Mengapa Kita Tak Pandai Bersyukur?

eramuslim - Pagi hari, seperti biasa aku mengawali kegiatan dengan bebenah rumah. Cuci piring, menyapu lantai, cuci pakaian dan setumpuk pekerjaan rutin lainnya. Untuk menemaniku bekerja, kuambil sekeping kaset nasyid anak-anak, kumasukkan ke dalam tape recorder yang sudah butut, dan... klik:

Ajarilah, aku ya Allah
Mengenali, karunia-Mu
Begitu banyak yang, Kau beri
Begitu sedikit yang, kusadari

Ajarilah, aku ya Allah
Berterima kasih, pada-Mu
Supaya aku dapat slalu
Mensyukuri nikmat-Mu

Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Hatikupun bergetar, air mata menetes membasahi pipi, menyadari betapa pelitnya diri ini mengucap syukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan oleh-Nya. Serta-merta, bibir ini berucap, "astaghfirullahal 'adziim" seraya menghapus air mata.

Sejurus kemudian hati ini berbicara, mencoba mengurai satu-persatu nikmat yang telah terkecap.

Di pagi yang cerah, ketika sinar mentari menghangati tubuh, sungguh ada sebuah nikmat yang begitu indah terasa. Lalu, ketika kupandangi tubuh ini satu demi satu masih tetap utuh seperti sedia kala, mata yang mampu melihat dengan sempurna, tangan yang mampu memegang dan mengerjakan berbagai aktivitas, kaki yang bisa melangkah, kulit yang mampu merasakan sentuhan angin yang lembut, dan hidung yang mampu menghirup udara segar. Sungguh, inipun merupakan nikmat yang begitu besar. Semakin lama kucoba mengurainya, semakin banyak nikmat yang kurasa. Demikian banyak, dan teramat banyak hingga aku tak mampu menghitung satu persatu, karena memang tak terhingga jumlahnya. Persis seperti yang Allah kabarkan dalam firman-Nya: "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim:31)". Astaghfirullahal 'adziim, lidahkupun menjadi kelu, tak sanggup lebih banyak berucap.

Segalanya Allah anugerahkan kepada diri ini dengan cuma-cuma. Tak serupiahpun Allah menetapkan tarifnya, tak secuilpun Allah mengharap imbalannya. Namun mengapakah aku tak pandai bersyukur? Padahal Allah SWT berjanji : "...la in syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna 'adzaabi lasyadiid (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih)".

Dan janji Allah selalu benar adanya, tak pernah salah dan tak pernah lupa.

***

Akupun mencoba merenung, apakah gerangan yang membuat diri ini tak pandai bersyukur? Dalam pandangan masyarakat umum yang kufahami selama ini, segala sesuatu dianggap sebuah nikmat adalah ketika kita memperoleh sesuatu yang menyenangkan. Harta yang banyak, rumah yang indah, teman yang selalu setuju dan menyokong pendapat kita, sehingga kita dapat memenuhi segala keinginan yang ada dengan segala fasilitas yang mudah didapat tanpa harus bersusah payah bekerja.

Seringkali pula kita tidak menyadari bahwa, mata yang mampu melihat secara sempurna ini adalah nikmat, tangan yang mampu memegang dan melakukan segala aktivitas adalah nikmat, kaki yang mampu melangkah adalah nikmat, kesehatan kita adalah nikmat, oksigen yang melimpah ruah dan bebas kita hirup adalah nikmat, hidayah Islam yang mengalir dalam diri kita ini adalah nikmat yang teramat mahal harganya, kasih sayang orang tua yang mampu mengalahkan segalanya demi membimbing dan membesarkan kita adalah nikmat, dan entah berapa banyak kenikmatan yang lain yang tidak kita sadari. Padahal, kenikmatan yang Allah karuniakan kepada kita tak terhingga banyaknya. Masya Allah, astaghfirullahal 'adziim, semoga Allah berkenan mengampuni kita dan membimbing kita menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur.

Berikutnya, seringkali kita merasa iri dengan kesenangan/kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain. Ketika kita melihat orang lain bahagia, bukannya kita ikut bersyukur atas kebahagiaannya. Sebaliknya, kita justru mencibirkan bibir dan menuduh yang tidak-tidak. Membuat berbagai analisa, darimanakah gerangan mereka memperoleh kesenangan. Berprasangka buruk dan menyebarkan bermacam berita, sehingga perilaku tersebut. Menjauhkan diri kita dari rasa syukur kepada Allah. Astaghfirullah wa na'udzubillahi min dzaalik.

Tak jarang pula, dalam diri kita terjangkit penyakit "wahn (terlalu cinta dunia, dan takut mati)", hanya kesenangan dan kesenangan yang ingin kita raih, tak sedikitpun ingin merasakan sebuah penderitaan. Sehingga ketika Allah berkenan memberikan sebuah cobaan, diri kita tak sanggup menanggung. Merasa diri menjadi orang yang paling sengsara di dunia, dan bahkan ada yang sampai berani menghujat dan menghakimi Allah sebagai penguasa yang tidak adil. Na'udzubillaahi min dzaalik, astaghfirullahal'adziim.

Disisi lain, Allah jua yang berkenan menciptakan kita sebagai makhluk yang senang berkeluh kesah. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al Maariij: 19-21). Bila sifat ini tidak kita kelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bila pada akhirnya diri ini tumbuh menjadi makhluk yang tak pernah mampu bersyukur.

***

Karenanya, amat baiklah sekiranya kita mampu melatih diri, mensyukuri apa saja yang ada pada diri kita. Apapun yang Allah berikan kepada kita, haruslah kita yakini bahwa itulah pilihan terbaik yang Allah kehendaki. Tak perlu iri dan dengki terhadap nikmat orang lain, hingga kita mampu menjadi seorang mu'min seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW: "Amat mengherankan terhadap urusan mu'min, seandainya baik hal itu tidak terdapat kecuali pada orang mu'min. Bila ditimpa musibah ia bersabar, dan bila diberi nikmat ia bersyukur" (HR. Muslim).

Terakhir, marilah senantiasa mengamalkan do'a Nabi Sulaiman as. dalam kehidupan kita. Agar kita senantiasa terbimbing, memperoleh ilham dari Allah SWT, sehingga kita menjadi makhluk yang pandai bersyukur pada-Nya.

"Robbi awzi'nii an asykuroo ni'matakallatii an'amta 'alayya wa'alaa waalidayya wa an a'mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnaa birohmatika fii 'ibaadikashshoolihiin".

Ya Robb kami, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh. (QS. An Naml : 19). Aamiin.

Wallaahu a'lam bishshowwab.

Ummu Shofi
ari_aji_astuti@yahoo.com

Belajar untuk Belajar

eramuslim - Hakikatnya hidup ini merupakan rangkaian proses belajar dan menempa diri agar menjadi lebih baik senantiasa. Sungguh, begitu banyak hal dapat disarikan dari perjalanan detik demi detik kehidupan kita. Hal-hal yang kita rasakan, kita lihat, kita dengar, kita keluarkan melalui lisan, semuanya bisa menjadi sesuatu yang sarat makna dan dapat memperkaya khazanah pengalaman kita untuk selanjutnya dijadikan modal bagi proses perbaikan diri, jika kita mau tentunya.

Little things mean a lot, ya, banyak hal kecil yang sesungguhnya memiliki makna yang begitu besar, jika saja kita mau sedikit lebih memperhatikan, sedikit melihat lebih ke dalam, dan sedikit saja berpikir. Ketika kita hanya memandang sesuatu dengan cara biasa, semuanya akan tampak biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, seakan memang demikianlah seharusnya.

Ketika peristiwa-peristiwa yang kita temui atau kita jalani hanya lewat begitu saja, maka ia hanya akan menjadi masa lalu hampa nilai yang tidak dapat memberikan pengaruh apa-apa. Padahal jika kita mau sedikit saja menggali lebih dalam, mungkin tidak sedikit bekas-bekas berharga yang tertinggal di sana. Sebagaimana halnya mutiara, sebelum ada yang mengeluarkannya dari cangkang sang kerang, tidak ada yang dapat merasakan pancaran keindahannya.

Menjadi pembelajar sejati, hal yang cukup sulit dilakukan saya rasa. Bagi saya, seorang pembelajar sejati akan selalu mencoba mencari celah pembelajaran dari setiap kejadian yang dialaminya maupun kejadian yang dialami oleh orang lain. Sungguh saya ingin menjadi orang seperti itu: yang senantiasa dapat memaknai hidup dari sudut pandang positif, yang mampu melihat nilai-nilai yang belum tersingkap, serta mampu memunculkan keberhargaan walaupun begitu tersembunyi adanya. Siapa yang tahu di dalam cangkang kerang yang gelap tersimpan mutiara yang begitu indah jika tidak ada yang mencoba menyelam ke dasar lautan dan mendapatkannya. Ya, mutiara itu akan tetap ada, terlepas dari apakah ada yang berusaha membuka cangkang kerang tempatnya bersemayam atau tidak.

Belajar, belajar, dan belajar, menunjukkan bahwa manusia benar-benar makhluk yang memiliki banyak kelemahan dalam dirinya. Belajar, bagi saya merupakan bagian dari proses menyaya (diambil dari istilah seseorang dalam sebuah tulisan *meng-aku), menjadi saya, saya yang benar-benar saya, saya yang benar-benar dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain, semoga. Dan proses ini belum akan berhenti sampai ajal menjelang, dan maut datang menjemput. Saat itulah saya baru dapat menunjukkan dan mengatakan "Inilah saya, saya seutuhnya, saya yang sesungguhnya".
ftz12@yahoo.com

Mengemas Rindu

eramuslim - Biasanya, para pencinta selalu mengemas rindu mereka. Pencinta untuk apa dan siapa saja, rindu yang bagaimana saja. Kerinduan, adalah sebuah harta milik kita yang sederhana, namun artinya tak lebih sempit dari luas samudera. Kerap membawa keinginan tak sekadar beredar di khayalan. Namun kekuatan tekad untuk menjadikannya nyata. Mengemas rindu, menjaga cinta.

