Bisikan Hati Seorang Amerika

“Hello…! You ? Oh my, why did you never call me for along time?” Suara itu datang dari jauh di seberang sana, San Antonio, negara bagian Texas, Amerika Serikat. Pemiliknya, Eduard Longoria. Pria berusia 62 tahun, seorang guru, staf pengajar sebuah sekolah menengah di Eagle Pass. Dari nada suara yang saya tangkap, seolah-olah dia tidak yakin bahwa sayalah peneleponnya. Setahun ini kami memang nyaris tidak lagi pernah kontak. Sebenarnya saya sudah berusaha beberapa kali mencoba hubungi lewat ponsel dan emailnya, tetapi saya ketahui kemudian keduanya tidak lagi aktif. Dering telepon diawal tahun ini paling tidak membuat dia lega, bahwa saya tidak melupakannya sebagai seorang teman. Ya! Kami sudah berteman, distance friendship, tidak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Selama itu pula kami tidak pernah ketemu, kecuali pada awal pertama ketika saya kenal dengannya sebagai seorang pasien, dan enam bulan sesudahnya.

Mulanya dugaan saya pasien yang satu ini orang Arab Libanon, karena penampilannya mirip-mirip orang Libanon yang ke-eropa-an. Kulit kemerahan, rambut pirang, sebagian nampak beruban, bermata biru, kumis tebal, dan postur tubuh sedang. Siapa pernah menyangka orang Amerika tiba-tiba muncul di rumah sakit, di tengah-tengah orang Arab? Kehadirannya di depan counter, bangsal dimana saya bekerja, pagi hari itu, mengotomatiskan sapaan umum saya, sebagai petugas kesehatan kepada pengunjung. “Inta marid...?” (Anda pasien?) sapaku dalam Bahasa Arab. “I don’t speak Arabic!” jawabnya ringan. “Sorry..!” Kataku mohon maaf. Saya tunjukkan tempat tidurnya di sudut bangsal. Dengan hanya berbekal sebuah tas kecil berisi sejumlah buku bacaan dia segera membaringkan diri di kamar pojok tersebut. Eduard mengalami gangguan sistem perkencingan.

Ada darah Spanyol mengalir pada tubuh pria ini. Prasangka awal saya membenarkan, dari namanya, sekalipun dilahirkan di bumi Paman Sam. Pertemuan kami terjadi di Kuwait, sesaat sesudah Perang Teluk, antara Irak-Kuwait. Eduard mengikuti program rekrutmen guru di Texas untuk ditempatkan sebagai tenaga pengajar pada American School of Kuwait. Selama rawat tinggalnya, disela-sela kekosongan waktu yang ada, misalnya dinas sore atau malam, saat Eduard terjaga, nampaknya dia butuh teman berbicara, saya menemuinya. Banyak obrolan yang bermanfaat diantara kami. Katakanlah sharing, berbagai topik. “Orang Amerika tidak seperti apa yang anda lihat di film-film!” katanya suatu saat ketika saya bertanya tentang kondisi lingkungan tempat tinggalnya di Texas. Ada nilai-nilai sosial yang mereka tetap junjung tinggi, baik itu soal penggunaan etika berbahasa maupun pergaulan. Hanya saja, sebagaimana akar budaya yang berbeda, apa yang berlaku di negeri lain, belum tentu bisa diberlakukan disana. Apa yang tabu di negeri kita, tidak mesti tabu di Amerika Serikat.

Misalnya, pada satu kesempatan Eduard memberitahu saya, dia diundang oleh temannya, sepasang guru yang akan meninggalkan Kuwait. Saya ditawari pula. Diajak serta memenuhi undangan makan malam di sebuah restoran di down town, Kuwait City. Tentu saja saya senang. Hanya saja yang tidak saya mengerti, ketika sebelum berangkat Eduard memberikan sejumlah uang kepada saya untuk pembayaran bill makan malam nanti. “Katanya diundang makan? Koq menyiapkan duit pembayarannya segala?” tanya saya dalam hati. Keraguan saya terjawab ketika kami berempat selesai makan. Ternyata, meski kita diundang, harus bayar sendiri-sendiri. Bayangkan jika itu terjadi di negeri kita? Memang beda kan?

Gangguan kesehatan yang menimpa Eduard, tepatnya pada prostatnya, tidak bisa diharapkan bakal pulih dalam waktu yang singkat. Beberapa kali dia harus pulang balik ke RS, hal yang membuat kami pada akhirnya lebih akrab. Kadang saya diundang ke apartemenya, dikenalkan kepada sesama guru asal AS, diantaranya Ms.Carole dan Mr. Keith. Sejauh pengetahuan saya, orang-orang Amerika ini memang tidak seperti mereka yang ada di film-film, apalagi seperti George W. Bush yang pandangannya ‘miring’ tentang Islam. Mereka baik sekali dalam menjamu tamu, terbuka, dan sopan sebagaimana profesinya, guru. Bergaul bersama mereka memberikan wawasan dan pengkayaan pengalaman hidup yang tersendiri bagi saya.

