rekan-rekannya terdekat.

Begitulah terkadang kehidupan di kota metropolitan Jakarta. Harus bergerilya memanfaatkan lahan umum yang kosong untuk dijadikan tempat berjualan sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal. Bisa dibayangkan andaikan ada petugas Pol PP yang melakukan penertiban dan menggusur tempat kerja sekaligus ‘rumah’nya karena dianggap liar itu, mereka tentu melakukan perlawanan sekuat daya karena itulah satu-satunya 'barang berharga' yang mereka miliki. Terlepas apakah mereka bersalah atau tidak, adalah kewajiban pemerintah untuk memperhatikan mereka dan memberikan jalan keluar sebaik-baiknya.

***
Azan maghrib berkumandang tatkala pak Doyok telah menyelesaikan penggantian ban sepeda motor saya. Saya menyodorkan uang Rp 32. 000 sebagai ongkos pembelian dan pemasangan ban sepeda motor. Tapi sungguh, ongkos itu tidak sebanding dengan pelajaran berharga yang saya dapatkan. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang disampaikannya sore itu. Syukur pun saya panjatkan karena Allah Swt telah mempertemukan saya dengan orang pemurah itu, murah dengan ilmu yang dimiliki.

Seiring Pak Doyok berkemas merapikan pekerjaan, saya pun berkemas dan bergegas menuju masjid Al-Huda yang berada di seberang. Perasaan saya diliputi oleh kenikmatan yang luar biasa karena mendapat pelajaran dan hikmah dari bapak tukang tambal ban itu.

Bertahun-tahun saya mengendarai sepeda motor dan beberapa kali harus berkunjung ke tambal ban terdekat yang saya jumpai, tetapi tidak ada tukang tambal ban yang sejujur dan se-transparan Pak Doyok. Saya maklum, boleh jadi mereka tidak terbuka dengan harapan ban yang baru ditambalnya itu akan segera bocor lagi. Sehingga ‘pasien’ itu datang lagi dan datang lagimenambal atau mengganti bannya. Artinya, uang pun mengalir lagi dan mengalir lagi. Perilaku tidak profesional demikian sudah jamak kita temui, terlebih di kota Jakarta yang serba bersaing dengan berbagai cara guna mendapatkan uang. Bukan sekedar profesi tukang tambal ban, tetapi juga profesi yang lain.

Apakah Pak Doyok merasa rugi dengan keterbukaannya itu? Orang bisa jadi akan berpikiran demikian. Namun saya yakin ‘tangan’ Allah bekerjamahacerdas dandi luarperhitungan manusia. Dengan ‘sedekah’ ilmunya itu maka justru Allah Swt akan memberikan kebaikan, keberkahan, dan kekayaan yang berlipat ganda. Orang makin tahu akan kebaikan dan kejujurannya, dan orang makin menaruh kepercayaan kepadanya. Kepercayaan inilah yang justru mengundang orang untuk suka menambal ban kepadanya karena kerjanya yang profesional. Sungguh, Allah Swt akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pemurah dengan anugerah rezeki yang dimiliki-Nya.

Sehabis shalat magrib, wajah hitam Pak Doyok yang berkaca mata itu, masih terbayang lekatdi benak saya. Sungguh, beliau telah memberi inspirasi kepada saya untuk terus menuangkan kebaikan dan sedekah. Kebaikan dan sedekah yang kita berikan memang sepintas merugikan kita dengan tenaga, waktu, dan harta yang tercurahkan, sementara kita tidak merasa mendapatkan apa-apa. Tapi sekali lagi, sudah menjadi ketetapan Allah dan Rasul-nya bahwa kebaikan dan sedekah yang kita belanjakan akan berbalas minimal sepuluh kali. Semakin banyak berbuat kebaikan dan sekedah semakin banyak pahala dan kekayaan yang kita dapatkan. Hanya saja sering —karena keterbatasan manusia—kita tidak mampu menghitung atau merasakan lipatan-lipatan balasan kebaikan dan kekayaan itu.

Demi membayangkan kepastian pahala dan sedekah, saya jadi berkaca-kaca dan mengucap istighfar. Saya mohon ampun kepada Allah Swt atas lintasan hati yang terkadang tidak mempercayai kepastian-Nya itu. Terima kasih kepada bapak tukang tambal ban yang memberi inspirasi berharga itu dan sekaligus memperteguh keimanan saya. Semoga Allah memberi pahala kebaikan dari sedekah ilmu yang diberikannya.