Kerinduanku, adalah akan hadirnya cinta. Seperti milik nabi Ibrahim, saat akan menyembelih anaknya. Seperti milik Ismail, yang mempersembahkannya hanya untuk Tuhannya. Seperti milik Yusuf, yang tak tergoyahkan oleh Zulaikha. Seperti milik mereka, dan mereka yang lain yang juga pencinta.

Kerinduanku, adalah akan kekalnya cinta. Tak seperti mereka yang menjualnya lantas mengatakan bahwa itu adalah pengorbanan. Tak seperti mereka yang menjadikannya harta namun diam-diam merusaknya. Tak seperti mereka yang menginginkannya hadir namun tak peduli lantas meninggalkannya.

Biasanya, para pencinta tak pernah lupa mengemas rindu mereka. Sebab pintu hati selalu terbuka kapan saja tanpa bisa dipegang kuncinya. Karena kita tak kuasa. Sebab bila tidak, ia akan mudah tergantikan begitu saja. Tanpa tahu alasannya.

***

Sebagai manusia, seringkali kita korbankan waktu dan tenaga sia-sia, untuk mengemas rindu yang tak ketahuan adanya, yang bukan rindu sebenarnya. Kerinduan itu disimpan baik-baik dalam hati, tak ingin ia lekas pergi. Sebab bila kerinduan itu hilang, maka cinta yang selalu diharap itu tak pula datang.

Kerinduan akan tahta, mengantarkan kita untuk menghamba pada dunia. Tak pernah puas, walau sudah melibas semua yang tertindas.

Kerinduan akan harta, menyebabkan kita buta. Tak peduli mengambil punya siapa, yang penting diri tak menderita.

Kerinduan akan cinta manusia, membawakan sengsara. Sebab yang ada hanya kecewa, kalau cinta tak dibalas cinta.

Bagaimana dengan milik kita?

Kalau setiap harinya selalu kita memuja yang fana. Tanpa menyadari bahwa Ia ada, melihat apa yang tak kita lihat, mengetahui apa yang tersembunyi, menguasai seluruh isi hati.

Kalau setiap saat kita tak pernah lalai mempersembahkan cinta, bukan untuk-Nya, melainkan untuk sesuatu yang tak bisa memberikan apa-apa. Juga tak punya kuasa.

Kalau hidup ini kita persembahkan untuk melayani mereka yang tak bisa memberi. Kalau rindu itu kita persembahkan untuk sesuatu yang hanya bisa menyakiti.

Lalu, untuk siapa kita mengemas rindu? Pernahkah kita mengemas rindu ini untuk-Nya? Apakah kita selalu menjaga cinta ini agar selalu berlabuh pada-Nya? Sedangkan hati ini selalu penuh akan sesuatu, entah apa itu.

Lantas, rindu itu untuk siapa?

DH Devita
dh_devita@eramuslim.com

Pesona Bunda

Bunda adalah kejora,
Karena setiap geriknya benderang sayang
Bunda adalah bunga
Selalu berseri, berwarna dan mempesona
Bunda adalah surga
Helai nafasnya tidak hanya cinta tapi juga doa

Dalam semesta,
Tak ada yang lebih kemilau menyala
Kecuali bunda

(Bunda, mahabbah12)


eramuslim - Bogor suatu hari.
Hari masih belia. Udara sejuk jelas terasa. Dan sesosok ibu tengah berjongkok di depan putri kecilnya yang terus saja menangis. Ada banyak rengkuhan yang dipersembahkan, dan saya yakin hangatnya mengalahkan sinar mentari yang bersinar saat itu. Si kecil terdiam, bola matanya merajuk sang bunda. Mulut mungilnya mengerucut sesaat.

"Ma, adek takuuttt..." perlahan suaranya terdengar samar, ia hampir berbisik di pendengaran.

"Ooh, adek takut ya, nanti mama bilang sama bu guru supaya nemenin adek," binar itu menelaga. Tangan bunda membelai lagi punggung itu, sebelum merapikan topi dan dasi yang sejak dari tadi sudah rapi. Ia akan berdiri namun urung.

"Mama kasih sun dulu deh..." dua buah kecupan segera singgah di pipi si kecil. Barulah ia berdiri, menggenggam erat tangan itu dan beranjak menuju gerombolan anak-anak seusianya.

"Nah, sebelum ketemu bu guru sekarang adek berbaris dulu yah, mama di sini ngeliatin adek," titah bunda terdengar membujuk. Si kecil nampak ragu, namun ketika dilihatnya bundanya berdiri tak jauh darinya, ia menurut. Sesekali si kecil berpaling mencari bundanya, dan selalu binar yang menelaga yang dijumpainya. Bahkan terakhir bundanya mempersembahkan sun jauh ke arahnya. Si kecil tersenyum dan membalas sun jauh itu lebih mesra. Subhanallah. Saya yang sejak tadi memperhatikan keduanya mengagungkan nama Allah secara spontan. Sang ibu menoleh ke arah saya.

"Wah bu, pake kiss bye segala," Saya tersenyum ke arahnya dan mendekatinya. Dan seketika semburat merah itu nampak.

"Eh..eh kirain ngga ada yang merhatiin, jadi malu"

"Iya tuh, anak saya apa-apa minta di sun. Kalo udah ada sun dari mamanya dia biasanya tenang dan nurut," tambahnya ringan. Saya mengangguk-angguk dan melihat si kecil itu. Dan benar saja ia tak lagi terlihat gelisah. Bahkan untuk selanjutnya ia seperti larut dalam keceriaan anak-anak seusianya.

Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Kebetulan saya disuruh kakak untuk menunggu keponakan yang baru naik ke kelas dua SD karena ia sendiri harus mengantarkan anak bungsunya yang baru masuk TK. Maka sayapun melahap banyak kejora ibunda.. Seperti kisah seorang ibu yang membujuk anaknya yang baru masuk kelas satu dengan kiss bye tadi.

Saat itu, ingatan ini hinggap pada Aufa, keponakan saya yang baru berusia satu setengah tahun. Entah kenapa ia juga berlaku seperti si kecil tadi. Aufa akan merasa nyaman ketikan kecupan sang ummi menjumpainya. Ketika kepalanya terbentur, maka tangisannya berhenti saat kecupan sayang bundanya singgah di bekas benturan. Ketika tangannya gatal-gatal, amukannya segera surut kala sun cinta ibunda melekat di tangannya. Bahkan jeritan Aufa bisa langsung pupus, ketika iming-iming kecupan bunda didengarnya, padahal saya tengah menggodanya tanpa ampun.

Ah, adapakah dengan kecupan ibunda. Kesayangankah? Ketulusankah? Kekuatankah? Kedamaiankah? Surgakah?

Apapun, itu adalah pesona.

***

"Aduhh."

Kosakata itu sudah menggema beberapa kali pagi. Saya bisa memastikan ia pasti tengah mendekap bayi mungilnya dengan wajah keruh. Pasalnya menurut saya sepele. Adek bayinya digigit nyamuk lagi dan bekasnya menjadi titik merah yang ukurannya kecil saja. Tapi baginya tidak demikian. Ia sungguh tidak rela. Dan ekspresinya terjelmakan dengan marah-marah.

Maka malam-malamnya adalah waspada. Demi menyelamatkan bayi yang umurnya masih bisa dihitung dengan bilangan jari di tangan, maka ia rela melewatkan tidurnya untuk meronda. Ia sudah melakukan banyak cara. Kemarin sebuah kelambu ukuran besar menjadi aksesori kamar. Malam sebelumnya ia telah memproteksi si kecil dengan sarung tangan, sarung kaki dan memakaikan topi. Tapi tetap saja, bekas merah itu dijumpainya lagi pagi ini.

Maka sayapun menyeringai mendengar keluhan panjangnya. Apa lagi yang akan dilakukannya nanti malam, pikir saya.

Dan malam itu, ia terlihat lain. Dengan kostum tidur yang sungguh ?seksi ? ia berbaring di sebelah bayi mungilnya yang tengah terlelap. Saya bukan terpesona dengan kostum tidurnya yang menyeramkan. Saya hanya terpesona dengan jawaban atas pertanyaan saya kenapa ia memakai kostum demikian padahal ia bisa saja masuk angin.

"Umminya masuk angin ga pa pa asal adek selamat, biar tubuh umminya saja yang digigit nyamuk," jawabnya kalem.

Duh, hati saya hening. Mencerna. Demikian mempesona ikhtiar seorang bunda. Padahal ia baru menyandang gelar itu beberapa hari yang lalu.

***

Sahabat, saya yakin pesona bunda telah seringkali menyapa dan menjumpaimu setiap saat. Bisa jadi lewat doa, rengkuhan, kecupan, senyuman bahkan menu makanan yang terhidang. Lalu pernahkah kita membuat ibunda terpesona? Hmmm...

