Sepiring Kebahagiaan di Pagi Buta
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Sabtu, 12 April 2008
Label:
Oase iman
Hari itu, jemblem (semacam kue pilus) jauh lebih nikmat daripada roti keju. Selepas kerja sesudah deadline, saya bergegas beranjak pulang karena penyakit nenek saya kambuh di rumah. Otomatis, biasanya saya kembali meng-handle urusan rumah tangga. Sebab, memang di rumah hanya ditempati oleh saya, kakek, dan nenek. Dan keduanya pun kena stroke yang jika kambuh, mereka mengeluh tak bisa berjalan.
Sesampai di rumah, cuci kaki dan muka sebentar, kemudian menyalakan kompor. Ini yang susah. Kadang, saya harus rela antre hanya demi mendapat lima liter minyak tanah di Keputran atau di Kampung Kedondong. Akibatnya, waktu istirahat saya pun sangat kurang. Namun, saya tetap bersyukur atas itu. Saya pikir, ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan perhatian dan kasih sayang kakek dan nenek terhadap saya sejak kuliah sampai saya bekerja sekarang. Selanjutnya, setelah dua kompor menyala sekaligus, satu kompor saya pakai untuk memasak air. Sedangkan kompor yang satunya dipakai untuk memasak nasi.
Setelah selesai, lanjut dengan menggoreng tahu atau tempe. Yeah.. larut pagi pun saya masih menyempatkan belanja beli tahu dan tempe di Pasar Keputran. Biasanya, jika sudah tak sanggup karena capai, saya titip tetangga untuk membelanjakan lauk untuk keperluan kami di rumah. Menggoreng lauk pun saya harus bagi dua. Yang satu tidak pakai garam untuk kakek dan nenek, yang lain pakai garam untuk saya sendiri.
Tapi, hari itu, jemblem benar-benar lebih nikmat daripada jajan londo (roti keju). Pulang ke rumah saya terkejut karena lampu masih menyala. Benar saja, kakek saya belum tidur. Dia masih baca Alkitab sembari sengaja menunggu saya pulang kerja. Saya bawa sebungkus nasi bebek goreng yang saya beli setelah pulang kerja. Rasa capai biasanya perlahan hilang seiring dengan makan nasi bebek plus ditemani air putih dingin. Kalau sudah begitu, dunia rasanya terang benderang. Perut saya benar-benar merdeka dan berdaulat penuh. Sebab, saya memang terbiasa sehari cuma makan dua kali. Biasa makan nasi plus tahu tempe berbonus kecap manis, ketika makan nasi bebek goreng rasanya saya menjadi orang yang sangat bahagia saat itu.
Sempat menengok kamar nenek untuk melihat keadaannya, saya ditodong kakek untuk mengganyang makanan yang disiapkan di meja makan. Alamak, padahal saya sudah bersiap menyantap nasi bebek tersebut. Saya lihat di meja makan ada sepiring jemblem.
Antara malas dan sungkan akhirnya saya lahap juga sebuah dari piring itu. Tiba-tiba, mbah kung ngomong bahwa pagi sebelumnya dia ke pasar naik becak untuk beli singkong dan gula merah karena mbah putri kepengen sekali bikin dan makan jemblem. Karena tak mau merepotkan saya yang tengah tidur sepanjang pagi sampai menjelang zuhur, akhirnya mbah kung beli sendiri singkong tersebut ke pasar. Dan mbah putri yang sebenarnya sedang sakit itu pun membuat sendiri makanan tersebut.
Dia bilang, jemblem yang ada di piring tersebut sengaja disisakan untuk saya. Ada tujuh buah. Sejenak kemudian, mbah putri terbangun karena mendengar suara kami berbincang-bincang. Saya ke kamarnya dan rupanya mbah putri ingin buang air kecil. Saya ambilkan pispot. Namun, dia memaksa untuk kencing di kamar mandi saja. Dia meminta saya memapah sampai kamar mandi. Tapi, karena mbah putri tak kuat berdiri dan berjalan, saya dan kakek menggendongnya.
Kemauan orang tua memang sulit untuk dicegah dan kadang cukup merepotkan. Begitulah suasana pagi itu. Setelah selesai pipis, mbah putri bilang bahwa dia sebenarnya bikin jemblem untuk saya. Hah? Ya, awalnya agar jemblem itu bisa untuk saya bawa sangu ke kantor sebagai camilan. Karena pukul satu siang saya sudah keburu berangkat ke kantor, saya tak sempat mencicipi dan membawa kue tersebut.
Pagi buta itu, saya tidak jadi mengganyang nasi bebek goreng. Kalaupun saya membawa roti keju atau sekalipun saya mampu membeli dua paket jumbo pizza, saya tetap akan memilih memakan jemblem tersebut. Rasa hormat dan kasih sayang orang tua telah mengalahkan nafsu duniawi terhadap makanan yang enak dan mahal.
Wanita tua itu, nenek saya, dalam keadaan sakit dan tak mampu untuk sekadar berdiri dan berjalan masih memikirkan orang lain ketimbang kondisinya sendiri. Malam itu kami bertiga sama-sama menikmati sajian jemblem dari nenek. Bukan menu surga memang, tapi bahagia yang kami bagi dan nikmati bersama sebagai rakyat biasa jauh lebih indah daripada mutu manikam dan makanan orang kaya sekalipun.
Eko Prasetyo (Jawa Pos)
0 komentar:
Posting Komentar