Lima Detik Pertama Penentu Sukses
eramuslim - Sukses, mungkin tidak satupun manusia di dunia ini yang tak ingin meraihnya, karena bahkan seorang yang berencana bunuh diripun tak ingin mengalami kegagalan. Maksudnya, orang akan menanggung malu teramat besar jika upaya bunuh dirinya ternyata tidak berhasil, meskipun seharusnya ia bersyukur. Mungkin terlalu ekstrim jika yang diambil contoh adalah soal bunuh diri, namun hal itu sekedar ingin memberikan gambaran bahwa untuk hal paling hina pun orang berusaha maksimal untuk merealisasikannya.
Apapun, untuk meraih sukses, kuncinya adalah rencana yang matang dan usaha yang maksimal untuk menjalankan semua yang telah terencana itu. Dalam prinsip manajemen, langkah ini biasa dikenal dengan, Rencanakan Apa Yang Hendak Dikerjakan, dan Kerjakan Apa yang Sudah Direncanakan. Artinya, jika keluar dari prinsip tersebut, bisa jadi satu keniscayaan bahwa kegagalan segera menghampiri Anda.
Namun, tahukah Anda apa yang paling menentukan dari semua proses awal menuju kesuksesan ketika hendak memulai satu upaya merealisasikan semua rencana? Rahasia sukses seseorang dalam meraih semua impiannya, entah itu berkenaan dengan karir, hubungan interpersonal atau apapun yang menjadi obsesinya ternyata ada pada lima detik pertama setiap langkah awalnya. Lima detik begitu menentukan? Tepat! Karena yang harus Anda lakukan pada lima detik pertama itu adalah kunci sukses nomor satu yang tidak boleh dilewatkan, satu hal yang sangat mudah dan praktis untuk dilakukan: Tersenyum. David J Lieberman dalam sebuah buku laris yang berjudul, Get Anyone To Do Anything menyebutkan, taktik nomor satu untuk menciptakan kesan pertama yang luar biasa tetapi mudah dilakukan adalah: Tersenyum.
Mengapa senyum? Jangan pernah pernah menganggap sepele tersenyum, karena Rasulullah pun memberikan nilai sedekah untuk setiap senyum yang kita berikan kepada saudara kita. Selain itu, senyum mampu menciptakan empat hal yang luar biasa: Menimbulkan rasa percaya diri, kebahagiaan, dan semangat. Dan yang lebih penting, tersenyum menandakan penerimaan yang tulus.
Orang yang tersenyum dianggap sebagai orang yang penuh percaya diri karena ketika kita sedang grogi atau tidak yakin dengan diri kita atau sekitar kita, kita cenderung untuk tidak tersenyum. Tentu saja tersenyum menimbulkan kebahagiaan sehingga akan mempertemukan kita kepada orang-orang yang bahagia karena kita melihat mereka dengan cara yang positif. Semangat sangat penting untuk menciptakan kesan yang baik karena semangat itu dapat menular kepada orang lain. Dengan tersenyum menunjukkan bahwa Anda menyenangi tempat dimana Anda berada dan senang bertemu dengan orang yang Anda temui sehingga pada gilirannya dia akan semakin tertarik untuk bertemu Anda. Pada akhirnya, tersenyum menunjukkan penerimaan yang tulus dan menyebabkan orang lain tahu bahwa Anda mau menerima dia dengan tulus.
Anda tentu masih ingat pesan sebuah iklan produk parfum pria yang pernah ditayangkan di TV yang berbunyi, “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda …”. Ya, kesan pertama, itulah yang harus Anda ciptakan untuk bisa memulai segalanya lebih lancar sehingga kesuksesan seolah sudah digenggaman Anda. Dan tersenyum, jelas cara yang paling ampuh untuk menciptakan kesan pertama yang mengagumkan. Berkenaan dengan kesan pertama ini, ada sesuatu yang disebut pengaruh pertama, yakni sebuah proses dimana kesan pertama kita terhadap orang lain menyebabkan kita menilai perilaku berikutnya atas dasar kesan pertama kita. Ini artinya, kesan pertama kita terhadap seseorang sangat penting karena segala sesuatu yang kita lihat dan kita dengar selanjutnya disaring melalui pendapat kita yang pertama. Akibatnya, Anda menciptakan citra orang tersebut sebagaimana ketika mula-mula Anda bertemu dengannya dan Anda melihat perilakunya pada masa-masa selanjutnya melalui citra ini. Jadi, apabila kesan pertama seseorang terhadap Anda baik, maka dia akan cenderung lebih baik dalam menilai anda pada masa-masa selanjutnya.
Dimanapun, kapanpun, bersama siapapun, sedang apapun ketika Anda tengah berinteraksi dengan orang lain, jadikan senyum sebagai modal utama Anda. Senyum bisa menjadi senjata yang paling ampuh dalam berbagai kondisi, seperti hubungan interpersonal dan interelasi, saat interview, wawancara dan lain sebagainya. Sebagai ingatan, jangan pernah sia-siakan momentum awal (detik-detik pertama) untuk tidak menjadikannya sebaik mungkin, karena percakapan dan hubungan Anda selanjutnya akan disaring melalui momentum awal ini, dengan demikian akan menciptakan kesan yang sangat baik. Itulah sebabnya mengapa tersenyum itu sangat penting. Lakukanlah dengan segera dan senyum akan menjelaskan banyak hal tentang diri Anda: Semuanya Positif. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Mulianya Memaafkan
eramuslim - Ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis terkenal, Dave Pelzer, berjudul A Man Named Dave, yang menggambarkan sebuah kisah tentang keberhasilan dan kekuatan dari sikap memaafkan. Buku tersebut - yang merupakan kesimpulan dari dua buku Pelzer sebelumnya yang menjadi best seller, A Child Called “It” dan The Lost Boy – begitu menyentuh hati siapapun yang membacanya, karena tidak seperti buku sebelumnya yang membuat dada berdegub, A Man Named Dave juga mengajak kita untuk meneguhkan hati, membalas kezaliman dengan sikap memaafkan.
Sebagaimana digambarkan Pelzer, selama tidak kurang dari delapan tahun –sejak usia 4 tahun hingga usia 12 tahun- mengalami berbagai siksaan yang sangat brutal dari ibunya sendiri yang menganggap Pelzer hanya sebagai “It” yang bisa diperlakukan dengan seenaknya, meninju, menendang, melemparkan dari atas menggelundung ke dasar tangga, menginjak-injak bahkan mencekiknya sampai nyaris mati. Sebuah kebesaran hati yang mengesankan dari Dave Pelzer bahwa kemudian ia tak sedikitpun menyalahkan sikap The Mother (ibunya) selama delapan tahun itu yang menyebabkan ia tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Hingga akhirnya Pelzer menemukan dirinya sendiri di dalam hati, sampai ia mampu membebaskan diri.
Bahkan dalam catatan di belakang buku tersebut, Jack Canfield, salah seorang penulis Chicken Soup for The Soul mengatakan bahwa Pelzer adalah bukti nyata yang menunjukkan bahwa kita masing-masing memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri, tak peduli pengalaman seburuk apapun yang menimpa diri kita.
Dalam buku Mensucikan Jiwa, Said Hawwa menerangkan tentang empat kategori manusia dalam hal kemarahan, yang pertama, seperi ilalang yang cepat tersulut dan cepat pula reda. Kedua, seperti pohon bakau; lambat tersulut dan lambat pula redanya, ketiga, lambat tersulut dan cepat reda. Jenis ini yang paling terpuji, selagi tidak mengakibatkan redanya ghirah dan semangat pembelaan kebenaran. Sedangkan yang keempat, cepat tersulut dan lambat redanya. Jenis ini yang paling buruk.
Berkaitan dengan itu, Imam Ghazali pernah mengajarkan bagaimana seharusnya seorang mukmin melampiaskan kemarahan. Bahwa kesabaran seseorang memang ada batasnya dan pada saatnya telah melampaui ambang batas itu, sangat wajar bilang seseorang harus marah. Hanya saja, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengukur kadar marah itu sesuai dengan tingkat kesalahan orang membuat kita marah, selain juga kemarahan yang dilampiaskan masih wajar dan berada dibawah kesadaran yang tinggi. Inilah yang sulit, makanya Rasulullah pun pernah mengatakan bahwa memaafkan adalah sikap mulia dari seorang mukmin.
Memaafkan, bukan memberi maaf, jelas perintah dalam surat Ali Imran ayat 134, karena memaafkan bermakna lebih mulia ketimbang memberi maaf. Memaafkan adalah sikap yang diberikan secara ikhlas terlepas orang yang melakukan kesalahan, sikap dan tindak semena-mena, dan atau ketidakadilan itu memintanya atau tidak. Dan sikap memaafkan itu dikatakan Allah sebagai satu sikap orang-orang bertaqwa yang Allah sediakan bagi mereka syurga seluas langit dan bumi.