Husnul Rizka Mubarikah


*Cisanggiri, pertama kali. Sun sayang buat Mamah

Korupsi Kecil

eramuslim - Suatu hari di sebuah hypermarket. Musim kelengkeng telah tiba. Karena saya sangat suka buah kelengkeng (tepatnya, saya suka semua buah-buahan yang sedang musim dan murah), saya pun bergegas menuju counter buah. Karton yang digantung bertuliskan "Kelengkeng Bangkok Rp 890/ons" itu nyaris tak terlihat karena dipenuhi kerumunan orang. Apalagi keranjang kelengkengnya.

Berhubung tubuh saya cukup mungil, saya masih dapat menyelinap di antara kerumunan. Dan olala, di sekeliling saya, beberapa bapak keren, ibu-ibu trendy dan gadis cantik dengan tenang dan cuek mengupasi biji-biji kelengkeng itu dan memakannya di tempat, seakan buah bulat kecil itu adalah makanan yang disediakan untuk mereka, tanpa peduli pada papan bertuliskan besar-besar "MOHON UNTUK TIDAK MENCICIPI” yang ditancapkan di antara keranjang.

Kulit kelengkeng bertebaran di antara buah yang ada, makin lama makin banyak, dan papan itu pun berdiri sendiri. Sepi. Seorang petugas terpaksa bersabar menunggu agak sepi untuk membersihkan sampah ranting dan kulit kelengkeng tanpa berani menegur tindakan ‘para pembeli yang terhormat itu’.

***

Ya, inilah Indonesia. Selalu itu komentar saya bila ada kebiasaan ‘aneh’ orang Indonesia. Menyeberang jalan dengan memotong pagar pembatas sudah biasa, padahal di atasnya ada jembatan penyebarangan yang cukup lega dan nyaman dengan kanopinya walau, yaa, capek sedikit karena harus naik turun tangga. Buang sampah sembarangan juga sudah biasa, karena di kereta, halte dan tempat-tempat umum lain tak ada tempat sampah. Termasuk soal ‘mencicipi’ makanan di tempat orang berjualan.

Hal kecil itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sangat biasa malah. Saking biasa dan wajarnya hingga yang melakukannya pun bukan cuma orang miskin yang memanfaatkan kesempatan untuk dapat makan gratis. Bahkan kebanyakan mereka adalah dari kalangan yang sebenarnya sangat tidak berkekurangan. Tengok pula, berapa banyak ibu-ibu atau nyonya-nyonya belanja sayur di pasar atau pun di tukang sayur yang sering mencicipi berbiji-biji dan minta tambahan tanpa keridhoan si penjual.

Jadi?
Sesungguhnya ini adalah masalah paradigma, cara pandang, yang kemudian membudaya. Cara pandang yang menganggap kata korupsi hanya perlu dilabelkan pada hal-hal besar, entah urusannya yang besar atau pun nilainya yang besar. Namun kalau sekedar mencicip makanan, mengurangi ongkos bis atau minta tambah ke penjual adalah hal biasa saja. Demikian apa yang dipikirkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Padahal, lupakah kita bahwa Allah melarang kita memakan dan mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecil atau pun besar nilainya? Allah menyebut “Janganlah engkau ambil sesuatu yang bukan hakmu.” Dan itu berlaku untuk semua. Sebiji kelengkeng maupun seratus perak ongkos yang mesti kita bayarkan. Sebutir anggur maupun mengambil duit yang dititipkan nasabah di bank.

***

Di sebuah supermarket lain.
Seorang anak SD merengek takut-takut kepada ibunya untuk makan buah kelengkeng. Sang ibu yang sedang memasukkan buah kelengkeng ke kantong plastiknya di keranjang lain, dengan enteng menjawab, ”Ya udah ambil! Makan aja, gak papa.” Kata si Ibu enteng sambil terus memasukkan buah kelengkeng ke kantong belanjaannya. Sang anak pun meraup segenggam kelengkeng dari keranjangnya dengan sembunyi-sembunyi dan memasukkannya ke kantong rok yang dipakainya. Diambilnya satu butir lagi, langsung kupas dan masuk mulut. Saat matanya bersirobok pandang dengan saya, dia bergegas menghindar sambil melirik takut-takut.

Seorang anak yang polos bisa merasakan, bahwa apa yang dilakukannya bukanlah tindakan yang tidak benar. Namun ajaran yang diterimanya dari ibunya, bisa jadi akan membuatnya menjadi seperti bapak keren, ibu trendy dan gadis cantik yang saya ceritakan di awal paragrap, pada suatu hari nanti saat dia beranjak dewasa. Kecuali kalau kita semua, para orang dewasa, tidak lagi menganggap hal-hal semacam ini sebagai suatu masalah ‘kecil’ dan wajar. Kecuali kalau kita mulai menempatkan sesuatu pada haknya, mulai dari diri sendiri dan hal-hal kecil yang kita lakukan.

Azimah Rahayu azi_75@yahoo.com

yang mau ngirim buah untuk saya, diterima dengan senang hati

Orang Sopan Makin Langka

eramuslim - "Weyy... kalo nyeberang mata dipake donk...!!!" bentak supir angkot kepada seorang pejalan kaki setengah baya yang nyaris terserempet kendaraan tersebut. Saya yang berada di angkot tersebut tak tahu persis harus berbuat apa. Meski cukup sering mendengar umpatan serupa dari seorang pengendara mobil kepada pejalan kaki, saya tetap merasa tak semestinya mereka mengeluarkan kata-kata kasar semacam itu.

Suatu kali secara kebetulan saya pernah mendengar omelan seorang pejalan kaki yang terciprat air genangan sisa-sisa hujan yang dihempaskan oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Serta merta, sederet sumpah serapah keluar yang kalau dibayangkan, isinya itu sangat mengerikan, seperti "Gue sumpahin tabrakan luh!" atau semacamnya. Bagaimana jika umpatan atau sumpah itu bernilai do'a di mata Allah? bukankah mereka tak bedanya seperti orang-orang yang terzalimi? Jadi, jangan sembarangan mengumpat seorang pejalan kaki yang belum tentu benar-benar salahnya. Bisa jadi, Anda yang justru bersalah.

Sebenarnya, ini soal etika berkendaraan di jalan umum. Namanya juga jalan umum, jadi siapapun tidak bisa merasa harus dipentingkan, siapapun tak boleh memaksakan kehendaknya, dan siapapun tak berhak atas jalan tersebut layaknya jalan milik pribadi.

Yang namanya jalan umum boleh digunakan oleh siapapun, pemilik kendaraan dari roda dua, tiga, empat sampai enam belas, atau pun pejalan kaki. Yang penting kan semuanya ada aturannya. Nah, ngomong-ngomong soal aturan, ternyata tidak semua etika berkendara di jalan masuk dalam aturan yang sudah ada.

Begini, saya pernah menumpang mobil seorang rekan sepulang kondangan. Namanya Edi. Malam itu terasa sangat segar, sehingga kami tak perlu memasang AC karena sore tadi Jakarta baru saja diguyur hujan yang lumayan deras. Mobil melaju tidak terlalu kencang ketika kami merasa mobil kami telah menghempaskan genangan air di pinggir jalan dan... mengenai seorang ibu pejalan kaki. Ciiiitttt!!! Edi segera menghentikan mobilnya dan mundur sejauh tidak kurang dari 70 meter dari genangan air tadi.

"Kena nggak?" tanya Edi. Yang dimaksud adalah, apakah hempasan mobilnya terhadap genangan air tersebut telah menyebabkan pejalan kaki tadi terciprat atau tidak. Agak sedikit ragu, saya katakan, "Kena...".

Sesampainya di depan ibu pejalan kaki tadi, Edi segera turun dan meminta maaf atas tindakannya tadi. Pejalan kaki yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya ke beberapa bagian pakaiannya yang kotor terlihat tersenyum, apalagi setelah kami menawarkan diri untuk mengantarnya sampai ke tempat tujuannya.

Dalam perjalanan berikutnya, saya tanyakan kepada Edi tentang sikapnya tersebut, seraya memberikan asumsi bahwa ibu pejalan kaki tersebut terlihat ramah dan 'ikhlas', mungkin Edi tak perlu memundurkan mobilnya untuk meminta maaf pada pejalan kaki tersebut.

Sekarang coba Anda pikirkan kenapa saya terus tersenyum sampai di rumah setelah mendengar jawaban Edi seperti ini, "Kamu betul, mungkin ibu itu ikhlas dan tak marah, bahkan mungkin saya tak perlu berhenti setelah 70 meter dari genangan air tersebut. Tapi bagaimana kalau Allah yang tidak ikhlas, dan menjadikan 10 meter berikutnya adalah kesempatan terakhir saya mengendarai mobil ini?"

Hmm, Edi, Edi ... saya dengar, kalau sedang bersepeda atau naik motor, anak muda satu ini juga akan turun dan menuntun kendaraannya saat melewati orang-orang yang tengah duduk di pinggir jalan di sebuah gang, satu kebiasaan yang saya kira telah hilang sekitar 15 atau 20 tahun yang lalu.***

Lapar . . . . . . .?

eramuslim - Enaknya kalau punya anggota keluarga banyak itu, kita bisa bergilir mengunjungi mereka satu per satu. Makanya aku 'sedih' melihat Keluarga Berencana (KB) di kalangan umat Islam 'berhasil'. Sementara umat 'tetangga' kita membengkak tak terkontrol.

Apalagi kalau saudara-saudari kita sudah mapan semua. Aku jadi 'malu' sendiri bila mau mengingat apa yang sudah saya lakukan dulu. Ibu memang nggak selalu mampu menyediakan makanan ekstra untuk anak-anaknya. Empat orang dari tujuh kakakku sudah berkeluarga. Kebetulan tempat tinggal mereka tidak jauh dari rumah kami. Jadilah saya 'manfaatkan' kesempatan ini, utamanya jika 'kebutuhan' perut ini meningkat.