Berbagai persoalan hidup sempat kami diskusikan, tidak cuman terbatas pada kesehatan dan sosial budaya saja, juga agama. Sekali saya menyinggung soal Spanyol, yang dulunya dikenal sebagai Andalusia, negeri nenek moyang Eduard, yang dijawab dengan anggukan kepala ketika saya kemukakan bahwa mereka adalah orang-orang Islam yang terkhianati.

Dalam sebuah buku yang berjudul The Story of Islamic Spain, karya Syed Azizur Rahman (2001), disebutkan bahwa kaum Muslim Andalusia lenyap dari sana sesudah mengukir salah satu peradaban yang paling besar dalam sejarah Eropa. Keturunan mereka kini tidak lagi eksis di Spanyol, dimana selama berabad abad mereka tinggal, saling mengasihi sesama, berani bertarung dengan musuh, menciptakan keindahan, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, sisa-sisa keberadaan mereka masih tetap bisa dirasakan hingga kini. Eduard, sebagai seorang guru yang tahu sejarah, diam saja menyimak, saat sejarah kebesaran perjuangan Islam ke Spanyol yang dipimpin Tariq Ibn Ziyad pada tahun 711 sesudah Masehi ini saya singgung. Tanda setuju? Wallauhu’alam!

“I know Islam is a good religion!”, pernyataan itu keluar ketika saya katakan bahwa agama yang dianutnya selama ini bukanlah agama yang benar. Saya tunjukkan beberapa buah buku-buku kecil karya Ahmed Deedat yang saya harapkan bisa turut mewarnai bacaan-bacaan novel petualangan yang berjajar di rak bukunya. Saya berikan pula kopiah hitam dan sebuah sarung Samarinda sebagai kenangan. Dari wajahnya saya ketahui apa yang dikatakannya adalah pernyataan jujur, tidak sekedar membuat lawan bicaranya ‘senang’. Nilai-nilai positif inilah yang membuat saya, sebagai orang asing dimatanya, cukup kagum, terutama keterbukaannya terhadap kebenaran sebuah agama. Dia pernah katakan “It is still very difficult for me to apply Islam to be my religion among my own people!” Saya paham betul apa yang dikatakan, karena pindah agama, tidak semudah membalik tangan!

Pernyataan Eduard tentang Islam ternyata bukan hanya terbatas di mulut. Beberapa bulan sebelum kami kenal dia malah sudah belajar Bahasa Arab di Islamic Propagation Center (IPC) Kuwait City. Dia bilang, dia satu-satunya orang Amerika yang mengikuti kursus disana. Saya lihat buku-buku kursus Arabnya. Dia belajar menulis dan merangkai mulai dari Alif, Baa, Tha...hingga Ya’.....! Gaya tulisannya mengingatkan saya ketika baru belajar mengaji pada bulan-bulan pertama di rumah Kyai Arif di kampung kami. Tahu gaya tulisan Arab anak-anak kan? Sebagai pemula, penuh coretan, layaknya belajar menulis pertama kali. Eduard tertawa kecil ketika saya kemukakan bagaimana anak-anak di Indonesia belajar menulis arab di madarasah. Coba saja saya seorang ustadz, barangkali saya bisa bantu mengajarinya.

“Saya tahu, Nabi Isa bukanlah Tuhan” katanya. “Saya tidak menyembahnya!” lanjutnya. “Kenapa kamu tidak masuk Islam saja?” Tanyaku ingin tahu lebih dalam. Kelihatannya saya sudah ‘masuk’ terlalu dalam ke sisi kehidupan pribadinya yang bagi kebanyakan orang-orang Barat sebenarnya bersifat personal dan kita orang luar tidak perlu campur tangan. Sekali lagi, niat saya bukan mencampuri urusan pribadinya. Sebagai umat Islam saya tidak ingin orang semacam dia yang pada dasarnya mau membuka hatinya untuk menerima kebenaran, terperosok lebih jauh kedalam kesesatan. Barangkali dia sedikit butuh ‘encouragement’. Yang saya sadari adalah kendati hidayah hanya datang dari Allah SWT, tugas kita adalah menyampaikan pesanNya, betapapun hanya satu ayat.

Sayangnya niat saya tidak kesampaian. Eduard keburu balik ke negeri asalnya. Terbang bersama KLM, transit di Filipina sebelum meneruskan perjalanannya ke Los Angeles, pangkalan dimana dia harus mendarat pertama kali sebelum melanjutkan lagi ke Texas. Selama di Filipina, sebulan disana, koresponden kami berlangsung terus. Setidaknya dua kali surat yang saya terima dari Baougio, kota sejuk tujuan wisata di negerinya Mrs.Arroyo. Disana Eduard berkisah tentang masih dirasakannya gangguan saluran perkencingan yang dialaminya, dimana beberapa kali terjadi perdarahan.

