Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India

Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana.

Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang manjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India. Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.

Banyak hikmah yang bisa depetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India, di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.

*****

Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum, India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.

Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.

Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota.

*****

Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!

Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India. Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.

Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India. Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi. Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India, tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya.

Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana. Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.

*****

Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India. Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India. Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.

Perempuan India, betapapun dari kalangan modern di tengah kota, bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia. Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.

*****

Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.

Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota. Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.

India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.

*****

Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.

Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.

Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.

Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasinya Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.

*****

Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!

Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.

Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.

*****

India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta. Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia. Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.

Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.

Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India. Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.

*****

Pembaca….

Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.

Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.

India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India, saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?

Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India, di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri.

Ah, Indonesia!

Doha, 8 October 2009

Shardy2@hotmail.com

oleh Syaifoel Hardy

Semua Untukmu

Hari ini angin rindu datang berhembus, menggugurkan daun-daun yang sudah menguning. Titik air di ujung daunnya pun akhirnya terjatuh setelah sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak pecah. Tapi ternyata semua ada batasnya. Tak ada yang abadi. Begitu juga dengan rindu ini. Tak akan lama bertahan sembunyi dalam gua hati.

Dunia seperti berputar kembali, menayangkan rekaman saat-saat aku bersamanya. Masa di mana sangat aku rasakan sayang dan perhatiannya, yang terus menerus mengalir seolah tak kenal muara. Pelukannya saat aku butuh kehangatan, suara lembutnya saat hati ini dilanda kegundahan. Dengan sepenuh hati dia merelakan dadanya untuk tempatku bersandar kala sakit menyerang tubuhku, atau saat aku menahan perihnya hati ini saat terluka.

Langit hari ini masih cerah. Tapi siapa sangka kalau hujan akan datang. Meski tidak begitu deras, tapi bisa melepas dahaga sang tanah yang memang haus akan air, cukup untuk membuat suasana terasa lebih segar. Mencerahkan kembali fikiran-fikiran yang kalut terhadap berbagai persoalan dunia. Dan bagiku, membawa kembali pada keindahan dan kehangatan saat-saat bersamanya, hingga rindu yang terbendung pecah seketika.

Teringat pada suatu senja, ketika aku akan memulai hidup tanpa ada seseorang yang dekat di sisiku. Hari itu, adalah hari terakhir aku bersama dengannya sebelum kami berpisah. Pesan dan nasehat pun mengalir dengan suaranya yang tetap lembut. Sampai akhirnya detik itu datang juga, saat ku rengkuh tangan kekarnya, kemudian mengecup tangannya dengan penuh rasa hormat, dia membalasnya dengan kecupan di keningku, tanda bahwa rasa sayangnya melebihi kekhawatirannya meninggalkanku sendiri. Dalam ku rasakan deburan cintanya yang kuat dan tulus. Membuat air mata ini ingin segera menumpahkan segala yang dipunya. Tapi itu tak kulakukan di depannya. Aku harus tunjukkan bahwa aku baik-baik saja tanpa ada dia di sisiku. Cukup pada Allah sajalah dia menitipkan aku. Tak ingin mengganggu konsentrasinya karena aku.

Tuhan, ternyata cinta begitu dekat denganku. Kasih dan pengorbanannya untukku takkan pernah bisa kubalas meski dengan tetesan darah dan airmata. Segala yang aku miliki dalam hidup ini, materi yang aku punya atau kehidupan yang aku miliki, pun tak kan bisa membalas apa yang pernah dia lakukan untukku. Usapan tangannya, pelukan hangatnya, suara lembutnya, sikapnya yang bijak, tak akan pernah tergantikan dengan seluruh yang ada di langit dan bumi ini.

Maka nikmat-Mu yang manakah yang aku dustakan, Ya Rabb?

Karenanya aku ada. Karenanya aku bisa menikmati indah dunia-Mu. Karenanya aku menemukan diriku. Karenanya aku merasa punya arti dalam hidup ini. Karenanya aku mengenal-Mu. Karenanya aku terbiasa membaca surat cinta-Mu. Karenanya pula aku menjadi muslimah.

Saat ini, ku rela bersusah payah mengejar cita-cita yang menjadi impiannya. Tak ingin sedikit pun ku torehkan segurat kecewa di hatinya. Karena yang ku tahu, aku adalah harapannya. Aku ingin dia bangga. Bukan melihat diriku melainkan melihat ikhtiarnya sepanjang hidup yang telah dia jalani sejak aku ada.