Bayangkan betapa mulianya orang-orang yang mampu “memaafkan”, karena sikap memberi maaf setelah orang meminta maaf saja sudah sedemikian luhur. Bahwa juga sikap seseorang yang meminta dimaafkan setelah melakukan satu kesalahan pun sudah begitu bagusnya. Sungguh membutuhkan kebesaran jiwa untuk bisa memaafkan kesalahan orang tanpa menunggu orang memintanya, karena pada saat itu kita telah membunuh kesombongan, dan rasa sebagai orang menang.
Karena jika kita tak mampu melakukannya, dan menelan kemarahan itu karena ketidakmampuan untuk melampiaskannya seketika maka ia akan kembali ke dalam bathin dan menyelinap ke dalamnya lalu menjadi kedengkian. Kata Said Hawwa, makna kedengkian ialah hati senantiasa merasa berat dalam menelan kemarahan, merasa benci kepadanya dan lari darinya. Kedengkian adalah buah dari kemarahan.
Sikap yang sebaiknya dilakukan seseorang adalah, selain memaafkan adalah meningkatkan kebaikan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap hawa nafsu dan syetan maka hal itu merupakan maqam orang-orang yang tergolong shiddiqin, dan termasuk perbuatan orang-orang yang mencapai maqam Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Karena Hidup Hanya Sekali ...
Seberat apapun beban hidup kita hari ini ...
Sekuat apapun godaan yang harus kita hadapi, Sekokoh apapun cobaan yang harus kita jalani, Sebesar apapun kegagalan yang kita rasai, Sejenuh apapun hari-hari kita lalui
Sekuat apapun godaan yang harus kita hadapi, Sekokoh apapun cobaan yang harus kita jalani, Sebesar apapun kegagalan yang kita rasai, Sejenuh apapun hari-hari kita lalui
Jangan pernah berhenti berharap pada pertolongan Ilahi ...
Jangan pernah berhenti berdoa kepada Rabbi, Karena harapan adalah masa depan, Karena harapan adalah sumber kekuatan, Karena doa adalah pintu kebaikan, Karena doa adalah senjata orang beriman.
Jangan pernah berhenti berdoa kepada Rabbi, Karena harapan adalah masa depan, Karena harapan adalah sumber kekuatan, Karena doa adalah pintu kebaikan, Karena doa adalah senjata orang beriman.
eramuslim - Kita mungkin pernah merasakan betapa tidak berartinya hidup ini, jenuh dan membosankan. Kita seperti manusia yang tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Hari-hari yang kita lalui hampa tiada arti. Kegagalan kita temui disana-sini. Cobaan dan rintangan kita hadapi tiada henti. Beban hidup tarasa berat menjerat. Bagi mereka yang tidak punya iman, mengakhiri hidup yang indah ini seringkali menjadi pilihan.
Hidup ini hanya sekali, terlalu indah untuk kita buat sia-sia, karena memang Allah menciptakan makhluknya tidak untuk sia-sia. Betapa bahagianya hidup ini bila kita jalani dengan penuh semangat dan optimisme yang tinggi. Betapa indahnya hidup ini bila hari-hari kita jalani dengan senyum kebahagiaan dan sikap positif memandang masa depan. Betapa sejuknya bila kita sabar menghadapi setiap permasalahan, kemudian kita berusaha memecahkannya dan mengambil ibroh dari setiap kejadiaan.
Sebuah pakupun akan menghadapi masalah pada tubuhnya bila tidak tepat menempatkan diri. Bila ia terletak di tanah basah, suatu saat ia akan berkarat, tidak memiliki guna, terinjak, bahkan mungkin suatu saat akan terkubur bersama karat yang menyelimutinya. Tapi bila kita bisa menempatkannya di tempat yang tepat, kita tancapkan pada sebuah dinding, walaupun ia berkarat, paku itu berguna bagi manusia. Sebagai penyangga, tempat gantungan, atau sebagai penyatu berbagai benda.
Begitu pula kehidupan manusia. Bila kita tidak tepat menempatkan diri kita, tidak sadar siapa diri kita, tidak tahu untuk apa kita di dunia, kita hanyalah seonggok jasad hidup yang terlunta-lunta. Bila kita tidak memanfaatkan potensi yang ada, selalu memandang negatif setiap peristiwa, membiarkan diri berlumur dosa, bahkan tidak tahu dengan Sang Pencipta, kita adalah makhluk hidup yang tidak berguna. Kemudian hidup ini pun terasa berat untuk kita lalui.
Masalah dan cobaan adalah bunga kehidupan orang-orang beriman. Kembalilah kepada Tuhan bila kita menghadapinya agar kita tenang. Lihat, apakah kita sudah tepat menempatkan diri. Jangan menjadi paku yang terletak di tanah basah. Tapi jadilah paku yang dapat menyangga kehidupan manusia. Walaupun kecil, tanpa paku itu sebuah bangunan besar tidak akan pernah berdiri. (Yesi Elsandra, Saudaraku, aku tunggu senyummu lagi)
Izinkan Aku Menciummu, Ibu
eramuslim - Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)
Apakah Kita Tak Pernah Sombong?
eramuslim - Dahulu kala diceritakan pernah ada seorang suami dan istri yang ketika sedang duduk di depan rumahnya, melintas sepasang laki-laki dan wanita di depan mereka. Sang wanita tinggi ramping dan mengenakan baju indah, sementara yang laki-laki berpostur pendek dan sederhana. Tiba-tiba si istri yang melihat berkata, "Huh, wanita itu sungguh sombong. Dia berdandan agar dirinya tampak lebih tanpa memperhatikan orang lain."
Seketika itu suaminya berkata, "Kejar wanita itu dan minta maaf padanya."
Setelah mereka bertemu dan istri itu minta maaf, wanita itu menjelaskan bahwa dia berdandan dengan indah untuk membahagiakan suaminya agar suaminya bisa 'bangga' dengan dirinya. Dan suami wanita itu adalah lelaki pendek yang sedang berjalan bersamanya.
Cerita ini adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang kita jalani yang menunjukkan betapa mudahnya kita menilai manusia dari apa yang tampak diluarnya. Kita begitu mudah menjatuhkan hukuman predikat sombong kepada orang yang tampak tidak simpatik bagi kita. Kita dengan mudah mengatakan arogan kepada mereka yang sikapnya menurut kita tidak menyenangkan.
Kemudian kita membenci mereka dengan berlindungkan hadist "Tidak akan masuk surga orang yang dalam lubuk hatinya terdapat perasaan sombong (arogan) walaupun cuma sebesar atom." (HR Bukhari Muslim) atau bahkan dengan ayat Allah "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (Luqman:18) tanpa kita pernah tahu kenapa mereka bersikap seperti itu.
Jangan-jangan kita pernah mengatakan teman kita sombong karena tidak mau menerima uluran tangan kita, padahal bisa jadi dia begitu ingin hanya bergantung pada Allah dengan tidak merepotkan kita. Jangan-jangan kita pernah mengatakan orang lain sombong karena ia tidak pernah mau berkumpul dengan kita padahal ia ingin menjaga diri dari kesia-siaan waktu atau bahkan karena harus mengerjakan pekerjaan lain yang tidak bisa menunggu. Jangan-jangan kita pernah mengatakan kawan kita sombong hanya karena ia tidak pernah mau menegur sapa kita terlebih dahulu padahal pada dasarnya ia memang pemalu. Jangan-jangan kita pernah membenci orang karena penampilannya, padahal memang Allah yang menciptakan tubuhnya seperti itu.
Jika seperti ini yang sudah kita kerjakan, Saudaraku, maka kita harus waspada bahwa jangan-jangan kita yang sesungguhnya sombong. Kita bisa jadi telah berdosa kepada Allah karena kita sesungguhnya telah mengambil alih kekuasaan-Nya dalam menilai hati manusia. Ingatkah kita bahwa hanya Allah yang bisa melihat apa yang tersembunyi di balik hati manusia?
Kepada kawan itu pun kita juga berdosa karena telah berburuk sangka. Rasulullah Saw sendiri pernah berkata, "Berhati-hatilah kalian dari prasangka-prasangka (yang buruk). Karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan." (Muttafaqun 'alaih). Juga ketahuilah bahwa dengan mencapnya sombong kita sebenarnya telah menghina mereka yang justru bisa jadi sedang berusaha menjadi hamba Allah. Takutlah kita jika buruk sangka itu kemudian kita sebar-sebarkan, sementara kawan yang kita sakiti menangis di tengah malam mengadukan kita kepada Allah. Takutlah akan balasan perbuatan kita, Saudaraku.
Bagi saudara-saudaraku yang terzhalimi dengan diperlakukan sebagai orang sombong, tidak usah kalian berkecil hati. Apa yang kalian lakukan biarlah dinilai Allah, karena hanya Ia yang bisa memuliakan dan menghinakan kita. Luruskanlah niat dan sempurnakan amal. Serta maafkan dan doakan kami agar Allah mengampuni dosa-dosa kami yang memang suka mendewakan perasaan sendiri dan menilai segala sesuatu dari yang kasat mata ini.
