Pagi ini, setelah shalat sunat Dhuha aku mulai menerawang sendiri, dan merasakan nikmatnya di dalam kamar sendiri dengan semburan air conditioner membuat kepala dan hati menjadi dingin karenanya.
Aku tak tahu, kenapa saat ini memikirkan aktifitas seorang presiden. Presiden kita, presiden yang baru saja memenangkan pemilihan umum yang baru lalu. Aku pun belum membuka mukena yang terpakai, sajadah pun belum terlipat. Tapi saat ini aku benar-benar merasakan sebuah saat bagaimana rasanya bila aku menjadi sorang presiden. Padahal sejak kecil pun aku tidak punya cita-cita itu. Tapi namanya sebuah pikiran, tentu bisa saja semua yang tidak pernah ingin di bayangkan, akan kita angan-angan kan. Semuanya kan tidak dilarang, sepanjang tidak membayangkan sesuatu yang terlarang bagi agama kita.
Aku membayangkan kesibukan seorang presiden. Seorang presiden yang mempunyai istri dan anak-anak, seperti yang aku jalani saat ini. Seorang presiden yang juga ingin dekat dengan keluarganya. Presiden yang punya jiwa tegar, tapi mungkin sesekali juga akan mengalami kecemasan yang sangat tinggi. Presiden yang di pundaknya terpikul amanah bangsa ini, yang mengharapkannya untuk berlaku adil, mengharapkannya berbuat sesuatu agar bangsa ini tidak terpuruk oleh utang-utang yang semakin menumpuk. Banyak harapan dari rakyatnya, bila dicatat mungkin tidak akan muat satu kamar. Yah ini hanya bayanganku saat ini. Betapa susahnya jadi presiden.
Bila aku bandingkan dengan keadaanku saat ini, aku jadi tertawa kecil sendiri. Coba bayangkan, saat ini aku hanya punya tiga anak lelaki yang umurnya berbeda sekitaran 4 tahun. Mereka bertiga tersebut selalu berbeda pendapat. Wajar saja, mereka kan tidak se-umur jadi imajinasi dan keinginan mereka tidak sama. Karena perbedaan umur itu lah sering kali terjadi bentrokan kecil. Keributan, pertengkaran dan kemauan ingin di menangkan dari ibunya sering-kali harus mampu ku tindaki secara adil dan memuaskan ketia pihak. Terasa berat.
Ketika si bungsu, Thorieq ingin pula main play station bersama kakaknya yang pertama, Fadhil, tentu saja tidak akan nyambung, karena Fadhil tidak mau bermain dengannya. Katanya sih Fadhil merasa tidak ada tantangan bermain dengan adik kecilnya. Begitu pula saat anakku Yazid yang merupakan anak kedua, suka “mengerjai” adiknya. Sering-kali di buatnya nangis karena adiknya tidak suka, bila kakaknya menyebut kata “bebek”.
Aku juga tidak tahu mengapa si bungsu tidak menyukai kata-kata itu. Aku pun tidak berusaha untuk tahu. Tapi memang begitulah Yazid, suka sekali mengulang kata itu, hingga Thorieq melapor kepadaku agar Yazid dimarahi olehku. Pusing juga rasanya dengan tiga anak yang berbeda karakter, disaat liburan sekolah yang cukup lama ini, dan kami tidak pergi kemana pun saat ini, karena suami berada di pulau seberang untuk satu minggu ini. Jadilah kadang aku bingung sendiri, yang mana harus aku prioritaskan untuk setiap pertengkaran dan keinginan mereka yang jarang sekali seirama.
Nah membayangkan untuk berbuat adil dan memenuhi keinginan ketiga anakku yang selalu berbeda, membuatku membandingkan diriku dengan seorang presiden saat ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan diriku dengan seorang bupati, misalnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan dengan seorang gubernur. Pikiran ini hanya merasuk dalam otakku, dan aku dengan suasana yang sedikit dingin ini merasakan betapa tidak enaknya jadi presiden.