Waallahu’alam. (rizqon_ak @ eramuslim. Com)

Ber SABAR dan SABAR


oleh Rini Diana Setyawati 
Belajar memahami dan bersabar terhadap orang lain itu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan, .mungkin aku rasa setiap orangpun akan berpendapat demikian. Tapi Alloh telah mengajarkanku untuk bisa belajar bersabar dan memahami keadaan orang lain melalui nenekku yang telah berusia lebih dari 80 tahun..

Ibuku pernah bilang, pada saat kita tua nanti kita akan kembali bertingkah laku seperti anak kecil lagi, ..dan fase itu akan kita alami karena nikmat kita mulai dikurangi oleh Alloh sedikit demi sedikit dari diri kita. Mungkin Ibuku benar. Aku melihatnya dalam diri nenekku. nenekku mungkin dulu disebut nenek 'gaul'. Sewaktu muda beliau senang berpetualang dan berjalan-jalan. Hingga saat ini keadaan seperti itu masih dilakoni, meskipun kami sering kelelahan menggotong beliau hingga masuk ke dalam mobil, karena beliau sudah tidak mampu lagi untuk berjalan sendiri.

Dan tugasku adalah mengantarkan nenek berjalan-jalan berkeliling kota. Setiap sabtu dan ahad aku wajib mengajak beliau jalan-jalan, karena hari-hari itu adalah hari liburku. Aku harus menemani nenek 2 jam pagi dan 2 jam sore. Terkadang aku kelelahan meskipun aku lihat nenek hanya tidur saja di mobil.

Rasa bosan dan jenuh itu mungkin selalu akan menyelinapi hati seseorang, begitupun aku. Sabtu pagi itu aku begitu kelelahan, karena semalam aku baru tiba dirumah, aku harus menempuh 3. 5 jam perjalanan Sengata-Samarinda dan itu aku lakukan setiap pekan untuk pulang ke rumahku. Ibuku menyuruhku untuk pergi ke rumah nenek dan tugasku mengantar nenek berjalan-jalan. Dengan 'setengah hati' aku berjalan ke rumah nenek. (nenekku tinggal sendiri bersama seorang perawat).

Setelah lebih dari 2 jam berjalan-jalan, aku meminta izin ke nenekku untuk pulang kerumah. Tapi betapa terkejutnya aku seketika nenekku menangis untuk bisa di bawa berjalan-jalan lagi. Dengan keadaan seperti itu aku hampir-hampir saja menjadi marah ke nenek, tapi kemudian hatiku rapuh melihat air mata nenek, .seorang yang sudah renta dan tidak berdaya lagi, .seketika aku teringat kedua orangtuaku, bagaimana kalau yang meminta dan menangis itu adalah mereka.

Tak terasa bulir air mata membasahi pipiku. Bagaimana kalau orang tuaku menangis dan bertingkah laku seperti itu, apakah aku sanggup memarahi mereka? Atau bagaimana kalau orang tua yang ada didepanku itu adalah diriku? Ada saatnya nanti aku pasti akan menikah, mempunyai anak, kemudian menjadi tua dan kalau Alloh mengizinkan aku berumur panjang aku pasti akan menjadi tua renta seperti nenek... Apakah aku tidak sedih diperlakukan seperti itu? Apakah aku tidak sedih ketika cucuku tidak bisa membahagiakanku disisa-sisa umurku, ...? Dan aku teringat kembali dengan kata-kata Ayahku, orang tua yang berusia panjang itu merupakan 'ujian' bagi anak-anaknya. Mungkin keadaan yang seperti inilah yang dimaksud Ayahku.

Hari ini, aku putuskan niat dalam hatiku. Untuk kedua orang tuaku yang telah bersabar untuk hidupku, dan semua kepentingan hidupku, jika kelak engkau berdua telah berusia lanjut dan tidak sanggup seorang diri memanajemen diri, akulah yang akan mencurahkan kasih sayang melalui tanganku sendiri..aku tidak rela dan tidak ingin ada 'tangan' lain yang akan merawat kalian berdua... Seperti kesabaran dan pengertian kalian kepadaku ketika diriku belum bisa berdiri sendiri..