Maklum, masa anak-anak biasanya semego (doyan-doyannya nasi) orang Jawa bilang. Diantara anggota keluarga, hanya saya yang tergolong tidak sungkan-sungkan untuk persoalan yang satu ini. Masuk rumah kakak, langsung minta makan. Biasanya saya terus terang tanya kepada siapapun kakak yang saya kunjungi. 'Peduli' amat dengan kakak-kakak iparku! Toh mereka pikir aku masih anak-anak. “Bikin makanan apa Mbak?” Begitu tanyaku bila berkungjung ke rumah mereka. Barangkali aku memang tipe ndableg (kurang tahu aturan). Bisa saja bukan hanya saya pelakunya. Kalau kebutuhan perut ini mendesak, yang namanya aturan sopan-santun atau etika pergaulan, akan menjadi persoalan kedua. Yang penting kenyang!

Selama enam bulan ini salah seorang keponakanku yang baru menikah, saya suruh untuk menempati rumahku BTN, itung-itung dari pada kontrak. Sebulan terakhir ini, karena ia sering harus kerja keluar kota, sering pulang terlambat. Mereka berdua tidak bisa menempati rumah tersebut. Diputuskannya untuk tinggal bersama mertuanya di pusat kota. Minggu lalu, saya dapat kabar dari adik saya, meteran air rumah BTN tersebut diambil orang tanpa ijin si empunya alias mencuri. Yang menjadi pertanyaan saya adalah sedemikian parahkah tingkat kelaparan perut sebagian masyarakat kita, sehingga untuk memenuhinya harus mencuri barang-barang apa saja yang penting bisa diuangkan? Dari jauh, saya ikut prihatin memperhatikan nasib bangsa ini.

Lebih prihatin lagi kata Pak Zulkarnaen, seorang koordinator sebuah perusahaan konstruksi terkenal di Jakarta, bahwa tingkat pengangguran yang sudah diatas angka sepuluh juta ini mengakibatkan banyak orang (konon), kalaupun mau mencuri, yang dicuripun tidak ada. Begitu kisahnya yang terjadi di sebuah daerah di Jawa Tengah. Makanya, selama kampanye beberapa minggu lalu, jangan heran kalau beberapa orang yang menemani Pak Amien Rais dalam perjalanan beliau menuju Kampus Universitas Indonesia, HP mereka dicopet. Bukan hanya mereka, salah seorang anggota Tim Sukses Susilo B. Yudhoyono, juga 'kehilangan' HP Communicator nya. Astaghfirullah!

Kelaparan dalam arti fisik (baca: perut!) ternyata bisa mempengaruhi tingkah laku seseorang. Contoh-contoh di atas membuktikan, jika tidak pandai mengontrol, cenderung mengesampingkan nilai-nilai agama, sosial dan budaya. Tidak semuanya memang orang pinter mengatasi kelaparan ini. Ada mereka yang sangat bijaksana sekali, misalnya dengan melaksanakan puasa, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan perut keluarganya sehari-hari. Sahabat-sahabat Rasulullah SAW tidak sedikit yang melakukan kebiasaan ini.

Ada seorang sahabat yang, karena tidak adanya makanan yang cukup ini, terpaksa menyuruh istrinya menggoreng kerikil hanya karena ingin 'menghibur' anak-anaknya yang sedang tidur sementara kelaparan. Bahkan dalam riwayat lain diceriterakan, ketika mereka sedang menerima tamu pun, hanya lentera redup yang dinyalakan karena tidak ingin tamunya mengetahui makanan yang tersedia yang ternyata cuma cukup untuk sang tamu. Padahal sang tuan rumah tidak menikmati secuil makananpun di atas piringnya. Subhanallah!

Tingkatan iman kita tidak bisa disamakan dengan derajat keimanan para sahabat Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, saya sebenarnya sedih melihat betapa selama pampanye kemarin, begitu banyak kertas-kertas berwarna yang menurut hemat saya, mahal harganya. Pembuangan yang mubadzir. Belum lagi media kampanye dalam bentuk lain semisal kain, plastik, papan kayu, aluminium, balon udara serta media elektronika. Adakah ini kemewahan semu? Hanya karena ingin predikat 'wah', ditempuhnya cara-cara kamuflase. Layaknya sebuah Bunglon.

Semuanya harus dibayar mahal. Coba seandainya segala ongkos media-media kampanye tadi ditukar dalam bentuk rupiah dan dimanfaatkan untuk mengatasi kesengsaraan warga kita? Saya yakin, sebagian dari empat puluh juta rakyat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan akan bisa terselamatkan. Jutaan manusia Indonesia yang sedang kelaparan, membutuhkan gula, menutupi uang sekolah, membeli beras, dan lain-lain. akan terpenuhi kebutuhannya.

Ada yang berpikir, kampanye hendaknya dijajakan tidak dengan kemasan murahan. Apalah artinya kualitas jika realitasnya sebagian besar rakyat kita menderita. Pendidikan mahal, kesehatan tak terjangkau, pekerjaan jadi langka, kejahatan merajalela. Lihat India yang katanya miskin! Saya lihat ijazah Abdul Samad, pemegang sarjana ekonomi, hanya terbuat dari selembar kertas buram. Namun nilainya? Tidak kalah dengan ijazah-ijazah kita yang berpenampilan keren dan mahal kertasnya.

Untuk mendapatkan selembar ijazah kita sesudah lulus, dibutuhkan ratusan ribu rupiah. Mungkin lebih. Belum termasuk uang wisuda. Apa arti semua ini jika akhirnya guna memperoleh pekerjaan sesudah lulus ternyata jauh lebih susah dibanding mencari mutiara di lautan? Rasulullah SAW tidak menyukai pemborosan.

Acapkali, karena kelaparan dalam artian fisik ini pula, orang jadi carnivora. Mereka 'memakan' sesamanya. Kalangan atas melalap kalangan bawah. Pejabat ngapusin rakyat. Mereka makan hak-hak saudaranya. Mereka rampas milik orang lain. Mereka kunyah sesuatu yang tidak layak. Asalkan masuk perut, tidak jadi masalah. Dalam kelas rendah, mereka bisa jadi 'pemakan segala'.

Dalam artian fisik, tengoklah, misalnya, ratusan pengemis yang setiap hari gorek-gorek tempat sampah, mencari sesuatu yang bisa dimakan di Kedung Kandang, pusat pembuangan sampah terbesar di Kotamadya Malang. Berapa jumlah anak-anak usia sekolah yang setiap pagi bongkar-bongkar kotak sampah di jalan-jalan Surabaya dan Jakarta? Padahal mata kita lewat di depannya. Kita sumbangkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk kampanye politik, dengan membuka mata lebar-lebar. Tapi kita berusaha menutup mata rapat-rapat kala melihat kaum dhuafa ini.

Padahal kita bilang ada di pihak mereka. Kita janjikan akan junjung keadilan bagi mereka! Kita akan angkat tinggi-tinggi hak-hak mereka! Nyatanya? Level kesadaran kita masih rendah. Kita lupakan naluri kemanusiaan kita! Menginginkan manusia-manusia sekitar untuk berpihak kepada kita secara politis, namun kita abaikan kebutuhan mereka yang paling mendasar.
Kondisi kita tidak beda dengan kondisi rakyat-rakyat yang lapar ini. Bedanya, perut kita sudah penuh! Kita 'hanya' secara moral, budaya, ekonomi, politik, moral, sosial dan mungkin sekali secara spiritual 'kelaparan'. Keadaan inilah yang justru membuat kita lebih para dibanding pengemis-pengemis jalanan tadi. Bagi si pengemis sedikit uang atau makanan bisa puas. Sedangkan bagi sebagian besar kita tidaklah demikian.

Penghasilan anggota DPR atau DPRD memang 'kecil' katanya Pak Zulkarnaen. Tapi komisi mereka? Ber M-M (milyar-milyar) masuk saku tanpa pajak. Menurut Gatra.com (22 Juni 2004), sebanyak 43 Anggota DPRD Sumatera Barat (Sumbar) dinyatakan bersalah menyelewengkan duit APBD sebesar Rp. 5.9 Milyar. Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), borok parlemen sudah mewabah. Saat ini ada 270 anggota DPRD yang sedang diperiksa, kata Bambang SH, Ketua Dewan Kode Etik ICW (Gatra.com, 22 Juni 2004). Bukankah ini membuktikan bahwa pejabat-pejabat negara kita juga sedang 'kelaparan'?

Kelaparan memang tidak harus berarti fisik. Dalam bahasa Inggris disebut 'Hunger', bisa berarti 'to feel or suffer hunger; to have an eager desire; a craving or urgent need for food or a specific nutrient' (Webster's New Collegiate Dictionary, 1996). Sekalipun secara harfiah kata 'hunger' ini kita artikan 'kelaparan', tapi tidak menutup kemungkinan, dilihat dari definisi menurut Webster's yang kedua, 'kelaparan' bisa berarti luas. Tidak terkecuali kondisi sebagian para petinggi negara kita yang haus akan pemenuhan kepentingan pribadi dibanding rakyat banyak.

Perbuatan pejabat-pejabat DPR diatas, jika dikaitkan dengan pengertian kelaparan, masuk kategori yang mana? Lapar kekuasaan, lapar kejujuran, lapar ekonomi, lapar politik, lapar sosial, lapar kegamaan, atau kombinasi dari berbagai jenis kelaparan ini? Karena kelaparan ini, hingga yang namanya malu, harga diri, martabat bangsa, nilai moral dan agama, serta predikat positif sosial lainnya tidak pernah mendapatkan tempat dalam hati ini untuk dijadikan bahan pertimbangan mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu melihat uang dan kekuasaan, 'kelaparan' merajalela! Astaghfirullah!

