OASE IMAN

Pada suatu hari al-Imam Asy Syafi’i ra datang berkunjung ke rumah al-Imam Ahmad bin Hambal. Seusai makan malam bersama, al-Imam Asy Syafi’i masuk ke kamar yang telah disediakan untuknya, dan beliau segera berbaring (tidur) hingga esok fajar.

Puteri Imam Ahmad yang mengamati Imam Syafi’i sejak awal kedatangannya hingga masuk kamar tidur, terkejut melihat teman dekat ayahnya itu. Dengan terheran-heran ia bertanya, "Ayah…, ayah selalu memuji dan mengatakan bahwa Imam Syafi’i itu seorang ulama yang amat alim. Tapi setelah kuperhatikan dengan seksama, pada dirinya banyak hal yang tidak berkenan di hatiku, dan tidak sealim yang kukira."


Imam Ahmad agak terkejut mendengar perkataan puterinya. Ia balik bertanya, "Ia seorang yang alim, anakku. Mengapa engkau berkata demikian?" Sang putri berkata lagi, "Aku perhatikan ada tiga hal kekurangannya, Ayah. Pertama, pada waktu disuguhi makanan, makannya lahap sekali. Kedua, sejak masuk ke kamarnya, ia tidak shalat malam dan baru keluar dari kamarnya sesudah tiba shalat subuh. Ketiga, ia shalat subuh tanpa berwudhu.

Imam Ahmad merenungkan perkataan puterinya itu, maka untuk mengetahui lebih jelasnya dia menyampaikan pengamatan puterinya kepada Imam Syafi’i. Maka Imam Syafi’i tersenyum mendengar pengaduan puteri Imam Ahmad tersebut. Lalu dia berkata, "Ya Ahmad, ketahuilah olehmu. Aku banyak makan di rumahmu karena aku tahu makanan yang ada di rumahmu jelas halal dan thoyib. Maka aku tidak meragukannya sama sekali. Karena itulah aku bisa makan dengan tenang dan lahap. Lagi pula aku tahu engkau adalah seorang pemurah. Makanan orang pemurah itu adalah obat, sedangkan makanan orang kikir adalah penyakit. Aku makan semalam bukan untuk kenyang, akan tetapi untuk berobat dengan makananmu itu, ya Ahmad. Sedangkan mengapa aku semalam tidak shalat malam karena ketika aku meletakkan kepalaku di atas bantal tidur, tiba-tiba seakan aku melihat dihadapanku kitab Allah dan sunnah Rasulnya. Dengan izin Allah, malam itu aku dapat menyusun 72 masalah ilmu fiqih Islam sehingga aku tidak sempat shalat malam. Sedangkan kenapa aku tidak wudhu lagi ketika shalat subuh karena aku pada malam itu tidak dapat tidur sekejap pun. Aku semalam tidak tidur sehingga aku shalat fajar dengan wudhu shalat Isya’.

Saudaraku,
episode singkat di atas menyuguhkan pesona diri Imam Syafi’i yang sangat menakjubkan. Betapa jelas nampak terlihat, ketinggian ilmunya bertumpu sempurna di atas pondasi keimanan yang begitu kokoh.

Setiap kita, selaku individu muslim, memiliki peluang yang sama untuk mencapai kualitas syakhsiyah Islamiyah seperti yang dimiliki oleh Imam Syafi’i. Namun yang membedakan adalah tingkat kecepatan meraihnya, dimana ia tergantung sebagiannya pada level kesabaran dan istiqomah kita menjalani proses pembentukan syakhsiyah tersebut. Sebagian lainnya ditentukan oleh kemauan, kesungguhan, keseriusan serta tingkat totalitas individu yang kesemuanya itu bisa terukur dan dinilai oleh mata ummat Islam.

Seperti mata puteri Imam Ahmad, yang baru mengenal Imam Syafi’i memberikan penilaian berdasarkan apa yang telah dilihatnya dalam tempo yang teramat singkat yaitu hanya semalam. Sementara mata Imam Ahmad selaku ulama yang mewakili pandangan kaum muslimin masa itu yang telah bergaul cukup lama dengan Imam Syafi’i memberikan kesaksian dan penilaian yang berbeda. Mata ummat (pandangan kolektif) selalu lebih jernih dan lebih jujur dibandingkan dengan pandangan individu yang terbatas dan berpeluang menilai subyektif.

Allah ta’ala berfirman dalam surat At-Taubah:105, ”Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu…”

Wallahu’alam.


http://beranda.blogsome.com/2008/04/21/oase-iman/

Mencari Ridha Allah


Mencari atau mengharap atau semata-mata demi “keridhaan Allah” adalah ungkapan jawaban yang sering kita dengar tatkala kita menanyakan tujuan dari suatu amal yang dilakukan oleh saudara kita. Jawaban itu sejatinya mencerminkan keimanan yang benar, jika memang diyakini seperti itu, terucap seperti itu, dan terwujud dalam realita amal yang selaras dengan itu.

Namun alangkah sayangnya, karena tidak sedikit orang yang kurang memahami makna pernyataan yang agung tersebut. Ia menjadi semata-mata ucapan bibir yang lahir bukan dari pemahaman dan keyakinan. Dan ia menjadi kata-kata yang tidak bermakna karena tidak menemukan korelasi dengan perilaku kehidupan keseharian.

***

Baru-baru ini saya menerima e-mail. E-mail itu cukup membuat saya berpikir dan mengevaluasi kembali apa-apa yang telah saya lakukan. Apakah yang saya lakukan selama ini benar dalam rangka menggapai ridha Allah atau tidak. Saya bersyukur, karena e-mail itu mengingatkan diri saya, bahwa apa yang saya lakukan boleh jadi salah. Ini berarti suatu peluang bagi saya untuk memperbaiki kesalahan sehingga tidak terulang dikemudian hari.

Seorang muslimah yang mengirim e-mail itu menulis,
“Sepintas saya menangkap Bapak melakukan amal seperti dzikir, bayar zakat, dan amal-amal lain, agar doa Bapak untuk mendapat keselamatan selama terbang terkabul. Apabila memang demikian sayang dong Pak!”

Tulisan dia menjadi bahan perenungan saya. Apakah jika seseorang bermohon untuk selamat dari bahaya itu salah? Saya berpikir hal itu menjadi salah manakala seseorang memohon keselamatan kepada ‘tuhan lain’ selain Allah atau menjadi salah manakala seseorang meyakini bahwa dengan amal itu, Allah ‘pasti’ akan menyelamatkannya. Sepanjang ia memohon keselamatan kepada ‘Allah’ —dzat yang mampu memberi keselamatan kepada orang yang dikehendaki, bukan kepada tuhan lain—dan amal yang dilakukannya adalah sebagai ‘ikhtiyar (wasilah)’ yang tidak mengurangi kekuasaan Allah untuk menyelamatkan atau mencelakakan seseorang, maka apa yang dilakukannya adalah hal yang bisa dibenarkan oleh syariat.

Muslimah itu kemudian melanjutkan,
“Saya pun selalu berdoa untuk banyak permohonan. Lemah rasanya menjalani hidup tanpa doa. Tetapi saya juga sedang belajar untuk tidak berhitung dengan amal-amal saya karena masih harap cemas apakah amal saya diterima atau tidak.”

Saya pun kembali berenung, apakah dengan mengikhlaskan tujuan karena Allah kita tidak boleh memiliki tujuan lain? Saya berpandangan tujuan-tujuan lain diperbolehkan sepanjang dalam rangka menenuhi tujuan karena Allah, bukan tujuan utama yang paling dominan. Sama halnya dengan pernyataan bahwa keimanan yang benar adalah menjadikan Allah sebagai dzat yang satu-satunya dicintai, namun keimanan itu tidak menafikan adanya cinta kepada isteri, anak, atau harta benda. Keimanan yang benar menempatkan cinta kepada semua itu dalam rangka mencintai Allah dan cinta kepada semua itu tidak lebih dominan dibanding cintanya kepada Allah.

Apakah dengan amal-amal itu saya berhitung dengan Allah? Berhitung-hitung biasanya dilakukan oleh anak kecil. Saya kerapkali menghadapi anak saya —yang karena sifat kekanakannya—masih berhitung dalam hal ketaatan kepada saya selaku orang tua. Ia mau mengerjakan apa yang saya perintahkan —entah berbentuk permintaan tolong atau larangan—jika saya mau memberikan sejumlah uang tertentu. Jika saya tidak mau memberikan sejumlah uang itu, ia pasti tidak akan melaksanakan apa yang saya perintahkan itu.

Apakah maksud e-mail itu jika berdoa ya berdoa saja, tidak perlu beramal ini itu dengan tujuan ini itu? Atau jika dianalogikan ke anak kecil, minta ya minta saja, tidak usah merayu-rayu dan mengambil simpati? Misal dengan menjadi lebih penurut dan lebih sopan? Waallahu a’lam.

