Datangnya akhir pekan sering disambut gembira oleh siapa saja, termasuk oleh saya saat itu. Orang boleh memiliki alasan yang beragam kenapa bisa demikian. Bagi saya, rasa gembira itu muncul laksana gembiranya seseorang yang hendak keluar dari beban berat yang menghimpitnya. Atau laksana gembiranya seekor burung yang hendak bebas terbang keluar dari sangkarnya.
Selama sepekan saya menjalani pergulatan dengan hari-hari perkuliahan yang cukup menegangkan. Akhir pekan adalah kesempatan untuk menenangkan pikiran barang sejenak dari padatnya materi perkuliahan. Pikiran ini bisa diistirahatkan dan disegarkan, bukan untuk melemahkan ketajamannya melainkan agar lebih bisa berpacu menjalani proses perkuliahan sepekan ke depan.
Sistem yang berlaku di kampus saya memang unik dibanding sistem yang berlaku di kampus pada umumnya. Buku kuliah yang digunakan adalah text-book berbahasa Inggris yang tebal-tebal. Setiap akhir perkuliahan pasti ada exercise yang harus dikerjakan di rumah (PR). Ada dua hal kesulitan, yaitu kesulitan karena secara teknis memang sulit dan kesulitan karena harus menterjemahkan dulu bahasa Inggrisnya. Tambahan pula, bukan hanya satu dosen yang menghadiahkan exercise itu, tetapi hampir semuanya. Duh, Jika tidak kuat (istiqomah) menjalani perkuliahan yang ketat dengan sistem DO itu, pastilah kami segera tergusur dan pulang kampung karena tidak memenuhi target yang dipersyaratkan.
Akumulasi kesuntukan pada satu sisi yang bertemu dengan akumulasi kerinduan akan “kebebasan” pada sisi lainnya, menimbulkan kegembiraan yang luar biasa bagi kami yang menjalaninya. Boleh jadi, itulah nikmatnya kuliah dengan di bawah tekanan (under pressure).
Ahad paginya, sekitar pukul 7.30, beberapa teman satu kontrakan telah menampakkan kesibukan dan kesiap-siagaan hendak bepergian ke suatu tempat. Mandi silih berganti, mencuci pakaian, menyerika baju, sarapan atau merapikan sesuatu. Sudah dimaklumi, ada saja acara yang dilakukan pada hari Ahad untuk mengusir kepenatan yang ada. Berkunjung ke saudara, menghadiri taklim, seminar, bedah buku, kegiatan dakwah kampus, shopping, atau sekedar jalan-jalan refreshing ke suatu tempat.
Salah satu yang sibuk berkemas-kemas itu adalah Fahrudin. Saat saya tengok kamarnya dan ia sedang menyisiri rambutnya yang klimis. Ia berkata,
“Ikut yuk!”
“Ke mana?” Saya pun bertanya.
“Ke masjid Bintaro.”
Oh iya. Saya tersadar akan adanya pengajian rutin yang selalu dilaksanakan setiap Ahad pagi di masjid Bintaro Jaya itu, yaitu kajian tafsir Jalalain yang diasuh oleh Ust. Habib Assegaf. Tadinya saya berpikir Fahrudin hendak ke acara lain, rupanya ia hendak ke sana rupanya.
“Siapa lagi yang mau ke sana, Din?”
“Kita semua mau pada ke sana. Ghufron, Abdus, Taufik, dan saya.”
“Kalau gitu saya ikut deh.”
Saya akhirnya bersiap-siap. Saya benar-benar tidak menyadari akan adanya acara pengajian itu. Mungkin karena banyaknya variasi kegiatan di kampus yang bisa dilakukan. Sedianya saya akan di kontrakan saja mencuci baju. Sehingga pakaian kotor pun saya biarkan terendam detergen hingga esok hari.
Setelah semua siap, kami pun melangkah, berjalan kaki menuju halte Kopaja beberapa ratus meter dari rumah. Langkah kaki saya sebenarnya biasa saja, artinya tidak ada gelora semangat layaknya teman-teman yang ingin serius mendengarkan pengajian. Hal ini terlihat dari kelengkapan bekal yang dibawa: mushaf, buku catatan, pulpen, dan ada yang membawa terjemahan kitab tafsirnya.