Hadi Susanto (susanto@math.utwente.nl)
Jagalah Keseimbangan
eramuslim - Orang-orang yang tinggi idealismenya tidak jarang hanya beraksi pada tataran wacana, bahwa ia harus melakukan gebrakan besar ini, terobosan besar itu. Tetapi pada kenyataannya energinya seringkali habis hanya untuk menelorkan dan membahas wacana-wacana besar itu dan tidak sampai pada aktualisasi ide. Di sisi seberangnya, ada orang-orang yang justru aktif melakukan hal-hal kecil, tetapi melulu dan berkutat disitu. Tidak ada hal-hal besar dan ideal yang menjadi tujuannya. Maka jadilah apa yang dikerjakannya hanya sebatas menghabiskan waktu, sehingga pada saat umurnya sudah menua barulah ia menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini adalah hal kecil yang tidak membuatnya besar.
Jika kita mau mengambil pelajaran, apa yang dikatakanya Rasulullah, mulailah dari diri sendiri sebenarnya tidak hanya bermakna keteladanan agar bisa dicontoh oleh orang lain. Kalimat itu juga bisa mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang baik harus dimulai dari dalam baru kemudian keluar. untuk bisa menjangkau hal-hal diluar, seharusnya kita sudah menggenggam segalanya yang ada didiri ini, untuk melangkah ke depan, sebaiknya dipastikan kaki ini sudah mampu berdiri menapak dengan kuat, selanjutnya terserah, mau berlari atau melakukan lompatan sejauh apapun. Untuk bisa menguasai (memimpin) orang lain, sudah sepantasnya kita tak lagi bingung mengendalikan diri, untuk dapat berbicara dengan baik kepada orang lain berarti juga sebelumnya kita lebih dulu mengerti apa yang sebenarnya hendak kita sampaikan. Semua itu berlaku secara alami, dan jika ada yang mencoba melanggar aturan alami itu, sudah bisa dipastikan ketidakmaksimalannya. Anda bisa saja melompat namun mungkin kaki anda akan terkilir atau patah. Anda bisa juga berbicara dengan bebasnya meski anda sendiri pun tidak jelas apakah memahaminya atau tidak, tapi jangan salahkan kalau orang lain hanya akan mengangguk didepan anda sebelum kemudian perlahan meninggalkan anda.
Sesuai dengan proses kejadian manusia, bahwa tidak ada manusia yang langsung terlahir besar. Ia dimulai dari seorang bayi merah tanpa daya apapun, kemudian tumbuh sebagai anak lincah yang baru bisa berjalan satu-dua langkah. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sekolah. Bertambahlah pengetahuannya dari yang sudah ada sebelumnya. Ketika besar, selain pengetahuan, kemampuan motoriknya juga lebih sempurna. Demikian halnya dengan pekerjaan, melakukan hal yang kecil terlebih dulu sebelum mencoba sesuatu yang besar, mengangkat yang ringan terlebih dulu sebelum yang berat, kerjakan dulu yang terjangkau tangan, sebelum memaksakan sesuatu yang diluar cakrawala kita.
Namun yang perlu diingat, pesan mulailah dari diri sendiri bermakna bergerak. Arti kata 'mulai' berarti melakukan sesuatu yang tidak berhenti disitu. Jadi ketika sudah melakukan hal yang kecil, cobalah sesuatu yang lebih besar. Jangan puas dengan pekerjaan yang ringan-ringan saja, sebelum mencicipi kenikmatan dari hasil kerja berat. Dan melangkahlah keluar menembus cakrawala agar menghabiskan waktu hidupnya dari perkembangan ke perkembangan berikutnya.
Sebaiknya kita tidak seperti seorang anak kecil yang melempar batu jauh ke depan, dan meminta temannya mengambilkannya. Padahal setelah melempar batu, semestinya kita berlari menuju dimana batu terjatuh dan kemudian melemparkannya kembali ke depan. Sehingga di medan lemparan berikutnya bukan tidak mungkin kita menemui hambatan yang berbeda, bisa berupa angin kencang yang menghambat laju batu, atau pohon besar yang menghalangi. Dan seterusnya seperti itu. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa bergerak dan tidak puas berhenti disatu tempat mengulangi rutinitas yang sama, dan jelas tidak berkembang. Tidak ada sesuatu yang baru. Juga tidak mengalami tantangan baru.
Oleh karenanya, bekalilah diri ini dengan jam penunjuk waktu dan kompas sebagai penunjuk arah (tujuan). Jangan hanya memiliki jam tangan karena kita akan terjebak pada rutinitas yang melelahkan tanpa tujuan (cita-cita) yang jelas namun waktu yang ada habis tanpa hasil yang signifikan. Jangan pula hanya melengkapi diri dengan kompas tanpa jam penunjuk waktu. Karena kita hanya akan sibuk menentukan tujuan tanpa melakukan apa-apa karena kita tidak pernah tahu kapan harus memulai.
Bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dalam segala hal, itu suatu keniscayaan terhadap signifikansi hasil yang bakal diraih. Berada pada posisi aman dan tidak berani mencoba tantangan baru, jelas membuat kita menjadi kerdil. Berpikir besar tentang semua idealisme tanpa memulainya dengan hal-hal yang kecil, tentu ibarat calo di terminal bis kota. Orang lain sudah sampai di tujuan kita masih tertinggal di landasan. Menikmati pekerjaan rutin yang kecil dan cukup puas dengan hasil yang didapat ternyata juga terkadang membuat hati mendengki terhadap orang-orang yang berhasil karena hidup dinamis dan berani bergerak (maju).
Padahal jelas-jelas Allah memerintahkan kita untuk menjadi ummatan wasathan, agar diri ini senantiasa menyeimbangkan posisi dan keadaan. Tidak jatuh terpuruk dan terus menerus berkubang dengan kesulitan, tetapi juga tetap menjaga jarak untuk tidak merasa sejajar dengan Yang Maha Tinggi agar tidak menjadi takabur. Wallahu a’lam bishshsowaab (Bayu Gautama)
4 Plus 1 Karakter Manusia Maju
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Senin, 26 Agustus 2002
/
Comments: (0)
eramuslim - Kalau boleh menyesal atau protes tentu kita akan teramat sangat menyesal dan berteriak keras-keras karena telah dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Kalau boleh memilih, tentu kita lebih memilih dijajah oleh Inggris ketimbang negeri Kincir Angin itu. Karena kedatangan Belanda pada masa penjajahan dulu hanya sebatas menguras habis harta kekayaan Indonesia, tidak lebih. Sehingga hasil yang terlihat sampai sekarang adalah bangsa Indonesia yang tidak lebih maju dibanding negara tetangga yang dijajah oleh Inggris. Meski ada yang membenarkan, nampaknya itu ungkapan orang-orang yang begitu pesimis dan pasrah menerima kenyataan bangsa yang carut marut seperti saat ini. Karena yang jelas, hukum alam membuktikan, siapa yang punya kemauan dan tekad kuat untuk maju, dialah yang maju dan akan meninggalkan jauh dibelakang mereka yang malas dan pasif.
Ya pasif, satu dari tiga karakter manusia selain Proaktif dan Aktif. Seperti dikatakan Steven R Covey dalam “Tujuh Kebiasaan Manusia Efektif”, Proaktif adalah satu pondasi utama yang mendukung proses perkembangan dan kemajuan manusia. Jadi jika seorang individu dengan diikuti oleh individu lainnya menciptakan satu kelompok manusia proaktif, jelas perubahan besar yang mereka dapatkan. Itu belum ditambah enam kebiasaan lainnya. Aktif saja tidak cukup, karena orang aktif belum tentu memiliki inisiatif ataupun inovasi untuk senantiasa mencoba dan memulai hal-hal baru, yang lebih baik. Orang aktif hanya melaksanakan program-program yang sudah diset dan tida melakukan diluar dari itu. Sementara masalahnya, setuju atau tidak, satu karakter bangsa ini adalah malas, satu item dari sekian banyak item orang-orang pasif. Dan yang lebih menyakitkan, karena Indonesia adalah pemeluk agama Islam terbesar di dunia, maka orangpun melekatkan malas (dan selebihnya, pasif) itu pada muslim. Satu analisa yang masih boleh disanggah.