Keselamatan adalah hal yang ghaib, berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Apakah pada akhirnya seseorang selamat atau tidak, semua itu menjadi rahasia Allah. Jika seseorang melakukan ketaatan demi memperoleh sesuatu yang masih menjadi rahasia Allah, di mana Allah berkuasa memberikan hal itu, tentu fenomena yang demikian bukanlah fenomena berhitung dengan Allah.

Rasanya fenomena yang mendekati berhitung dengan Allah adalah bernadzar, artinya berjanji akan melakukan suatu bentuk ketaatan manakala keinginannya dikabulkan oleh Allah. Itu pun termasuk hal (yang saya ketahui) diperbolehkan oleh syariat. Karena muaranya adalah mendorong orang kepada kebaikan. Sebaliknya syariat melarang nadzar yang mengarah kepada keburukan. Jika seseorang bernadzar seperti itu maka nadzar itu menjadi batal untuk diwujudkan alias batal demi hukum.

***

Ridha terhadap Allah berarti menerima semua ketentuan Allah terhadap manusia dan tuntutan Allah terhadap manusia. Ketentuan Allah terhadap manusia merupakan qadha dan qadar yang sudah tertulis dalam kitab Lauh Al-Mahfudz. Apa yang ‘telah’ berlaku atas manusia disebut takdir, yang mana kita diperintahkan untuk mengambil hikmahnya agar kita lebih taat kepada Allah. Dan tuntutan Allah terhadap manusia merupakan takdir syar’i (ketentuan syariat) berupa wahyu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw untuk dipelajari, diamalkan, dan untuk ditaati.

Mencari ridha Allah bisa diartikan menerima ketentuan Allah atas diri kita. Dalam konteks terbang, berarti siap untuk selamat ataupun tidak selamat, karena semua itu adalah rahasia Allah diluar jangkauan kita. Mencari ridha Allah juga berarti menerima tuntutan Allah terhadap diri kita. Dalam konteks terbang, jika kita menghendaki keselamatan maka kita pun hendaknya banyak mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan banyak amal ketaatan. Itulah upaya maksimal yang bisa dilakukan. Bagi mereka yang memiliki kontrol terhadap hal-hal teknis penerbangan, maka kendala-kendala teknis itu harus dihilangkan.

Saya menyimpulkan mencari ridha Allah berarti berupaya semaksimal mungkin menjalankan ketaatan kepada Allah dan menyerahkan hasil akhir ketaatan itu kepada-Nya.

Tentu kita tidak bisa dengan pasti mengklaim atau menilai seseorang itu telah menempuh jalan dalam keridhaan-Nya atau tidak. Tetapi setidaknya kita bisa bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah beramal semata-mata mencari ridha Allah atau tidak.

Waallahua’lam bishshawaab
(rizqon_ak@eramuslim.com. SMS 0817-99-OIMAN)

Sepiring Kebahagiaan di Pagi Buta


Hari itu, jemblem (semacam kue pilus) jauh lebih nikmat daripada roti keju. Selepas kerja sesudah deadline, saya bergegas beranjak pulang karena penyakit nenek saya kambuh di rumah. Otomatis, biasanya saya kembali meng-handle urusan rumah tangga. Sebab, memang di rumah hanya ditempati oleh saya, kakek, dan nenek. Dan keduanya pun kena stroke yang jika kambuh, mereka mengeluh tak bisa berjalan.

Sesampai di rumah, cuci kaki dan muka sebentar, kemudian menyalakan kompor. Ini yang susah. Kadang, saya harus rela antre hanya demi mendapat lima liter minyak tanah di Keputran atau di Kampung Kedondong. Akibatnya, waktu istirahat saya pun sangat kurang. Namun, saya tetap bersyukur atas itu. Saya pikir, ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan perhatian dan kasih sayang kakek dan nenek terhadap saya sejak kuliah sampai saya bekerja sekarang. Selanjutnya, setelah dua kompor menyala sekaligus, satu kompor saya pakai untuk memasak air. Sedangkan kompor yang satunya dipakai untuk memasak nasi.

Setelah selesai, lanjut dengan menggoreng tahu atau tempe. Yeah.. larut pagi pun saya masih menyempatkan belanja beli tahu dan tempe di Pasar Keputran. Biasanya, jika sudah tak sanggup karena capai, saya titip tetangga untuk membelanjakan lauk untuk keperluan kami di rumah. Menggoreng lauk pun saya harus bagi dua. Yang satu tidak pakai garam untuk kakek dan nenek, yang lain pakai garam untuk saya sendiri.

Tapi, hari itu, jemblem benar-benar lebih nikmat daripada jajan londo (roti keju). Pulang ke rumah saya terkejut karena lampu masih menyala. Benar saja, kakek saya belum tidur. Dia masih baca Alkitab sembari sengaja menunggu saya pulang kerja. Saya bawa sebungkus nasi bebek goreng yang saya beli setelah pulang kerja. Rasa capai biasanya perlahan hilang seiring dengan makan nasi bebek plus ditemani air putih dingin. Kalau sudah begitu, dunia rasanya terang benderang. Perut saya benar-benar merdeka dan berdaulat penuh. Sebab, saya memang terbiasa sehari cuma makan dua kali. Biasa makan nasi plus tahu tempe berbonus kecap manis, ketika makan nasi bebek goreng rasanya saya menjadi orang yang sangat bahagia saat itu.

Sempat menengok kamar nenek untuk melihat keadaannya, saya ditodong kakek untuk mengganyang makanan yang disiapkan di meja makan. Alamak, padahal saya sudah bersiap menyantap nasi bebek tersebut. Saya lihat di meja makan ada sepiring jemblem.

Antara malas dan sungkan akhirnya saya lahap juga sebuah dari piring itu. Tiba-tiba, mbah kung ngomong bahwa pagi sebelumnya dia ke pasar naik becak untuk beli singkong dan gula merah karena mbah putri kepengen sekali bikin dan makan jemblem. Karena tak mau merepotkan saya yang tengah tidur sepanjang pagi sampai menjelang zuhur, akhirnya mbah kung beli sendiri singkong tersebut ke pasar. Dan mbah putri yang sebenarnya sedang sakit itu pun membuat sendiri makanan tersebut.

Dia bilang, jemblem yang ada di piring tersebut sengaja disisakan untuk saya. Ada tujuh buah. Sejenak kemudian, mbah putri terbangun karena mendengar suara kami berbincang-bincang. Saya ke kamarnya dan rupanya mbah putri ingin buang air kecil. Saya ambilkan pispot. Namun, dia memaksa untuk kencing di kamar mandi saja. Dia meminta saya memapah sampai kamar mandi. Tapi, karena mbah putri tak kuat berdiri dan berjalan, saya dan kakek menggendongnya.

Kemauan orang tua memang sulit untuk dicegah dan kadang cukup merepotkan. Begitulah suasana pagi itu. Setelah selesai pipis, mbah putri bilang bahwa dia sebenarnya bikin jemblem untuk saya. Hah? Ya, awalnya agar jemblem itu bisa untuk saya bawa sangu ke kantor sebagai camilan. Karena pukul satu siang saya sudah keburu berangkat ke kantor, saya tak sempat mencicipi dan membawa kue tersebut.

Pagi buta itu, saya tidak jadi mengganyang nasi bebek goreng. Kalaupun saya membawa roti keju atau sekalipun saya mampu membeli dua paket jumbo pizza, saya tetap akan memilih memakan jemblem tersebut. Rasa hormat dan kasih sayang orang tua telah mengalahkan nafsu duniawi terhadap makanan yang enak dan mahal.

Wanita tua itu, nenek saya, dalam keadaan sakit dan tak mampu untuk sekadar berdiri dan berjalan masih memikirkan orang lain ketimbang kondisinya sendiri. Malam itu kami bertiga sama-sama menikmati sajian jemblem dari nenek. Bukan menu surga memang, tapi bahagia yang kami bagi dan nikmati bersama sebagai rakyat biasa jauh lebih indah daripada mutu manikam dan makanan orang kaya sekalipun.

Eko Prasetyo (Jawa Pos)

Bangsaku...

Bangsa ini, aku sering geleng kepala kenapa bisa jadi begini, kesenjangan sosial yang kian mencolok, antara si kaya dan si miskin. Suatu hari di lampu merah. Jika masuk ke mall disebelahnya yang terkenal dengan Cempaka Mas ramai orang berkeliaran di sana tidak kenal tanggal tua atau tanggal muda entah apa niat orang-orang mendatangi pusat belanja yang pasti selalu ramai apakah mereka belanja atau hanya mencari hiburan saja dan window shopping belaka.

Keluar dari gedung pertokoan nan megah setiap sore kulihat pemandangan yang sama ibu – ibu yang bergerombol di bawah jembatan duduk bercanda, bercerita dengan rekannya sesekali melihat anak mereka yang mencari sebuah receh dari tangan yang menjulur keluar dari mobil mewah. Anak anak ini pun kreatif menjajakan kreatifitasnya bernyanyi dengan bermodalkan botol bekas minuman disi dengan beras atau pasir yang menimbulkan suara krecek krecek dengan dendangan lagu yang tidak nyambung dengan irama.