“Ana kerja di sebuah pabrik!” kata Mukhsin, seorang ikhwan di Jakarta. “Antum beruntung sekali, karena jutaan saudara-saudara kita di negeri ini yang tidak memiliki kesempatan seperti antum. Sepanjang pekerjaan itu halal, patut bersyukur!” kataku jujur.

Di negeri ini sudah terlalu banyak orang yang terjangkit penyakit yang satu ini: kelaparan. Dalam ruang lingkup internasional, kelaparan perut akan bisa ditangani dengan campur-tangannya badan dunia misalnya UNICEF atau UNHCR bagi kasus-kasus pengungsi. Namun bagaimana dengan kelaparan sosial, moral, spiritual, politik, budaya dan ekonomi yang melanda bangsa ini?
Bangsa-bangsa lain hanya mampu menjadi penonton, melihat betapa 'cerdik'nya orang-orang kita dalam mempermainkan warga sendiri. Pedihnya, sebagian besar warga kita belum terlalu 'cerdik' mengamati fenomena kelaparan ini. Sudah dalam kondisi lapar, nyatanya kita masih 'mau' dimanfaatkan oleh orang-orang yang 'kelaparan' kekuasaan. Kejujuran belum mendapat tempat yang layak di hati masyarakat kita.

Di tengah-tengah menjamurnya kejanggalan-kejanggalan kehidupan yang ada, kita masih bisa terlena dengan 'makanan' yang bersifat sementara mengenyangkan. Makanan yang kita kunyah belum sanggup memberikan kepuasan dalam arti Holistik, suatu pendekatan yang memperlakukan manusia seutuhnya, dari berbagai pandangan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Kelaparan akan mudah ditangani apabila menyerang perut. Sebaliknya, kelaparan akan kompleks sekali sifatnya bila menjalar ke segala sendi kehidupan manusia. Layaknya kebutuhan umat Islam akan sholat wajib. Betapa laparnya kehidupan spiritual ini sekiranya kaum Muslimin hanya sholat seminggu sekali (hari Jum'at) saja. Betapa laparnya kehidupan sosial seorang Muslimin, apabila tidak pernah terlibat dalam jamaah. Betapa laparnya kaum Muslimin yang tidak mau menyalurkan aspirasi politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lapar memang beda dengan kelaparan. Lapar masih dalam batas konotasi 'positif'. Dalam kondisi normal, orang yang lapar perutnya, akan cepat kenyang dan pulih kondisinya hanya dalam hitungan menit. Akan tetapi kelaparan bertendensi 'negatif'. Malah bisa jadi penyakit menahun jika tidak segera terobati. Orang yang kelaparan butuh waktu berbulan-bulan hingga tahunan guna menormalisasi keadaan.

Selagi kita merasa lapar dalam aspek sosial, politik, psikologis ataupun spiritual, akan mungkin sekali dengan mudah terobati. Namun jika sudah terjangkit penyakit kronis yang namanya 'kelaparan' ini, bukan hanya kita sendiri yang bakal jadi korban. Orang lain pun bisa dibikin hancur, turut menanggung dampak komplikasinya, gara-gara teknik pengobatan kita yang kurang profesional. Segala cara diterobos: no speed limit!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Kebahagiaan Ada Dalam Rasa Puas

eramuslim - Saya pergi ke Ma’had Riyaadhil ‘Ilmi untuk belajar, dan meninggalkan keluarga saya di wilayah selatan. Selama belajar itu saya tinggal bersama paman-paman saya dalam keadaan yang serba susah, studi yang melelahkan, transportasi yang sulit, dan urusan rumah tangga yang rumit.

Setiap pagi saya berjalan kaki selama kurang lebih tiga sampai tiga setengah jam. Siang harinya, saya pulang dengan berjalan kaki juga dengan waktu tempuh yang hampir sama atau lebih. Pagi, siang dan malam hari saya ikut membantu memasak, menyapu rumah, mencuci, memperbaiki perabotan, menertibkan dapur, belajar, dan juga mengikuti kegiatan kampus.

Saya berhasil mendapatkan prestasi yang menggembirakan, dan pekerjaan di rumah selalu beres. Baju yang saya miliki hanya satu, yang setiap hari saya cuci, gosok, dan pakai. Baju itu pula yang saya pakai di rumah, ke kampus, dan ke pertemuan-pertemuan yang saya ikuti. Beasiswa yang saya terima sangat minim untuk kebutuhan rumah tangga, sewa rumah, dan untuk makan. Sehari-harinya menggunakan dari uang beasiswa ini.

Kami hanya mampu membeli sedikit daging, dan jarang-jarang makan buah. Setiap hari pekerjaan saya belajar, menghafal dan membaca. Dalam sebulan hanya sekali atau lebih untuk refreshing. Tak kurang dari tujuh belas mata pelajaran yang dipelajari, termasuk bahasa Inggris, geometri, aljabar, serta ilmu-ilmu umum lainnya. Tentunya di samping mata pelajaran agama dan bahasa Arab. Sejak kelas l Menengah Atas saya telah meminjam buku-buku sastra dari Ma’had Riyaadhil ‘Ilmi. Jika saya membaca buku-buku sastra rasanya sedang tidak bersama teman-teman, karena saking konsentrasinya.

Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa walaupun saya berada dalam kehidupan yang serba sulit dan melarat namun saya sangat bahagia. Saya bisa tidur dengan pulas, tenang, dan puas.

Kemudian, dengan nikmat Allah, saya mendapatkan tempat tinggal yang luas, makanan yang cukup, berbagai macam pakaian, dan kehidupan yang mudah. Namun demikian, saya merasa tidak berada dalam kepribadian saya yang dulu. Kini banyak sekali kesibukan, gangguan, dan tekanan.

Ini semua menunjukkan bahwa tercukupinya segala sesuatu bukan berarti kebahagiaan dan ketenangan. Oleh sebab itu, jangan mengira bahwa penyebab kesedihan, keresahan, dan kesuntukan yang Anda alami itu adalah karena kekurangan materi atau tidak adanya fasilitas-fasilitas yang mewah dalam kehidupan Anda. Tidak benar, cara berpikir seperti itu. Banyak orang yang hidup pas-pasan tapi lebih bahagia daripada kebanyakan orang yang kaya raya.***

Dr. Aidh al-Qorny
Dari buku Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), penerbit Qisthi Press

Membongkar Aib Negeri . .KORUPSI

eramuslim - Pada zaman sekarang, di negeri ini, sulit sekali untuk mencari tempat yang bebas dari korupsi. Korupsi memang tidak mengenal istilah apakah kelasnya besar atau kecil. Korupsi ya korupsi, apakah itu uang, waktu, tenaga, atau materi lainnya. Tidak ada istilah negosiasi dalam mendefinisikannya!

“Aku di purchasing, bagian import. Jadi nggak usah khawatir. Aku nggak kerja di tempat basah kok! Justru yang aku sekarang lagi bingungi adalah perusahaan di Indonesia ini banyak sekali manipulasinya.
Dan itu hampir di semua perusahaan dan semua departmen. Misalnya pajak. Aku saat ini lagi dalam dilema antara terus bekerja atau berhenti. Karena aku tahu bahwa ada manipulasi di perusahaan. Dan aku merupakan bagian itu. Aku pernah bilang sama boss tentang hal ini. Tetapi jawabnya... kalau itu nggak kita lakukan perusahaan ini nggak bisa jalan, karena perusahaan yang lain semua melakukakannya.”

“Aku bingung. Kalau aku mau bersih mestinya aku nggak boleh bekerja di instansi ini.
Aku berencana pingin keluar tapi aku masih tunggu sampai hutang-hutang lunas. Bagaimana menurut anda? Apa langkah yang aku lakukan ini benar?”

Begitu kata Asri, seorang ibu, karyawan sebuah perusahaan di Jakarta kemarin, yang sedang gundah menghadapi negeri yang dilanda korupsi bertahun-tahun ini. Di tengah-tengah gejolak para politikus yang berkampanye dengan salah satu visi dan misinya yang antara lain ingin memberantas korupsi ini, saya memang agak 'pesimis' ini bisa terjadi. Habis! Jujur saja, saya pernah melakukannya, demikian pula teman-teman saya lainnya, meskipun tidak sekelas koruptor-koruptor ulung kita yang mengeruk kekayaan negara dan membawanya ke luar negeri.

Bagaimana tidak korupsi ya? Waktu itu honor saya cuma lima belas ribu rupiah. Tinggal di asrama yang disediakan oleh rumah sakit tempat saya bekerja, makan juga tersedia. Tapi cukupkah penghasilan yang sedemikian? Dua puluh tahun lalu, saya nggak tahu bagaimana orang menilainya, tapi kalau dibandingkan gaji pegawai negeri golongan IIA, honor tersebut hanyalah 25%-nya. Kecilkan? Relatif. Saya dibayar sebagai tenaga honorer di sebuah rumah sakit pemerintah.

Sebagai tenaga honorer yang baru kerja, saya akui serba takut. Takut karena belum berpengalaman dalam banyak bidang, salah satunya adalah soal uang ini. Lambat laun saya 'diajarin' rekan-rekan senior bagaimana bisa mendapatkan uang 'tambahan'. Sebagai yunior, kadang saya nggak bisa apa-apa kecuali 'membenarkan nasehatnya'. Satu, dua, tiga, dan entah berapa kali, akhirnya saya terbiasa mendapatkan uang-uang yang tidak sehat ini. Alhamdulillah saya akhirnya menyadari, bahwa lingkungan kerja semacam ini tidak mendidik secara moral. Saya pun pindah kerja!