(buat mamaku selamat ulang tahun yang ke-53 tahun.semoga Alloh selalu menjaga dan memberikan 'kasih sayang' yang berlimpah.. )

Sabar dan bersabar

oleh Rini Diana Setyawati

Belajar memahami dan bersabar terhadap orang lain itu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan, .mungkin aku rasa setiap orangpun akan berpendapat demikian. Tapi Alloh telah mengajarkanku untuk bisa belajar bersabar dan memahami keadaan orang lain melalui nenekku yang telah berusia lebih dari 80 tahun..

Ibuku pernah bilang, pada saat kita tua nanti kita akan kembali bertingkah laku seperti anak kecil lagi, ..dan fase itu akan kita alami karena nikmat kita mulai dikurangi oleh Alloh sedikit demi sedikit dari diri kita. Mungkin Ibuku benar. Aku melihatnya dalam diri nenekku. nenekku mungkin dulu disebut nenek 'gaul'. Sewaktu muda beliau senang berpetualang dan berjalan-jalan. Hingga saat ini keadaan seperti itu masih dilakoni, meskipun kami sering kelelahan menggotong beliau hingga masuk ke dalam mobil, karena beliau sudah tidak mampu lagi untuk berjalan sendiri.

Dan tugasku adalah mengantarkan nenek berjalan-jalan berkeliling kota. Setiap sabtu dan ahad aku wajib mengajak beliau jalan-jalan, karena hari-hari itu adalah hari liburku. Aku harus menemani nenek 2 jam pagi dan 2 jam sore. Terkadang aku kelelahan meskipun aku lihat nenek hanya tidur saja di mobil.

Rasa bosan dan jenuh itu mungkin selalu akan menyelinapi hati seseorang, begitupun aku. Sabtu pagi itu aku begitu kelelahan, karena semalam aku baru tiba dirumah, aku harus menempuh 3. 5 jam perjalanan Sengata-Samarinda dan itu aku lakukan setiap pekan untuk pulang ke rumahku. Ibuku menyuruhku untuk pergi ke rumah nenek dan tugasku mengantar nenek berjalan-jalan. Dengan 'setengah hati' aku berjalan ke rumah nenek. (nenekku tinggal sendiri bersama seorang perawat).

Setelah lebih dari 2 jam berjalan-jalan, aku meminta izin ke nenekku untuk pulang kerumah. Tapi betapa terkejutnya aku seketika nenekku menangis untuk bisa di bawa berjalan-jalan lagi. Dengan keadaan seperti itu aku hampir-hampir saja menjadi marah ke nenek, tapi kemudian hatiku rapuh melihat air mata nenek, .seorang yang sudah renta dan tidak berdaya lagi, .seketika aku teringat kedua orangtuaku, bagaimana kalau yang meminta dan menangis itu adalah mereka.

Tak terasa bulir air mata membasahi pipiku. Bagaimana kalau orang tuaku menangis dan bertingkah laku seperti itu, apakah aku sanggup memarahi mereka? Atau bagaimana kalau orang tua yang ada didepanku itu adalah diriku? Ada saatnya nanti aku pasti akan menikah, mempunyai anak, kemudian menjadi tua dan kalau Alloh mengizinkan aku berumur panjang aku pasti akan menjadi tua renta seperti nenek... Apakah aku tidak sedih diperlakukan seperti itu? Apakah aku tidak sedih ketika cucuku tidak bisa membahagiakanku disisa-sisa umurku, ...? Dan aku teringat kembali dengan kata-kata Ayahku, orang tua yang berusia panjang itu merupakan 'ujian' bagi anak-anaknya. Mungkin keadaan yang seperti inilah yang dimaksud Ayahku.

Hari ini, aku putuskan niat dalam hatiku. Untuk kedua orang tuaku yang telah bersabar untuk hidupku, dan semua kepentingan hidupku, jika kelak engkau berdua telah berusia lanjut dan tidak sanggup seorang diri memanajemen diri, akulah yang akan mencurahkan kasih sayang melalui tanganku sendiri..aku tidak rela dan tidak ingin ada 'tangan' lain yang akan merawat kalian berdua... Seperti kesabaran dan pengertian kalian kepadaku ketika diriku belum bisa berdiri sendiri..