Hari lain ketika pulang bekerja sore itu ku temui seorang ibu yang lusuh menggendong anaknya kurang lebih berumur 2 tahun yang ketika ku melihatnya aku langsung teringat anakku. Anak tersebut rapih walau dengan baju seadanya tapi tampak polesan bedak yang tidak rata tanda ia baru mandi sore. Seperti biasa mereka mencoba menyanyi seadanya.

Dari ini semua kadang aku ingin tahu apakah karena kesulitan ekonomi memakssa mereka berbuat seperti itu? Atau ada hal lain atau mereka pikir cara ini lebih menjanjikan dari pada mencari uang dengan cara lain?

Terkadang yang lebih menyakitkan adalah melihat anak-anak perempuan kecil berkeliaran di jalan. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak mereka lakukan. Bukankah terlalu beresiko untuk mereka terhadap tindak kekerasan dan pelecehan?

Aku pernah ingin meneliti tentang mereka tapi teman – teman meragukan bukan karena kemampuanku tapi lebih pada kekuatan mentalku menghadapi mereka karena dilain pihak banyak berita miring bahwa mereka terorganisir untuk melakukan itu semua termasuk di antaranya isu menyewakan anak untuk mengamen di jalan.

Oh bangsa ku.... ada kalanya aku tidak ingin memberi saat mereka selesai bernyanyi tapi hati nuraniku lebih bicara kasihan padanya. Pernah suatu ketika aku tidak punya recehan yang ada hanyalah sebungkus kacang yang juga ku beli dari pedagang asongan, tidak ada penolakan saat ku berikan akhirnya aku menyadari jiwa anak –anak mereka tidak hilang mereka tetap senang dan tersenyum saat diberikan sesuatu

Entah bagaimana mengakhiri tulisan ini. Yang pasti ingin suatu sore nanti aku tidak ingin melihat mereka berkeliaran lagi di jalan raya. Aku berharap mereka dapat hidup sewajarnya layaknya seorang anak. Ketika sore datang merekamandi kemudian bermain bebas di depan rumah tanpa pernah memperhatikan kapan mereka harus berlari kejalan ketika lampu berwarna merah atau berlari menepi ketika lampu berwarna hijau.

Wallahua lam bishowab Ade Nursanti

Mencari Ridha Allah

oleh Muhammad Rizqon

Mencari atau mengharap atau semata-mata demi “keridhaan Allah” adalah ungkapan jawaban yang sering kita dengar tatkala kita menanyakan tujuan dari suatu amal yang dilakukan oleh saudara kita. Jawaban itu sejatinya mencerminkan keimanan yang benar, jika memang diyakini seperti itu, terucap seperti itu, dan terwujud dalam realita amal yang selaras dengan itu.

Namun alangkah sayangnya, karena tidak sedikit orang yang kurang memahami makna pernyataan yang agung tersebut. Ia menjadi semata-mata ucapan bibir yang lahir bukan dari pemahaman dan keyakinan. Dan ia menjadi kata-kata yang tidak bermakna karena tidak menemukan korelasi dengan perilaku kehidupan keseharian.

***

Baru-baru ini saya menerima e-mail. E-mail itu cukup membuat saya berpikir dan mengevaluasi kembali apa-apa yang telah saya lakukan. Apakah yang saya lakukan selama ini benar dalam rangka menggapai ridha Allah atau tidak. Saya bersyukur, karena e-mail itu mengingatkan diri saya, bahwa apa yang saya lakukan boleh jadi salah. Ini berarti suatu peluang bagi saya untuk memperbaiki kesalahan sehingga tidak terulang dikemudian hari.

Seorang muslimah yang mengirim e-mail itu menulis,

“Sepintas saya menangkap Bapak melakukan amal seperti dzikir, bayar zakat, dan amal-amal lain, agar doa Bapak untuk mendapat keselamatan selama terbang terkabul. Apabila memang demikian sayang dong Pak!”

Tulisan dia menjadi bahan perenungan saya. Apakah jika seseorang bermohon untuk selamat dari bahaya itu salah? Saya berpikir hal itu menjadi salah manakala seseorang memohon keselamatan kepada ‘tuhan lain’ selain Allah atau menjadi salah manakala seseorang meyakini bahwa dengan amal itu, Allah ‘pasti’ akan menyelamatkannya. Sepanjang ia memohon keselamatan kepada ‘Allah’ —dzat yang mampu memberi keselamatan kepada orang yang dikehendaki, bukan kepada tuhan lain—dan amal yang dilakukannya adalah sebagai ‘ikhtiyar (wasilah)’ yang tidak mengurangi kekuasaan Allah untuk menyelamatkan atau mencelakakan seseorang, maka apa yang dilakukannya adalah hal yang bisa dibenarkan oleh syariat.

Muslimah itu kemudian melanjutkan,

“Saya pun selalu berdoa untuk banyak permohonan. Lemah rasanya menjalani hidup tanpa doa. Tetapi saya juga sedang belajar untuk tidak berhitung dengan amal-amal saya karena masih harap cemas apakah amal saya diterima atau tidak.”

Saya pun kembali berenung, apakah dengan mengikhlaskan tujuan karena Allah kita tidak boleh memiliki tujuan lain? Saya berpandangan tujuan-tujuan lain diperbolehkan sepanjang dalam rangka menenuhi tujuan karena Allah, bukan tujuan utama yang paling dominan. Sama halnya dengan pernyataan bahwa keimanan yang benar adalah menjadikan Allah sebagai dzat yang satu-satunya dicintai, namun keimanan itu tidak menafikan adanya cinta kepada isteri, anak, atau harta benda. Keimanan yang benar menempatkan cinta kepada semua itu dalam rangka mencintai Allah dan cinta kepada semua itu tidak lebih dominan dibanding cintanya kepada Allah.

Apakah dengan amal-amal itu saya berhitung dengan Allah? Berhitung-hitung biasanya dilakukan oleh anak kecil. Saya kerapkali menghadapi anak saya —yang karena sifat kekanakannya—masih berhitung dalam hal ketaatan kepada saya selaku orang tua. Ia mau mengerjakan apa yang saya perintahkan —entah berbentuk permintaan tolong atau larangan—jika saya mau memberikan sejumlah uang tertentu. Jika saya tidak mau memberikan sejumlah uang itu, ia pasti tidak akan melaksanakan apa yang saya perintahkan itu.

Apakah maksud e-mail itu jika berdoa ya berdoa saja, tidak perlu beramal ini itu dengan tujuan ini itu? Atau jika dianalogikan ke anak kecil, minta ya minta saja, tidak usah merayu-rayu dan mengambil simpati? Misal dengan menjadi lebih penurut dan lebih sopan? Waallahu a’lam.

Keselamatan adalah hal yang ghaib, berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Apakah pada akhirnya seseorang selamat atau tidak, semua itu menjadi rahasia Allah. Jika seseorang melakukan ketaatan demi memperoleh sesuatu yang masih menjadi rahasia Allah, di mana Allah berkuasa memberikan hal itu, tentu fenomena yang demikian bukanlah fenomena berhitung dengan Allah.

Rasanya fenomena yang mendekati berhitung dengan Allah adalah bernadzar, artinya berjanji akan melakukan suatu bentuk ketaatan manakala keinginannya dikabulkan oleh Allah. Itu pun termasuk hal (yang saya ketahui) diperbolehkan oleh syariat. Karena muaranya adalah mendorong orang kepada kebaikan. Sebaliknya syariat melarang nadzar yang mengarah kepada keburukan. Jika seseorang bernadzar seperti itu maka nadzar itu menjadi batal untuk diwujudkan alias batal demi hukum.

***

Ridha terhadap Allah berarti menerima semua ketentuan Allah terhadap manusia dan tuntutan Allah terhadap manusia. Ketentuan Allah terhadap manusia merupakan qadha dan qadar yang sudah tertulis dalam kitab Lauh Al-Mahfudz. Apa yang ‘telah’ berlaku atas manusia disebut takdir, yang mana kita diperintahkan untuk mengambil hikmahnya agar kita lebih taat kepada Allah. Dan tuntutan Allah terhadap manusia merupakan takdir syar’i (ketentuan syariat) berupa wahyu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw untuk dipelajari, diamalkan, dan untuk ditaati.

Mencari ridha Allah bisa diartikan menerima ketentuan Allah atas diri kita. Dalam konteks terbang, berarti siap untuk selamat ataupun tidak selamat, karena semua itu adalah rahasia Allah diluar jangkauan kita. Mencari ridha Allah juga berarti menerima tuntutan Allah terhadap diri kita. Dalam konteks terbang, jika kita menghendaki keselamatan maka kita pun hendaknya banyak mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan banyak amal ketaatan. Itulah upaya maksimal yang bisa dilakukan. Bagi mereka yang memiliki kontrol terhadap hal-hal teknis penerbangan, maka kendala-kendala teknis itu harus dihilangkan.

