Membongkar Aib Negeri . .KORUPSI

eramuslim - Pada zaman sekarang, di negeri ini, sulit sekali untuk mencari tempat yang bebas dari korupsi. Korupsi memang tidak mengenal istilah apakah kelasnya besar atau kecil. Korupsi ya korupsi, apakah itu uang, waktu, tenaga, atau materi lainnya. Tidak ada istilah negosiasi dalam mendefinisikannya!

“Aku di purchasing, bagian import. Jadi nggak usah khawatir. Aku nggak kerja di tempat basah kok! Justru yang aku sekarang lagi bingungi adalah perusahaan di Indonesia ini banyak sekali manipulasinya.
Dan itu hampir di semua perusahaan dan semua departmen. Misalnya pajak. Aku saat ini lagi dalam dilema antara terus bekerja atau berhenti. Karena aku tahu bahwa ada manipulasi di perusahaan. Dan aku merupakan bagian itu. Aku pernah bilang sama boss tentang hal ini. Tetapi jawabnya... kalau itu nggak kita lakukan perusahaan ini nggak bisa jalan, karena perusahaan yang lain semua melakukakannya.”

“Aku bingung. Kalau aku mau bersih mestinya aku nggak boleh bekerja di instansi ini.
Aku berencana pingin keluar tapi aku masih tunggu sampai hutang-hutang lunas. Bagaimana menurut anda? Apa langkah yang aku lakukan ini benar?”

Begitu kata Asri, seorang ibu, karyawan sebuah perusahaan di Jakarta kemarin, yang sedang gundah menghadapi negeri yang dilanda korupsi bertahun-tahun ini. Di tengah-tengah gejolak para politikus yang berkampanye dengan salah satu visi dan misinya yang antara lain ingin memberantas korupsi ini, saya memang agak 'pesimis' ini bisa terjadi. Habis! Jujur saja, saya pernah melakukannya, demikian pula teman-teman saya lainnya, meskipun tidak sekelas koruptor-koruptor ulung kita yang mengeruk kekayaan negara dan membawanya ke luar negeri.

Bagaimana tidak korupsi ya? Waktu itu honor saya cuma lima belas ribu rupiah. Tinggal di asrama yang disediakan oleh rumah sakit tempat saya bekerja, makan juga tersedia. Tapi cukupkah penghasilan yang sedemikian? Dua puluh tahun lalu, saya nggak tahu bagaimana orang menilainya, tapi kalau dibandingkan gaji pegawai negeri golongan IIA, honor tersebut hanyalah 25%-nya. Kecilkan? Relatif. Saya dibayar sebagai tenaga honorer di sebuah rumah sakit pemerintah.

Sebagai tenaga honorer yang baru kerja, saya akui serba takut. Takut karena belum berpengalaman dalam banyak bidang, salah satunya adalah soal uang ini. Lambat laun saya 'diajarin' rekan-rekan senior bagaimana bisa mendapatkan uang 'tambahan'. Sebagai yunior, kadang saya nggak bisa apa-apa kecuali 'membenarkan nasehatnya'. Satu, dua, tiga, dan entah berapa kali, akhirnya saya terbiasa mendapatkan uang-uang yang tidak sehat ini. Alhamdulillah saya akhirnya menyadari, bahwa lingkungan kerja semacam ini tidak mendidik secara moral. Saya pun pindah kerja!

Di tempat kerja yang baru pun, bukannya tambah baik. Kok teman-teman kerja yang gajinya masih di bawah angka penghasilan bulanan saya ini bisa gonta-ganti pakaian setiap saat, punya kendaraan bermotor, dan kelihatannya selalu punya uang ya? Su'udzon sih tidak, tapi kita kan menggunakan kalkulasi logis? Di kantor kami, memang ada yang disebut daerah 'basah' dan ada pula daerah 'kering'. Yang disebut pertama, sudah menjadi rahasia umum.

Saya sendiri akhirnya 'terdidik', untuk melipat-gandakan jumlah honor kerja lapangan di luar gaji rutin bulanan. Misalnya, aslinya kita bekerja hanya 8 jam seminggu di lapangan, kemudian diminta oleh pimpinan untuk melipat-gandakan di atas kertas menjadi 32 jam, atau 400%. Sang pimpinan, meskipun dia tidak ikut kerja, tapi namanya tercantum didalam daftar pekerja lapangan. Nah! Sebagai seorang staf saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Sistemnya dari dulu seperti itu! Semua orang melakukannya.

Kepala Tata Usaha (KTU)? Jangan tanya! Hampir bisa dipastikan, setiap karyawan di kantor kami, 'menyisipkan' sejumlah uang ke sakunya, sebelum diterima di instansi kami. Alhamdulillah, dengan bantuan Allah SWT, yang ini tidak saya lakukan! Sementara karyawan lain, ada yang harus mengangsur sesudah diterima jadi pegawai. Malangnya, sekitar 10 tahun kemudian, saat saya sudah tidak bekerja lagi di kantor tersebut karena pindah, sempat ketemu beliau, mantan KTU tersebut. Saya terharu dibuatnya. Beliau masih juga belum punya rumah! Padahal sudah pensiun, dan anak-anaknya menginjak usia dewasa, bahkan bercucu. Adakah ini dampak dari sebagian uang haram yang diperolehnya? Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu!