Saya tidak membawa apa-apa kecuali membawa badan. Tidak apa-apalah saya mendengarkan saja. Poin-poin pengajian biar teman lain yang mencatat dan bisa di-sharing kemudian. Saya berusaha memperbaharui niat bahwa saya mengikuti taklim pengajian karena mengharap ridha Allah, mendapatkan pencerahan yang bisa menambah keimanan saya kepada Allah. Bukan semata-mata ajakan teman.
Hati yang semula biasa-biasa saja, begitu memasuki ruangan taklim dan mendengarkan pencerahan dari ustadz, timbul sesuatu perasaan yang luar biasa di dalam dada. Hati ini menjadi tergugah dan bersemangat. Ada rasa kedamaian dan syukur karena telah mendapatkan pencerahan. Dalam hati saya bergumam, “Alhamdulillah, beruntung saya menghadiri majelis taklim ini. Beruntung saya memiliki teman-teman yang senantiasa mengajak kepada kebaikan. Pasti saya akan menyesal andai saya tidak menyertai teman-teman mengikuti pengajian ini.”
Ya, berawal dari langkah yang agak berat, Ia menjadi ringan setelah mengetahui manfaat dari langkah-langkah berat yang ditempuh. Alhamdulillah, puji dan syukur atas petunjuk-Mu ya Allah, yang telah menganugerahi sahabat-sahabat terbaik.
***
Saat saya berkunjung ke Gunung Sitoli, Nias, saya berjumpa dengan saudara muslim bernama Rubi. Ia adalah relawan kemanusiaan dari NGO Muslim. Saya bertemu dia saat kami berada di lokasi hot-spot internet di kantor BRR Perwakilan Nias. Saat itu ia hendak mengirim e-mail laporan pertanggung jawaban dengan attachment laporan kegiatan dan foto-foto. Ia sedikit kurang familiar dengan mekanisme pengiriman e-mail. Saya coba membantu membuka koneksi internetnya, membuat account e-mail, meng-compose, dan meng-attach file-file yang ingin ia kirim.
Dalam pertemuan itu saya bertanya beberapa hal. Tentang keluarganya, tentang situasi saat gempa Nias terjadi, dan tentang kegiatan halaqah-nya. Mertuanya adalah warga pendatang yang lama tinggal di Gunung Sitoli. Mereka membuka rumah makan padang, dan merupakan salah satu Rumah Makan Padang favorit dan ramai di Gunung Sitoli. Saat gempa terjadi, goncangan yang dirasakannya sangat dahsyat, namun Alhamdulillah rumahnya tidak mengalami kerusakan parah.
Ketika saya tanyakan kegiatan halaqah, alangkahya terkejutnya saya ketika ia mengatakan bahwa kegiatan halaqahnya tidak dilakukan di Gunung Sitoli ini. Ia berujar,
“Di sini, kadernya ya cuma saya dan isteri saya.”
Kemudian ia melanjutkan,
“Jadi untuk kegiatan halaqah, kami sepekan sekali harus pergi ke Sibolga.”
Sibolga adalah kota di pantai barat Sumatera Utara yang paling dekat dengan Pulau Nias. Ada angkutan ferri yang siap mengangkut penumpang dari dan ke Nias dari Sibolga, dengan jarak tempuh sekitar 17 jam. Masih sedikit armada ferri yang beroperasi. Bahkan kadang-kadang cuma ada satu ferri. Rubi biasanya bertolak dari Gunung Sitoli hari Sabtu, kemudian tiba kembali hari Selasa.
Bisa dibayangkan bagaimana pengorbanan yang dilakukan Rubi dalam rangka mengikuti majelis pekanannya itu. Menantang resiko dengan armada ferri tua dan cuaca yang kadang-kadang mendebarkan jantung karena kurang bersahabat. Beruntung ia memiliki pendapatan yang cukup memadai, sehingga ia bisa pergi-pulang dengan membawa isteri beserta dua anaknya yang masih kecil-kecil itu.
***
Dua kisah di atas mencerminkan makna pentingnya sebuah persaudaraan (ukhuwah).