Saya menyimpulkan mencari ridha Allah berarti berupaya semaksimal mungkin menjalankan ketaatan kepada Allah dan menyerahkan hasil akhir ketaatan itu kepada-Nya.

Tentu kita tidak bisa dengan pasti mengklaim atau menilai seseorang itu telah menempuh jalan dalam keridhaan-Nya atau tidak. Tetapi setidaknya kita bisa bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah beramal semata-mata mencari ridha Allah atau tidak.

Waallahua’lam bishshawaab

(rizqon_ak@eramuslim.com. SMS 0817-99-OIMAN)

Bangsaku...

oleh Adesanti

Bangsa ini, aku sering geleng kepala kenapa bisa jadi begini, kesenjangan sosial yang kian mencolok, antara si kaya dan si miskin. Suatu hari di lampu merah. Jika masuk ke mall disebelahnya yang terkenal dengan Cempaka Mas ramai orang berkeliaran di sana tidak kenal tanggal tua atau tanggal muda entah apa niat orang-orang mendatangi pusat belanja yang pasti selalu ramai apakah mereka belanja atau hanya mencari hiburan saja dan window shopping belaka.

Keluar dari gedung pertokoan nan megah setiap sore kulihat pemandangan yang sama ibu – ibu yang bergerombol di bawah jembatan duduk bercanda, bercerita dengan rekannya sesekali melihat anak mereka yang mencari sebuah receh dari tangan yang menjulur keluar dari mobil mewah. Anak anak ini pun kreatif menjajakan kreatifitasnya bernyanyi dengan bermodalkan botol bekas minuman disi dengan beras atau pasir yang menimbulkan suara krecek krecek dengan dendangan lagu yang tidak nyambung dengan irama.

Hari lain ketika pulang bekerja sore itu ku temui seorang ibu yang lusuh menggendong anaknya kurang lebih berumur 2 tahun yang ketika ku melihatnya aku langsung teringat anakku. Anak tersebut rapih walau dengan baju seadanya tapi tampak polesan bedak yang tidak rata tanda ia baru mandi sore. Seperti biasa mereka mencoba menyanyi seadanya.

Dari ini semua kadang aku ingin tahu apakah karena kesulitan ekonomi memakssa mereka berbuat seperti itu? Atau ada hal lain atau mereka pikir cara ini lebih menjanjikan dari pada mencari uang dengan cara lain?

Terkadang yang lebih menyakitkan adalah melihat anak-anak perempuan kecil berkeliaran di jalan. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak mereka lakukan. Bukankah terlalu beresiko untuk mereka terhadap tindak kekerasan dan pelecehan?

Aku pernah ingin meneliti tentang mereka tapi teman – teman meragukan bukan karena kemampuanku tapi lebih pada kekuatan mentalku menghadapi mereka karena dilain pihak banyak berita miring bahwa mereka terorganisir untuk melakukan itu semua termasuk di antaranya isu menyewakan anak untuk mengamen di jalan.

Oh bangsa ku.... ada kalanya aku tidak ingin memberi saat mereka selesai bernyanyi tapi hati nuraniku lebih bicara kasihan padanya. Pernah suatu ketika aku tidak punya recehan yang ada hanyalah sebungkus kacang yang juga ku beli dari pedagang asongan, tidak ada penolakan saat ku berikan akhirnya aku menyadari jiwa anak –anak mereka tidak hilang mereka tetap senang dan tersenyum saat diberikan sesuatu

Entah bagaimana mengakhiri tulisan ini. Yang pasti ingin suatu sore nanti aku tidak ingin melihat mereka berkeliaran lagi di jalan raya. Aku berharap mereka dapat hidup sewajarnya layaknya seorang anak. Ketika sore datang merekamandi kemudian bermain bebas di depan rumah tanpa pernah memperhatikan kapan mereka harus berlari kejalan ketika lampu berwarna merah atau berlari menepi ketika lampu berwarna hijau.

Wallahua lam bishowab Ade Nursanti

Berkah dari Persaudaraan

Datangnya akhir pekan sering disambut gembira oleh siapa saja, termasuk oleh saya saat itu. Orang boleh memiliki alasan yang beragam kenapa bisa demikian. Bagi saya, rasa gembira itu muncul laksana gembiranya seseorang yang hendak keluar dari beban berat yang menghimpitnya. Atau laksana gembiranya seekor burung yang hendak bebas terbang keluar dari sangkarnya.

Selama sepekan saya menjalani pergulatan dengan hari-hari perkuliahan yang cukup menegangkan. Akhir pekan adalah kesempatan untuk menenangkan pikiran barang sejenak dari padatnya materi perkuliahan. Pikiran ini bisa diistirahatkan dan disegarkan, bukan untuk melemahkan ketajamannya melainkan agar lebih bisa berpacu menjalani proses perkuliahan sepekan ke depan.

Sistem yang berlaku di kampus saya memang unik dibanding sistem yang berlaku di kampus pada umumnya. Buku kuliah yang digunakan adalah text-book berbahasa Inggris yang tebal-tebal. Setiap akhir perkuliahan pasti ada exercise yang harus dikerjakan di rumah (PR). Ada dua hal kesulitan, yaitu kesulitan karena secara teknis memang sulit dan kesulitan karena harus menterjemahkan dulu bahasa Inggrisnya. Tambahan pula, bukan hanya satu dosen yang menghadiahkan exercise itu, tetapi hampir semuanya. Duh, Jika tidak kuat (istiqomah) menjalani perkuliahan yang ketat dengan sistem DO itu, pastilah kami segera tergusur dan pulang kampung karena tidak memenuhi target yang dipersyaratkan.

Akumulasi kesuntukan pada satu sisi yang bertemu dengan akumulasi kerinduan akan “kebebasan” pada sisi lainnya, menimbulkan kegembiraan yang luar biasa bagi kami yang menjalaninya. Boleh jadi, itulah nikmatnya kuliah dengan di bawah tekanan (under pressure).

Ahad paginya, sekitar pukul 7.30, beberapa teman satu kontrakan telah menampakkan kesibukan dan kesiap-siagaan hendak bepergian ke suatu tempat. Mandi silih berganti, mencuci pakaian, menyerika baju, sarapan atau merapikan sesuatu. Sudah dimaklumi, ada saja acara yang dilakukan pada hari Ahad untuk mengusir kepenatan yang ada. Berkunjung ke saudara, menghadiri taklim, seminar, bedah buku, kegiatan dakwah kampus, shopping, atau sekedar jalan-jalan refreshing ke suatu tempat.

Salah satu yang sibuk berkemas-kemas itu adalah Fahrudin. Saat saya tengok kamarnya dan ia sedang menyisiri rambutnya yang klimis. Ia berkata,

“Ikut yuk!”
“Ke mana?” Saya pun bertanya.
“Ke masjid Bintaro.”

Oh iya. Saya tersadar akan adanya pengajian rutin yang selalu dilaksanakan setiap Ahad pagi di masjid Bintaro Jaya itu, yaitu kajian tafsir Jalalain yang diasuh oleh Ust. Habib Assegaf. Tadinya saya berpikir Fahrudin hendak ke acara lain, rupanya ia hendak ke sana rupanya.

“Siapa lagi yang mau ke sana, Din?”
“Kita semua mau pada ke sana. Ghufron, Abdus, Taufik, dan saya.”
“Kalau gitu saya ikut deh.”

Saya akhirnya bersiap-siap. Saya benar-benar tidak menyadari akan adanya acara pengajian itu. Mungkin karena banyaknya variasi kegiatan di kampus yang bisa dilakukan. Sedianya saya akan di kontrakan saja mencuci baju. Sehingga pakaian kotor pun saya biarkan terendam detergen hingga esok hari.

Setelah semua siap, kami pun melangkah, berjalan kaki menuju halte Kopaja beberapa ratus meter dari rumah. Langkah kaki saya sebenarnya biasa saja, artinya tidak ada gelora semangat layaknya teman-teman yang ingin serius mendengarkan pengajian. Hal ini terlihat dari kelengkapan bekal yang dibawa: mushaf, buku catatan, pulpen, dan ada yang membawa terjemahan kitab tafsirnya.

Saya tidak membawa apa-apa kecuali membawa badan. Tidak apa-apalah saya mendengarkan saja. Poin-poin pengajian biar teman lain yang mencatat dan bisa di-sharing kemudian. Saya berusaha memperbaharui niat bahwa saya mengikuti taklim pengajian karena mengharap ridha Allah, mendapatkan pencerahan yang bisa menambah keimanan saya kepada Allah. Bukan semata-mata ajakan teman.

Hati yang semula biasa-biasa saja, begitu memasuki ruangan taklim dan mendengarkan pencerahan dari ustadz, timbul sesuatu perasaan yang luar biasa di dalam dada. Hati ini menjadi tergugah dan bersemangat. Ada rasa kedamaian dan syukur karena telah mendapatkan pencerahan. Dalam hati saya bergumam, “Alhamdulillah, beruntung saya menghadiri majelis taklim ini. Beruntung saya memiliki teman-teman yang senantiasa mengajak kepada kebaikan. Pasti saya akan menyesal andai saya tidak menyertai teman-teman mengikuti pengajian ini.”

