eramuslim - Seperti biasa, saya ayunkan kaki ke ruang kerja saya. Lalu tak lama berselang, kunyalakan komputer dan aktifitas rutin pun mulai menggeliat. Kala itu jarum jam telah mulai beranjak dari angka 8. Sementara itu, dering telepon mulai bersahutan, air putih tampak nongol di atas baki si petugas, dan obrolan khas pengamat jadi-jadian pun mengalir dari mulut-mulut yang penuh cemas dan harap. Cemas akan calon presiden dan wakilnya yang buruk niat dan buruk akhlak, harap akan calon presiden dan wakilnya yang jujur, sederhana dan adil. Klise memang.
Tiba-tiba, seseorang mengejutkanku. “Kamu sudah lihat koran hari ini, De,” sapa atasanku. Terang saja saya penasaran. “Memangnya ada apa, Pak?” sahutku. “Coba lihat gambar ini, dech” pintanya. Lalu kulihat dan saya baca. ‘Seorang cawapres tampak terlelap di kursi pesawat pribadinya usai melakukan kampanye’. Demikian tulisan surat kabar itu.
Selintas berita itu tak ada yang aneh, alias biasa-biasa saja, gumamku. Toh tak ada salahnya ia punya pesawat pribadi senilai miliaran rupiah seperti kaum jet set di Amerika atau Eropa sana, atau seperti Emir-Emir Arab si raja minyak yang tak punya empati lagi terhadap saudara-saudara searab mereka di Palestina dan Irak yang tengah hidup melarat. Lagi pula burung besi pribadi itu dibeli dengan uang mereka.
Tapi tunggu dulu, meminjam gaya bahasa Al-Quran, meski dalam konteks yang sama sekali berbeda, “Farji’il basharo”. Maka lihatlah berulang-ulang. Maka kita akan temukan pesan moral yang teramat memilukan dan menorehkan luka sangat dalam bagi mereka yang masih memiliki sensitifitas dan kepekaaan sosial, atau bahasa pinternya sense of crisis.
Sesungguhnya luka kepedihan hati ini sudah lama menganga, oleh sebab gelombang kerakusan, ketamakan dan nafsu kekuasaan yang makin menggurita. Bagaimana tidak, Indonesia kita tercatat sebagai negara paling korup nomor 6 di dunia dan terkorup nomor 2 di kawasan ASEAN, parahnya lagi, seperti tak ingin ketinggalan kereta, para anggota dewan yang terhormat pun ikut latah berkorupsi secara berjamaah. Aji mumpung. Itulah prinsip mereka.
Barangkali, bapak cawapres yang terlelap di pesawat pribadinya tengah berpikir dalam mimpinya: bagaimana korupsi ditumpas habis, 35 juta orang miskin kian berkurang, setiap bayi yang lahir tak lagi punya hutang Rp 8 juta, perampokan hutan tak terdengar lagi, 10 juta orang pengangguran dapatkan pekerjaan, bocah-bocah tak perlu lagi bunuh diri lantaran malu tak mampu bayar SPP, dan seterusnya…
Tapi sayang itu sebatas terkaan saja, mimpi lagi. Faktanya, ketika gong kampanye mulai ditabuh, maka kekayaan para capres dan cawapres tak ubahnya angka-angka yang membuat rakyat mengernyitkan dahi, dari yang ratusan miliar sampai ratusan juta rupiah. Bahkan, sang kiai, yang juga kandidat wapres mempunyai kekayaan layaknya pejabat, Rp 7 miliar lebih. Luar biasa. Belum lagi dana kampanye yang jor-joran, sampai-sampai satu pasangan telah menghabiskan Rp 4,5 miliar!
“Ahh…andai saya hidup di zaman Abu Bakar atau Umar Bin Abdul Aziz, betapa bahagianya aku, saya tak perlu lagi ambil pusing melihat tingkah mereka yang menyakitkan, tak perlu lagi mencari-cari ‘kepekaan sosial’, yang semakin hari semakin langka saja pada diri para pejabat kita,” khayalku.
Tiba-tiba ingatanku mundur ke belakang, 1.400 tahun lalu. Tersebutlah putra mahkota Yaman tiba di Madinah dengan pakaian mewahnya. Lalu dilihatnya sang presiden Abu Bakar hanya mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan selembar lainnya menutupi sisa badannya. Putra mahkota itu menangis dan langsung melempar pakaian mewahnya sembari berkata, “Dalam Islam, saya tidak menikmati kepalsuan ini.”
Pada suatu malam, ketika maut menjemput, sang presiden Abu Bakar bertanya pada putrinya Aisyah, berapa jumlah kain kafan Nabi. Aisyah menjawab, “Tiga.” Abu Bakar langsung menyuruhnya untuk lekas mencuci dua kain yang tengah ia pakai, dan disuruhnya Aisyah membeli sisa satu kain. Tetes air mata Aisyah tak terbendung lagi. Pasalnya, sebenarnya sang ayah tak semiskin itu. Tapi Abu Bakar malah berkata, kain yang baru lebih berguna untuk orang yang hidup ketimbang untuk orang yang telah meninggal.
Lalu, lembar puncak kesahajaan itu kembali bersinar. Adalah Umar Bin Abdul Aziz yang menolak kendaraan dinas kerajaan yang serba wah pada zamannya ketika ia dinobatkan sebagai presiden. Ia berkata, “Aku tak memerlukannya. Jauhkanlah kendaraan itu dariku. Bawalah keledaiku ke sini. Itulah kendaraan yang cocok untukku”.
Akhirnya, tahukah Anda, Umar Bin Abdul Aziz sang penguasa negara adidaya kala itu ternyata tak punya cukup dana untuk menunaikan ibadah haji, sampai suatu ketika asisten beliau mengatakan bahwa jumlah uang hasil gajinya sebagai presiden telah cukup untuk biaya perjalanan haji. Namun Umar menjawabnya, “Telah lama kami pergunakan uang ini, sekarang umat Islam berhak menikmatinya.” Lalu ia memasukkan hasil pendapatannya ke kas negara. Subhanalloh.
Dan saya pun menghela napas sembari bergumam, andai kita hidup di zaman mereka, tentulah tulisan tentang pesawat sang cawapres ini tak perlu. Tapi nyatanya kita memang tengah hidup dengan mereka yang menyebalkan, atau meminjam istilah Eef Syaifulloh Fatah-Bangsaku Yang Menyebalkan.
Surat kabar itu kutatap kembali, tampak dengan santainya ia terlelap di atas awan tengah dimanjakan oleh pesawat pribadinya, sementara nun jauh di bawah sana, bocah itu tak lagi riang berteriak, “Kapal… kapal… minta duit, dong.” Asal tahu saja, kini bocah itu telah tiada karena bunuh diri. Pasalnya, ia tak mampu lagi bayar SPP. Dan kini, hanya satu kata yang tersisa: selamat mimpi indah di atas awan sana. Wallahu ‘Alam
Abu Walad
lias76 at maktoob dot com
0 komentar:
Posting Komentar