Persahabatan saya dengan orang-orang yang baik, mengarahkan saya kepada jalan kebaikan. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa bersahabat dengan orang yang baik adalah laksana bersahabat dengan penjual minyak wangi yang sedikit banyak pasti akan menebarkan aroma keharuman pada diri kita. Kuatnya pengaruh sahabat dalam kehidupan, menjadikan kita memahami akan sebuah hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa jika kita ingin mengetahui bagaimana agama seseorang maka lihatlah bagaimana agama sahabatnya.
Sedangkah kisah Rubi mencerminkan arti saudara yang tidak hanya mengarahkan kepada jalan kebaikan, tetapi juga membentengi diri dari kesesatan, penyimpangan dan pelemahan iman. Ibaratkan domba, ia cenderung berkumpul dengan kelompoknya. Jika ia sendirian, maka bahaya besar (hewan buas) pun akan cenderung mengancam dirinya.
Boleh jadi, kesadaran demikianlah yang mendorong Rubi bertekad mengunjungi saudara-saudara halaqahnya di Sibolga. Dengan berkunjung setiap pekan, maka ikatan persaudaraan pun bisa dijaga. Dan keimanan pun bisa dipertahankan kestabilannya.
Dalam sebuah hadits Nabi, diungkapkan bahwa sebaik-baik teman adalah jika kamu memandangnya maka kamu menjadi teringat kepada Allah dan hari akhir. Dalam arti lain, jika kamu bertemu dengannya maka keimanan kamu akan bertambah. Dengan bertemunya Rubi dengan saudaranya, maka ia diingatkan dengan kampung akhirat. Dan sangat mungkinkarena interaksi iman di antara mereka, keimanan pun bisa bertambah. Agaknya, iman itu bisa bergetar dan memberikan resonansi manakala fisik mereka berdekatan satu samalain.
Seorang sahabat Nabi Saw (Handholah) menyatakan dirinya (dihadapan Abu Bakar r.a) telah munafik. Ketika berada di majelis Rasulullah Saw, ia merasakan Allah itu begitu dekat dengannya. Bayangan surga dan neraka tergambar dengan begitu jelas sehingga ia termotivasi untuk beramal ibadah dan meninggalkan kemaksiyatan. Namun tatkala ia kembali ke tengah keluarganya, bergaul dengan isteri dan anaknya, bayangan akhirat itu menjadi jauh dan mereka cenderung melupakannya. Ternyata kondisi seperti itu dialami pula oleh sahabat utama Abu Bakar Ash Shiddiq yang kemudian membawa masalah itu ke hadapan Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw kemudian mengatakan, “sesaat, sesaat.” Artinya kondisi tersebut adalah wajar (sesaat saja) tetapi jangan dibiarkan berkepanjangan. Jika merasa telah kembali lupa dengan bayang-bayang akhirat, maka segeralah bergabung dengan majelis Rasulullah Saw kembali dan bertemu dengan saudara-saudara seiman untuk mengup-grade keimanan yang mulai menurun itu.
Nampaknya inilah yang dilakukan oleh Rubi, yang dengan pengorbanannnya, mendatangi majelis halaqahnya sepekan sekali dengan jarak perjalanan sekitar 17 jam dan dengan resiko yang tidak kecil. Tidak lain karena dorongan kecintaan kepada keimanannya. Maka kita pun tidak heran mendengar kisah beberapa sahabat atau ulama salaf yang berkuda berhari-hari demi mendatangi gurunya. Kegersangan imannya begitu meranggas dan seakan merindukan oase untuk melepaskan penderitaannya itu.
Berkaca kepada Rubi, maka sepantasnyalah kita tidak segan, malas, lemah mendatangi majelis tempat berkumpulnya orang-orang shaleh, tempat nama Allah di agungkan, ilmu dikaji, dan jiwa dicerahkan dengan keimanan. Sesungguhnya dengan berkumpulnya saja, Malaikat akan berdoa untuk keberkahan kita. Terlebih jika anggota majelis telah terikat dalam suatu persaudaraan seiman, maka resonansi iman pun tidak mustahil terjadi. Artinya dengan bertemunya saja, keimanan akan mengalami penyesuaian (penyelarasan) menjadi lebih baik.
Waallahua’lamu bishshawaab (rizqon_ak@eramuslim.com, SMS 0817-99-OIMAN)