Empat tahun kemudian saya pindah kerja lagi. Di institusi yang baru ini, milik sebuah yayasan Katolik terkenal di kota kami, terlihat 'bersih'. Kultur kerja karyawannya terkenal: dedikasi tinggi, bebas korupsi! Sekilas slogannya memang begitu, bagi kami orang-orang 'sipil'. Artinya, segala sesuatu yang menyangkut uang, dikendalikan oleh para biarawati. Lama-kelamaan saya tahu, kok suster-suster yang ada di dalamnya yang duduk sebagai pengelola atau manajer di hampir semua departemen ini kelihatanya 'makmur' ya? Ujung-ujungnya saya tahu, 'pepatah' yang beredar di antara rekan-rekan kerja benar, bahwa jika ingin kaya, jadi saja suster! Astaghfirullah!

Sambil kerja, saya sekolah lagi. Di bangku kuliah, sebuah universitas milik yayasan Islam terkemuka, para dosen kami ini kok enak saja kalau absen. Seandainya nggak ngajar, mereka begitu saja biarkan jadwal-tinggal-jadwal, tanpa ada pemberitahuan kepada mahasiswa. Apalagi mengganti jam-jam kosong. Padahal kalau kami, mahasiswa terlambat bayar uang kuliah, didenda kan?
Hanya mahasiswa bodoh dan malas yang 'senang' apabila dosen nya tidak datang. Bukankah dosen-dosen macam ini adalah contoh guru yang bermental korupsi?

Di perjalanan ke kampus setiap hari, saya biasa naik mikrolet yang berkapasitas delapan orang di belakang, serta dua orang di depan termasuk sopir. Eh! Ternyata yang duduk bisa sampai duabelas orang di belakang dan tiga orang di depan termasuk si sopir. Jika penumpang mengeluh soal overloaded ini, sang sopir bilang: “Naik aja taksi kalau ingin enak!” Itu belum lagi jika penumpangnya ada yang gemuk, betapa tidak nyamannya naik transport ini. Padahal kita juga bayar kan?

Yang enak, hidup di desa barangkali! Bisa bebas dari berbagai bentuk korupsi. Begitu kiraku.

Kalau punya ladang atau sawah sendiri, itu yang digarap. Nyatanya, kemungkinan korupsi masih tetap ada. Di sawah kita juga bisa korupsi misalnya: air sawah! Kita bisa manfaatkan air yang mengalir secara tidak adil. Jatah orang lain yang letaknya di belakang sawah kita tidak terlalu kita perhatikan, alias kita dominasi penggunaan airnya. Petani lain akhirnya gagal panennya karena ulah kita. Wah! Jadi petani pun juga tidak begitu saja terhindar dari korupsi.

Seorang adik saya, lulusan IKIP, hingga sepuluh tahun terakhir ini statusnya masih guru tidak tetap di sebuah sekolah swasta. Saya bilang: itu lebih baik dibanding harus 'menyogok' penjabat Depdiknas yang kata dia sebesar dua puluh lima juta rupiah. Beberapa orang tetangga saya sejak dua puluh tahun lalu, hingga sekarang ini, masih juga memiliki satu ceritera yang tidak pernah berubah: korupsi dalam pencarian kerja! Jadi satpam pabrik, atau buruh di pabrik plastik, mustahil tanpa KKN!

Kalau saya urut bentuk dan macam-macam korupsi yang terjadi di negeri ini, terlalu panjang untuk ditulis. Sampai kapan hal ini berlangsung? Adakah pemimpin bangsa negeri ini concerned terhadap fenomena yang berlangsung layaknya flu allergica ini? Saya berharap muncul kepemimpinan yang meneladani sosok Umar bin Khattab r.a. atau Abu Bakar Sidik r.a. Mereka yang berani memberantas korupsi dan jujur dalam tindakannya.

Manusia, apapun profesinya, apakah itu dokter, insinyur, perawat, guru, sopir, pedagang, biarawati, kyai, buruh pabrik, satpam, hingga petani, kalau tidak terkendali, semuanya rawan akan korupsi. Pelaku atau korban korupsi, kedua-duanya sama saja!

Manusia memang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimiliknya. Guna pemenuhan kepuasan ini, banyak cara digunakan tanpa memandang apakah halal atau haram. Teman-teman kerja saya, hampir tidak pernah ada selesainya kalau berbicara masalah kepuasan ini. Sudah punya HP Alcatel ingin Ericsson, kemudian mencoba Nokia. Tidak lama, ingin memiliki HP yang berkamera. Sekarang, mau mencoba pula yang bervideo-camera dilengkapi radio. Biar rekan-rekan ada yang berpenghasilan sepuluh juta per bulan, masih kurang. Seorang rekan kerja, berprofesi sebagai auditor keuangan, mengaku gajinya lebih dari tiga puluh juta, juga belum cukup katanya. Astagfirullah!