Usianya saat ini tergolong tua, katakanlah kakek buat ukuran rata-rata orang kita. Faktor umur ini tidak membuat minat Eduard surut untuk melanjutkan studinya. Semangat belajar dan membacanya tinggi. Itu saya ketahui disaat-saat senggang. Bahkan pada saat memasak di dapur, ataupun mencuci (tentu saja dengan washing machine), sambil membaca. Sebuah nilai positif lagi yang bisa saya petik darinya.

Yang mengharukan adalah, ketika diceriterakannya dia harus pisah dengan sang istri. Dia merasa dikhianati wanita asal Mexico beberapa tahun sebelum berangkat ke Kuwait. Meski begitu, “I am strong enough!” katanya tanpa ekspresi sombong. Orang Amerika umumnya memang tidak segan-segan menunjukkan kelebihannya yang bagi orang kita tabu. Hidup sendiri di apartemenya tidak menjadi masalah, semua kerjaan dilakukannya sendiri. Anaknya, Jefrey, saat ini tinggal bersama bekas istri dan mertuanya. Seminggu sekali Eduard mengunjungi Jefrey, biasanya weekend.

Perbedaan agama yang ada diantara kami tidak menjadikan penghalang untuk terus berteman tanpa harus menjaga jarak sebagai sesama manusia, umatNya. Hampir 15 tahun sudah kami berteman, selama itu pula saya tidak pernah mengirimkan Kartu Natal, Tahun Baru ataupun ucapan Selamat Ulang Tahun kepada Eduard. Dia sangat menghormati keyakinan saya, bahwa di dalam Islam kami dilarang memberikan ucapan-ucapan tersebut yang pada intinya adalah doa. Padahal untuk menerapkan perlakukan yang sama di Indonesia konsep gaul antar umat beragama semacam kami bisa saja akan sulit. Keterusterangan itu kadang terasa pahit!

Sewaktu dia sudah berada di Amerika, saya kirimkan beberapa brosur-brosur tentang Islam. Sebagai imbalannya, saya juga dikirimin ‘Bible’ King James Version, sekedar menambah wawasan saya tentang ajaran Katolik yang dianutnya. Ketika Eduard meminta saya untuk mendoakan perbaikan kondisi sistem perkecingannya yang memakan waktu bertahun-tahun, sempat saya katakan “Ya!”. Saya katakan ‘ya’ dalam arti saya memohon kepada Allah SWT agar dibukakan pintu hati Eduard olehNya. Agar dia mendapatkan hidayahNya. Agar suara hati Eduard terhadap Islam selama ini segera menyeruak.

Setahun sesudah kepulangannya dari Kuwait dan tinggal di AS, dia berangkat lagi ke Saudi Arabia, tepatnya di Dammam. Jadi, harapan saya tidaklah berlebihan. Eduard sudah belajar banyak tentang kehidupan orang-orang Islam di tanah Arab, mempelajari Bahasa Arab, membaca buku-buku Islam, dan mengenal pula sejumlah muslim. “Anak-anak Arab nakal-nakal. Tapi di Amerika murid-murid kami jauh lebih nakal” katanya ketika mengomentari perbandingan sebagian pengalaman mengajarnya antara di AS, Kuwait dan Saudi. “However I’ve seen many good moslems”, akunya tanpa memperlihatkan ekspresi pujian. Orang-orang Amerika di tanah Arab umumnya mendapatkan perlakuan yang ‘lebih’. Pelayanan kesehatan gratis, pemondokan rumah tanpa bayar, dan tax-free salary adalah sejumlah fasilitas yang bisa saja malah sulit didapatkan di AS. Subhanallah! Sebuah alasan yang wajar jika mereka betah di Timur Tengah.

Sayangnya, serangkaian pengalaman ini tidak cukup bisa kita gunakan sebagai landasan bahwa Eduard lantas akan memeluk Islam. Bagi saya pribadi, minimal, dari sanalah saya bisa berasumsi bahwa gambaran Eduard terhadap Islam adalah jauh dari kesan negatif. Dua kali keberangkatannya ke Timur Tengah dari AS nyatanya bukan semata didasari oleh faktor finansial. Jika hanya karena uang, di Amerika Eduard juga gajinya besar. Sebaliknya, itu suatu pertanda positif, bahwa orang-orang diluar Islam semacam dia justru menaruh ‘simpati’, merasa dilindungi dan dihargai hak-haknya oleh kaum muslimin kala dia tinggal diantara mereka. Siapa tahu pengalaman yang telah dipetik Eduard bisa ditularkan kepada teman-temannya, murid-muridnya, dan orang-orang Amerika lainnya. Bahwa Islam sebagai agama yang cinta damai, tidak identik dengan aneka ragam terorisme yang selama ini banyak digembar-gemborkan oleh media masa Amerika Serikat.

Syaifoel Hardy

Shardy@emirates.net.ae

0 komentar:

Posting Komentar