Ya, berawal dari langkah yang agak berat, Ia menjadi ringan setelah mengetahui manfaat dari langkah-langkah berat yang ditempuh. Alhamdulillah, puji dan syukur atas petunjuk-Mu ya Allah, yang telah menganugerahi sahabat-sahabat terbaik.

***

Saat saya berkunjung ke Gunung Sitoli, Nias, saya berjumpa dengan saudara muslim bernama Rubi. Ia adalah relawan kemanusiaan dari NGO Muslim. Saya bertemu dia saat kami berada di lokasi hot-spot internet di kantor BRR Perwakilan Nias. Saat itu ia hendak mengirim e-mail laporan pertanggung jawaban dengan attachment laporan kegiatan dan foto-foto. Ia sedikit kurang familiar dengan mekanisme pengiriman e-mail. Saya coba membantu membuka koneksi internetnya, membuat account e-mail, meng-compose, dan meng-attach file-file yang ingin ia kirim.

Dalam pertemuan itu saya bertanya beberapa hal. Tentang keluarganya, tentang situasi saat gempa Nias terjadi, dan tentang kegiatan halaqah-nya. Mertuanya adalah warga pendatang yang lama tinggal di Gunung Sitoli. Mereka membuka rumah makan padang, dan merupakan salah satu Rumah Makan Padang favorit dan ramai di Gunung Sitoli. Saat gempa terjadi, goncangan yang dirasakannya sangat dahsyat, namun Alhamdulillah rumahnya tidak mengalami kerusakan parah.

Ketika saya tanyakan kegiatan halaqah, alangkahya terkejutnya saya ketika ia mengatakan bahwa kegiatan halaqahnya tidak dilakukan di Gunung Sitoli ini. Ia berujar,

“Di sini, kadernya ya cuma saya dan isteri saya.”

Kemudian ia melanjutkan,

“Jadi untuk kegiatan halaqah, kami sepekan sekali harus pergi ke Sibolga.”

Sibolga adalah kota di pantai barat Sumatera Utara yang paling dekat dengan Pulau Nias. Ada angkutan ferri yang siap mengangkut penumpang dari dan ke Nias dari Sibolga, dengan jarak tempuh sekitar 17 jam. Masih sedikit armada ferri yang beroperasi. Bahkan kadang-kadang cuma ada satu ferri. Rubi biasanya bertolak dari Gunung Sitoli hari Sabtu, kemudian tiba kembali hari Selasa.

Bisa dibayangkan bagaimana pengorbanan yang dilakukan Rubi dalam rangka mengikuti majelis pekanannya itu. Menantang resiko dengan armada ferri tua dan cuaca yang kadang-kadang mendebarkan jantung karena kurang bersahabat. Beruntung ia memiliki pendapatan yang cukup memadai, sehingga ia bisa pergi-pulang dengan membawa isteri beserta dua anaknya yang masih kecil-kecil itu.

***

Dua kisah di atas mencerminkan makna pentingnya sebuah persaudaraan (ukhuwah).

Persahabatan saya dengan orang-orang yang baik, mengarahkan saya kepada jalan kebaikan. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa bersahabat dengan orang yang baik adalah laksana bersahabat dengan penjual minyak wangi yang sedikit banyak pasti akan menebarkan aroma keharuman pada diri kita. Kuatnya pengaruh sahabat dalam kehidupan, menjadikan kita memahami akan sebuah hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa jika kita ingin mengetahui bagaimana agama seseorang maka lihatlah bagaimana agama sahabatnya.

Sedangkah kisah Rubi mencerminkan arti saudara yang tidak hanya mengarahkan kepada jalan kebaikan, tetapi juga membentengi diri dari kesesatan, penyimpangan dan pelemahan iman. Ibaratkan domba, ia cenderung berkumpul dengan kelompoknya. Jika ia sendirian, maka bahaya besar (hewan buas) pun akan cenderung mengancam dirinya.

Boleh jadi, kesadaran demikianlah yang mendorong Rubi bertekad mengunjungi saudara-saudara halaqahnya di Sibolga. Dengan berkunjung setiap pekan, maka ikatan persaudaraan pun bisa dijaga. Dan keimanan pun bisa dipertahankan kestabilannya.

Dalam sebuah hadits Nabi, diungkapkan bahwa sebaik-baik teman adalah jika kamu memandangnya maka kamu menjadi teringat kepada Allah dan hari akhir. Dalam arti lain, jika kamu bertemu dengannya maka keimanan kamu akan bertambah. Dengan bertemunya Rubi dengan saudaranya, maka ia diingatkan dengan kampung akhirat. Dan sangat mungkinkarena interaksi iman di antara mereka, keimanan pun bisa bertambah. Agaknya, iman itu bisa bergetar dan memberikan resonansi manakala fisik mereka berdekatan satu samalain.

Seorang sahabat Nabi Saw (Handholah) menyatakan dirinya (dihadapan Abu Bakar r.a) telah munafik. Ketika berada di majelis Rasulullah Saw, ia merasakan Allah itu begitu dekat dengannya. Bayangan surga dan neraka tergambar dengan begitu jelas sehingga ia termotivasi untuk beramal ibadah dan meninggalkan kemaksiyatan. Namun tatkala ia kembali ke tengah keluarganya, bergaul dengan isteri dan anaknya, bayangan akhirat itu menjadi jauh dan mereka cenderung melupakannya. Ternyata kondisi seperti itu dialami pula oleh sahabat utama Abu Bakar Ash Shiddiq yang kemudian membawa masalah itu ke hadapan Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw kemudian mengatakan, “sesaat, sesaat.” Artinya kondisi tersebut adalah wajar (sesaat saja) tetapi jangan dibiarkan berkepanjangan. Jika merasa telah kembali lupa dengan bayang-bayang akhirat, maka segeralah bergabung dengan majelis Rasulullah Saw kembali dan bertemu dengan saudara-saudara seiman untuk mengup-grade keimanan yang mulai menurun itu.

Nampaknya inilah yang dilakukan oleh Rubi, yang dengan pengorbanannnya, mendatangi majelis halaqahnya sepekan sekali dengan jarak perjalanan sekitar 17 jam dan dengan resiko yang tidak kecil. Tidak lain karena dorongan kecintaan kepada keimanannya. Maka kita pun tidak heran mendengar kisah beberapa sahabat atau ulama salaf yang berkuda berhari-hari demi mendatangi gurunya. Kegersangan imannya begitu meranggas dan seakan merindukan oase untuk melepaskan penderitaannya itu.

Berkaca kepada Rubi, maka sepantasnyalah kita tidak segan, malas, lemah mendatangi majelis tempat berkumpulnya orang-orang shaleh, tempat nama Allah di agungkan, ilmu dikaji, dan jiwa dicerahkan dengan keimanan. Sesungguhnya dengan berkumpulnya saja, Malaikat akan berdoa untuk keberkahan kita. Terlebih jika anggota majelis telah terikat dalam suatu persaudaraan seiman, maka resonansi iman pun tidak mustahil terjadi. Artinya dengan bertemunya saja, keimanan akan mengalami penyesuaian (penyelarasan) menjadi lebih baik.

Waallahua’lamu bishshawaab (rizqon_ak@eramuslim.com, SMS 0817-99-OIMAN)

Belajar dari Seorang Ibu Tua

oleh Ineu

Sabtu lalu saya sekeluarga bergegas berangkat ke masjid Al-Falah, sebuah masjid yang didirikan oleh orang-orang Indonesia di Berlin. Khawatir acara pengajian yang biasa diadakan tiap penghujung bulan itu sudah di mulai, kami berlari-lari kecil sambil diiringi tawa riang anak-anak mengejar bis yang hampir saja meninggalkan kami.

Yah apa boleh buat, sekalipun bis bisa terkejar, kami tetap terlambat 10 menit dari acara yang ditetapkan. Eh begitu masuk masjid, ternyata suasana masih lengang, saya hanya melihat beberapa ibu dan panitia yang sedang mengecek sound system, dan lain-lain. Saya segera menyalami beberapa ibu yang sudah hadir tadi kemudian mencari posisi duduk di pojokan dekat heizung.

Tak lama seorang ibu lebih dari separuh baya (mungkin sekitar 70 tahunan) menghampiri saya. Saat melangkah, beliau berjalan tertatih-tatih, raut mukanya sedikit mengernyit, seperti menahan sakit. Saya bantu beliau duduk menyender di heizung, lalu mulailah kami saling menanyakan kabar.

Saya mengenal sosok ibu tersebut belum lama ini. Namun nama beliau sudah lebih duluan akrab di telinga saya karena seorang sahabat menceritakan tentang beliau yang rutin mengaji privat pada sahabat saya itu. Akhir-akhir ini beliau sering saya lihat mendatangi masjid saat ta'lim ibu-ibu tiap hari Selasa. Saya mendengar pula dari sahabat yang lain, beliau juga selalu datang di hari jumat.