Lingkungan kerja memang amat berpengaruh besar dalam pembinaan moral korupsi ini. Itulah pengalaman yang saya temui. Dua puluh tahun bukankah waktu yang relatif cukup untuk mengevaluasi apakah lingkungan kerja kita berpotensi membuat kita menjadi seseorang korup atau tidak? Betapapun kita sholat lima waktu, pengajian seminggu tiga kali, kalau teman-teman dalam lingkungan kerja kita rata-rata terjerat dalam lingkaran korupsi ini, lantas akan berdiri di mana kita?

Saya tidak merasa bersih, apalagi suci. Namun melihat environment seperti ini, membuat saya akhirnya pindah-pindah kerja beberapa kali. Kalau kita mau 'bersih'di sebuah instansi, kita akan dianggap makhluk 'aneh'. Tolong dirumuskan, bagaimana caranya menolak tanda tangan uang yang disodorkan kepada kita bila kita dibayar tanpa melakukan sebuah tugas? Jika kita menolaknya, kepala bagian keuangan akan dibuat repot. Repot karena penyusunan anggarannya kompeks sekali, termasuk pembagian 'jatah' tadi melalui perhitungan yang 'njlimet'. Risiko lainnya, jika kita tidak mau menerima duit tadi, kita disebut sok suci, atau akan dikucilkan teman-teman kantor. Sementara kalau mau menerima, timbul konflik batin. Kita memakan duit bukan dari hasil keringat kita sendiri.

Ironisnya, ibu-ibu rumah tangga di sekitar kita, banyak yang kurang peka masalah ini. Mereka puas dengan apa yang telah dibawa pulang suaminya. Bukannya menanyakan: “Dari mana Pak datangnya semua duit ini?”


“Kapan ya kita bisa terapkan kultur budaya tanpa harus korupsi ini?” tanyaku pada diri sendiri di tengah-tengah proses demokrasi akbar yang sedang kita alami ini. Sosok yang bisa bebas korupsi ini barangkali seperti profesi yang digeluti oleh seorang janda tua di pinggiran Trenggalek-Jawa Timur sana. Mbok Giyem namanya, Dukun Beranak profesinya.

Di dalam rumahnya, di sebuah desa terpencil Dongko, di tengah gunung, saya hanya melihat sebuah amben kecil, dua buah kursi kayu yang sudah kehitaman termakan usia. Satu meja kecil di pojokan ruang tamu yang diatasnya tergeletak sebuah Partus Kit, perlengkapan menolong persalinan hadiah dari Puskesmas setempat.

Dukun beranak terampil ini puas dengan kehidupan sehari-harinya, tanpa menuntut banyak kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada ibu bersalin yang harus dia kunjungi, atau bayi yang harus dia rawat, atau ibu hamil yang butuh pijat, dia bawa keranjang kecilnya ke ladang atau sawahnya. Dia cari apa-apa yang bisa dikerjakan atau bekal masak secukupnya di dapur rumah gedeknya.

Mbok Giyem mengatakan tidak pernah mematok harga berapa pasiennya harus membayar jasanya, meski nenek tua itu harus naik-turun gunung di tengah malam. Entah sudah berapa jumlah bayi yang sudah lahir lewat pertolongannya. Di tengah kesulitan medan yang jauh dari gemerlap hidup kota, digelutinya profesi langka ini dengan ikhlas.

Saya yakin, nenek tua ini akan terkejut sekiranya mengetahui betapa dalam kehidupan kota, banyak ditemui orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang menyandang profesi yang tidak jauh dengan apa yang beliau lakukan, tidak lagi tulus menjalankan tanggung jawabnya. Korupsi sudah lumrah dan menjadi keseharian orang-orang di lingkungan kesehatan. Buktinya? Masuk ruang gawat darurat saja di banyak rumah sakit sulit sekali. Bisa jadi mimpi jika tidak ada uang, betapapun darah mengalir deras, pelayanan kesehatan bisa didapat. Uang dulu, nyawa kemudian!

Sebagai warga negara, rasanya tidak berlebihan jika kita berharap dalam kepemimpinan mendatang nanti, seperti halnya kepemimpinan dua Khalifah diatas, pemerintah kita mampu membawa bangsa ini kepada prospek kehidupan yang lebih baik. Sesak rasanya nafas ini ketika korupsi hampir menyelimuti seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita.

Ketika saya kirim email pada Rini, seorang karyawati di Jakarta, menanyakan sedang musim apa saat ini, dia jawab, “Kalau udara, sepertinya sedang musim pancaroba. Jadi, sebentar panassss... kemudian gelap dan hujan. Makanya orang Indonesia baik dan ramah, karena udara juga mendukung. Tidak seperti di UAE... udara panas, jadi hati orang pun mungkin cepat panas!”