Maaf jika tidak setuju, bisa dikatakan saat ini (dan mungkin sampai akhir zaman) bangsa eropa akan selalu lebih leading dibandingkan bangsa-bangsa lainnya, apalagi Asia. Kalaupun harus mengesampingkan beberapa faktor yang dikemukakan John Naismith dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 dimana hampir seluruh sektor kehidupan orang Asia (termasuk Indonesia) dikuasai oleh eropa, tetapi kita bisa melihatnya dari sikap dan karakter bangsa eropa yang membuat mereka menjadi bangsa yang maju. Bahkan Yusuf Qaradhawi sendiri melihat kalaupun akan ada kebangkitan Islam, maka itu pasti bermula dari eropa, bukan Asia (apalagi Indonesia) seperti yang pernah ‘dicita-citakan’ muslim Indonesia. Berkenaan dengan itu Yusuf Qaradhawi menyitir sebuah hadits yang kurang lebih berbunyi: empat karakter yang membuat bangsa romawi (eropa) selalu lebih maju sampai di akhir zaman, pertama, mereka lebih cerdas meski dalam kondisi terkena fitnah. Kedua, cepat bangkit setelah jatuh, ketiga, cepat maju setelah mengalami kemunduran, dan keempat, terbaik dalam mu’amalah. Sementara satu tambahan karakter lagi yakni, tidak menerima dizhalimi (oleh penguasa). (HR. Bukhari)
Karakter pertama menjelaskan betapa orang-orang eropa memiliki tingkat pengendalian diri, emosi yang baik. Sehingga dihadits dikatakan meski dalam keadaan fitnah sekalipun mereka tetap rasional. Berbeda dengan kita yang terkadang kerap mengkedepankan emosi dan bertindak reaktif mensikapi sesuatu tanpa berpikir matang terlebih dahulu. Karakter kedua menjelaskan kemampuan recovery yang dimiliki kebanyakan bangsa di eropa. Bandingkan dengan bangsa kita yang bahkan sampai sekarang masih menyalahkan penjajahan Belanda sebagai penyebab kesengsaraan. Kita terlalu lama meratapi dan mengharap belas kasih agar bangsa lain menolong kita. Ini seperti anak kecil yang terjatuh ketika bermain lari-larian bersama temannya, ia tidak akan bangun sebelum seorang temannya mengasihani dan menghulurkan tangannya. Sikap yang diambil temannya tak perlu dipermasalahkan, karena itu yang disebut empati. Tapi justru sikap menunggu huluran tangan orang lain itulah yang sampai dewasa pun ternyata menjadi kebiasaan.
Karakter selanjutnya, jelas terkait dengan dua karakter sebelumnya, berangkat dari pengendalian diri yang baik serta kemampuan recovery yang tinggi, meski sempat mengalami kemunduran biasanya mereka cepat sadar dan berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa sehingga cepat pula merengkuh keberhasilan. Dan karakter keempat menjadi satu sindiran yang begitu kentara betapa seharusnya ummat Islam jauh lebih baik dalam urusan relationship dan berbuat baik dengan sesama. Baik kepada orang-orang miskin, yang sakit maupun mereka yang lemah. Dan satu lagi karakter tambahan yang awalnya Rasulullah menyebut empat namun dikeseluruhan hadits beliau menambahkan satu yakni, harga diri yang tinggi untuk tidak diam ketika dizhalimi, termasuk oleh penguasa. Bagaimana dengan kita? Kita malah meminta ‘maaf’ kepada orang yang tidak sengaja menginjak kaki kita, atau diam saja ketika bangsa lain mengeruk harta kekayaan bangsa ini, juga berterima kasih kepada IMF yang jelas-jelas mengobok-obok Indonesia.
Meski harus diakui, penjelasan tentang karakter-karakter diatas tidak harus digeneralisir sedemikian rupa karena nyatanya, masih banyak juga orang muslim yang hebat, yang maju, tidak emosional, baik dalam muamalah, bangkit dan bergerak ketika ditindas. Sementara di beberapa negeri eropa, secara individu sangat banyak dijumpai berupa penindasan, pelanggaran hak, tindakan asusila, amoral dan lain sebagainya. Di negeri ini, setidaknya reformasi menjadi bukti walaupun selama puluhan tahun juga tidak mampu berbuat apa-apa. Sampai-sampai pernah ada satu satire yang boleh direnungkan oleh bangsa ini yang kurang lebih berbunyi, bangsa eropa banyak bicara banyak bekerja, bangsa Afrika sedikit bicara sedikit bekerja, bangsa Asia banyak bicara sedikit bekerja, sementara disebutkan bangsa Jepang (yang masih bangsa Asia) sedikit bicara banyak bekerja. Yang paling menyakitkan diakhir tulisan itu dikatakan, bangsa Indonesia lain bicara lain yang dikerjakan. Entahlah.
Selain hadits diatas, Rasulullah yang sangat peduli terhadap ummatnya juga menghadiahi sebuah do’a yang patut kita baca setiap hari guna menghindari kekalahan sedemikian rupa dengan bangsa barat. Satu do’a yang menggambarkan problematika ummat secara sistematis dari sekedar rundungan sedih hingga dominasi orang terhadap diri ini. “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka. Aku berlindung dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat bakhil dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang”
Nampaknya do’a diatas sepantasnya dilafazkan oleh seluruh ummat Islam di negeri ini, karena do’a itu sangat tepat mewakili apa yang selama ini menjadi permasalahan kita. Sangat berhubungan erat dengan empat plus satu karakter yang diterangkan dalam hadits diatas. Dari mulai rundungan sedih dan duka yang kemudian meningkat menjadi penyakit lemah dan malas. Orang-orang malas biasanya bakhil dan kikir sehingga dari semua masalah itu jadilah kita bangsa yang terbebani hutang dan tidak bisa melepaskan diri dari penindasan bangsa lain.
Sekarang coba bayangkan, dengan empat plus satu karakter manusia maju seperti digambarkan diatas, ditambah sentuhan nilai-nilai Islam. Subhanallaah. Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)
Atasi Problem Ummat Dengan Akhlak
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Selasa, 20 Agustus 2002
/
Comments: (0)
eramuslim - Manusia yang terbaik adalah manusia yang bernilai manfaat bagi manusia lainnya. Penampilan manusia terbaik ini telah ditujukkan oleh para generasi awal sahabat (assabiqunal awwalun). Sehingga perjalanan dakwah Rasulullah Saw betul-betul ditopang oleh pondasi yang kokoh dari para sahabat.
Di dalam sejarah tersebutlah nama-nama seperti: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, dan masih banyak lagi. Mereka sangat disegani lawan maupun kawan, dipuji makhluk baik yang ada di langit (malaikat) maupun di muka bumi. Oleh karenanya, bagi kita yang hidup hari ini sangat bagus untuk mampu mengambil hikmah dari apa yang telah diperbuat Rasullah Saw dan para sahabatnya. Abu Bakar misalnya, adalah orang yang pertama mempercayai Rasulullah Saw melakukan perjalanan Isra’ dan mi’raj. Sehingga terkenallah ia dengan julukan as-shiddiq (benar). Disamping itu, Abu Bakar adalah termasuk sahabat yang rela mengorbankan hartanya 100 persen untuk Islam. “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya”, kata Abu Bakar.
Akhlak mulia yang ditunjukkan oleh para sahabat itu dapat muncul karena mereka mempunyai kekuatan aqidah yang kokoh, kuat, tahan banting. Kekuatan aqidah yang bersumber dari pemahaman yang jelas, jernih dan baik terhadap syahadatain. Sehingga setiap gerak langkah yang dilakukannya itu betul-betul diperuntukkan demi tegaknya kalimat Allah, Laa Ilaha Illallah.
Jika saja setiap umat Islam yang ada di bumi nusantara ini berakhlak seperti Rasulullah dan para sahabatnya, insya Allah kalimatullah akan tegak. Problem kemiskinan yang terus mendera bangsa ini juga bakal bisa di atasi. Kenapa, karena setiap orang akan berusaha dan berlomba-lomba untuk menunjukkan akhlak mulianya. Setiap detik waktunya tidak akan terbuang sia-sia. Namun, akan digunakan untuk meraih amalan terbaik sehingga sahamnya diakhirat menjadi besar. Hanya dengan amalan terbaiklah kita akan bertemu dengan Allah Swt.
Mengenai hal ini, Abu Darda ra, ia berkata, “Nabi Saw bersabda: “Carilah Aku (Allah) pada golongan orang-orang lemah karena sesungguhnya kamu diberi rizki dan pertolongan melalui golongan orang-orang lemah itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Bukhari, Ibnu Hibban, dan hakim). Dengan membantu orang-orang lemah sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentu nilai amalan akan meningkat.
Dalam konteks era sekarang ini, banyak cara yang bisa diterapkan dalam membantu orang-orang lemah. Yang penting adalah bantuan itu diniatkan semata-mata karena Allah bukan karena ada faktor yang lain. Jangan sampai ada udang dibalik batu. Apalagi godaan jabatan di pentas politik yang selalu menggoda. Berikanlah bantuan kepada orang-orang lemah dengan semata-mata ikhlas karena-Nya.
Dari sisi ekonomi, cara memberdayakan golongan lemah dapat ditempuh dengan berbagai macam jalan, antara lain. Pertama, merekrut mereka menjadi tenaga kerja pada usaha yang sedang dijalankan sendiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk usaha yang produktif. Modal usaha dapat berupa modal investasi dan modal kerja. Modal investasi berupa alat-alat atau perlengkapan yang akan digunakan dalam jangka panjang sebagai penunjang usaha. Sedangkan modal kerja adalah dana yang akan digunakan untuk keperluan rutin (operasional usaha). Ketiga, memberikan beastudi (beasiswa) kepada salah satu anggota keluarganya (anak). Dengan harapan akan dapat berkarya produktif setelah pendidikannya selesai. Keempat, memberikan bekal keterampilan melalui training (pelatihan). Melalui pelatihan diharapkan mereka menjadi paham dan mampu untuk bekerja secara mandiri.