(buat mamaku selamat ulang tahun yang ke-53 tahun.semoga Alloh selalu menjaga dan memberikan 'kasih sayang' yang berlimpah.. )

Tauhid dan Rezeki


Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.

Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’

Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.

Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.

Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.

Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.

* * * * *

“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.

“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.

“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.

“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.

“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.

“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.

“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.

“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.

“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.

Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.

“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.

“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.

“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.

Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.

“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”

“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.

“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.

“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.

“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.

“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.

oleh Sabrul Jamil  

Kabar Harta dan Iman


Hari ini, 13 Desember, adalah hari kelahiranku. Kebetulan sore kemarin saya membaca majalah Islam bertema utama ‘Apa Kabar Wahai Diriku’. Sungguh, kurasakan tepat sekali dengan keadaan diriku yang hari ini berulang tahun, di mana pada momen seperti ini sangat baik dilakukan perhitungan diri (muhasabah). Majalah itu seakan mengingatkan diriku untuk segera mengevaluasi perjalanan hidup dan mempertanyakan kembali capaian-capaian yang telah kuukir sepanjang hidupku hingga detik ini. Sebuah ungkapan bijak dari Mahran bin Maimun Rahimahullah cukup memotivasi saya untuk melakukan perhitungan diri itu. Dia mengatakan bahwa seorang hamba tidak disebut bertaqwa sebelum menghitung dirinya sendiri sebagaimana dia menghitung teman sejawatnya; dari mana pakaiannya dan dari mana makanannya.

Saya mencoba memutar kembali roda perjalanan hidup. Ada banyak masalah yang sudah saya hadapi. Ada kalanya saya berhasil —dengan pertolongan Allah—mengatasi masalah itu. Namun tidak jarang saya gagal memecahkan permasalahan yang meliputi diri. Ada banyak hikmah tentu saja. Saya makin menyakini akan kelemahan diri, dan saya makin menyakini bahwa segala permasalahan itu adalah bermuara kepada kemurahan Allah untuk penyelesaiannya. Terlalu sombong seandainya saya mengatakan saya berhasil mengatasi permasalahan hidup saya, tanpa menyebut peran Allah Swt di dalamnya. Kemurahan Allah itu sangat berkait dengan asal harta yang kita makan. Kita tentu masih ingat tentang kisah seorang yang berdoa kepada Allah tetapi tidak dikabulkan karena ada daging di tubuhnya yang tumbuh dari harta haram.

Saya bersyukur, pada saat memasuki dunia kerja sebagai abdi negara, Alhamdulillah saya memasukinya dengan jalan yang bersih di tengah kondisi ribuan bahkan jutaan orang sangat menginginkan status itu walaupun mereka harus menempuh dengan cara-cara batil (menyogok sana-sini). Permulaan yang baik itulah yang boleh jadi menghantarkan diri saya pada keimanan yang lebih baik sehingga Allah berkenan menolong dalam masalah yang saya hadapi. Saya tidak bisa membayangkan andaikan dulu saya menyandang status abdi negara dengan menempuh cara-cara yang tidak ‘elegan’, Wah, saya khawatir keimananku bisa jadi terpuruk. Dan keterpurukan itu boleh jadi melahirkan banyak permasalahan di kemudian hari. Apa yang dikemukan oleh Mahran bin Maimun di atas adalah benar, bahwa permasalahan-permasalahan besar bisa dirunut (trace) pada hal-hal yang kelihatan sepele, yaitu darimana harta yang diperoleh itu berasal.

***

Ada dua masalah yang coba saya bagikan. Ujung dari masalah itu adalah keimanan. Dan saya bersyukur Allah memberi petunjuk untuk memperbaiki keimanan dalam rangka menyelesaian masalah-masalah itu.

Masalah pertama, ketika saya memasuki usia layak nikah dan tiba saatnya menentukan dengan siapa saya hendak menikah. Tentu saja saya menentukan kriteria wanita yang paling ideal. Rasulullah SAW mengisyaratkan tentang motif seorang lelaki menikahi seorang wanita ada empat hal, yaitu hartanya, kecantikannya, silsilahnya, dan agamanya. Sebagai seorang lelaki yang masih kental dengan nuansa egoisme, tentu saja saya mengharapkan semua itu ada pada calon isteriku (four in one). Faktanya kemudian, mencari seorang wanita dengan kriteria ideal seperti itu sangatlah sulit dan mustahil. Jika pun ditemukan wanita seperti itu, belum tentu ia pun mau, sebab bisa jadi sayalah yang dinilai tidak layak (sekufu) baginya.

