'Beruntung' para pengemis di negeri kita tidak dilarang oleh pemerintah untuk meminta-minta. Coba seandainya mereka dilarang, akan ke mana mereka meminta sebagian dari 'hak-hak' mereka?
Sejak terpuruknya bangsa kita enam tahun lalu, jumlah pengemis memang bukannya semakin berkurang. Di desa kami, per hari, tanpa melebih-lebihkan, tidak kurang dari lima pengemis akan mendatangi setiap rumah, khususnya yang tidak berpagar, dan... tentu saja kelihatan 'punya'. Hari Jum'at, lebih ramai lagi. 'Ladang' beramal? Itu bagi kita yang menyadari.
Sayangnya, tidak sedikit para pengemis ini yang menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah 'profesi'. Begitu kata sementara orang. Bagi mereka yang punya duit, akan dibangun rumah besar dan bertembok tinggi. Kalau mungkin, akan tertulis di depan pintu 'Dilarang Parkir'. Maksudnya kira-kira begini: para pengemis hendaknya jangan dekat-dekat!
Di Dubai-United Arab Emirates, dalam dua tahun terakhir ini 'kebijakan' pemerintah terhadap para pengemis memang ketat sekali. Kasarnya, tidak ada kata 'maaf' untuk mereka. Jika tertangkap oleh petugas, karena para pengemis ini biasanya para pendatang, konsekuensinya tidak tanggung-tanggung: dibawa ke kantor polisi, kemudian dideportasi. Maklum, sebagai sebuah negara kaya, apalagi Pemerintah Dubai tengah berupaya menarik wisatawan sebanyak mungkin sebagai the hub of the Middle East, mereka berusaha menciptakan suasana kota yang 'bersih'. Tidak terkecuali dari para peminta-minta ini.
Tapi lepas sholat Maghrib tadi aku menyaksikan sebuah pemandangan lain. Dua orang, sepasang suami istri tengah duduk di atas sebuah becak, katakanlah begitu karena di sana tidak ada angkutan jenis ini. Terkesan rakitan sendiri. Ketikaaku keluar melangkahkan kaki dari masjid, terlihat seorang Arab tengah merogoh kantongnya, kemudian sedikit membungkukkan badannya. Didekatinya mereka dan ditaruhnya kejumlah dirham ke atas telapak tangan yang tengah menengadah.
Tangan itu milik seorang ibu berjilbab, mengenakan abaya berbunga-bunga, warna-warni biru, kuning dan putih, tapi lusuh. Ibu yang saya perhatikan menutup semua anggota badannya ini hanya kelihatan dua belah matanya, sebagaimana umumnya pola berpakaian sebagian muslimah di UAE. Dari penampilan sang suami, nampaknya mereka berkebangsaan Pakistan. Sesudah orang Arab pertama yang memberikan sejumlah duit pada perempuan tersebut, saya lihat jamaah-jamaah yang baru saja keluar dari masjid melakukan hal yang sama.
Tahu kenapa mereka begitu tergerak mendermakan sebagian rejekinya kepada sepasang suami istri ini? Terlepas dari kekuatiran saya akan ditangkapnya mereka oleh petugas pemerintah, si perempuan setengah baya yang sedang menengadahkan kedua tangannya itu ternyata hanya memiliki separuh anggota badan!
Saya melihatnya, apa yang mendorong mereka melakukan pekerjaan ini lebih didasari oleh barangkali niat besar sang suami dalam menjaga amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya dalam memelihara istrinya yang tanpa kedua belah kaki. Subhanallah... betapa beruntungnya kita yang memiliki anggota tubuh yang lengkap. Sayangnya, kebanyakan dari kita kurang pandai bersyukur atas nikmat besar ini. Astaghfirullah...
Dalam perjalanan ke rumah, selepas Maghrib tersebut, pikiranku jadi melayang jauh ke nasib yang menimpah seorang rekan saya. Tentu saja dia bukan seorang pengemis. Dia bahkan secara materi boleh dikata punya. Yang hampir sama adalah, apa yang dialami oleh mendiang salah seorang putera rekan saya. Dia lumpuh total! Anggota badannya lengkap, akan tetapi sang anak tidak kuasa bahkan untuk mengangkat kepalanya sendiri. Dan itu sudah berlangsung selama tujuh belas tahun! Subhanallah...