Apa yang disampaikan Rini mungkin ada benarnya, bahwa kondisi udara di Indonesia membuat penduduknya tidak harus cepat-cepat, apalagi tergesa-gesa dalam banyak hal. Tidak seperti di Inggris dan Canada yang dingin sekali, atau negara-negara Arab sana yang panas menyengat. Namun kenapa di negara-negara yang terlalu dingin ataupun terlalu panas udaranya ini angka korupsinya minim sekali? Apakah karena sikap ramah-tamah kita ini sehingga untuk memberantas korupsi pun kita masih harus berlambat-ria?
Wallahu a'lam!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Membahagiakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Ada pelajaran penting yang dapat saya tangkap dari interaksi sosial yang terjalin selama ini, bahwa salah satu bentuk usaha untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain adalah dengan memberikan penghormatan yang pantas dengan yang dihormatinya. Salah satu contohnya, memanggilnya dengan sapaan yang disenanginya, yakni dengan namanya yang sebenarnya atau gelarnya.

Sungguh dingin dan berat perasaan orang yang menyebut nama saudaranya dengan konteks-konteks yang tidak jelas misalnya, "Anda, si Ini" atau "si Itu". Apakah dengan memanggil seperti itu Anda ingin orang lain tidak mengenal Anda, memanggil Anda dengan nama yang salah, atau menyapa dengan gelar yang tidak benar? Saya tidak yakin.

Sikap mengabaikan dan menjatuhkan orang lain menunjukkan ketidakpekaan perasaan dan keras kepala.

Seorang isteri yang telah berusaha mengatur rumah, merapikan posisi perabot, dan menambahkan wangi-wangian untuk menyegarkan ruangan, tentu tidak akan habis pikir ketika suaminya masuk dan tidak tidak acuh terhadap usaha isterinya ini. Tak ada ekspresi apa-apa, dingin. Sikap suami seperti ini akan memupuskan semangat dan perhatian.

Berilah perhatian terhadap orang lain, ungkapkan rasa terimakasih Anda terhadap hasil karya orang lain, dan pujilah pemandangan yang bagus, bau yang menyegarkan, perbuatan yang baik, sifat yang terpuji, qashidah yang menyentuh, dan buku yang bermanfaat, agar nama Anda dicatat dalam daftarorang-orang yang bisa membalas budi dan jujur sebagai orang yang berkepribadian.

Dr. 'Aidh al-Qorny
Dari buku
Laa Tahzan (Jangan Bersedih!) terbitan Qisthy Press

Membalut Duka, Mengemban Amanah

'Beruntung' para pengemis di negeri kita tidak dilarang oleh pemerintah untuk meminta-minta. Coba seandainya mereka dilarang, akan ke mana mereka meminta sebagian dari 'hak-hak' mereka?

Sejak terpuruknya bangsa kita enam tahun lalu, jumlah pengemis memang bukannya semakin berkurang. Di desa kami, per hari, tanpa melebih-lebihkan, tidak kurang dari lima pengemis akan mendatangi setiap rumah, khususnya yang tidak berpagar, dan... tentu saja kelihatan 'punya'. Hari Jum'at, lebih ramai lagi. 'Ladang' beramal? Itu bagi kita yang menyadari.

Sayangnya, tidak sedikit para pengemis ini yang menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah 'profesi'. Begitu kata sementara orang. Bagi mereka yang punya duit, akan dibangun rumah besar dan bertembok tinggi. Kalau mungkin, akan tertulis di depan pintu 'Dilarang Parkir'. Maksudnya kira-kira begini: para pengemis hendaknya jangan dekat-dekat!

Di Dubai-United Arab Emirates, dalam dua tahun terakhir ini 'kebijakan' pemerintah terhadap para pengemis memang ketat sekali. Kasarnya, tidak ada kata 'maaf' untuk mereka. Jika tertangkap oleh petugas, karena para pengemis ini biasanya para pendatang, konsekuensinya tidak tanggung-tanggung: dibawa ke kantor polisi, kemudian dideportasi. Maklum, sebagai sebuah negara kaya, apalagi Pemerintah Dubai tengah berupaya menarik wisatawan sebanyak mungkin sebagai the hub of the Middle East, mereka berusaha menciptakan suasana kota yang 'bersih'. Tidak terkecuali dari para peminta-minta ini.

Tapi lepas sholat Maghrib tadi aku menyaksikan sebuah pemandangan lain. Dua orang, sepasang suami istri tengah duduk di atas sebuah becak, katakanlah begitu karena di sana tidak ada angkutan jenis ini. Terkesan rakitan sendiri. Ketikaaku keluar melangkahkan kaki dari masjid, terlihat seorang Arab tengah merogoh kantongnya, kemudian sedikit membungkukkan badannya. Didekatinya mereka dan ditaruhnya kejumlah dirham ke atas telapak tangan yang tengah menengadah.