Akhirnya saya mulai berpikir benar juga. Saya ini tidak tampan, bukan dari keturunan keluarga ningrat, bukan dari keluarga kaya, dan agama saya pun belum tentu bagus. Bisa jadi ilmu agama saya masih minim dan kualitas keimanannya pun sangat rendah. Buktinya, saya masih tergiur oleh hawa nafsu dengan menginginkan seorang wanita yang cantik.

Hari berjalan demi hari, usia makin bertambah, sementara calon isteri yang kudambakan pun tidak pernah terwujud. Seiring dengan makin menggebunya hasrat untuk menikah, kriteria yang saya ajukan pada diriku pun mengalami penurunan drastis, mengerucut pada masalah dien semata. Beruntunglah saya mendapat petunjuk untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya. Masih saya ingat kemudahan itu datang setelah sebulan penuh saya menjalani ketaatan di dalam bulan Ramadhan dan I’tikat di masjid kampus. Kemudahan itu datang setelah bait-bait doa saya panjatkan pada malam-malam munajat di bulan Ramadhan itu.

Petunjuk itu datang —sesuai dengan ungkapan ulama di atas— bisa jadi karena harta-harta yang saya peroleh masih bersih (Insya Allah). Saya diberi keyakinan bahwa laki-laki yang baik adalah untuk wanita baik dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Maka tidak cara lain bagi diri saya untuk mendapatkan wanita yang baik diennya (sholehah), kecuali meningkatkan level keimanan hingga selevel (sekufu) dengan wanita sholehah yang saya dambakan.

Masalah kedua, adalah problematika dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Dalam beberapa hal, saya memiliki sifat yang berseberangan dengan isteri. Jika diibaratkan, isteri saya bertipe wanita anshar yang banyak bertanya dan banyak berargumentasi dalam mencari titik temu dalil yang lebih baik. Namun demikian dalam hal tertentu, sebagaimana wanita secara fitrahnya, isteri saya cepat tersentuh emosinya ketika menjumpai sesuatu yang tidak menyenangkannya. Nah, suatu ketika saya merasa tidak berdaya dalam mengendalikan isteri saya. Isteri pernah sekali mengalami masa-masa sensitif dan cepat sekali tersinggung. Sementara, saya sama sekali tidak bermaksud menyakiti hatinya. Saya jadi serba salah. Diam salah, bicara pun salah. Pernah terlintas perasaan ingin bercerai saja, atau perasaan ingin berpisah dan perasaan sesal atas terjadinya pernikahan. Sungguh teramat sulit waktu itu menyatukan dua pikiran dan perasaan kami yang berbeda.

Namun sekali lagi, dalam puncak keputusasaan, Alhamdulillah Allah memberi petunjuk bahwa saya harus memperbaiki ibadahku, saya harus mendekatkan diri pada Allah dan memohon kepada Allah untuk melunakkan hati kami masing-masing. Ya, saat itu tidak ada yang dapat saya lakukan selain menyerahkan permasalahan hanya kepada Allah dan memperbaiki hubungan dengan-Nya. Sebab Dia-lah yang mengendalikan isi hati, dan dialah yang berkuasa menyatukan dua hati yang berbeda. Al-hasil, sangat terasa bahwa Allah memang melunakkan hati-hati kami. Kami saling menyadari kelemahan masing-masing, kami saling meminta maaf, dan kami saling mengedepankan kebaikan atas segala persinggungan yang terjadi.

***

Dua masalah tersebut adalah sebagian contoh dari berbagai permaslahan yang saya hadapi. Boleh jadi, setiap kita memiliki masalah seperti itu dan sesungguhnya masalah kehidupan yang kita hadapi jauh lebih banyak dan bisa jadi jauh lebih pelik.

Satu pelajaran besar yang bisa saya petik dari perjalanan saya adalah bahwa muara permasalahan bisa dikembalikan pada masalah keimanan. Allah telah memberi jaminan untuk ini. Dia berfirman, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. ” (QS 65:2). Dan bisa jadi, keimanan atau ketaqwaan ini sangat dipengaruhi oleh asal harta sebagaimana diungkap ulama tersebut di atas.

Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa pada setiap masalah kehidupan ada peran keimanan di dalamnya. Keimanan yang mantap menjadikan hidup ini seakan tiada permasalahan yang berarti. Akan tetapi, tentu tidak semudah itu kita mengatakannya. Iman harus senantiasa dijaga dan diperbaharui agar tetap bersinar, seperti kita menjaga benda paling berharga dalam kehidupan (permata) dari kotoran-kotoran yang akan merusak keindahannya.

Sepantasnyalah kita selalu menanyakan pada kita ‘bagaimana kabar iman’, tidak hanya pada momen tertentu saja tetapi setiap hari sebelum ajal menjemput.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ”Hendaknya seseorang duduk beberapa saat ketika akan tidur. Lalu mengevaluasi dirinya atas kerugiannya, dan keuntungannya hari itu. Kemudian memperbaharui taubatnya yang sungguh-sungguh antara dirinya dan Allah Swt. Setelah itu tidurlah dalam kondisi taubat dengan bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang sama setelah bangun nanti. ”

Semoga Allah Swt memberi kita pakaian dan makanan yang baik dan keistiqomahan dalam keimanan. Dengan itu Allah Swt berkenan memberi jalan keluar atas segala permasalahan yang kita hadapi. Insya Allah. Waallahu’alam.

(Catatan Muhasabah Ulang Tahun, Semoga keberkahan atas diriku. Amin.)

oleh Muhammad Rizqon  

Selalu Terselip Amanah

oleh Meralda Nindyasti

Tepat pukul 3 pagi, aku terbangun, tak menyangka aku tertidur di kamar teman kostku, Maria. Mataku terbelak dan jantungku berdegup kencang saat aku kembali ke kamar dan membuka pintu kamarku sendiri. ”astagfirullah.., ” Istighfar yang cukup menyayat hati. Aku terkesima begitu melihat kasurku berantakan dengan seluruh isi tas kuliah tercecer tak beraturan. Pun dengan seluruh kartu identitas dan kartu ATM yang keluar begitu saja dari dompetku. Jantungku makin berdegup kencang, iramanya tak seimbang kala aku menyadari jendela kamarku masih terbuka. Tak sengaja tertidur di kamar Maria, membuatku lupa mengkondisikan kamarku tak berpenghuni. Jadi, jendela berteralis itu terbuka dan dengan lampu kamar yang menyala, seolah-olah masih ada penghuninya.

Aku heran, ini tak biasanya. Seingatku, aku tak punya kebiasaan membongkar barang pribadi dan meletakkannya tak beraturan. Pff, pikirku melayang, prasangkapun mengembang. Seketika itu juga aku membereskan barang-barang yang tercecer di kasur, berharap tak satupun yang hilang. Dan...

”Astaghfirullah..” Istighfarku yang kedua. Mana uang-uangku? Di mana juga digital translaterku? Hatiku miris melihat fakta yang kusaksikan sendiri. ”Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun...Rabb, adakah orang yang masuk tanpa sepengetahuanku?”

Dengan hati tak menentu, aku berusaha mengingat-ngingat kejadian sebelum aku meninggalkan kamar dan tertidur di kamar Maria. Kuingat-ingat kembali sembari membongkar isi kamar, berharap barang-barang itu masih terselip di sudut-sudut ruangan. Tidak, hasilnya nihil. Barang-barang itu positif tak ada di kamarku setelah kurang lebih 45 menit aku mencarinya.

”Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah..” Istighfar yang kesekian ini mengiringi ingatanku kala kutersadar bahwa sejumlah uang dan digital translaterku adalah barang ke-3 dan ke-4 setelah sebelumnya aku kehilangan MP4 dan arloji, semenjak 3 bulan terakhir ini.

***

Teguran yang indah. Terkemas cantik dengan keteraturan skenarioNya. Wajah ini tersegarkan oleh wudhu yang menyejukkan. Hati ini tenang oleh adzan Magrib yang bersahutan. Rindu sujud. Rindu memasrahkan diri. Rindu bermesra dengan Allah Azza Wa Jalla. Muhasabahku senja itu...