”Tuhan tolonglah

Sampaikan sejuta sayangku untuknya

Ku trus berjanji

Tak kan khianati pintanya”

Aku ingin melengkapi lukisan hidupnya, menjadi lukisan yang sempurna. Meski dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan yang dia miliki, aku tetap bangga padamu, Ayahku.

oleh Ayu_shafiyah

Mama...maafkan Aku Mama

Hari sudah gelap, semburat merah langitpun telah hilang…..sayup-sayup sepanjang jalan kudengar masjid telah mengumandangkan Adzan Isya….. yach waktu telah Isya, seperti biasa aku baru tiba dirumah.

Diruangan yang cukup redup, nyaman….ruangan yang selalu ada dipikiranku…ruangan yang selalu aku merinduinya, ruang keluarga dirumah. Beliau sudah terlihat sangat lelah…duduk disofa kesayangannya menikmati saat-saat istirahat setelah seharian beliau mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluarga tercinta, mempersiapkan makan untuk suami, anak-anak tercinta, pengabdian, pengorbanan mana lagi yang kau anggap kurang, maka pantaslah Tuhan mewakilkan diri-Nya kepada beliau…. “Ridha orang tua adalah Ridha Allah……..

Ibu,………

Mama,……

Posisimu lebih mulia 3 kali dari pada Bapak………..

Maafkan aku mama, ampuni aku mama, aku anakmu yang masih belum bisa berbakti kepadamu,

Perjuanganmu, pengorbananmu, perhatianmu, kasih sayangmu, tidak akan mungkin terbalas olehku…

Pengorbananmu membawa beban berat selama 9 bulan, pertaruhkan nyawa ketika melahirkan aku, merawat aku menyayangi aku, hingga aku bisa seperti ini. Ya Allah sayangi mama seperti sayangnya kepadaku ketika aku kecil, jaga kesehatannya selalu, sampe aku bisa membalas kebaikannya sebanyak mungkin, walapun, tidak mungkin aku bisa membalas jasanya itu.

Apapun akan kulakukan demi membahagiakanmu mama…… kau minta setengah duniaku akan kuberikan mama….. asal engkau bahagia… janglah engkau menangis lagi mama, sudah waktunya mama tersenyum…menikmati kesuksesanku… telah kau bekali aku dengan ilmu, telah kau berikan aku pendidikan yang cukup tinggi, hingga aku bisa seperti ini, mencoba berbakti walaupun jasamu tidak mungkin terbayar dengan seluruh penghasilan aku……

Tapi mama…..kenapa aku rasa ada yang berubah pada dirimu…..bukan kasih sayangmu yang berubah….kasih sayangmu akan tetap abadi…….apakah aku yang berubah mama ?

Dulu mama adalah sahabat, tempat aku berkeluh kesah, tempat aku mengadu, tempat aku bermanja, tempat aku cerita semua yang terjadi sepanjang hari, tapi kenapa sekarang mama selalu menghindar ketika aku akan bermanja-manja, mama selalu menyerahkan semua keputusan kepadaku ketika aku minta pendapat mama, seolah-olah mama telah anggap aku dewasa…….

Mama aku masih butuh tempat bermanja, aku masih butuh saran-saran mama, aku masih butuh tempat untuk semuanya…. Aku mau seperti dulu mama, mama yang menjadi sahabat aku…..mama.

Bukan mama yang berubah, tapi mungkin aku yang berubah….. apa yang harus aku lakukan mama,… ? Mama sekarang terlihat lebih tenang,…tapi bukan tenang aku lebih melihat mama jadi pendiam. Seolah mama tak khawatirkan aku lagi ketika aku pulang malam, mama ga peduli kalo aku pulang terlambat….

Kenapa mama ?

Kenapa ?

Telah begitu besarkan dosaku padamu,

begitu menyakitkan kah perbuatanku akhir-akhir ini …..

mama tolong kasih tau aku….. cerita mama….

Cerita seperti dulu, kita saling bercerita….

Bagaimana aku memahami mama, kalo mama seperti ini……

Bahkah sekarang mama tidak pernah bercerita tentang sakitnya mama…..Aku bersyukur kalo memang mama telah sembuh, tapi aku akan sedih sekali jika mama tahan-tahan skit mama, seolah-olah mama sehat, padahal mama sakit, mama hanya ingin aku tidak sedih…..