Tangan itu milik seorang ibu berjilbab, mengenakan abaya berbunga-bunga, warna-warni biru, kuning dan putih, tapi lusuh. Ibu yang saya perhatikan menutup semua anggota badannya ini hanya kelihatan dua belah matanya, sebagaimana umumnya pola berpakaian sebagian muslimah di UAE. Dari penampilan sang suami, nampaknya mereka berkebangsaan Pakistan. Sesudah orang Arab pertama yang memberikan sejumlah duit pada perempuan tersebut, saya lihat jamaah-jamaah yang baru saja keluar dari masjid melakukan hal yang sama.

Tahu kenapa mereka begitu tergerak mendermakan sebagian rejekinya kepada sepasang suami istri ini? Terlepas dari kekuatiran saya akan ditangkapnya mereka oleh petugas pemerintah, si perempuan setengah baya yang sedang menengadahkan kedua tangannya itu ternyata hanya memiliki separuh anggota badan!

Saya melihatnya, apa yang mendorong mereka melakukan pekerjaan ini lebih didasari oleh barangkali niat besar sang suami dalam menjaga amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya dalam memelihara istrinya yang tanpa kedua belah kaki. Subhanallah... betapa beruntungnya kita yang memiliki anggota tubuh yang lengkap. Sayangnya, kebanyakan dari kita kurang pandai bersyukur atas nikmat besar ini. Astaghfirullah...

Dalam perjalanan ke rumah, selepas Maghrib tersebut, pikiranku jadi melayang jauh ke nasib yang menimpah seorang rekan saya. Tentu saja dia bukan seorang pengemis. Dia bahkan secara materi boleh dikata punya. Yang hampir sama adalah, apa yang dialami oleh mendiang salah seorang putera rekan saya. Dia lumpuh total! Anggota badannya lengkap, akan tetapi sang anak tidak kuasa bahkan untuk mengangkat kepalanya sendiri. Dan itu sudah berlangsung selama tujuh belas tahun! Subhanallah...

As you know, I left Dubai purely because of my disabled child's health weakening. Everything Allah knows, and days are leaving behind me only to make prayers to Allah for my son's day after-Paradise.

Demikian bunyi bait kedua surat dari Abdul Azeem, ayah anak cacat tersebut, rekan saya, yang saya terima tanggal 13 November 2003 lalu. Waktu itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Dia tinggalkan Dubai, balik ke kampung halamannya di sebuah negara bagian Kerala, India. Sedangkan surat pertama yang saya terima darinya kurang lebih empat bulan sesudah kepulangannya ke India. Saya tidak sempat menemuinya karena ketika dia berangkat ke India, saya sedang cuti tahunan.

Abdul Azeem, 52 tahun, ayah 4 orang anak, yang saya kenal adalah orang yang taat beribadah, straight forward, jujur, dan suka menepati janji. Itulah beberapa karakter mulia yang saya ketahui tentang dia. Kepribadian dan perilaku baik ini yang membuat saya tidak bisa melupakannya sebagai seorang teman. Apalagi pada jaman sekarang di mana sulit mencari teman. Seperti kata Rhoma Irama dalam lagu lamanya, teman hanya mendekat bila uang melekat.

Namun lain halnya dengan orang setengah tua yang satu ini. Pada awal kami bertemu, katanya, saya mengingatkan dia akan seorang kenalannya asal Singapore. Maklum, Singapore dan Indonesia kan satu rumpun, jadi penampilan fisik antara temannya dan saya banyak kesamaan, seperti halnya orang India dan Pakistan. Hal itu dituangkannya dalam suratnya:

You perhaps are planning to leave the UAE. Earlier, I had a Singaporean friend, named Abdul Hameed, who worked for Armed Forces-Dubai as Aeronautical Engineer. Very nice friend, very co-operative, pious. But later, he left to the States for higher studies. Alhamdulillah he is now in Australia working for some airlines company. For a prolonged period we were in touch. But finally, I don't know. How I missed him and his whereabout, I have no idea...!

Seperti yang saya kemukakan diatas, kepulangannya ke India memang semata-mata karena kondisi kesehatan anak lelaki yang ketiga yang semakin memburuk. Sementara di rumah hanya istrinya yang merawat. Kecuali yang satu ini, ketiga anak-anaknya, alhamdulilah sehat, mereka sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Saya pernah menyarankan bagaimana jika menyewa seorang baby sitter saja guna membantu istrinya merawat puteranya yang memang membutuhkan bantuan penuh. Dengan begitu beban berat sang istri bisa lebih ringan. Nampaknya sang istri keberatan dengan usulan ini.