Di tempat kerja yang baru pun, bukannya tambah baik. Kok teman-teman kerja yang gajinya masih di bawah angka penghasilan bulanan saya ini bisa gonta-ganti pakaian setiap saat, punya kendaraan bermotor, dan kelihatannya selalu punya uang ya? Su'udzon sih tidak, tapi kita kan menggunakan kalkulasi logis? Di kantor kami, memang ada yang disebut daerah 'basah' dan ada pula daerah 'kering'. Yang disebut pertama, sudah menjadi rahasia umum.

Saya sendiri akhirnya 'terdidik', untuk melipat-gandakan jumlah honor kerja lapangan di luar gaji rutin bulanan. Misalnya, aslinya kita bekerja hanya 8 jam seminggu di lapangan, kemudian diminta oleh pimpinan untuk melipat-gandakan di atas kertas menjadi 32 jam, atau 400%. Sang pimpinan, meskipun dia tidak ikut kerja, tapi namanya tercantum didalam daftar pekerja lapangan. Nah! Sebagai seorang staf saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Sistemnya dari dulu seperti itu! Semua orang melakukannya.

Kepala Tata Usaha (KTU)? Jangan tanya! Hampir bisa dipastikan, setiap karyawan di kantor kami, 'menyisipkan' sejumlah uang ke sakunya, sebelum diterima di instansi kami. Alhamdulillah, dengan bantuan Allah SWT, yang ini tidak saya lakukan! Sementara karyawan lain, ada yang harus mengangsur sesudah diterima jadi pegawai. Malangnya, sekitar 10 tahun kemudian, saat saya sudah tidak bekerja lagi di kantor tersebut karena pindah, sempat ketemu beliau, mantan KTU tersebut. Saya terharu dibuatnya. Beliau masih juga belum punya rumah! Padahal sudah pensiun, dan anak-anaknya menginjak usia dewasa, bahkan bercucu. Adakah ini dampak dari sebagian uang haram yang diperolehnya? Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu!

Empat tahun kemudian saya pindah kerja lagi. Di institusi yang baru ini, milik sebuah yayasan Katolik terkenal di kota kami, terlihat 'bersih'. Kultur kerja karyawannya terkenal: dedikasi tinggi, bebas korupsi! Sekilas slogannya memang begitu, bagi kami orang-orang 'sipil'. Artinya, segala sesuatu yang menyangkut uang, dikendalikan oleh para biarawati. Lama-kelamaan saya tahu, kok suster-suster yang ada di dalamnya yang duduk sebagai pengelola atau manajer di hampir semua departemen ini kelihatanya 'makmur' ya? Ujung-ujungnya saya tahu, 'pepatah' yang beredar di antara rekan-rekan kerja benar, bahwa jika ingin kaya, jadi saja suster! Astaghfirullah!

Sambil kerja, saya sekolah lagi. Di bangku kuliah, sebuah universitas milik yayasan Islam terkemuka, para dosen kami ini kok enak saja kalau absen. Seandainya nggak ngajar, mereka begitu saja biarkan jadwal-tinggal-jadwal, tanpa ada pemberitahuan kepada mahasiswa. Apalagi mengganti jam-jam kosong. Padahal kalau kami, mahasiswa terlambat bayar uang kuliah, didenda kan?
Hanya mahasiswa bodoh dan malas yang 'senang' apabila dosen nya tidak datang. Bukankah dosen-dosen macam ini adalah contoh guru yang bermental korupsi?

Di perjalanan ke kampus setiap hari, saya biasa naik mikrolet yang berkapasitas delapan orang di belakang, serta dua orang di depan termasuk sopir. Eh! Ternyata yang duduk bisa sampai duabelas orang di belakang dan tiga orang di depan termasuk si sopir. Jika penumpang mengeluh soal overloaded ini, sang sopir bilang: “Naik aja taksi kalau ingin enak!” Itu belum lagi jika penumpangnya ada yang gemuk, betapa tidak nyamannya naik transport ini. Padahal kita juga bayar kan?

Yang enak, hidup di desa barangkali! Bisa bebas dari berbagai bentuk korupsi. Begitu kiraku.

Kalau punya ladang atau sawah sendiri, itu yang digarap. Nyatanya, kemungkinan korupsi masih tetap ada. Di sawah kita juga bisa korupsi misalnya: air sawah! Kita bisa manfaatkan air yang mengalir secara tidak adil. Jatah orang lain yang letaknya di belakang sawah kita tidak terlalu kita perhatikan, alias kita dominasi penggunaan airnya. Petani lain akhirnya gagal panennya karena ulah kita. Wah! Jadi petani pun juga tidak begitu saja terhindar dari korupsi.

Seorang adik saya, lulusan IKIP, hingga sepuluh tahun terakhir ini statusnya masih guru tidak tetap di sebuah sekolah swasta. Saya bilang: itu lebih baik dibanding harus 'menyogok' penjabat Depdiknas yang kata dia sebesar dua puluh lima juta rupiah. Beberapa orang tetangga saya sejak dua puluh tahun lalu, hingga sekarang ini, masih juga memiliki satu ceritera yang tidak pernah berubah: korupsi dalam pencarian kerja! Jadi satpam pabrik, atau buruh di pabrik plastik, mustahil tanpa KKN!

Kalau saya urut bentuk dan macam-macam korupsi yang terjadi di negeri ini, terlalu panjang untuk ditulis. Sampai kapan hal ini berlangsung? Adakah pemimpin bangsa negeri ini concerned terhadap fenomena yang berlangsung layaknya flu allergica ini? Saya berharap muncul kepemimpinan yang meneladani sosok Umar bin Khattab r.a. atau Abu Bakar Sidik r.a. Mereka yang berani memberantas korupsi dan jujur dalam tindakannya.

Manusia, apapun profesinya, apakah itu dokter, insinyur, perawat, guru, sopir, pedagang, biarawati, kyai, buruh pabrik, satpam, hingga petani, kalau tidak terkendali, semuanya rawan akan korupsi. Pelaku atau korban korupsi, kedua-duanya sama saja!

Manusia memang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimiliknya. Guna pemenuhan kepuasan ini, banyak cara digunakan tanpa memandang apakah halal atau haram. Teman-teman kerja saya, hampir tidak pernah ada selesainya kalau berbicara masalah kepuasan ini. Sudah punya HP Alcatel ingin Ericsson, kemudian mencoba Nokia. Tidak lama, ingin memiliki HP yang berkamera. Sekarang, mau mencoba pula yang bervideo-camera dilengkapi radio. Biar rekan-rekan ada yang berpenghasilan sepuluh juta per bulan, masih kurang. Seorang rekan kerja, berprofesi sebagai auditor keuangan, mengaku gajinya lebih dari tiga puluh juta, juga belum cukup katanya. Astagfirullah!

Lingkungan kerja memang amat berpengaruh besar dalam pembinaan moral korupsi ini. Itulah pengalaman yang saya temui. Dua puluh tahun bukankah waktu yang relatif cukup untuk mengevaluasi apakah lingkungan kerja kita berpotensi membuat kita menjadi seseorang korup atau tidak? Betapapun kita sholat lima waktu, pengajian seminggu tiga kali, kalau teman-teman dalam lingkungan kerja kita rata-rata terjerat dalam lingkaran korupsi ini, lantas akan berdiri di mana kita?

Saya tidak merasa bersih, apalagi suci. Namun melihat environment seperti ini, membuat saya akhirnya pindah-pindah kerja beberapa kali. Kalau kita mau 'bersih'di sebuah instansi, kita akan dianggap makhluk 'aneh'. Tolong dirumuskan, bagaimana caranya menolak tanda tangan uang yang disodorkan kepada kita bila kita dibayar tanpa melakukan sebuah tugas? Jika kita menolaknya, kepala bagian keuangan akan dibuat repot. Repot karena penyusunan anggarannya kompeks sekali, termasuk pembagian 'jatah' tadi melalui perhitungan yang 'njlimet'. Risiko lainnya, jika kita tidak mau menerima duit tadi, kita disebut sok suci, atau akan dikucilkan teman-teman kantor. Sementara kalau mau menerima, timbul konflik batin. Kita memakan duit bukan dari hasil keringat kita sendiri.

Ironisnya, ibu-ibu rumah tangga di sekitar kita, banyak yang kurang peka masalah ini. Mereka puas dengan apa yang telah dibawa pulang suaminya. Bukannya menanyakan: “Dari mana Pak datangnya semua duit ini?”


“Kapan ya kita bisa terapkan kultur budaya tanpa harus korupsi ini?” tanyaku pada diri sendiri di tengah-tengah proses demokrasi akbar yang sedang kita alami ini. Sosok yang bisa bebas korupsi ini barangkali seperti profesi yang digeluti oleh seorang janda tua di pinggiran Trenggalek-Jawa Timur sana. Mbok Giyem namanya, Dukun Beranak profesinya.

Di dalam rumahnya, di sebuah desa terpencil Dongko, di tengah gunung, saya hanya melihat sebuah amben kecil, dua buah kursi kayu yang sudah kehitaman termakan usia. Satu meja kecil di pojokan ruang tamu yang diatasnya tergeletak sebuah Partus Kit, perlengkapan menolong persalinan hadiah dari Puskesmas setempat.