Jangan mama, tolong jangan lakukan itu padaku…… aku masih anakmu mama, mama masih tetap sahabatku mama………

Maafkan aku mama……

oleh Icha Putri

Jabatan Presiden

Pagi ini, setelah shalat sunat Dhuha aku mulai menerawang sendiri, dan merasakan nikmatnya di dalam kamar sendiri dengan semburan air conditioner membuat kepala dan hati menjadi dingin karenanya.

Aku tak tahu, kenapa saat ini memikirkan aktifitas seorang presiden. Presiden kita, presiden yang baru saja memenangkan pemilihan umum yang baru lalu. Aku pun belum membuka mukena yang terpakai, sajadah pun belum terlipat. Tapi saat ini aku benar-benar merasakan sebuah saat bagaimana rasanya bila aku menjadi sorang presiden. Padahal sejak kecil pun aku tidak punya cita-cita itu. Tapi namanya sebuah pikiran, tentu bisa saja semua yang tidak pernah ingin di bayangkan, akan kita angan-angan kan. Semuanya kan tidak dilarang, sepanjang tidak membayangkan sesuatu yang terlarang bagi agama kita.

Aku membayangkan kesibukan seorang presiden. Seorang presiden yang mempunyai istri dan anak-anak, seperti yang aku jalani saat ini. Seorang presiden yang juga ingin dekat dengan keluarganya. Presiden yang punya jiwa tegar, tapi mungkin sesekali juga akan mengalami kecemasan yang sangat tinggi. Presiden yang di pundaknya terpikul amanah bangsa ini, yang mengharapkannya untuk berlaku adil, mengharapkannya berbuat sesuatu agar bangsa ini tidak terpuruk oleh utang-utang yang semakin menumpuk. Banyak harapan dari rakyatnya, bila dicatat mungkin tidak akan muat satu kamar. Yah ini hanya bayanganku saat ini. Betapa susahnya jadi presiden.

Bila aku bandingkan dengan keadaanku saat ini, aku jadi tertawa kecil sendiri. Coba bayangkan, saat ini aku hanya punya tiga anak lelaki yang umurnya berbeda sekitaran 4 tahun. Mereka bertiga tersebut selalu berbeda pendapat. Wajar saja, mereka kan tidak se-umur jadi imajinasi dan keinginan mereka tidak sama. Karena perbedaan umur itu lah sering kali terjadi bentrokan kecil. Keributan, pertengkaran dan kemauan ingin di menangkan dari ibunya sering-kali harus mampu ku tindaki secara adil dan memuaskan ketia pihak. Terasa berat.

Ketika si bungsu, Thorieq ingin pula main play station bersama kakaknya yang pertama, Fadhil, tentu saja tidak akan nyambung, karena Fadhil tidak mau bermain dengannya. Katanya sih Fadhil merasa tidak ada tantangan bermain dengan adik kecilnya. Begitu pula saat anakku Yazid yang merupakan anak kedua, suka “mengerjai” adiknya. Sering-kali di buatnya nangis karena adiknya tidak suka, bila kakaknya menyebut kata “bebek”.

Aku juga tidak tahu mengapa si bungsu tidak menyukai kata-kata itu. Aku pun tidak berusaha untuk tahu. Tapi memang begitulah Yazid, suka sekali mengulang kata itu, hingga Thorieq melapor kepadaku agar Yazid dimarahi olehku. Pusing juga rasanya dengan tiga anak yang berbeda karakter, disaat liburan sekolah yang cukup lama ini, dan kami tidak pergi kemana pun saat ini, karena suami berada di pulau seberang untuk satu minggu ini. Jadilah kadang aku bingung sendiri, yang mana harus aku prioritaskan untuk setiap pertengkaran dan keinginan mereka yang jarang sekali seirama.

Nah membayangkan untuk berbuat adil dan memenuhi keinginan ketiga anakku yang selalu berbeda, membuatku membandingkan diriku dengan seorang presiden saat ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan diriku dengan seorang bupati, misalnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan dengan seorang gubernur. Pikiran ini hanya merasuk dalam otakku, dan aku dengan suasana yang sedikit dingin ini merasakan betapa tidak enaknya jadi presiden.