Jabatan presiden, yang membuatnya harus mampu mengayomi berapa juta rakyatnya ini, tentu saja akan sangat kelelahan. Rakyat yang banyak berbeda pemahaman, agama, karakter dan berbagai macam keinginan ini, harus lah dapat diolah dengan sebuah kemampuan yang tinggi. Dibanding denganku, yang hanya punya tiga anak, tapi seringkali merasa kena serangan jantung. .Hingga kadang timbul perasaan jenuh, dan kadang serasa ingin juga “cuti” sementara dari keruwetan ini.
Presiden yang juga punya waktu sepertiku, dua puluh empat jam seharinya, harus mampu mengintip semua aktifitas dan keadaan rakyatnya, tentu akan membuat kepalanya sering berdenyut. Kelaparan di beberapa tempat, gempa bumi di Jogja, lumpur Lapindo di Sidoarjo dan beberapa daerah lagi yang terjadi banjir dan sebagainya. Mungkinkah presiden masih bsa beristirahat seperti diriku? Dimana jika aku kadang merasa jenuh dengan situasi rumah, maka biasanya aku akan pergi ke sebuah rumah kawan atau pergi ke toko buku untuk mendinginkan hati. Tapi seorang presiden? Dia harus selalu ada, tak boleh putus hubungan komunikasi dengan para pembantunya untuk memantau semua rakyat dan negara yang di pimpinnya saat ini.
Aku seorang istri dengan tiga orang anak yang sedang tumbuh-tunbuhnya, menggunakan energiku berlipat ganda. Menuntutku untuk selalu belajar tentang apa yang seharusnya aku lakukan untuk mereka. Mereka anak-anakku adalah pendorong motivasi ku untuk selalu tidak berada dalam tahap “diam”. Mereka secara sadar atau tidak merupakan tempat ladang amalku. Selain itu mereka pula sebagai ujian kesabaran dan tempat untuk belajar memahami setiap karakter mereka.
Situasi yang sepertinya ruwet ini, tentu saja aku harus hadapi walau kadang aku sedikit “puyeng”. Bila semangat lagi diatas rata-rata, tentu saja semua keluhan mereka adalah sebuah irama manis terdengar di telingaku. Tapi bila iman berada di bawah garis, semuanya seperti desingan peluru seperti yang terjadi saat ini di beberapa tempat dimana saudara kita sesama muslim berjuang mempertahankan diri dari serbuan musuh.
Kembali ke presiden, maka untuk waktu yang lima tahun harus dijalaninya dengan harus banyak bersabar dan harus banyak mengenali karakter rakyatnya beserta semua kebutuhannya. Presiden yang dipilih oleh rakyatnya dengan banyak harapan yang dipikulkan di pudaknya bukanlah pekerjaan mudah. Pekerjaan seorang presiden yang amanahnya akan di pertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat nantinya, tentu saja sebuah beban yang sangat berat dirasakannya.
Oleh karena itulah aku memahami kenapa Allah Swt. tidak memberikan aku jabatan presiden, karena untuk mengasuh ketiga anakku saja, aku seringkali kelimpungan, apalagi mengurus berjuta-juta manusia yang berbeda paham, tingkah laku maupun keinginan.
Aku hanya bisa mendo’akan agar presiden yang terpilih saat ini, mampu mengemban amanah dan kepercayaan dari rakyatnya. Presiden yang aku harapkan pula akan selalu sehat wal-afiat dalam menjalankan semua tugas-tugas kenegaraannya dan tidak melalaikan ibadahnya sebagai seorang muslim.
Aku juga mendo’akan beliau, semoga mampu mengayomi rakyatnya dan membuat rakyatnya dapat bersandar padanya dengan rasa aman. Dan yang terakhir semoga Allah Swt. memberikan kepadanya sebuah Hidayah, agar beliau bisa sukses dalam menjalankan semua kewajibannya di dunia, dan dapat pula masuk ke Syurga-Nya karena semua yang dijalaninya adalah karena “lillahi ta’ala”. Amin.
( Teriring salam dariku, Selamat Idul Fithri, Mohon Maaf lahir dan Bathin untuk bapak Presiden Bambang Susilo Yudhoyono beserta keluarga )
Sengata, 30 September 2009
Oleh :Halimah Taslima
0 komentar:
Posting Komentar