Dengan keempat perbekalan di atas diharapkan golongan lemah menjadi bangkit dan kuat. Kebangkitan dan kekuatan mereka akan berkelanjutan bila ditopang dan dilandasi oleh aqidah (keyakinan) yang kuat, bahwa semua yang telah dan akan terjadi itu semata-mata kehendak Allah Swt. Tugas kita adalah berusaha semaksimal potensi yang telah diberikan-Nya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, yang tidak putus asa di dalam berjuang, berusaha dan menegakkan kalimatullah, Laa Ilaha Illallah. (Efri S Bahri/efrisb@yahoo.com)
Jangan Pernah Berhenti Berdoa
eramuslim - Orang bijak mengatakan, doa tanpa usaha adalah bohong dan usaha tanpa doa adalah sombong. Doa dan usaha adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa hanya berdoa saja tanpa melakukan usaha semaksimal mungkin untuk mengapai tujuan kita. Kita juga tidak bisa hanya berusaha saja, tanpa berdoa dan mengabaikan Allah sebagai penentu berhasil atau tidaknya tujuan kita.
Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu intinya adalah ibadah, doa adalah senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala kebaikan. Seluruh hamba sangat bergantung kepada penciptanya. Setiap hamba memang harus berdoa, sebab kita diciptakan dalam keadaan penuh dengan keterbatasan-keterbatasan. Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan segala kelebihan-kelebihannya, namun dibalik kelebihan itu manusia juga memiliki segudang kelemahan.
Bayangkan jika kita sedang berada ditengah lautan. Tiba-tiba kapal yang kita tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri karena badai yang tiba-tiba saja datang menghantam. Nahkoda memberi peringatan tanda bahaya. Tidak ada tempat kita meminta bantuan karena seluruh alat komunikasi terputus. Apakah yang akan kita lakukan pada saat itu? Masih pentingkah gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, harta kekayaan yang melimpah, serta kecantikan? Tentu tidak, bagi kita keselamatan menjadi puncak harapan. Namun siapakah yang dapat memberikan keselamatan kala itu, kalau bukan kepada Allah SWT kita meminta?
Dibalik kelebihan-kelebihan yang kita miliki, kita menyimpan kelemahan-kelemahan yang tidak dapat kita tutupi, untuk itu kita perlu meminta kepada Allah SWT, berdoa dengan penuh kekhusuan, penuh harapan, tulus, pasrah dan ikhlas, seperti yang difirmankan Allah, "Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah, dan Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) Yang Maha Terpuji." (QS Faathir: 15).
Ada sebuah kisah tentang masyarakat Basrah yang waktu itu sedang dilanda kemelut sosial. Kebetulan mereka kedatangan ulama besar yang bernama Ibrahim bin Adham. Masyarakat Basrah pun mengadukan nasibnya kepada Ibrahim bin Adham, "Wahai Abu Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), Allah berfirman dalam Al-Quran agar kami berdoa. Kami warga Basrah sudah bertahun-tahun berdoa, tetapi kenapa doa kami tidak dikabulkan Allah?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Wahai penduduk Basrah, karena hati kalian telah mati dalam sepuluh perkara. Bagaimana mungkin doa kalian akan dikabulkan Allah! Kalian mengakui kekuasaan Allah, tetapi kalian tidak memenuhi hak-hak-Nya. Setipa hari kalian membaca Al-Quran, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya. Kalian selalu mengaku cinta kepada rasul, tetapi kalian meninggaklan pola prilaku sunnah-sunnahnya. Setiap hari kalian membaca ta’awudz, berlindung kepada Allah dari setan yang kalian sebut sebagai musuhmu, tetapi setiap hari pula kalian memberi makan setan dan mengikuti langkahnya. Kalian selalu mengatakan ingin masuk syurga, tetapi perbuatan kalian justru bertentangan dengan keinginan itu. Katanya kalian takut masuk neraka, tetapi kalian justru mencampakkan dirimu sendiri kedalamnya. Kalian mengakui bahwa maut adalah keniscayaan, tetapi nyatanya kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kalian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap kesalahan sendiri kalian tidak mampu melihatnya. Setiap saat kalian menikmati karunia Allah, tetapi kalian lupa mensyukurinya. Kalian sering menguburkan jenazah saudaramu, tetapi kalian tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa itu."
Terakhir ia mengatakan, "Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda nabi, "Berdoalah kepada Allah, tetapi kalian harus yakin akan dikabulkan. Hanya saja kalian harus tahu bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan main-main."
Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa kepada Allah. Jangan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah senjata kita. Perhatikan ada-adab berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya (elsandra/el-sandra@lycos.com)
Bunga-Bunga Kehidupan
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Kamis, 25 Juli 2002
/
Comments: (0)
eramuslim - Salah satu keindahan yang Allah ciptakan untuk dapat dinikmati manusia adalah bertebarannya bunga-bunga cantik nan menyejukkan dengan aroma dan warna-warni yang tak membosankan. Apabila musim semi tiba, perlahan kelopak-kelopak bunga merekah seraya menyemai kecerahan hari. Kuning yang menghangatkan, kesejukkan yang ditawarkan dari warna putih, merah yang menyala-nyala membangkitkan gairah hidup, semua warna, semua aromanya mewarnai hidup menambah semerbak alam tempat berpijak.
Tidak hanya bunga-bunga yang demikian yang memang diperuntukkan untuk manusia (juga kumbang sang penikmat bunga tentunya), namun ada banyak bunga yang juga hadir menyemangati hidup, mengiringi langkah ini dan menjadikan hari-hari yang kita lewati begitu indah dan menyenangkan. Dari sekian melati yang bertebaran di bumi ini, ada satu yang terindah yang telah kita petik untuk ditanam di taman hati. Dipupuk dengan segenap cinta tanpa akhir, disirami oleh kasih sayang yang takkan habis dan dipelihara dengan segala bentuk pengorbanan yang tak kenal lelah, maka ia pun senantiasa menjadi bunga yang menyenangkan hanya dengan memandangnya, membasuh peluh, menghapus lelah ketika disentuh dan menyegarkan seluruh rongga dada ketika mengecupnya sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan. Ya, istri atau suami yang sekarang menjadi pasangan jiwa kita adalah bunga kehidupan.
Dari melati yang telah dipetik itu, mungkin kan datang Lily, Tulips, Mawar atau bunga-bunga lain yang semakin meramaikan taman hati ini dengan aroma khas dan warna yang membuat hidup terasa lebih indah. Keceriaan yang dihadirkan anak-anak selaku bunga-bunga kecil mampu menghiasharumi hati. Mereka, bunga-bunga kecil yang dengan keindahannya membuat kita selalu tersenyum, menjadi pelepas dahaga kedamaian dan pengobat rindu akan kehangatan. Dengan curahan kasih sayang yang tiada henti, sentuhan pendidikan yang tidak memenjarakan kebebasan berpikir dan memasung kreativitasnya, semoga tetap menjadikan mereka bunga-bunga yang dapat dibanggakan, bukan malah menjadi bunga-bunga liar yang berserakan di trotoar dan pinggir jalan. Dengan menghiasi hati mereka akan keagungan nama penciptanya, dan kemuliaan nama Rasulnya, akan menjadikan mereka bunga-bunga yang tak pernah kusut, layu atau bahkan hancur oleh terjangan angin, panas, hujan ataupun buasnya unggas.
Ketika beranjak keluar melewati pagar, kita akan menemukan bunga-bunga lain yang tak kalah indahnya, mereka tersenyum dan menyapa dengan hangatnya. Seperti kita yang juga menjadi bunga kehidupan bagi mereka, bunga-bunga diluar pagar itupun hadir memberikan makna kebersamaan dan saling mencintai, memberi juga mengasihi sebagai saudara karena Allah. Jagalah kedekatan, binalah kebersamaan dengan bunga-bunga itu, karena mereka jugalah yang mungkin akan membantu, menolong dan meringankan beban berat ataupun terpaan badai kehidupan.
Sebanyak apapun bunga yang kita miliki, jangan juga melupakan bunga-bunga yang telah melahirkan dan membesarkan kita menjadi bunga saat ini. Mungkin bunga-bunga itu sudah mulai layu, atau tangkainya sudah terkulai lemah. Jangan biarkan mereka semakin layu, sirami dengan air cinta meski yang kita miliki tak sebanding dengan air cinta yang pernah mereka curahkan. Jadilah kaki penyangga tangkainya agar kita tetap bisa melihatnya berdiri, segar dan melangkah berdampingan hingga Sang pencipta segala bunga menentukan kehendaknya.