Keberadaan Abdul Azeem sendiri yang jauh di luar negeri bukannya tanpa alasan. Sebagai seorang kepala keluarga, dialah yang bertanggungjawab memikul beban finansial keluarganya, termasuk beaya sekolah ketiga anaknya yang mulai membengkak. Oleh sebab itu, dia dihadapkan kepada dilema yang berat sekali. Tinggal di luar negeri memberikan keuntungan kepada keluarganya dari segi keuangan. Namun nun jauh di sana, anak lelakinya yang ketiga, membutuhkan perawatan penuh.

Abdul Muhymin namanya, terlahir dengan cacat bawaan yang membuat dia lumpuh. Dalam usia yang ke dua belas, ketika pertama kali saya kenal Abdul Azeem, dari fotonya, penampilan Abdul Muhymin tidak ubahnya anak umur 2 tahun yang tidak mampu bergerak sama sekali, kecuali menangis apabila kencing atau buang air besar.

Saya mengetahuinya ketika beberapa saat sesudah kami kenal, Abdul Azeem meminta saya untuk menemaninya mencari beberapa perangkat peralatan anak-anak cacat. Saya sendiri dibuat agak heran sebenarnya waktu itu. Akhirnya saya ketahui manakala dia beberkan semuanya.

Sebagai seorang teman, saya cukup terharu dibuatnya. Abdul Muhymin memang pernah tinggal di Dubai bersamanya. Hanya saja, biaya perawatan fisioterapi yang semakin mahal membuat Abdul Azeem memutuskan dikirimkan anaknya ke India dimana beaya pengobatan lebih murah. Sementara dia sendiri pada akhirnya kontrak, gabung dengan bujangan-bujangan lainnya. Itung-itung sambil menghemat pengeluaran.

Setiap bulan Abdul Azeem selalu mengirim paket-paket kebutuhan anak-anaknya. Mulai dari sabun mandi, susu, pakaian, hingga pampers. Layaknya kaum lelaki India lainnya, merekalah yang mengurusi sebagian besar kebutuhan rumah tangga. Sementara sang istri tinggal di rumah, sang suami yang berangkat ke pasar, belanja sayur-mayur, lauk-pauk, hingga kebutuhan konstruksi bangunan. Ini mereka lakukan dengan alasan tidak aman jika kaum wanita yang harus keluar rumah. Makanya tidak heran, jika setiap akhir bulan, istrinya mengirim catatan kebutuhan yang diperlukan.

Abdul Azeem, yang aktif dalam kegiatan dakwah di Islamic Cultural Centre, tidak kalah sibuknya dengan sang istri. Meski jauh dari keluarga, perhatian yang diberikan terhadap anak-anaknya, tidak bedanya dengan perhatian dan kegiatan istrinya. Yang membedakan, mereka tidak tinggal bersama.

Pagi itu, entah apa yang mendorong, saya coba ubungi dia lewat telepon. "He is out!" suara disana, kedengarannya dari salah satu anak lelakinya, menjawab. "I will call again!" saya coba meyakinkan.

Tiga hari kemudian, saat saya sedang bekerja, telepon berdering. Innalillahi wa inna ilaii raji'un. Berita yang saya terima: putera Abdul Azeem berpulang ke rahmatullah! Abdul Muhymin, anak berusia 17 tahun yang tidak pernah mengenal arti keindahan permainan anak-anak, bahkan tidak pernah tahu pula perbedaan hitam dan putih, biru atau hijau, menyisahkan kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan bagi kehidupan Abdul Azeem. Setidaknya demikianlah yang bisa saya tangkap lewat surat yang saya terima sekitar dua minggu sepeninggal puteranya.

Sorry. Due to my son's demise, I could not reply your letter as decided. However, you understand my situation. To console my wife is little bit difficult, as you know she is the only lone person to support him 24 hours casualty. Please pray for my late son, Abdul Muhymin, rest in peace!

Amanah yang diberikan Allah SWT kepada kita memang bermacam-macam bentuknya. Adakalanya sebuah kenikmatan berupa harta kekayaan, martabat, atau anak-anak. Tidak jarang pula, malah sebaliknya, berupa cobaan hidup. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah amanah, apakah didalamnya kita kaya, miskin, bahagia atau menderita. Amanah tidak hanya berlangsung satu dua minggu atau dalam hitungan bulan saja. Bisa bertahun-tahun, tidak jarang pula seumur hidup. Yang menjadi persolan bukanlah bentuk dan lamanya. Akan tetapi bagaimana menyikapi amanah ini.

Apa yang telah dihadapi oleh Abdul Azeem diatas adalah salah satu bentuk amanah. Allah SWT memberikan cobaan kepadanya dengan menghadapi buah hatinya sendiri, selama 17 tahun didera nestapa. Sebuah kurun waktu yang tidak singkat. Secara pribadi, apabila saya dihadapkan kepada persoalan yang serupa, bisa saja membuat emosi ini tidak lagi stabil, misalnya mudah tersinggung, marah, dsb. Manusia memang lemah!

