oleh Abu Miftah
Beberapa pekan lalu masih teringat di pikiran kita, ketika sang pedagang hewan qurban di sepanjang trotoar DKI Jakarta, dengan sejumlah kambing, domba, sapi, mereka berlomba-lomba unjuk kebolehannya. Kebolehan bukan menunjukan bahwa ia dapat berlari kencang, atau beratraksi layaknya hewan sirkus tapi kebolehan menunjukan bobot (berat), kegagahan serta kesehatannya. Bukan itu saja, di bahu jalan protokol, warna-warni spanduk, umbul-umbul bertulisan ”Menjual Hewan Qurban” lengkap dengan alternatif harga.
Seraya keberkahan Idul Adha menjadi milik orang yang berqurban dan penjual hewan qurban. Tapi lain hal dengan petugas penyapu jalan. Kenapa tidak? Namun usai ritual qurban mereka harus merelahkan menyapu sampah rumput (pakan), kotoran hewan yang menyengatkan hidung hingga noda darah yang masih berceceran di tanah. Tapi di tempat berbeda usai berqurban, si penjual mengibas uang hasil upayanya sedangkan petugas penyapu jalan dengan bayaran rendah harus rela gigit jari.
Nasib sebagai penyapu jalan masih miliknya. Apapun pekerjaan tetap ia lakukan sebagai tulang punggung keluarga. Saya masih teringat ketika seorang ibu hampir paruh baya menegurku di saat aku ditugaskan mengawasi relawan sebar brosur di bilangan Tugu Tani, Jakarta. ”Mas, tolong sampah brosur jangan tercecer di jalan, ”ujarnya letih, sambil mendorong gerobak sampah. ”Maaf bu, nanti saya beri tahu yang menyebarkan, ”jawabku miris. Pekerjaan apapun yang dilakukan ibu tersebut nampak terasa ikhlas. Kebanyakan kita sebagai pemakai jalan, ketika melintas didepannya, acuh tak acuh bahkan seakan-akan tak menghiraukan ada seorang yang berjasa pembersihkan sampah di jalan. Pikirku apa benar ibu tersebut dibayar upah murah atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Hingga pagi hari, sepanjang jalan ketika aku berangkat bekerja masih teringat pesan ibu tersebut dan kini masih mengganggu pikiran. Saatnya Qurban terbaik yang pernah menjadi taqline LAZ tempat aku bekerja, selalu menjadi pertanyaan dalam lintasan pikiran ketika aku melihat seorang penyapu jalan. Apakah Saatnya Qurban terbaik sampai ibu tersebut? Takutnya ia malah ikut antri bahkan berebut pembagian jatah seperti yang pernah saya lihat di salah satu TV nasional kita. Semoga ibu tersebut tahun depan diberi kemudahan tahun depan untuk mampu berqurban. Selagi aku masih teringat, maafkan aku ya..bu.
0 komentar:
Posting Komentar