Dukun beranak terampil ini puas dengan kehidupan sehari-harinya, tanpa menuntut banyak kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada ibu bersalin yang harus dia kunjungi, atau bayi yang harus dia rawat, atau ibu hamil yang butuh pijat, dia bawa keranjang kecilnya ke ladang atau sawahnya. Dia cari apa-apa yang bisa dikerjakan atau bekal masak secukupnya di dapur rumah gedeknya.

Mbok Giyem mengatakan tidak pernah mematok harga berapa pasiennya harus membayar jasanya, meski nenek tua itu harus naik-turun gunung di tengah malam. Entah sudah berapa jumlah bayi yang sudah lahir lewat pertolongannya. Di tengah kesulitan medan yang jauh dari gemerlap hidup kota, digelutinya profesi langka ini dengan ikhlas.

Saya yakin, nenek tua ini akan terkejut sekiranya mengetahui betapa dalam kehidupan kota, banyak ditemui orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang menyandang profesi yang tidak jauh dengan apa yang beliau lakukan, tidak lagi tulus menjalankan tanggung jawabnya. Korupsi sudah lumrah dan menjadi keseharian orang-orang di lingkungan kesehatan. Buktinya? Masuk ruang gawat darurat saja di banyak rumah sakit sulit sekali. Bisa jadi mimpi jika tidak ada uang, betapapun darah mengalir deras, pelayanan kesehatan bisa didapat. Uang dulu, nyawa kemudian!

Sebagai warga negara, rasanya tidak berlebihan jika kita berharap dalam kepemimpinan mendatang nanti, seperti halnya kepemimpinan dua Khalifah diatas, pemerintah kita mampu membawa bangsa ini kepada prospek kehidupan yang lebih baik. Sesak rasanya nafas ini ketika korupsi hampir menyelimuti seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita.

Ketika saya kirim email pada Rini, seorang karyawati di Jakarta, menanyakan sedang musim apa saat ini, dia jawab, “Kalau udara, sepertinya sedang musim pancaroba. Jadi, sebentar panassss... kemudian gelap dan hujan. Makanya orang Indonesia baik dan ramah, karena udara juga mendukung. Tidak seperti di UAE... udara panas, jadi hati orang pun mungkin cepat panas!”

Apa yang disampaikan Rini mungkin ada benarnya, bahwa kondisi udara di Indonesia membuat penduduknya tidak harus cepat-cepat, apalagi tergesa-gesa dalam banyak hal. Tidak seperti di Inggris dan Canada yang dingin sekali, atau negara-negara Arab sana yang panas menyengat. Namun kenapa di negara-negara yang terlalu dingin ataupun terlalu panas udaranya ini angka korupsinya minim sekali? Apakah karena sikap ramah-tamah kita ini sehingga untuk memberantas korupsi pun kita masih harus berlambat-ria?
Wallahu a'lam!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Membahagiakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Ada pelajaran penting yang dapat saya tangkap dari interaksi sosial yang terjalin selama ini, bahwa salah satu bentuk usaha untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain adalah dengan memberikan penghormatan yang pantas dengan yang dihormatinya. Salah satu contohnya, memanggilnya dengan sapaan yang disenanginya, yakni dengan namanya yang sebenarnya atau gelarnya.

Sungguh dingin dan berat perasaan orang yang menyebut nama saudaranya dengan konteks-konteks yang tidak jelas misalnya, "Anda, si Ini" atau "si Itu". Apakah dengan memanggil seperti itu Anda ingin orang lain tidak mengenal Anda, memanggil Anda dengan nama yang salah, atau menyapa dengan gelar yang tidak benar? Saya tidak yakin.

Sikap mengabaikan dan menjatuhkan orang lain menunjukkan ketidakpekaan perasaan dan keras kepala.

Seorang isteri yang telah berusaha mengatur rumah, merapikan posisi perabot, dan menambahkan wangi-wangian untuk menyegarkan ruangan, tentu tidak akan habis pikir ketika suaminya masuk dan tidak tidak acuh terhadap usaha isterinya ini. Tak ada ekspresi apa-apa, dingin. Sikap suami seperti ini akan memupuskan semangat dan perhatian.

Berilah perhatian terhadap orang lain, ungkapkan rasa terimakasih Anda terhadap hasil karya orang lain, dan pujilah pemandangan yang bagus, bau yang menyegarkan, perbuatan yang baik, sifat yang terpuji, qashidah yang menyentuh, dan buku yang bermanfaat, agar nama Anda dicatat dalam daftarorang-orang yang bisa membalas budi dan jujur sebagai orang yang berkepribadian.

Dr. 'Aidh al-Qorny
Dari buku
Laa Tahzan (Jangan Bersedih!) terbitan Qisthy Press

Membalut Duka, Mengemban Amanah

'Beruntung' para pengemis di negeri kita tidak dilarang oleh pemerintah untuk meminta-minta. Coba seandainya mereka dilarang, akan ke mana mereka meminta sebagian dari 'hak-hak' mereka?

Sejak terpuruknya bangsa kita enam tahun lalu, jumlah pengemis memang bukannya semakin berkurang. Di desa kami, per hari, tanpa melebih-lebihkan, tidak kurang dari lima pengemis akan mendatangi setiap rumah, khususnya yang tidak berpagar, dan... tentu saja kelihatan 'punya'. Hari Jum'at, lebih ramai lagi. 'Ladang' beramal? Itu bagi kita yang menyadari.

Sayangnya, tidak sedikit para pengemis ini yang menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah 'profesi'. Begitu kata sementara orang. Bagi mereka yang punya duit, akan dibangun rumah besar dan bertembok tinggi. Kalau mungkin, akan tertulis di depan pintu 'Dilarang Parkir'. Maksudnya kira-kira begini: para pengemis hendaknya jangan dekat-dekat!

Di Dubai-United Arab Emirates, dalam dua tahun terakhir ini 'kebijakan' pemerintah terhadap para pengemis memang ketat sekali. Kasarnya, tidak ada kata 'maaf' untuk mereka. Jika tertangkap oleh petugas, karena para pengemis ini biasanya para pendatang, konsekuensinya tidak tanggung-tanggung: dibawa ke kantor polisi, kemudian dideportasi. Maklum, sebagai sebuah negara kaya, apalagi Pemerintah Dubai tengah berupaya menarik wisatawan sebanyak mungkin sebagai the hub of the Middle East, mereka berusaha menciptakan suasana kota yang 'bersih'. Tidak terkecuali dari para peminta-minta ini.

Tapi lepas sholat Maghrib tadi aku menyaksikan sebuah pemandangan lain. Dua orang, sepasang suami istri tengah duduk di atas sebuah becak, katakanlah begitu karena di sana tidak ada angkutan jenis ini. Terkesan rakitan sendiri. Ketikaaku keluar melangkahkan kaki dari masjid, terlihat seorang Arab tengah merogoh kantongnya, kemudian sedikit membungkukkan badannya. Didekatinya mereka dan ditaruhnya kejumlah dirham ke atas telapak tangan yang tengah menengadah.

Tangan itu milik seorang ibu berjilbab, mengenakan abaya berbunga-bunga, warna-warni biru, kuning dan putih, tapi lusuh. Ibu yang saya perhatikan menutup semua anggota badannya ini hanya kelihatan dua belah matanya, sebagaimana umumnya pola berpakaian sebagian muslimah di UAE. Dari penampilan sang suami, nampaknya mereka berkebangsaan Pakistan. Sesudah orang Arab pertama yang memberikan sejumlah duit pada perempuan tersebut, saya lihat jamaah-jamaah yang baru saja keluar dari masjid melakukan hal yang sama.

Tahu kenapa mereka begitu tergerak mendermakan sebagian rejekinya kepada sepasang suami istri ini? Terlepas dari kekuatiran saya akan ditangkapnya mereka oleh petugas pemerintah, si perempuan setengah baya yang sedang menengadahkan kedua tangannya itu ternyata hanya memiliki separuh anggota badan!

Saya melihatnya, apa yang mendorong mereka melakukan pekerjaan ini lebih didasari oleh barangkali niat besar sang suami dalam menjaga amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya dalam memelihara istrinya yang tanpa kedua belah kaki. Subhanallah... betapa beruntungnya kita yang memiliki anggota tubuh yang lengkap. Sayangnya, kebanyakan dari kita kurang pandai bersyukur atas nikmat besar ini. Astaghfirullah...

Dalam perjalanan ke rumah, selepas Maghrib tersebut, pikiranku jadi melayang jauh ke nasib yang menimpah seorang rekan saya. Tentu saja dia bukan seorang pengemis. Dia bahkan secara materi boleh dikata punya. Yang hampir sama adalah, apa yang dialami oleh mendiang salah seorang putera rekan saya. Dia lumpuh total! Anggota badannya lengkap, akan tetapi sang anak tidak kuasa bahkan untuk mengangkat kepalanya sendiri. Dan itu sudah berlangsung selama tujuh belas tahun! Subhanallah...

As you know, I left Dubai purely because of my disabled child's health weakening. Everything Allah knows, and days are leaving behind me only to make prayers to Allah for my son's day after-Paradise.

Demikian bunyi bait kedua surat dari Abdul Azeem, ayah anak cacat tersebut, rekan saya, yang saya terima tanggal 13 November 2003 lalu. Waktu itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Dia tinggalkan Dubai, balik ke kampung halamannya di sebuah negara bagian Kerala, India. Sedangkan surat pertama yang saya terima darinya kurang lebih empat bulan sesudah kepulangannya ke India. Saya tidak sempat menemuinya karena ketika dia berangkat ke India, saya sedang cuti tahunan.

