Syukurilah ...


eramuslim - Seorang pemuda tengah duduk termenung meratapi nasibnya, sejak dilahirkan hingga dewasa, ia hidup dengan satu kekurangan, yakni tak dapat melihat. Seringkali pemuda itu memaki nasib, marah pada keadaan dan menyangka Tuhan tidak adil terhadap dirinya. Ia merasa sebagai orang paling malang di muka bumi. Baginya, buat apa Tuhan menciptakan semua keindahan di langit dan bumi, bintang-bintang yang bertebaran, dan rembulan nan elok. Matahari pagi hanya bisa dirasainya lewat sentuhan hangat sinarnya, ia bisa mendengar suara kicau burung namun tak pernah tahu rupanya. Ia sering menikmati gemerisik dedaunan berdesakan diterpa angin yang sejuk, namun, wujudnya hanya bisa disentuh, tak pernah ia tahu hijau warna daun itu.
Pantai di dekat rumahnya, tempat anak-anak dan orang dewasa menikmati sore, hanya bisa dibayangkan keindahannya. Ia tahu pantai itu air, itupun dari ombak yang keras menghantam karang dan sesekali menciprati wajahnya atau malu-malu menghampiri dan menyentuh kakinya di pinggir pantai. Apalagi ketika muda-muda di desanya bercerita tentang senja, ya senja, betapa tak terlukiskan merah sang senja yang selalu hadir melengkapi warna kehidupan setiap insan. Tapi dirinya? Sekali lagi ia mengutuk penderitaannya, menangisi takdirnya yang tak pernah tahu warna merah senja, hijau dedaunan, putih melati, dan birunya laut.
Meski keindahan dan keelokan desa itu tidak akan pernah pudar, sayang, semakin sedikit warga yang bisa menikmatinya. Bukan karena tak cinta, atau tak suka dengan semua kenikmatan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka, tapi, warga desa itu semakin lama memang semakin habis karena hidupnya seorang Raja yang gemar memangsa manusia. Setiap akhir bulan, tidak kurang seratus manusia harus menjadi korban kanibalisme sang Raja dan para pengawalnya yang terkenal kejam. Oleh karenanya, tidak heran jika di setiap waktu itu, desa selalu sepi dari lalu lalang warga karena takut tertangkap dan tak pernah kembali.
Namun, tidak bagi pemuda buta itu, baginya, ini kesempatan untuk mengakhiri hidupnya dengan menjadikan dirinya mangsa bagi sang Raja kanibal. Tak seperti warga lainnya yang takut ke pantai atau ke tempat manapun di akhir bulan, ia justru dengan pasrah berjalan kesana-kemari. Akhirnya, ‘keinginannya’ sampai juga, para pengawal raja kanibal menangkapnya dan menghadapkan pemuda itu di istana. Tapi ternyata, pemuda itu berubah pikiran, entah kenapa ia menjadi takut bukan kepalang, ia masih mau hidup, menangislah ia sejadinya bersahutan dengan puluhan orang lainnya yang juga tertangkap.
Waktunya tiba, sang raja memeriksa calon-calon santapannya satu persatu, hingga pada giliran pemuda itu, sang raja agak terkejut. Matanya buta, pikir raja. Untung bagi pemuda itu, raja tak suka makanan yang cacat. Maka ia memerintahkan pengawalnya untuk melepas pemuda itu, dan tetap menjadikan yang lainnya sebagai mangsa.
***
Saudaraku, Sesungguhnya Allah maha adil. Apapun yang Allah berikan kepada kita saat ini, tentunya Dia yang lebih tahu apa yang kita butuhkan untuk menjalani hidup. Apapun yang tidak kita miliki saat ini, seharusnya kita yakini, bahwa kita belum membutuhkannya sekarang, karena pada akhirnya, kita akan menyadari hikmah dari setiap takdir-Nya.
Dia memberikan kelebihan kepada satu manusia dan kelebihan pada manusia yang lainnya. Demikian juga dengan kekurangan, tak ada satu manusia yang tak memiliki kekurangan pada dirinya. Namun kelebihan manusia yang satu terhadap lainnya, sesunggunya terletak pada bagaimana mensikapi kelebihan dan kekurangan tersebut. Sering kali manusia mengumpat atas kekurangan yang diterimanya, padahal pada saat bersamaan, sejumlah kelebihan ia miliki, namun tak pernah disyukurinya.
Saat ini, cobalah menengok kembali perjalanan kita di dunia. Lahir tanpa memiliki apapun, tak bersepatu dan berpakaian. Kini, satu lemari pakaian kita punya. Kenapa? Waktu itu kita belum membutuhkan sepatu dan pakaian bagus. Dulu kita sangat menikmati berjalan kaki atau berdesakan dalam bus, dan kini setelah memiliki kendaraan pribadi, kemudian berpikir, karena dulu belum merasa perlu untuk memiliki kendaraan sendiri. Kuncinya adalah, bagaimana setiap kita menikmati setiap pemberian yang Allah berikan pada kita saat ini dan mensyukurinya. Jika tidak, tak kan pernah nikmat lainnya menghampiri kita, karena janji-Nya memang demikian. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

0 komentar:

Posting Komentar