Entah mengapa, setiap pandangan kami berpapasan, hati saya berdesir aneh...mungkin saya jadi teringat ibu saya di kampung halaman. Termasuk sore itu, saat beliau duduk begitu dekat dengan saya. Rambutnya sudah hampir semuanya memutih, namun sorot matanya masih memancarkan semangat. Ini dia, hati saya mulai dijalari rasa ingin tahu lebih banyak untuk mengenalnya.

Aha, ternyata tak lama kemudian beliau bertutur, tinggal lumayan jauh di pinggiran Berlin, bersuamikan orang Jerman dan belum dikaruniai cahaya mata. Sejenak beliau terdiam, pandangannya menerawang, lalu tak lama kemudian meraih putri saya, Nazhifa, memeluknya dengan penuh sayang. Saya merasakan ada semacam kerinduan yang sangat akan kehadiran anak dari sikapnya saat itu.

"Tahukah nak, apa yang membuat saya selalu datang kemari?"tanya beliau. Saya tersenyum, namun belum sempat menjawab, beliau segera menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. "Saya ingin Allah meridhai upaya saya saat ini, saya akan terus belajar hingga saya bisa lancar membaca al-qur'an." "Saya tak memiliki anak yang akan mendoakan saya bila kelak saya meninggal, saya ingin langkah kaki ini yang mesti harus selalu diseret, menjadi peringan siksa di kubur..."

Beliau kemudian menatap saya lama, ada bulir-bulir air mata di sana, saya tertunduk merasa tak kuasa membalas tatapan sedih itu. "Nak, jangan kaya' ibu ya nak? Baru belajar al-Qur'an di usia senja gini. Bener-bener ibu menyesal, jangankan untuk menghapal surat, menghapal huruf-huruf saja, ibu sudah kepayahan..." lanjut beliau. Oya, baik-baik juga mendidik anak-anakmu ya nak, biar doa mereka menjadi cahayamu di alam kubur nanti..."

"Insya Allah ibu...terimakasih nasehatnya." jawabku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengingatkanku lewat ibu itu. Kini saya tahu, kenapa hati saya selalu berdesir tiap kali menatap beliau. Usia dan kelemahan fisiknya, tak menghalangi beliau untuk berangkat mengaji. Yah, saya merasa semangatnya yang menyala-nyala itulah yang menghentak hati saya untuk bisa sesemangat beliau (bahkan harus lebih!) dalam mempersiapkan bekal kepulangan saya dan juga keluarga ke negeri abadi.

********************

* heizung = pemanas ruangan

Hidup Susah...Mau?


" Ya Alloh hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikan aku dalam keadaan miskin dan dipadang mahsyar kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin....!" Sepenggal do'a dari nabi besar Muhammad S.A.W.

Saya yakin, sebagian besar dari kita enggan untuk membaca do'a ini. bahkan mungkin kita membaca do'a agar dipermudah urusan dan dipermurah rezeki. Pernahkan kita berkaca dan membayangjkan menjadi miskin itu adalah kenikmatan duniawi dan kemanisan iman yang sesungguhnya.

Berapa banyak dari kita yang mengeluh gaji kecil, potongan ini itu dari kantor yang membuat take home pay yang kita terima hanya sedikit. Berapa banyak dari kita terutama kaum hawa yang iri melihat harta tetangga rumah atau tetangga kantor dan menghalalkan seagala cara untuk memperolehnya.

Pernah kita berpikir atau membayangkan bagaimana rasanya tidur dikolong jembatan, mandi dengan air sungai jakarta yang terkenal keruh dan sumber penyakit. Apakah mereka menginginkan makan di fastfood yang hanya harga saja mahal, padahal jika kita membuat sendiri jauh lebih enak? Dengan alasan, beda??

Apakah mereka menginginkan AC, TV Flat plus DVD, mobil mewah yang pajak tahunannya melambung tinggi belum bensin bahkan rumah besar yang perawatan mahal. Berapa banyak kita buang waktu hanya untuk memperoleh dan mengurusi harta yang tidak dibawa mati. Berapa banyak waktu yang hilang karena kita lebih mencintai harta daripada iman yang lama-lama terkikis habis, hanya timbul setahun sekali saja yaitu pada Ramadhon?

Kita sekolah tinggi hanya demi gengsi dan gelar, sedang mereka untuk sekolah gratis saja sulit sekali. Berapa banyak ibu melahirkan yang meninggal karena tidak sanggup ke rumah bersalin. Berapa banyak batita dan balita yang terkena gizi buruk sedang kita enak mengunyah burger yang harganya puluhan ribu rupiah.

Pernah membayangkan nikmat dan bahagia hidup susah? Selam ini kita diiming-imingi oleh sinetron tentang enaknya hidup dalam kemewahan. Dalam hidup susah, kita lebih dekat kepada Alloh dan juga kepada manusia, kita lebih memahami perasaan orang, jauh dari sifat egois, sombong apalagi takabur.

Dengan hidup susah, kita tidak perlu "ngoyo" mencari harta apalagi harus merawat harta tersebut. Sedang di akhirat nanti harta yang tidak ditunaikan kewajibannya hanya akan menjadi penghalang hisab kita, belum lagi harta yang ditunaikan secara haram maka hanya akan menyengsarakan kita beribu tahun lama nya dibanding dengan tahun dunia yang hanya hitungan detik.

Masih ada waktu, minimal kita jangan bersedih atas kekurangan harta. Jadikan pelajaran ini adalah awal untuk tidak mencintai dunia dan siap hidup susah dengan segala jaminan yang dijanjikan oleh Alloh SWT.

Jangan tumbuhkan sikap iri atas kelebihan karuni/ rezeki yang Alloh berikan untuk orang lain. Alloh jauh lebih mengetahui apa yang hambanya butuhkan. Bersyukurlah atas apa yang tidak Alloh beri untuk kita.

Janganlah dunia menipumu. Hanya mereka yang tertipu yang menjadikan dunia sebagai tujuan. Sedangkan orang yang beriman secara benar, hanya mencintai kampung akherat.

Ya Alloh yang membolak balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami atas keimanan kepada-Mu. Amin
oleh Amanda 

Ibu Amrah penjual Gado-gado yang Sederhana...


Bu Amrah, begitu orang-orang sekitar menyebutnya. Entah usianya berapa sekarang, yang jelas sudah cukup umur. Senyumnya tulus kepada setiap pengunjung. Ramah. Selain berbusana yang sederhana, beliau memakai jilbab, menandakan beliau muslimah yang taat agama.

Beliau punya pekerjaan tetap, menjual gado-gado. Di warung sederhana cepat bongkar -begitu istilah saya-, di depan masjid At-Taufiq, Perumahan Pondok Cipta, Bekasi. Dari resep spesial gado-gadonya itulah nama beliau tenar. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup sederhana, memiliki pekerjaan yang cukup menghasilkan, dan dapat dibanggakan. Bagaimana tidak, beliau mampu ke tanah suci untuk pergi haji menyempurnakan rukun Islam, dari pekerjaan yang ia geluti selama ini. Ya, beliau telah naik haji atas ketekunannya, dan Allah memperkenankan terwujud. Subhanallah.

Dia sesosok ibu yang dicintai oleh warga sekitar yang mengenalnya. Ia disayang oleh keluarga dan para tetangganya, beliau juga sangat disegani. Itu semua muncul bukan karena beliau mengharapkan untuk dipandang dan disegani, namun karena ketulusan serta pancaran kasihnya, itulah kekuatannya. Dan orang takluk. Profesinya memang sederhana, tetapi hatinya terbuka untuk siapa saja. Ia memandang adil semua pelanggannya.

Bu Amrah layak dijadikan teladan, bagi Anda yang rindu akan keserhanaan dan ketekunan yang membawa kemuliaan hidup. Meskipun hanya seorang penjual gado-gado, jika bicara penghasilan, pendapatannya melebihi gaji seorang fresh graduate. Jangankan bicara tentang etika dan kejujuran, beliau mempelajarinya bukan dari bangku-bangku kuliah. Melainkan nilai itu ia kenal, lalu tekun melakoni tanpa terlalu banyak membaca teori apa makna nilai-nilai yang dimaksud, namun telah tercermin dari pribadi beliau.

Fenomena sehari-hari sangat sering kita jumpai orang-orang yang cukup mengerti tentang moralitas dan teori tentang membangun kesuksesan. Di antara mereka bahkan ada yang sengaja meluangkan waktunya khusus untuk mempelajari, memahami konteks tersebut melalui seminar, kuliah, diskusi, dan pelatihan-pelatihan lainnya yang mahal. Tetapi hanya sebagian sedikit dari mereka yang berhasil mewujudkan dalam dirinya, lantaran kebanyakan, ide-ide cemerlang itu hanya berputar dalam kepala saja. Belum terwujud di kehidupan sehari-harinya. Seolah sikap konsisten itu menjadi pembeda yang nyata, antara orang-orang yang sukses dan gagal.