Abdul Azeem, 52 tahun, ayah 4 orang anak, yang saya kenal adalah orang yang taat beribadah, straight forward, jujur, dan suka menepati janji. Itulah beberapa karakter mulia yang saya ketahui tentang dia. Kepribadian dan perilaku baik ini yang membuat saya tidak bisa melupakannya sebagai seorang teman. Apalagi pada jaman sekarang di mana sulit mencari teman. Seperti kata Rhoma Irama dalam lagu lamanya, teman hanya mendekat bila uang melekat.

Namun lain halnya dengan orang setengah tua yang satu ini. Pada awal kami bertemu, katanya, saya mengingatkan dia akan seorang kenalannya asal Singapore. Maklum, Singapore dan Indonesia kan satu rumpun, jadi penampilan fisik antara temannya dan saya banyak kesamaan, seperti halnya orang India dan Pakistan. Hal itu dituangkannya dalam suratnya:

You perhaps are planning to leave the UAE. Earlier, I had a Singaporean friend, named Abdul Hameed, who worked for Armed Forces-Dubai as Aeronautical Engineer. Very nice friend, very co-operative, pious. But later, he left to the States for higher studies. Alhamdulillah he is now in Australia working for some airlines company. For a prolonged period we were in touch. But finally, I don't know. How I missed him and his whereabout, I have no idea...!

Seperti yang saya kemukakan diatas, kepulangannya ke India memang semata-mata karena kondisi kesehatan anak lelaki yang ketiga yang semakin memburuk. Sementara di rumah hanya istrinya yang merawat. Kecuali yang satu ini, ketiga anak-anaknya, alhamdulilah sehat, mereka sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Saya pernah menyarankan bagaimana jika menyewa seorang baby sitter saja guna membantu istrinya merawat puteranya yang memang membutuhkan bantuan penuh. Dengan begitu beban berat sang istri bisa lebih ringan. Nampaknya sang istri keberatan dengan usulan ini.

Keberadaan Abdul Azeem sendiri yang jauh di luar negeri bukannya tanpa alasan. Sebagai seorang kepala keluarga, dialah yang bertanggungjawab memikul beban finansial keluarganya, termasuk beaya sekolah ketiga anaknya yang mulai membengkak. Oleh sebab itu, dia dihadapkan kepada dilema yang berat sekali. Tinggal di luar negeri memberikan keuntungan kepada keluarganya dari segi keuangan. Namun nun jauh di sana, anak lelakinya yang ketiga, membutuhkan perawatan penuh.

Abdul Muhymin namanya, terlahir dengan cacat bawaan yang membuat dia lumpuh. Dalam usia yang ke dua belas, ketika pertama kali saya kenal Abdul Azeem, dari fotonya, penampilan Abdul Muhymin tidak ubahnya anak umur 2 tahun yang tidak mampu bergerak sama sekali, kecuali menangis apabila kencing atau buang air besar.

Saya mengetahuinya ketika beberapa saat sesudah kami kenal, Abdul Azeem meminta saya untuk menemaninya mencari beberapa perangkat peralatan anak-anak cacat. Saya sendiri dibuat agak heran sebenarnya waktu itu. Akhirnya saya ketahui manakala dia beberkan semuanya.

Sebagai seorang teman, saya cukup terharu dibuatnya. Abdul Muhymin memang pernah tinggal di Dubai bersamanya. Hanya saja, biaya perawatan fisioterapi yang semakin mahal membuat Abdul Azeem memutuskan dikirimkan anaknya ke India dimana beaya pengobatan lebih murah. Sementara dia sendiri pada akhirnya kontrak, gabung dengan bujangan-bujangan lainnya. Itung-itung sambil menghemat pengeluaran.

Setiap bulan Abdul Azeem selalu mengirim paket-paket kebutuhan anak-anaknya. Mulai dari sabun mandi, susu, pakaian, hingga pampers. Layaknya kaum lelaki India lainnya, merekalah yang mengurusi sebagian besar kebutuhan rumah tangga. Sementara sang istri tinggal di rumah, sang suami yang berangkat ke pasar, belanja sayur-mayur, lauk-pauk, hingga kebutuhan konstruksi bangunan. Ini mereka lakukan dengan alasan tidak aman jika kaum wanita yang harus keluar rumah. Makanya tidak heran, jika setiap akhir bulan, istrinya mengirim catatan kebutuhan yang diperlukan.

Abdul Azeem, yang aktif dalam kegiatan dakwah di Islamic Cultural Centre, tidak kalah sibuknya dengan sang istri. Meski jauh dari keluarga, perhatian yang diberikan terhadap anak-anaknya, tidak bedanya dengan perhatian dan kegiatan istrinya. Yang membedakan, mereka tidak tinggal bersama.

Pagi itu, entah apa yang mendorong, saya coba ubungi dia lewat telepon. "He is out!" suara disana, kedengarannya dari salah satu anak lelakinya, menjawab. "I will call again!" saya coba meyakinkan.

Tiga hari kemudian, saat saya sedang bekerja, telepon berdering. Innalillahi wa inna ilaii raji'un. Berita yang saya terima: putera Abdul Azeem berpulang ke rahmatullah! Abdul Muhymin, anak berusia 17 tahun yang tidak pernah mengenal arti keindahan permainan anak-anak, bahkan tidak pernah tahu pula perbedaan hitam dan putih, biru atau hijau, menyisahkan kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan bagi kehidupan Abdul Azeem. Setidaknya demikianlah yang bisa saya tangkap lewat surat yang saya terima sekitar dua minggu sepeninggal puteranya.

Sorry. Due to my son's demise, I could not reply your letter as decided. However, you understand my situation. To console my wife is little bit difficult, as you know she is the only lone person to support him 24 hours casualty. Please pray for my late son, Abdul Muhymin, rest in peace!

Amanah yang diberikan Allah SWT kepada kita memang bermacam-macam bentuknya. Adakalanya sebuah kenikmatan berupa harta kekayaan, martabat, atau anak-anak. Tidak jarang pula, malah sebaliknya, berupa cobaan hidup. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah amanah, apakah didalamnya kita kaya, miskin, bahagia atau menderita. Amanah tidak hanya berlangsung satu dua minggu atau dalam hitungan bulan saja. Bisa bertahun-tahun, tidak jarang pula seumur hidup. Yang menjadi persolan bukanlah bentuk dan lamanya. Akan tetapi bagaimana menyikapi amanah ini.

Apa yang telah dihadapi oleh Abdul Azeem diatas adalah salah satu bentuk amanah. Allah SWT memberikan cobaan kepadanya dengan menghadapi buah hatinya sendiri, selama 17 tahun didera nestapa. Sebuah kurun waktu yang tidak singkat. Secara pribadi, apabila saya dihadapkan kepada persoalan yang serupa, bisa saja membuat emosi ini tidak lagi stabil, misalnya mudah tersinggung, marah, dsb. Manusia memang lemah!

Duka yang membalut Abdul Azeem dan keluarganya, saya melihatnya sebagai sebuah hikmah. Dibalik segala derita yang menimpa mereka, hakekatnya betapa besar sebenarnya limpahan kasih sayang Allah SWT, dengan memberikan cobaan, sekaligus kesempatan beramal 24 jam sehari, selama 17 tahun! Buahnya, kini Allah SWT telah 'mengambil' hak milikNya, Abdul Muhymin, kembali menghadapNya. Kembali ke Atas sana, sebagai bunga Surga. Isyaallah!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Mensyukuri yang Sedikit

eramuslim - Orang yang tidak pernah memuji Allah atas nikmat air dingin yang bersih dan segar, ia akan lupa kepada-Nya jika mendapatkan istana yang indah, kendaraan yang mewah, dan kebun-kebun yang penuh buah-buahan yang ranum.

Orang yang tidak pernah bersyukur atas sepotong roti yang hangat, tidak akan pernah bisa mensyukuri hidangan yang lezat dan menu yang nikmat. Orang yang tidak pernah bersyukur dan bahkan kufur tidak akan pernah bisa membedakan antara yang sedikit dan yang banyak. Tapi ironisnya, tak jarang orang-orang seperti itu yang pernah berjanji kepada Allah bahwa ketika nanti Allah menurunkan nikmat kepadanya dan menyirami mereka dengan nikmat-nikmat-Nya maka mereka akan bersyukur, memberi dan bersedekah.

Dan, di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh." Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS At-Taubah: 75-76)

Setiap hari kita banyak melihat manusia model ini. Hatinya hampa, pikirannya kotor, perasaannya kosong, tuduhannya kepada Rabbnya selalu yang tidak senonoh, yang tidak pernah memberi karunia yang besarlah, tidak pernah memberinya rezkilah, dan yang lainnya. Dia mengucapkan itu ketika badannya sangat sehat dan serba kecukupan. Dalam kemudahan yang baru seperti itu saja, dia sudah tidak bersyukur. Lalu bagaimana jika harta yang melimpah, rumah yang indah, dan istana yang megah telah menyita waktunya? Yang pasti dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih banyak durhaka kepada Rabbnya.

Orang yang bertelanjang kaki, karena tidak punya alas kaki mengatakan, "Saya akan bersyukur jika Rabbku memberiku sepatu." Tapi orang yang telah memiliki sepatu akan menangguhkan syukurnya sampai dia mendapatkan mobil mewah.

Kurang ajar sekali. Kita mengambil kenikmatan itu dengan kontan, namun mensyukurinya dengan mencicil. Kita tak pernah bosan mengajukan keinginan-keinginan kita, tapi perintah-perintah Allah yang ada di sekeliling kita lamban sekali dilaksanakan.

***
Sumber: Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), karya Dr. Aidh Al-Qarni, terbitan Qisthy Press.