Namun ada satu bunga, yang bersemayam paling dalam di lubuk hati ini, yang tak boleh kita biarkan tak tersirami oleh air yang tercipta dari rangkaian indah nama-nama Sang Pencipta segala bunga, dari berdiri, duduk dan sujud yang kita tegakkan, dari senandung-senandung yang menyuarakan ayat-ayat-Nya dan dari rasa berserahdiri akan segala kehendak dan ketentuan-Nya. Ialah bunga kehidupan utama yang tanpanya takkan berarti, takkan terasa indah, takkan menyejukkan aroma bunga lainnya, seindah dan seharum apapun bunga-bunga yang lain itu. Hingga jika bunga utama itu kuat, ia pun akan menguatkan diri ini sehingga teramat tegar menepis duri-duri kemaksiatan yang menyakitkan, atau unggas-unggas kejahatan agar menjauh dari taman hati ini. Dengan keindahan dan kedamaian yang kita tawarkan selaku bunga, kita dapat memperbanyak bunga-bunga baru untuk hadir dan bersama-sama saling menjadi bunga kehidupan di taman hati masing-masing. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Abi Iqna, teruntuk bunga-bunga di taman hatiku)
Selamat Datang Pagi
Diposting oleh
Ritz Sidney
on Selasa, 23 Juli 2002
/
Comments: (0)
eramuslim - Entah sudah berapa ratus syair tergubah yang terinspirasi oleh indahnya pagi, dari Cat Stevens sampai si imut Tasya pun bersenandung pagi. Juga, mungkin sudah jutaan kata terangkai menjadi puisi-puisi indah tentang pagi, satu bentuk Kemahasempurnaan hasil kreasi Allah dari jumlah yang tak terhingga kemahasempurnaan lainnya yang semuanya diperuntukkan bagi hamba-Nya tanpa mengharap imbalan apapun. Bahkan jika hamba-hamba itu bersyukur dan memuji, pastilah Dia akan menambahkan nikmat-nikmat itu. Maha Suci Allah atas nikmat pagi dengan segala keajaibannya.
Dengarlah kicau burung-burung bernyanyi, setelah sebelumnya unggas lainnya berlomba saling bersahut memecahkan keheningan fajar. Titik-titik embun di dahan berjatuhan membasahi tanah seiring bergulirnya sang mentari menatap bumi, memberi isyarat kepada manusia untuk segera memulai hari yang teramat cerah. Maka, siapapun yang tetap terlena berselimut tebal, pastilah dia orang-orang yang merugi bahkan kesuksesan pun makin menjauh.
Selamat Datang Pagi, sebaiknya cukup dalam hati saja mengucapkannya. Patutlah kita mensyukuri nikmat Allah yang satu ini, karena pagi begitu memberikan harapan bagi segenap makhluk, termasuk bagi manusia yang bercita-cita meraih sukses dan kemenangan, semuanya bermula di pagi hari. Jika saja, ayam-ayam jantan sudah menyambut awal kemenangannya dengan lantang di waktu fajar, sementara sang betina dengan sabar menggiring anak-anak mereka mencari makan. Burung-burung hilir mudik terbang kesana kemari mengitari alam, kicaunya yang tak henti mengiringi kepakan sayap mereka mencari dahan-dahan tempat berpijak untuk kemudian terbang kembali ke sangkar mereka dengan setumpuk makanan di paruhnya untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Binatang-binatang melata ditanah pun menggeliat, mereka teramat tahu bahwa tanpa geliat itu mereka takkan mendapatkan rizki untuk bisa bertahan hidup. Sungguh, masih adakah manusia yang tetap bermalas dengan badan lurus terlentang merapat di ranjang hangat? Tentu mereka orang-orang yang jauh dari rizki dan kesuksesan.
Selain itu, datangnya pagi hari ini juga wajib kita syukuri karena belum tentu esok kita kan menikmati keindahannya, atau bahkan mungkin esok mentari terbit dari arah yang berlawanan dari arah yang biasanya. Itu berarti, bisa jadi ini adalah pagi terakhir yang dapat kita rasa, dan sentuhan hangat mentari pagi ini juga yang terakhir bagi kita. Oleh karena itu, bangkitlah segera dan mulailah hari ini dengan penuh semangat karena mungkin saja semangat kita tak berguna lagi di esok hari. Raihlah prestasi sebaik-baiknya hari ini, baik prestasi dunia maupun prestasi sebagai bekal di akhirat, karena boleh jadi kecemerlangan amal dan prestasi hari ini yang tercatat sebagai amal yang menyelematkan kita dari azab-Nya.
Jika memang ini pagi terakhir, tentu bukan menjadi alasan untuk menghabiskan hari dengan berpangku tangan tanpa berbuat satu apapun. Bekerjalah seolah akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan esok ajal kan datang, satu nasihat yang bagus untuk didengarkan. Ada keseimbangan yang patut dipertahankan dalam hidup ini, meski waktunya pun tinggal sehari. Rasulullah pernah menegur salah seorang dari pengikutnya yang selalu berada di masjid sepanjang hari, dan menyuruhnya untuk keluar bekerja mencari nafkah.
Mencari rizki maupun mencari ilmu terus menerus tanpa kenal patah semangat untuk memacu prestasi, dan pada saat-saat yang sudah ditentukan kita duduk bersimpuh, merapatkan kening diatas bentangan sajadah, mengadu dan memohon dikuatkan hati dalam menggapai segala harapan. Kemudian bersegera kembali meneruskan pekerjaan sambil tak hentinya hati dan bibir ini menyebut nama Allah sebagai sumber kekuatan. Hingga senja pun hadir, semburat cahaya kemerahan yang terlukis di langit menghantarkan kita merenda lelah. Dan malam pun tiba menawarkan kesejukannya seiring terpejamnya mata, mengumpulkan tenaga untuk kembali menyambut pagi yang senantiasa menjanjikan harapan. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Abi Iqna)
Terima Kasih, Allah
eramuslim - Pagi ini sinar mentari menembus celah-celah jendela rumah dan kamar menghangatkan tubuh yang semalaman dibalut kesejukkan malam. Sementara nyanyian burung-burung terdengar merdu mengiringi bergulirnya titik-titik embun diatas dedaunan. Warna-warni bunga yang cerah pun seperti menyapa menyambut hari. Indahnya alam, berserinya tempat berpijak dan begitu mengagumkannya perhiasan hidup ini, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.
Ketika sejuknya air membasuh tubuh di waktu pagi, hembusan angin menerpa saat tapak-tapak ini menyusuri jalan memulai semua aktifitas. Hingga saat sore menghadirkan senjanya yang mempesonakan. Semua yang diberikan alam ini, segala yang hadir untuk kita nikmati sepuas-puasnya, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.
Dia menghadiahi makhluk dengan berbagai kenikmatan, udara segar yang takkan pernah habis dihirup, air yang mengalir tanpa hentinya memuaskan dahaga dan segala kebutuhan kita akannya, buah-buahan yang menyegarkan, sayur dan bahan makanan yang masih bisa kita nikmati pagi, siang dan malam hari. Berbagai aroma yang masih mungkin kita rasai kelezatannya. Untuk jumlah tak terhingga atas kenikmatan yang telah dan akan diterima, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.
Rumah dan pekarangan yang memberikan keamanan dan kenyamanan, rekreasi dan kesenangan yang masih sempat kita lakukan. Istri sholehah yang memberikan kedamaian atau suami yang mampu membimbing dan memberikan teladan, kehangatan yang senantiasa menyeruak oleh hadirnya anak-anak dan cucu yang manis-manis lagi membanggakan. Atas semua keceriaan hidup ini, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.
Ada saat-saat manusia merasai kehilangan nikmat kesehatan, disitulah terasa begitu mahalnya sebuah nikmat sehat. Saat masih tersisa satu kesempatan bagi kita sementara sekian banyak orang menyia-nyiakan kesempatannya dan waktu lapangnya terbuang sia-sia, juga ada masa-masa dimana Allah masih melimpahkan kekayaan dan rizki yang cukup dan kita mampu memanfaatkan sebaik-baiknya sebelum masa-masa sulit datang menggantikan masa kaya. Waktu muda dengan segala kekuatan, kelebihan kemampuan, keelokan paras penampilan tak memperdayakan kita hingga datangnya waktu-waktu dimana Allah menghilangkan satu-persatunya dari kita, dan hingga detik ini masih ada kesempatan bagi kita melihat dunia sebelum ajal menjemput, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.