Masyarakat sebenarnya telah mengenal nilai-nilai dasar itu berabad-abad lamanya. Secara umum masyarakat juga sudah sangat pandai menilai, apakah seseorang cukup konsisten dengan prinsip hidup yang ia yakini baik. Caranya mudah, ya dengan menyaksikan perbuatan yang ia cerminkan, apakah wujud dari kata-kata panjang yang pernah ia sampaikan.

Termasuk cara penilaian itu juga berlaku bagi kita sendiri. Selain waktu yang akan membuktikan, kosistensi juga akan semakin diperjelas dengan karya nyata yang kita wujudkan. Jelas sikap konsisten, memiliki peran penting dalam membentuk integritas dan produktivitas manusia. Menemukan nilai lain berupa; keseriusan, visi, dan komitmen. Sikap konsisten inilah juga yang akan menjadikan kita dalam jenjang kemajuan yang lebih besar. Ibarat anak panah, ia tidak pernah salah sasaran.

Ibu Amrah, adalah satu di antara jutaan kisah teladan. Jika nilai-nilai positif yang ia miliki juga dimiliki oleh seluruh pejabat tinggi di negeri kita ini, tentulah Indonesia akan mengalami kemajuan yang signifikan.

Ibu Amrah, beliau telah berhasil (Insya’Allah) mengenali karakter jiwa kemanusiaannya, sampai kemudian memancarkan nasehat tanpa banyak berkata. Yang maknanya sangat dalam, dan menyentuh jiwa.

Semoga limpahan berkah Allah menaungi usaha Bu Amrah.

Satu Pelajaran Lagi!

oleh Yunny Touresia

Bau khas yang menusuk langsung menyeruak rongga pernafasan saya, mengharuskan langkah kaki bergegas meletakkan kantong plastik berisi sampah yang menggantung di tangan. Tiba-tiba ada seorang bapak pemulung muncul dari balik gerobak sampah yang di parkir tak jauh dari bak sampah di depan saya. Persis ketika saya akan membungkuk meletakkan bawaan.

“Alhamdulillah…, sampah lagi. Mari bu, sini, sampahnya buat saya”.

Bapak itu serta merta menangkap plastik di tangan saya. Senyum lebarnya tercipta demi melihat kantongtersebuttelah berpindah ke dalam genggamnya. Saya sendiri hanya bisa tersenyum kecut. Beberapa detik saya hanya mematung. Bukan karena kemunculan bapak tadi yang memang mengagetkan saya. Tetapi kata-kata yang beliau dilontarkan. Dapat sampah, bersyukur? Subhanalloh

Sekilas saya lihat penampilan si bapak pemulung. Celana belel dan kaos oblong berlambang salah satu partai peserta pemilu yang sudah pudar warnanya membalut tubuhnya yang ringkih. Kerutan sudah mulai banyak di wajahnya. Gerobak yang dimilikinyapun berpenampilan senada. Seng bekas yang sudah penuh karat menjadi dindingnya. Kumuh!

Saya bergegas melanjutkan perjalanan ke tempat kerja. Kejadian tadi masih membayang. Duh bapak! Nampak berat beban yang harus ditanggungnya. Di usianya yang sudah menua, masih bekerja seberat itu. Berangkat dari rumah dengan menyeret gerobak kumuhnya, mengais rezeki dari sisa-sisa orang lain, demi rupiah yang setiap hari tak pernah pasti jumlahnya.

Membayangkan diri sendiri. Yang berangkat dari rumah dengan kendaraan yang tak perlu banyak tenaga untuk membawanya. Menuju kantor dengan pekerjaan tetap yang rupiahnya dapat jelas tergambar.

Sungguh kontras dengan saya! Bila si bapak pemulung dengan beban beratnya tadi masih dapat mengucap syukur atas sampah yang didapatnya. Saya, yang hanya ‘harus’ membuang sampah dua hari sekali terkadang menyambutnya dengan kesal hati. Padahal yang harus saya lakukan hanyalah meletakkan kantong-kantong sampah itu ke tempatnya lalu pergi. That’s all.

Saya langsung beristighfar. Mengingat saya yang kadang berkerut-kerut hanya karena urusan tersebut.

“Males nih, bawa sampah pagi-pagi. Ntar sore aja, pulang kerja”. Begitu kilah saya biasanya kalau si kaka (khadimat kami) menginfo-kan kalau sampah sudah menumpuk dan harus segera dibuang.

Yang saya alami pagi ini, sungguh sebuah tamparan paling keras bagi saya yang terkadang masih saja mengeluh hanya karena urusan yang sebenarnya terlampau kecil. Sekedar membayangkan, seandainya saja yang berada di posisi bapak pemulung tadi adalah diri saya, tak tahulah apa yang akan saya lakukan. Apakah saya masih bisa mencipta sebuah senyuman? Wallahu’alam.

Alhamdulillah! Terima kasih ya Alloh, telah Engkau pertemukan hamba dengan seseorang yang membuat hati ini lebih menunduk syukur atas kelapanganMu. Di relung terdalam erikat janji, untuk tidak gampang mengeluh. Satu pelajaran telah saya dapatkan lagi. Semoga takkan ada lagi keluhan. Insya Alloh!

* Untuk seorang bapak yang saya temui pagi ini. Terima kasih banyak ya, pak! Semoga selalu ada kelapangan menyertai harimu …

http://yunnytouresia.multiply.com

Ibu Amrah yang Sederhana...

oleh Parlan

Bu Amrah, begitu orang-orang sekitar menyebutnya. Entah usianya berapa sekarang, yang jelas sudah cukup umur. Senyumnya tulus kepada setiap pengunjung. Ramah. Selain berbusana yang sederhana, beliau memakai jilbab, menandakan beliau muslimah yang taat agama.

Beliau punya pekerjaan tetap, menjual gado-gado. Di warung sederhana cepat bongkar -begitu istilah saya-, di depan masjid At-Taufiq, Perumahan Pondok Cipta, Bekasi. Dari resep spesial gado-gadonya itulah nama beliau tenar. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup sederhana, memiliki pekerjaan yang cukup menghasilkan, dan dapat dibanggakan. Bagaimana tidak, beliau mampu ke tanah suci untuk pergi haji menyempurnakan rukun Islam, dari pekerjaan yang ia geluti selama ini. Ya, beliau telah naik haji atas ketekunannya, dan Allah memperkenankan terwujud. Subhanallah.

Dia sesosok ibu yang dicintai oleh warga sekitar yang mengenalnya. Ia disayang oleh keluarga dan para tetangganya, beliau juga sangat disegani. Itu semua muncul bukan karena beliau mengharapkan untuk dipandang dan disegani, namun karena ketulusan serta pancaran kasihnya, itulah kekuatannya. Dan orang takluk. Profesinya memang sederhana, tetapi hatinya terbuka untuk siapa saja. Ia memandang adil semua pelanggannya.

Bu Amrah layak dijadikan teladan, bagi Anda yang rindu akan keserhanaan dan ketekunan yang membawa kemuliaan hidup. Meskipun hanya seorang penjual gado-gado, jika bicara penghasilan, pendapatannya melebihi gaji seorang fresh graduate. Jangankan bicara tentang etika dan kejujuran, beliau mempelajarinya bukan dari bangku-bangku kuliah. Melainkan nilai itu ia kenal, lalu tekun melakoni tanpa terlalu banyak membaca teori apa makna nilai-nilai yang dimaksud, namun telah tercermin dari pribadi beliau.

Fenomena sehari-hari sangat sering kita jumpai orang-orang yang cukup mengerti tentang moralitas dan teori tentang membangun kesuksesan. Di antara mereka bahkan ada yang sengaja meluangkan waktunya khusus untuk mempelajari, memahami konteks tersebut melalui seminar, kuliah, diskusi, dan pelatihan-pelatihan lainnya yang mahal. Tetapi hanya sebagian sedikit dari mereka yang berhasil mewujudkan dalam dirinya, lantaran kebanyakan, ide-ide cemerlang itu hanya berputar dalam kepala saja. Belum terwujud di kehidupan sehari-harinya. Seolah sikap konsisten itu menjadi pembeda yang nyata, antara orang-orang yang sukses dan gagal.

Masyarakat sebenarnya telah mengenal nilai-nilai dasar itu berabad-abad lamanya. Secara umum masyarakat juga sudah sangat pandai menilai, apakah seseorang cukup konsisten dengan prinsip hidup yang ia yakini baik. Caranya mudah, ya dengan menyaksikan perbuatan yang ia cerminkan, apakah wujud dari kata-kata panjang yang pernah ia sampaikan.