Duka yang membalut Abdul Azeem dan keluarganya, saya melihatnya sebagai sebuah hikmah. Dibalik segala derita yang menimpa mereka, hakekatnya betapa besar sebenarnya limpahan kasih sayang Allah SWT, dengan memberikan cobaan, sekaligus kesempatan beramal 24 jam sehari, selama 17 tahun! Buahnya, kini Allah SWT telah 'mengambil' hak milikNya, Abdul Muhymin, kembali menghadapNya. Kembali ke Atas sana, sebagai bunga Surga. Isyaallah!

Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae

Mensyukuri yang Sedikit

eramuslim - Orang yang tidak pernah memuji Allah atas nikmat air dingin yang bersih dan segar, ia akan lupa kepada-Nya jika mendapatkan istana yang indah, kendaraan yang mewah, dan kebun-kebun yang penuh buah-buahan yang ranum.

Orang yang tidak pernah bersyukur atas sepotong roti yang hangat, tidak akan pernah bisa mensyukuri hidangan yang lezat dan menu yang nikmat. Orang yang tidak pernah bersyukur dan bahkan kufur tidak akan pernah bisa membedakan antara yang sedikit dan yang banyak. Tapi ironisnya, tak jarang orang-orang seperti itu yang pernah berjanji kepada Allah bahwa ketika nanti Allah menurunkan nikmat kepadanya dan menyirami mereka dengan nikmat-nikmat-Nya maka mereka akan bersyukur, memberi dan bersedekah.

Dan, di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh." Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS At-Taubah: 75-76)

Setiap hari kita banyak melihat manusia model ini. Hatinya hampa, pikirannya kotor, perasaannya kosong, tuduhannya kepada Rabbnya selalu yang tidak senonoh, yang tidak pernah memberi karunia yang besarlah, tidak pernah memberinya rezkilah, dan yang lainnya. Dia mengucapkan itu ketika badannya sangat sehat dan serba kecukupan. Dalam kemudahan yang baru seperti itu saja, dia sudah tidak bersyukur. Lalu bagaimana jika harta yang melimpah, rumah yang indah, dan istana yang megah telah menyita waktunya? Yang pasti dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih banyak durhaka kepada Rabbnya.

Orang yang bertelanjang kaki, karena tidak punya alas kaki mengatakan, "Saya akan bersyukur jika Rabbku memberiku sepatu." Tapi orang yang telah memiliki sepatu akan menangguhkan syukurnya sampai dia mendapatkan mobil mewah.

Kurang ajar sekali. Kita mengambil kenikmatan itu dengan kontan, namun mensyukurinya dengan mencicil. Kita tak pernah bosan mengajukan keinginan-keinginan kita, tapi perintah-perintah Allah yang ada di sekeliling kita lamban sekali dilaksanakan.

***
Sumber: Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), karya Dr. Aidh Al-Qarni, terbitan Qisthy Press.

Mimpi Indah di Atas Awan

eramuslim - Seperti biasa, saya ayunkan kaki ke ruang kerja saya. Lalu tak lama berselang, kunyalakan komputer dan aktifitas rutin pun mulai menggeliat. Kala itu jarum jam telah mulai beranjak dari angka 8. Sementara itu, dering telepon mulai bersahutan, air putih tampak nongol di atas baki si petugas, dan obrolan khas pengamat jadi-jadian pun mengalir dari mulut-mulut yang penuh cemas dan harap. Cemas akan calon presiden dan wakilnya yang buruk niat dan buruk akhlak, harap akan calon presiden dan wakilnya yang jujur, sederhana dan adil. Klise memang.

Tiba-tiba, seseorang mengejutkanku. “Kamu sudah lihat koran hari ini, De,” sapa atasanku. Terang saja saya penasaran. “Memangnya ada apa, Pak?” sahutku. “Coba lihat gambar ini, dech” pintanya. Lalu kulihat dan saya baca. ‘Seorang cawapres tampak terlelap di kursi pesawat pribadinya usai melakukan kampanye’. Demikian tulisan surat kabar itu.

Selintas berita itu tak ada yang aneh, alias biasa-biasa saja, gumamku. Toh tak ada salahnya ia punya pesawat pribadi senilai miliaran rupiah seperti kaum jet set di Amerika atau Eropa sana, atau seperti Emir-Emir Arab si raja minyak yang tak punya empati lagi terhadap saudara-saudara searab mereka di Palestina dan Irak yang tengah hidup melarat. Lagi pula burung besi pribadi itu dibeli dengan uang mereka.

Tapi tunggu dulu, meminjam gaya bahasa Al-Quran, meski dalam konteks yang sama sekali berbeda, “Farji’il basharo”. Maka lihatlah berulang-ulang. Maka kita akan temukan pesan moral yang teramat memilukan dan menorehkan luka sangat dalam bagi mereka yang masih memiliki sensitifitas dan kepekaaan sosial, atau bahasa pinternya sense of crisis.