Kemudian Dia pun terus mengalirkan kasih sayang-Nya kepada segenap makhluk tanpa pilih kasih, membuka selalu tangan-Nya untuk setiap taubat hamba yang khilaf, menyediakan tempat-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang ingin selalu merapat dan mendekatkan diri, mendengar, menampung semua keluh-kesah dan mengabulkan pinta orang-orang yang meminta, menguji dengan kesenangan dan kesedihan, dan pada akhirnya memberikan sanksi seadil-adilnya kepada semua makhluk atas setiap perbuatannya, serta membukakan pintu surga untuk melengkapi semua nikmat yang diberikan-Nya. Untuk semua yang terasa, terlihat, terlewati, yang tak terhitung bahkan yang luput dari ingatan kita dan tak pernah terpikirkan, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Menghitung dan Menjalani Amanah Allah dalam Hidup
eramuslim - Amanah adalah hendaknya kita melakukan survai tentang kekuatan persepsi yang telah diberikan Allah SWT, memperhatikan kepandaian khusus yang diberikan Allah SWT, dan kemudian menggunakannya sesuai kehendak Allah SWT yang memberikan itu semua. Jika kita melihat harta dan anak-anak yang menyayangi kita, maka kita harus merasakannya bahwa semua itu milik Allah yang dipercayakan pada kita. Karenanya kita harus berkorban dan memanfaatkan harta untuk mencari ridha Allah SWT. Jika kita bersedih dan menderita karena kehilangan harta dan titipan Allah SWT, jangan meratap dan mengutuki nasib. Jangan beranggapan bahwa itu semua adalah milik pribadi kita yang kemudian terenggut. Sebab Allah lah yang paling berhak atas milik kita. Dan Dia yang berkenan mengambilnya sesuai keinginan-Nya. Jika kita dicoba dengan harta kekayaan yang melimpah, jangan ragu mengeluarkannya untuk berzakat dan berjihad, jika diperlukan. Karena itulah cara alokasi dan penggunaan harta yang dikehendaki oleh Allah Yang Memberikan harta itu pada kita. Itulah makna amanah.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan padamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfal : 27-28)
Berjuta amanah yang diberikan pada kita dalam tenggang waktu hidup ini, bias dikembalikan kapan saja ketika Allah menghendaki. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas amanat yang dititipkan itu. Maimun bin Mihran mengatakan, “Ada tiga cara untuk membedakan baik buruknya seseorang. Yaitu, bagaimana orang itu memelihara amanat, bagaimana ia menempati janji dan keramahtamahannya.
Menganggap amanah sebagai harta kekayaan pribadi adalah suatu perbuatan jahat. Atau kasarnya, barangkali bias dikatakan merampok atau maling. Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Berjuang di jalan Allah akan menghapuskan segala dosa, kecuali penyalahgunaan amanh.” Ia melanjutkan bahwa pada hari kiamat orang yang berjihad di jalan Allah akan diminta membayar hutangnya berupa amanah. Orang itu menjawab, “Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal itu bias dilakukan sedangkankehidupan dunia telah berakhir.” Allah berfirman, “Bawa dan masukkan dia ke neraka.” Pada saat yang bersamaan, sejumlah amanat akan tampil dalam bentuk ketika dititipkan kepada orang itu di dunia dahulu. Dia melihat dan serta merta mengenalnya. Dia akan menghampirinya dan minta dipanggul di pundak orang itu hingga ia merasa cukup kemudian amant itu akan turun dari pundak orang itu. “Perbuatan ini akan berlangsung terus dan tidak berakhir,” ujar Ibnu Mas’ud. Selanjutnya, Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa shalat merupakan suatu amanat, mengambil air wudhu juga amanat, menimbang dan mengukur juga amanat. Amanat yang paling berat tanggungajawabnya adalah amanat yang berupa titipan harta benda kepada seseorang. Dan kelak catatan panjang tentang amanat itu akan diungkap.
Renungkanlah, berapa banyak amanat yang telah kita terima sepanjang hidup. Pasti tak terhitung. Hitunglah berapa banyak rahmat Allah yang telah kita peroleh. Pasti tak terukur. Lalu bagaimana kita menunaikan amanat-amanat Allah itu? Jalani amanah itu dengan baik dan konsisten sejak sekarang, Itu saja jawabannya. (al)
Hilangkan Sifat Tercela dengan Ilmu
Di zaman modern seperti kita alami, orang-orang pintar makin banyak. Hal itu tentu sejalan dengan majunya teknologi dan ilmu itu sendiri. Ini artinya di zaman kita kini, orang-orang berilmu semakin bertambah,dibanding di masa lalu.
Dulu, sebelum listrik ditemukan, untuk belajar membaca saja seseorang harus dengan susah payah untuk mendapatkan penerangan. Alat-alat tulis belum canggih, sulit didapatkan. Lalu kapan mereka belajar, bagaimana mereka belajar? Namun, kenyataan membuktikan, bahwa banyak di antara mereka menjadi ilmuan, cendikiawan shaleh, saudagar jujur, hakim benar dan pemimpin teladan. Kita bisa menyaksikan, Imam Hanafi; seorang pedagang yang juga ahli fiqih, Imam Malik; seorang guru yang juga ahli hadis, Umar Ibn Abdul Aziz; seorang khalifah yang sederhana lagi faqih, dan masih banyak di antara mereka.
Itu manusia-manusia di masa lalu. Kenyataan di masa kini rupanya berbeda jauh. Saat ini, memang, betul orang-orang pandai, ilmuan semakin banyak. Tapi banyaknya orang pinter itu tidak membuahkan kesalehan masyarakat maupun pribadi. Justru, malah kemaksiatan, kejahatan/kriminal hampir tiap hari terjadi di sekitar kita. Inilah yang disebut oleh Ibnu Qudamah, sebagai orang berilmu yang ilmunya tak bermanfaat. Bisa saja seseorang ahli aneka disiplin ilmu, mengusai ayat-ayat, hadis-hadis dan macam-macam teori-teori modern dan klasik, namun nol sekali ilmu-ilmu yang dikuasainya itu membantu dirinya untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Ilmu yang dipelajarinya justru menjauhkanya dari taat, patuh, syukur kepada Allah Swt, Sang Maha Tahu. Na'udzubillahi mindzalik!
Orang-orang semacam inilah yang dikhawatirkan Nabi Saw. Sebab, mereka mencari ilmu bukan untuk mencari hidayah (petunjuk) dan taqwa , tapi ia hanya untuk pamer saja, untuk ujub; karena merasa lebih unggul dengan yang lain. Jika seseorang kondisinya demikian, otomatis ilmu yang diperolehnya hanyalah ilmu kemenangan. Bukannya kemenangan ilmu. Di mana ia berada, ia hanya menonjol-nonjolkan dirinyalah yang lebih. Bukankah ilmu yang dicarinya itu seharusnya mampu membuang sifat-sifat tercela itu?
Maka wajar saja jika di akhirat ia mendapat siksa yang berat. "Orang yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat baginya,"demikian tutur Nabi Saw., sebagaimana diceritakan Ath-Thabrany, Ibnu Ady dan Al-Baihaqy).
Maka wajar saja jika di akhirat ia mendapat siksa yang berat. "Orang yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat baginya,"demikian tutur Nabi Saw., sebagaimana diceritakan Ath-Thabrany, Ibnu Ady dan Al-Baihaqy).
Ilmu yang tak bermanfaat itu pula yang melahirkan ulama su' (ulama buruk). Jika ia menyampaikan sebuah ilmu, harapannya bukannya ilmu ilmu semakin diamalkan orang, tapi materi duniawi yang diidamkan. Fatwanya, bukannya membawa kasih sayang, tapi malah adu domba dan hujatan, bukannya membawa berkah tapi justru fitnah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Adu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, Rasulullah Saw, pernah menasehati kita, "Barang siapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya, melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari Kiamat."
Lantas bagaimana agar ilmu yang kita pelajari tidak menjadi laknat bagi kita? Ibnu Qudamah mengingatkan, dalam menuntut ilmu sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain. Lalu ilmu yang kita pelajari jangan sampai menjadi fitnah bagi kita. Selain itu, orang yang berilmu harus bersikap tawadlu', ramah dan menghargai pendapat orang lain. Jadikanlah ilmu itu sebagai cahaya bagi kita dan orang lain.
Abdurrahaman bin Abu Laila ra berkata," Di dalam masjid ini aku pernah bertemu dengan seratus lima puluh para sahabat Rasulullah Saw. Tidak salah seorang pun di antara mereka ditanya tentang suatu hadis atau fatwa, melainkan mereka juga menanyakan kepada yang lainnya hingga merasa yakin akan kebenarannya." (saifudin)
Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta!
eramuslim - Ada seorang yang menemui Rasulullah untuk menyatakan ketertarikannya kepada Islam dan kepada Muhammad Nabi Allah itu ia mengaku ingin menjadi bagian dari pengikut Rasul. Namun ia juga mengatakan bahwa ia masih gemar melakukan perbuatan-perbuatan lamanya seperti berzina, minum khamar (mabuk) dan berjudi. Rasul tidak menolaknya, bahkan beliau mempersilahkan ia masuk Islam dengan satu syarat, tidak berdusta. Maka kemudian orang tersebut menjadi orang yang teguh menjalankan semua ajaran Islam dengan satu koridor yang bernama kejujuran.
Kejujuran adalah bahasa universal, agama apapun, ditanah manapun kita berdiri, dan diwaktu kapanpun kejujuran tetap berlaku. Namun nampaknya keuniversalan tersebut semakin teralienasi, dimana justru saat ini yang lebih sering dianggap biasa dan lumrah adalah ketidakjujuran atau dusta. Di kantor, rumah, persahabatan, rumah tangga semakin mudah ditemui warna-warna dusta dengan berbagai ragam dan bentuknya. Dan justru pula disaat yang sama, kejujuran menjadi barang langka dan seringkalin dianggap sesuatu yang aneh.