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Aku masih teringat kala mama memilihkan tempat kost ini sebagai rumahku di Malang. Begitu riang saat aku pertama kali menginjakkan kaki di kosan ini. Kenapa? Karena, tepat di depan pagar rumah kost, aku hanya butuh kira-kira 25 langkah kaki ke arah barat kala ku ingin mampir ke masjid terdekat. Pun aku hanya butuh kurang lebih 35 langkah kaki ke arah timur kala ku ingin bersilaturrahim ke anak yatim piatu di panti asuhan terdekat. Sungguh, karunia yang sempurna, kenikmatan yang manis terasa. ”Hmm, tempat kost yang cukup strategis”, pikirku.

Sudah 1 tahun lebih aku tinggal di kosan ini. Hatiku tertunduk malu, sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kakiku masih cukup untuk menghitung jika Allah bertanya telah berapa kali aku melangkahkan kaki menuju masjid terdekatku. Pun satu jari tanganku belum habis terpakai untuk menghitung jika Allah bertanya telah berapa kali kaki, tangan dan hatiku ini terintegrasi untuk menyambung silaturrahim dengan anak yatim piatu di panti asuhan dekat kosanku.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Tentu bukan tanpa maksud Allah menambatkan hatiku untuk merasa nyaman tinggal dikosan ini. Pasti, pasti terselip amanah. Aku tergugah, aku tersadar dan sesal ini baru kentara. Ada amanah yang Allah titipkan. Dan Allah menyapaku dengan ujian itu.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Hatiku miris kala teringat bahwa Allah karuniakanku kelapangan rejeki, namun seribu rupiah perhari saja belum tentu rutin terinfaQ-kan di masjid dekat kosan, padahal harga kosanku 350 kalinya. Allah karuniakanku rasa kenyang dan kenyamanan tidur dikamar, padahal di ujung gang kosanku masih ada nenek tidur beralaskan trotoar berselimut dingin merintih lapar, hanya terhibur oleh kelucuan tingkah kucing kesayangan. Allah karuniakanku ayah bunda yang diberi sehat dan usia, namun aku sadar, belum totalitas aku memuliakan mereka selama Allah izinkanku merasakan luapan kasih sayang mereka. Padahal, di timur kosanku, ada anak-anak yatim piatu yang rindu melihat wajah ayah bundanya, yang rindu untuk bisa memuliakan orang tua mereka, yang rindu sungkem pada ibu yang melahirkan mereka, yang rindu bercanda berdua dengan ayah mereka.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Allah karuniakanku penglihatan, namun mata ini terlampau sering melihat apa yang tidak halal untuk aku memandangnya. Mataku menangis karena lelah tertawa, tapi diseberang sana, ada anak kecil yang menangis karena pedih menahan lapar. Mata hatiku terancam kusam manakala penglihatan ini silau akan gemerlap pesona dunia. Allah karuniakanku lisan, namun ada jiwa-jiwa yang merasa tak aman olehnya. Begitu lihai lidah bergerak, begitu mudah bibir berkata, namun ia tajam mengiris hati terdalam. Padahal diseberang sana ada lisan yang istiQomah menyampaikan kebenaran dan mengajak pada kebaikan. Allah karuniakanku teman, sahabat dan kerabat. Namun Qalbu ini luka oleh sayatan pergaulan yang merusak aQidah.

Jujur, aku tak sanggup menghitung telah berapa kali Allah menolongku. Telah sesering apa Allah melapangkan rejeki bagiku. Telah sebanyak apa Allah mudahkan urusanku. Telah serutin apa Allah sehatkan tubuhku, pengendali nafas saat ku bernafas. Ya, sebanyak apa nikmat Allah yang sempat terdustakan walau sesaat adalah tak sebanding dengan selama apa hatiku telah bersujud mensyukuri kebesaranNya. Bagiku, kehilangan barang belum seberapa dibanding aku kehilangan kesempatan untuk menunaikan amanah dariNya.

Dalam kesendirian seorang hamba bermaksiat, maka yang melihat adalah yang menjatuhkan hukuman. Pasti akan datang hari yang berat untuk mempertanggungjawabkan semua. Dengan hisab yang seadil-adilnya. Pasti akan datang hari ditampakkan semua kesalahan, semua kelalaian dan semua kedustaan. Satu yang baik untuk kurenungi: menunaikan amanah yang terselip dalam tiap karunia-karuniaNya adalah bahasa syukur hamba pada Illahnya.

Maha besar Allah...

moslemalda@yahoo. Com