Jabatan presiden, yang membuatnya harus mampu mengayomi berapa juta rakyatnya ini, tentu saja akan sangat kelelahan. Rakyat yang banyak berbeda pemahaman, agama, karakter dan berbagai macam keinginan ini, harus lah dapat diolah dengan sebuah kemampuan yang tinggi. Dibanding denganku, yang hanya punya tiga anak, tapi seringkali merasa kena serangan jantung. .Hingga kadang timbul perasaan jenuh, dan kadang serasa ingin juga “cuti” sementara dari keruwetan ini.

Presiden yang juga punya waktu sepertiku, dua puluh empat jam seharinya, harus mampu mengintip semua aktifitas dan keadaan rakyatnya, tentu akan membuat kepalanya sering berdenyut. Kelaparan di beberapa tempat, gempa bumi di Jogja, lumpur Lapindo di Sidoarjo dan beberapa daerah lagi yang terjadi banjir dan sebagainya. Mungkinkah presiden masih bsa beristirahat seperti diriku? Dimana jika aku kadang merasa jenuh dengan situasi rumah, maka biasanya aku akan pergi ke sebuah rumah kawan atau pergi ke toko buku untuk mendinginkan hati. Tapi seorang presiden? Dia harus selalu ada, tak boleh putus hubungan komunikasi dengan para pembantunya untuk memantau semua rakyat dan negara yang di pimpinnya saat ini.

Aku seorang istri dengan tiga orang anak yang sedang tumbuh-tunbuhnya, menggunakan energiku berlipat ganda. Menuntutku untuk selalu belajar tentang apa yang seharusnya aku lakukan untuk mereka. Mereka anak-anakku adalah pendorong motivasi ku untuk selalu tidak berada dalam tahap “diam”. Mereka secara sadar atau tidak merupakan tempat ladang amalku. Selain itu mereka pula sebagai ujian kesabaran dan tempat untuk belajar memahami setiap karakter mereka.

Situasi yang sepertinya ruwet ini, tentu saja aku harus hadapi walau kadang aku sedikit “puyeng”. Bila semangat lagi diatas rata-rata, tentu saja semua keluhan mereka adalah sebuah irama manis terdengar di telingaku. Tapi bila iman berada di bawah garis, semuanya seperti desingan peluru seperti yang terjadi saat ini di beberapa tempat dimana saudara kita sesama muslim berjuang mempertahankan diri dari serbuan musuh.

Kembali ke presiden, maka untuk waktu yang lima tahun harus dijalaninya dengan harus banyak bersabar dan harus banyak mengenali karakter rakyatnya beserta semua kebutuhannya. Presiden yang dipilih oleh rakyatnya dengan banyak harapan yang dipikulkan di pudaknya bukanlah pekerjaan mudah. Pekerjaan seorang presiden yang amanahnya akan di pertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat nantinya, tentu saja sebuah beban yang sangat berat dirasakannya.

Oleh karena itulah aku memahami kenapa Allah Swt. tidak memberikan aku jabatan presiden, karena untuk mengasuh ketiga anakku saja, aku seringkali kelimpungan, apalagi mengurus berjuta-juta manusia yang berbeda paham, tingkah laku maupun keinginan.

Aku hanya bisa mendo’akan agar presiden yang terpilih saat ini, mampu mengemban amanah dan kepercayaan dari rakyatnya. Presiden yang aku harapkan pula akan selalu sehat wal-afiat dalam menjalankan semua tugas-tugas kenegaraannya dan tidak melalaikan ibadahnya sebagai seorang muslim.

Aku juga mendo’akan beliau, semoga mampu mengayomi rakyatnya dan membuat rakyatnya dapat bersandar padanya dengan rasa aman. Dan yang terakhir semoga Allah Swt. memberikan kepadanya sebuah Hidayah, agar beliau bisa sukses dalam menjalankan semua kewajibannya di dunia, dan dapat pula masuk ke Syurga-Nya karena semua yang dijalaninya adalah karena “lillahi ta’ala”. Amin.

( Teriring salam dariku, Selamat Idul Fithri, Mohon Maaf lahir dan Bathin untuk bapak Presiden Bambang Susilo Yudhoyono beserta keluarga )

Sengata, 30 September 2009

Oleh :Halimah Taslima