Termasuk cara penilaian itu juga berlaku bagi kita sendiri. Selain waktu yang akan membuktikan, kosistensi juga akan semakin diperjelas dengan karya nyata yang kita wujudkan. Jelas sikap konsisten, memiliki peran penting dalam membentuk integritas dan produktivitas manusia. Menemukan nilai lain berupa; keseriusan, visi, dan komitmen. Sikap konsisten inilah juga yang akan menjadikan kita dalam jenjang kemajuan yang lebih besar. Ibarat anak panah, ia tidak pernah salah sasaran.

Ibu Amrah, adalah satu di antara jutaan kisah teladan. Jika nilai-nilai positif yang ia miliki juga dimiliki oleh seluruh pejabat tinggi di negeri kita ini, tentulah Indonesia akan mengalami kemajuan yang signifikan.

Ibu Amrah, beliau telah berhasil (Insya’Allah) mengenali karakter jiwa kemanusiaannya, sampai kemudian memancarkan nasehat tanpa banyak berkata. Yang maknanya sangat dalam, dan menyentuh jiwa.

Semoga limpahan berkah Allah menaungi usaha Bu Amrah.


Mengenangmu Ayah


Ayah, bagaimana keadaanmu sekarang?
Adakah kau berada ditaman wardah yang indah dihias gemercik air mengalir dibawahnya?
Dan bila malam menjelang semua bintang jadi lentera?
Pada sebuah kehidupan yang kau jalani kekal dan menyenangkan?

Dulu, kau selalu tersenyum memandangku Kuharap sekarang kau masih tersenyum seperti dulu Saat ku kecil, kau selalu memanjakanku kuharap kau senang dengan keadaan barumu Tak pernah bosan aku datang dengan doadoa

Ayah, kau begitu bijaksana Jerih payah dan cucur keringatmu sangat berharga Redup tatap matamu pancarkan wibawa Senyum kasihmu hilangkan gundah Engkau adalah semangatku menjelma dalam jiwa Tak pernah terputus kurasa

Waktu begitu cepat berlari meninggalkan sederetan cerita Ketika sakit yang kau derita sangat menyiksa Tak pernah sedikit kau merintih dengan takdir kau berusaha menahan rasa perih bagai berjuang kurasakan dari kuat erat jemari penuh sayang yang selalu membelaiku saat kecil Tiba kau pergi karena Sang Khaliq lebih menyayangmu

Kau tak pernah bosan mengajarkan tentang kehidupan, kesabaran juga ketulusan Kau panutan dari anakanakmu

Diakhir sebelum kau pergi kau tanya pada bungsu kecil cantik kesayanganmu kutahu ia tak pernah dapat berpisah denganmu Jangankan untuk selamanya!
beberapa hari saja kau pergi, sikecil tak mendengar suaramu Pastikan ia demam dan panas Begitu pula ketika ia hendak tidur, pastikan kau ada di sampingnya Engkau sangat sayang sekali padanya

Selain bungsu, ia terlihat manja dan penurut ikatan batin denganmu begitu erat dengan penuh sayang kau ucap padanya, sebentar lagi akan pergi!
Sikecilpun belum mengerti makna tersirat yang kau ucapkan Hanya jawaban dengan tatapan mata mendalam terhadapmu!
tak pernah terbayang dibenaknya arti akan perpisahan Walau nafas terakhir kau bembuskan dengan senyuman

Betapa banyak handak taulan menjenguk saat sakitmu lebih banyak lagi datang ketika Allah memanggilmu kutahu engkau begitu berharga dimata mereka kutahu kau sangat dermawan terhadap orang lain sumbangsih dan nasehat yang kau berikan dengan prilaku indah itu Sekarang engkau telah pergi Namun, nama dan amal baikmu tetap hidup

Ayah, kau yang paling kuhormati sosok berwibawa dan sabar menghadapi semua cobaan gigih berjuang untuk kejayaan anak-anakmu tekun mengajar akan arti kejujuran engkau begitu teguh dan tegar menjalani hidup tak pernah menyerah dalam berusaha selalu berbaik sangka pada semua

Kupohon, maafkan aku Ayah Maafkan semua dosa dan kesalahanku selama ini Pengabdianku belumlah cukup membuatmu bahagia terlebih tak berada disisimu saat itu Engkau amanahkan harus kembali menuntut ilmu Saat kau tegaskan harus pulang membawa cahaya menerangi sanak saudara Terpatri dalam benak sanubari dan jiwaku ‘Anakmu harus berhasil dan kembali menjadi pelita’
Ayah, kalimat itu masih hangat dalam ingatanku Maafkan semua salah yang pernah ada Maafkan bila belum dapat mewujudkan harapanmu

Percayalah!
Anakmu selalu datang dengan doa pengharapan Aku berjanji menjadi yang terbaik untuk keluarga dan semua Didikanmu adalah awal dari keberhasilan yang kuraih Selamat jalan Ayah, semoga kau di sana lebih baik dan digolongkan orang orang yang beriman Dekapku dalam doa tulus untukmu disisi-Nya

Dar pagi hari, 25 Agustus 07

(Untukmu di sana, semoga Allah menyayangmu seperti kau menyayangiku saat kecil dulu)

Mengenangmu Ayah

oleh Ibnu Bermawi

Ayah, bagaimana keadaanmu sekarang?

Adakah kau berada ditaman wardah yang indah dihias gemercik air mengalir dibawahnya?

Dan bila malam menjelang semua bintang jadi lentera?

Pada sebuah kehidupan yang kau jalani kekal dan menyenangkan?

Dulu, kau selalu tersenyum memandangku Kuharap sekarang kau masih tersenyum seperti dulu Saat ku kecil, kau selalu memanjakanku kuharap kau senang dengan keadaan barumu Tak pernah bosan aku datang dengan doadoa

Ayah, kau begitu bijaksana Jerih payah dan cucur keringatmu sangat berharga Redup tatap matamu pancarkan wibawa Senyum kasihmu hilangkan gundah Engkau adalah semangatku menjelma dalam jiwa Tak pernah terputus kurasa

Waktu begitu cepat berlari meninggalkan sederetan cerita Ketika sakit yang kau derita sangat menyiksa Tak pernah sedikit kau merintih dengan takdir kau berusaha menahan rasa perih bagai berjuang kurasakan dari kuat erat jemari penuh sayang yang selalu membelaiku saat kecil Tiba kau pergi karena Sang Khaliq lebih menyayangmu

Kau tak pernah bosan mengajarkan tentang kehidupan, kesabaran juga ketulusan Kau panutan dari anakanakmu

Diakhir sebelum kau pergi kau tanya pada bungsu kecil cantik kesayanganmu kutahu ia tak pernah dapat berpisah denganmu Jangankan untuk selamanya!

beberapa hari saja kau pergi, sikecil tak mendengar suaramu Pastikan ia demam dan panas Begitu pula ketika ia hendak tidur, pastikan kau ada di sampingnya Engkau sangat sayang sekali padanya

Selain bungsu, ia terlihat manja dan penurut ikatan batin denganmu begitu erat dengan penuh sayang kau ucap padanya, sebentar lagi akan pergi!

Sikecilpun belum mengerti makna tersirat yang kau ucapkan Hanya jawaban dengan tatapan mata mendalam terhadapmu!

tak pernah terbayang dibenaknya arti akan perpisahan Walau nafas terakhir kau bembuskan dengan senyuman

Betapa banyak handak taulan menjenguk saat sakitmu lebih banyak lagi datang ketika Allah memanggilmu kutahu engkau begitu berharga dimata mereka kutahu kau sangat dermawan terhadap orang lain sumbangsih dan nasehat yang kau berikan dengan prilaku indah itu Sekarang engkau telah pergi Namun, nama dan amal baikmu tetap hidup

Ayah, kau yang paling kuhormati sosok berwibawa dan sabar menghadapi semua cobaan gigih berjuang untuk kejayaan anak-anakmu tekun mengajar akan arti kejujuran engkau begitu teguh dan tegar menjalani hidup tak pernah menyerah dalam berusaha selalu berbaik sangka pada semua

Kupohon, maafkan aku Ayah Maafkan semua dosa dan kesalahanku selama ini Pengabdianku belumlah cukup membuatmu bahagia terlebih tak berada disisimu saat itu Engkau amanahkan harus kembali menuntut ilmu Saat kau tegaskan harus pulang membawa cahaya menerangi sanak saudara Terpatri dalam benak sanubari dan jiwaku ‘Anakmu harus berhasil dan kembali menjadi pelita’

Ayah, kalimat itu masih hangat dalam ingatanku Maafkan semua salah yang pernah ada Maafkan bila belum dapat mewujudkan harapanmu

Percayalah!

Anakmu selalu datang dengan doa pengharapan Aku berjanji menjadi yang terbaik untuk keluarga dan semua Didikanmu adalah awal dari keberhasilan yang kuraih Selamat jalan Ayah, semoga kau di sana lebih baik dan digolongkan orang orang yang beriman Dekapku dalam doa tulus untukmu disisi-Nya

Dar pagi hari, 25 Agustus 07

(Untukmu di sana, semoga Allah menyayangmu seperti kau menyayangiku saat kecil dulu)