As you know, I left Dubai purely because of my disabled child's health weakening. Everything Allah knows, and days are leaving behind me only to make prayers to Allah for my son's day after-Paradise.
Demikian bunyi bait kedua surat dari Abdul Azeem, ayah anak cacat tersebut, rekan saya, yang saya terima tanggal 13 November 2003 lalu. Waktu itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Dia tinggalkan Dubai, balik ke kampung halamannya di sebuah negara bagian Kerala, India. Sedangkan surat pertama yang saya terima darinya kurang lebih empat bulan sesudah kepulangannya ke India. Saya tidak sempat menemuinya karena ketika dia berangkat ke India, saya sedang cuti tahunan.
Abdul Azeem, 52 tahun, ayah 4 orang anak, yang saya kenal adalah orang yang taat beribadah, straight forward, jujur, dan suka menepati janji. Itulah beberapa karakter mulia yang saya ketahui tentang dia. Kepribadian dan perilaku baik ini yang membuat saya tidak bisa melupakannya sebagai seorang teman. Apalagi pada jaman sekarang di mana sulit mencari teman. Seperti kata Rhoma Irama dalam lagu lamanya, teman hanya mendekat bila uang melekat.
Namun lain halnya dengan orang setengah tua yang satu ini. Pada awal kami bertemu, katanya, saya mengingatkan dia akan seorang kenalannya asal Singapore. Maklum, Singapore dan Indonesia kan satu rumpun, jadi penampilan fisik antara temannya dan saya banyak kesamaan, seperti halnya orang India dan Pakistan. Hal itu dituangkannya dalam suratnya:
You perhaps are planning to leave the UAE. Earlier, I had a Singaporean friend, named Abdul Hameed, who worked for Armed Forces-Dubai as Aeronautical Engineer. Very nice friend, very co-operative, pious. But later, he left to the States for higher studies. Alhamdulillah he is now in Australia working for some airlines company. For a prolonged period we were in touch. But finally, I don't know. How I missed him and his whereabout, I have no idea...!
Seperti yang saya kemukakan diatas, kepulangannya ke India memang semata-mata karena kondisi kesehatan anak lelaki yang ketiga yang semakin memburuk. Sementara di rumah hanya istrinya yang merawat. Kecuali yang satu ini, ketiga anak-anaknya, alhamdulilah sehat, mereka sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Saya pernah menyarankan bagaimana jika menyewa seorang baby sitter saja guna membantu istrinya merawat puteranya yang memang membutuhkan bantuan penuh. Dengan begitu beban berat sang istri bisa lebih ringan. Nampaknya sang istri keberatan dengan usulan ini.
Keberadaan Abdul Azeem sendiri yang jauh di luar negeri bukannya tanpa alasan. Sebagai seorang kepala keluarga, dialah yang bertanggungjawab memikul beban finansial keluarganya, termasuk beaya sekolah ketiga anaknya yang mulai membengkak. Oleh sebab itu, dia dihadapkan kepada dilema yang berat sekali. Tinggal di luar negeri memberikan keuntungan kepada keluarganya dari segi keuangan. Namun nun jauh di sana, anak lelakinya yang ketiga, membutuhkan perawatan penuh.
Abdul Muhymin namanya, terlahir dengan cacat bawaan yang membuat dia lumpuh. Dalam usia yang ke dua belas, ketika pertama kali saya kenal Abdul Azeem, dari fotonya, penampilan Abdul Muhymin tidak ubahnya anak umur 2 tahun yang tidak mampu bergerak sama sekali, kecuali menangis apabila kencing atau buang air besar.
Saya mengetahuinya ketika beberapa saat sesudah kami kenal, Abdul Azeem meminta saya untuk menemaninya mencari beberapa perangkat peralatan anak-anak cacat. Saya sendiri dibuat agak heran sebenarnya waktu itu. Akhirnya saya ketahui manakala dia beberkan semuanya.