Sesungguhnya luka kepedihan hati ini sudah lama menganga, oleh sebab gelombang kerakusan, ketamakan dan nafsu kekuasaan yang makin menggurita. Bagaimana tidak, Indonesia kita tercatat sebagai negara paling korup nomor 6 di dunia dan terkorup nomor 2 di kawasan ASEAN, parahnya lagi, seperti tak ingin ketinggalan kereta, para anggota dewan yang terhormat pun ikut latah berkorupsi secara berjamaah. Aji mumpung. Itulah prinsip mereka.

Barangkali, bapak cawapres yang terlelap di pesawat pribadinya tengah berpikir dalam mimpinya: bagaimana korupsi ditumpas habis, 35 juta orang miskin kian berkurang, setiap bayi yang lahir tak lagi punya hutang Rp 8 juta, perampokan hutan tak terdengar lagi, 10 juta orang pengangguran dapatkan pekerjaan, bocah-bocah tak perlu lagi bunuh diri lantaran malu tak mampu bayar SPP, dan seterusnya…

Tapi sayang itu sebatas terkaan saja, mimpi lagi. Faktanya, ketika gong kampanye mulai ditabuh, maka kekayaan para capres dan cawapres tak ubahnya angka-angka yang membuat rakyat mengernyitkan dahi, dari yang ratusan miliar sampai ratusan juta rupiah. Bahkan, sang kiai, yang juga kandidat wapres mempunyai kekayaan layaknya pejabat, Rp 7 miliar lebih. Luar biasa. Belum lagi dana kampanye yang jor-joran, sampai-sampai satu pasangan telah menghabiskan Rp 4,5 miliar!

“Ahh…andai saya hidup di zaman Abu Bakar atau Umar Bin Abdul Aziz, betapa bahagianya aku, saya tak perlu lagi ambil pusing melihat tingkah mereka yang menyakitkan, tak perlu lagi mencari-cari ‘kepekaan sosial’, yang semakin hari semakin langka saja pada diri para pejabat kita,” khayalku.

Tiba-tiba ingatanku mundur ke belakang, 1.400 tahun lalu. Tersebutlah putra mahkota Yaman tiba di Madinah dengan pakaian mewahnya. Lalu dilihatnya sang presiden Abu Bakar hanya mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan selembar lainnya menutupi sisa badannya. Putra mahkota itu menangis dan langsung melempar pakaian mewahnya sembari berkata, “Dalam Islam, saya tidak menikmati kepalsuan ini.”

Pada suatu malam, ketika maut menjemput, sang presiden Abu Bakar bertanya pada putrinya Aisyah, berapa jumlah kain kafan Nabi. Aisyah menjawab, “Tiga.” Abu Bakar langsung menyuruhnya untuk lekas mencuci dua kain yang tengah ia pakai, dan disuruhnya Aisyah membeli sisa satu kain. Tetes air mata Aisyah tak terbendung lagi. Pasalnya, sebenarnya sang ayah tak semiskin itu. Tapi Abu Bakar malah berkata, kain yang baru lebih berguna untuk orang yang hidup ketimbang untuk orang yang telah meninggal.

Lalu, lembar puncak kesahajaan itu kembali bersinar. Adalah Umar Bin Abdul Aziz yang menolak kendaraan dinas kerajaan yang serba wah pada zamannya ketika ia dinobatkan sebagai presiden. Ia berkata, “Aku tak memerlukannya. Jauhkanlah kendaraan itu dariku. Bawalah keledaiku ke sini. Itulah kendaraan yang cocok untukku”.

Akhirnya, tahukah Anda, Umar Bin Abdul Aziz sang penguasa negara adidaya kala itu ternyata tak punya cukup dana untuk menunaikan ibadah haji, sampai suatu ketika asisten beliau mengatakan bahwa jumlah uang hasil gajinya sebagai presiden telah cukup untuk biaya perjalanan haji. Namun Umar menjawabnya, “Telah lama kami pergunakan uang ini, sekarang umat Islam berhak menikmatinya.” Lalu ia memasukkan hasil pendapatannya ke kas negara. Subhanalloh.

Dan saya pun menghela napas sembari bergumam, andai kita hidup di zaman mereka, tentulah tulisan tentang pesawat sang cawapres ini tak perlu. Tapi nyatanya kita memang tengah hidup dengan mereka yang menyebalkan, atau meminjam istilah Eef Syaifulloh Fatah-Bangsaku Yang Menyebalkan.

Surat kabar itu kutatap kembali, tampak dengan santainya ia terlelap di atas awan tengah dimanjakan oleh pesawat pribadinya, sementara nun jauh di bawah sana, bocah itu tak lagi riang berteriak, “Kapal… kapal… minta duit, dong.” Asal tahu saja, kini bocah itu telah tiada karena bunuh diri. Pasalnya, ia tak mampu lagi bayar SPP. Dan kini, hanya satu kata yang tersisa: selamat mimpi indah di atas awan sana. Wallahu ‘Alam

Abu Walad
lias76 at maktoob dot com