Kalaulah Allah Swt memperingatkan kepada manusia yang beriman agar mengatakan perkataan yang benar untuk mengikuti perintah takwa (Al Ahzab:70) tentulah banyak makna yang bisa dirasakan oleh setiap manusia dari sikap kejujuran tersebut. Perhatikanlah penjelasan Rasulullah berkenaan dengan hal itu, "Hendaklah kamu selalu berada pada siklus kejujuruan, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kamu kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarkan kamu kepada surga. Jauhilah oleh kamu (jangan sekali-sekali kamu dekati) dusta, sesungguhnya dusta itu membawa kamu kepada kerusakan dan sesungguhnya kerusakan itu akan mengantarkan kamu kepada neraka."
Tak perlu membayangkan bagaimana dunia tanpa kejujuran, karena episode cerita tentang hal ini sudah berlangsung sejak zaman para Nabi hingga sekarang. Bukalah kilasan cerita tentang saudara-saudara Yusuf yang berbohong kepada ayahanda Nabi Ya'kub setelah mereka mencelakai Yusuf. Abdullah bin Ubay bin Salul, terkenal sebagai tokoh munafik pada zaman Rasululullah Muhammad yang pandai bersikap manis di depan kaum muslimin tetapi menohok dari belakang. Pada zaman sekarang dimana manusia semakin pintar, teknologi semakin hebat tentu ketidakjujuran pun semakin terbungkus rapih, semakin beragam dengan bentuk kamuflase yang halus. Saksikan bagaimana korupsi menghancurkan negeri ini, rumah tangga yang berantakan karena ada dusta yang terselip diantara keduanya, dan masih banyak lagi episode-episode kedustaan yang terus berputar hingga sekarang.
Sekarang bayangkanlah jika hidup tanpa dusta barang sehari saja. Maka bisa dipastikan hari itu tidak ada perusahaan yang dirugikan oleh kecurangan pegawainya, negara tidak bangkrut karena ulah para koruptor kelas kakap, tak ada keretakan rumah tangga karena senantiasa terlindung oleh bingkai kejujuran, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kemunafikan, tidak ada bencana besar yang timbul akibat satu bentuk ketidakjujuran yang terlalu sering dianggap sepele. Maka juga, bisa dipastikan hari itu adalah hari yang sangat dirindukan kembalinya.
Jujur saja, ide judul dan isi tulisan ini berawal dari satu label peringatan yang bertuliskan "Terima Kasih Untuk Tidak Merokok" yang dapat kita jumpai di berbagai tempat. Selain di tempat-tempat yang memang dilarang keras untuk menyalakannya seperti di pom bensin, rumah sakit, perkantoran atau ruangan-ruangan berpendingin, peringatan itu juga kadang terlihat di tempat-tempat umum lainnya seperti di kendaraan umum atau bahkan di rumah-rumah yang memang diisi oleh keluarga yang anti terhadap tembakau dan asapnya. Sangat beralasan memang jika peringatan-peringatan itu seharusnya makin diperbanyak, bahkan jika perlu di semua tempat dimana masih ada wanita (hamil), anak-anak, orang-orang yang mencintai kesehatan. Meski demikian, terkadang masih saja ada yang bandel dengan tetap menghisap tembakau rokok tersebut di tempat-tempat yang dilabeli peringatan itu tanpa mempedulikan hak orang lain yang ingin tetap sehat.
Ah, kalau saja urusan rokok yang memang begitu merugikan orang lain dan juga membuat sakit para penghisapnya sampai sedemikian banyak label peringatannya. Kenapa juga tidak dibuat saja stiker-stiker dengan bertuliskan, "Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta". Toh keluarnya sama-sama dari mulut seseorang, hasilnya juga bisa melukai dan merugikan banyak orang. Cuma bedanya, dusta juga bisa merugikan bangsa dan negara (hmmm, rokok juga sih). Si pendustanya juga bisa merasakan sakit, yang semakin ia terus berbohong maka sakit di hatinya semakin membusuk.
Ah, kalau saja urusan anti asap tembakau itu bisa sampai terbentuknya lembaga atau komunitas anti rokok, kenapa tidak dicoba untuk dirintis sebuah komunitas anti dusta, hmmm, ada yang mau memulai? untuk bisa memulainya, perhatikan terlebih dahulu kutipan hadits berikut, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasul, "mungkinkah seorang mukmin itu menjadi pengecut?" Rasulullah mengatakan, "ya mungkin". Lalu sahabat tersebut bertanya kembali, "mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?" "Ya" jawab Rasul. Lalu, "mungkinkah seorang mukmin itu pendusta?" Rasul dengan tegas menjawab, "Tidak! karena dusta tidak mungkin bersatu dengan iman". Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Kepada-Nya Kita Kembali
eramuslim - Sahabat, Kita pernah bersimpuh dihadapan-Nya, menyusun sujud pada debu-Nya yang gelap. Kita sulam kata pinta, kita rangkai kalimat doa, memohon agar dalam hidup ini kita diberikan segalanya yang terbaik, agar Ia tunjuki kita jalan yang lurus, istiqomah di tengah fitnah, sabar di tengah makar, ikhlas menghadapi hidup yang keras. Kemudian air mata kitapun mengalir membasahi malam, sunyi, sepi…
Sahabat, Betapa indah saat-saat kita menengadah, betapa syahdu detik-detik kita mengadu. Naman sayangnya, biasanya semua itu kita lakukan bila kita dalam keadaan susah saja atau bila bencana menimpa saja. Bila berlalu sedih dan duka, lepas bencana dan siksa, kitapun kembali kepada tabiat kita semula, lalai bahkan lupa pada Rabb yang jiwa kita ada dalam genggaman-Nya.
Sahabat, Beberapa waktu yang lalu aku habis kembali dari takziah, ayah temanku meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Ia seorang dokter, kerjanya sehari-hari adalah memberikan proteksi medis kepada manusia, minimal memberikan saran preventif terhadap berbagai macam penyakit penyebab kematian. Namun akhirnya protektor itupun tak mampu memproteksi dirinya atas suatu yang pasti akan terjadi pada diri setiap jiwa. Ia akan menyambar siapa saja, raja dunia atau makhluk papa, nenek atau kakek tua bahkan ia tidak segan-segan menyambar bayi ingusan yang baru saja mengenal dunia.
Sahabat, Kehidupan yang kita lalui ini, sangatlah tidak berarti, masihkah kita tak mengerti, ada kehidupan setelah ini! Bila wajah pucat kaku itu adalah wajah kita, bila tubuh lemah yang terbujur itu adalah tubuh kita, bila tangis itu adalah tangis melepas kita, apa yang dapat kita lakukan? kepada siapa kita kembali kalau bukan kepada Rabb yang jiwa kita ada dalam genggaman-Nya.
Sahabat, Kini, masihkah kita pantas menengadahkan tangan, setelah sekian banyak mungkir kita lakukan, setelah seribu dusta kita ucapkan. Masihkah kita berani mengangkat wajah yang kelam ini di hadapan-Nya setalah olok-olok ayat-Nya kita pertontonkan, begitu silih berganti. Namun Allah dengan limpahan Rahman dan Rahimnya tidak pernah bosan menerima diri hina kita yang penuh dusta…
Sahabat, Kemana kaki lemah ini hendak melangkah, kemana jiwa yang resah ini kita papah, kemana hati yang sombong ini kita gotong, kemana dosa-dosa ini kita bawa, kemana lagi kita bawa sahabat, jika Rabb telah murka. Kepada penguasa duniakah kita mengadu, atau kita kembali lagi kepada-Nya. Mengeja lagi sebait doa yang mungkin lidah kita sudah kelu mengulangnya, mari kita coba lagi melantunkannya, mudah-mudahan Rabbi berkenan menerima pengampunan kita.
Sahabat, Kembalilah pada-Nya, kepada Rabbi yang telah memberi kita rezeki. Sebelum kita benar-benar mengakhiri dunia ini. Titipkanlah kerinduan pada malam, sampaikan padanya jangan pernah merenggang, agar senantiasa bisa kita menikmati sepertiga malam, untuk sampaikan pesan agar hidup kita berlimpah iman.
Sahabat, Tiada guna penyesalan, masih ada waktu, mari kita sama-sama perbaiki diri, benahi hati, sucikan jiwa. Tuailah ibrah dalam setiap kejadiaan. Mari melangkah kedepan, kita sambut hari esok penuh ceria, lukislah prestasi, gapai kemajuan, detik ini, besok ataupun nanti, hari-hari kita harus penuh prestasi. Kelak nanti akan kita temui kehidupan yang indah, diridhoi, diberkahi, tidak saja di dunia tapi juga di akhirat nanti.
Sahabat, Cukuplah Allah saja dalam hidup kita, apapun yang kita lakukan hanya untuk mengharapkan ridhonya. Kita bersegera melakukan apa yang diperintahkan-Nya, kita jauhi seluruh larangan-Nya. Sehingga apapun yang Allah timpakan kepada kita, kita akan mengatakan “sami’na wa ata’ na” (yelsandra@yahoo.com)