Sebagai seorang teman, saya cukup terharu dibuatnya. Abdul Muhymin memang pernah tinggal di Dubai bersamanya. Hanya saja, biaya perawatan fisioterapi yang semakin mahal membuat Abdul Azeem memutuskan dikirimkan anaknya ke India dimana beaya pengobatan lebih murah. Sementara dia sendiri pada akhirnya kontrak, gabung dengan bujangan-bujangan lainnya. Itung-itung sambil menghemat pengeluaran.
Setiap bulan Abdul Azeem selalu mengirim paket-paket kebutuhan anak-anaknya. Mulai dari sabun mandi, susu, pakaian, hingga pampers. Layaknya kaum lelaki India lainnya, merekalah yang mengurusi sebagian besar kebutuhan rumah tangga. Sementara sang istri tinggal di rumah, sang suami yang berangkat ke pasar, belanja sayur-mayur, lauk-pauk, hingga kebutuhan konstruksi bangunan. Ini mereka lakukan dengan alasan tidak aman jika kaum wanita yang harus keluar rumah. Makanya tidak heran, jika setiap akhir bulan, istrinya mengirim catatan kebutuhan yang diperlukan.
Abdul Azeem, yang aktif dalam kegiatan dakwah di Islamic Cultural Centre, tidak kalah sibuknya dengan sang istri. Meski jauh dari keluarga, perhatian yang diberikan terhadap anak-anaknya, tidak bedanya dengan perhatian dan kegiatan istrinya. Yang membedakan, mereka tidak tinggal bersama.
Pagi itu, entah apa yang mendorong, saya coba ubungi dia lewat telepon. "He is out!" suara disana, kedengarannya dari salah satu anak lelakinya, menjawab. "I will call again!" saya coba meyakinkan.
Tiga hari kemudian, saat saya sedang bekerja, telepon berdering. Innalillahi wa inna ilaii raji'un. Berita yang saya terima: putera Abdul Azeem berpulang ke rahmatullah! Abdul Muhymin, anak berusia 17 tahun yang tidak pernah mengenal arti keindahan permainan anak-anak, bahkan tidak pernah tahu pula perbedaan hitam dan putih, biru atau hijau, menyisahkan kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan bagi kehidupan Abdul Azeem. Setidaknya demikianlah yang bisa saya tangkap lewat surat yang saya terima sekitar dua minggu sepeninggal puteranya.
Sorry. Due to my son's demise, I could not reply your letter as decided. However, you understand my situation. To console my wife is little bit difficult, as you know she is the only lone person to support him 24 hours casualty. Please pray for my late son, Abdul Muhymin, rest in peace!
Amanah yang diberikan Allah SWT kepada kita memang bermacam-macam bentuknya. Adakalanya sebuah kenikmatan berupa harta kekayaan, martabat, atau anak-anak. Tidak jarang pula, malah sebaliknya, berupa cobaan hidup. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah amanah, apakah didalamnya kita kaya, miskin, bahagia atau menderita. Amanah tidak hanya berlangsung satu dua minggu atau dalam hitungan bulan saja. Bisa bertahun-tahun, tidak jarang pula seumur hidup. Yang menjadi persolan bukanlah bentuk dan lamanya. Akan tetapi bagaimana menyikapi amanah ini.
Apa yang telah dihadapi oleh Abdul Azeem diatas adalah salah satu bentuk amanah. Allah SWT memberikan cobaan kepadanya dengan menghadapi buah hatinya sendiri, selama 17 tahun didera nestapa. Sebuah kurun waktu yang tidak singkat. Secara pribadi, apabila saya dihadapkan kepada persoalan yang serupa, bisa saja membuat emosi ini tidak lagi stabil, misalnya mudah tersinggung, marah, dsb. Manusia memang lemah!
Duka yang membalut Abdul Azeem dan keluarganya, saya melihatnya sebagai sebuah hikmah. Dibalik segala derita yang menimpa mereka, hakekatnya betapa besar sebenarnya limpahan kasih sayang Allah SWT, dengan memberikan cobaan, sekaligus kesempatan beramal 24 jam sehari, selama 17 tahun! Buahnya, kini Allah SWT telah 'mengambil' hak milikNya, Abdul Muhymin, kembali menghadapNya. Kembali ke Atas sana, sebagai bunga Surga. Isyaallah!
Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae
0 komentar:
Posting Komentar