Pelajaran Maaf dari Sang Pengantar Air

Hal yang sangat rawan hidup di kawasan perkotaan Surabaya saat ini adalah masalah air bersih, terutama untuk minum dan masak. Menggunakan air PDAM untuk keperluan itu masih harus berpikir seribu kali, kecuali saya tidak lagi berpikir soal kesehatan keluarga sepuluh dua puluh tahun ke depan. Betapa tidak! Jika menggunakan air pemerintah itu, sebulan saja bak mandi tidak dibersihkan, endapan kotoran di dasar dan dindingnya cukup untuk mengisi ulang pasta gigi kita yang habis. Itu kalau putih, lha kalau hitam?

Oleh karena itu, saya berlangganan air bersih isi ulang yang didatangkan dari kawasan pegunungan Prigen, Pandaan. Setidaknya demikianlah yang saya pernah baca di punggung tangki air yang memasok toko air isi ulang langganan saya. Sedangkan air PDAM hanya saya gunakan untuk keperluan MCK dan menyiram halaman atau tanaman di depan rumah.

Harga air isi ulang yang belum dimasak Rp 1.500,- per galon, lebih murah seribu rupiah daripada yang sudah dimasak. Sebulan biasanya kami menghabiskan 8-12 galon dalam 2-3 kali pemesanan. Ditambah ongkos kirim ke rumah Rp 500,- per galon, maka jadilah per bulan saya keluar duit sekitar Rp 16.000,- s.d. 24.000,- untuk membeli air bersih isi ulang ini. Tentu saja sangat murah jika dibandingkan dengan kesehatan badan jika sedang terkena ujian sakit.

Tak terasa, hal demikian sudah berlangsung hampir 2,5 tahun sejak kami tinggal di Surabaya ini. Bagi saya, pemandangan ini menjadi rutinitas biasa yang sama sekali lepas dari pengamatan saya, hingga pada suatu hari, pengantar air isi ulang langganan keluarga saya itu datang ke rumah. Ia memang sedang mengantar 4 galon air pesanan istri saya seperti biasa. Saya sendiri sedang di kantor. Seperti biasa pula, Mbak Mis, khadimah kami di rumah mengawasi pemuda pengantar air itu membawa 4 galon air ke ruang dapur, menukarnya dengan 4 buah galon kosong, memberikan uang pembelian air, dan menerima kuitansinya. Yang tidak biasa, ia minta bertemu dengan istri saya. Istri saya pun dengan penuh tanda tanya keluar menemui pemuda itu.

"Ada apa, Mas?" tanya istri saya keheranan.

"Begini, Bu. Mungkin, ini terakhir kali saya mengantar air ke rumah Ibu," kata pemuda itu.

"Lho, memangnya kenapa? Apa mau kerja di tempat lain?" selidik istri saya.

"Nggak, Bu. Saya berencana untuk mondok di pesantren. Mau mengaji, Bu," katanya terus terang.

"Oh, ya bagus sekali itu," jawab istri saya surprised. "Lantas, ada apa pengin menemui saya?"

"Emm, saya pengin minta maaf, Bu. Barangkali selama saya mengantar air ke tempat ini ada salah terhadap Ibu dan keluarga di sini."

Masih dengan suara bergetar istri saya menceritakan kejadian itu malamnya kepada saya. Betapa seorang yang tidak pernah kita perhitungkan, bahkan cenderung kita lupakan, masih memiliki pribadi yang begitu rendah hati. Meminta maaf adalah soal gampang. Sekarang bahkan lewat SMS saja bisa. Tetapi, pemuda pengantar air ini saya bayangkan mendatangi pelanggannya satu demi satu untuk berpamitan dan sekaligus meminta maaf. Subhanallah!

Saya lalu seperti tiba-tiba teringat pada pemuda itu. Ia kecil, setengah kerempeng. Tingginya sekitar 165 cm. Sederhana, setidaknya cara dia berpakaian. Tipikal pemuda desa. Umurnya mungkin baru 22 tahunan. Rambut ikal. Warna kulit cenderung coklat sawo matang. Bentuk mukanya agak kotak seperti vas bunga dua dimensi. Nah suatu pagi beberapa bulan silam, pemuda itu mengantar air ke rumah, pesanan istri saya. Entah mengapa, motor roda tiga pengangkut airnya menyenggol mobil milik kantor yang saya parkir di luar rumah. Saya bergegas ke depan rumah dan menemukan pemuda itu sedang menatap mobil saya dengan muka pasi. Lumayan. Pada body belakang di atas roda kiri mobil itu ada bekas goresan cukup dalam memanjang sekitar 20 cm.

"Maaf, tergores, Pak!" katanya dengan nada penuh penyesalan.

"Wah, gimana Anda ini?" hardik saya sambil memperhatikan goresan itu. Tidak cukup kalau hanya didempul atau ditutupi dengan Kit penutup goresan. "Anda harus bertanggung jawab!"

Ia tampak bingung. "Maksud Bapak gimana?"

"Ini mobil kantor, Mas, bukan mobil saya. Tolong dimasukkan bengkel," pinta saya. "Setahu saya, mengecat satu bagian body itu bisa habis 500 ribu."

Ia tercengang. "Lima ratus ribu, Pak?"

"Ya," jawab saya tanpa mengurangi volume suara. "Kecuali mobil ini diasuransikan oleh kantor. Saya mesti tanya dulu. Biasanya untuk bayar klaim 100 ribu jika ditanggung asuransi."

Pemuda itu seperti linglung. Syukurlah saya masih sempat terpikir, barangkali duit seratus ribu itu besar buatnya.

"Sudahlah," kata saya akhirnya. "Siapkan saja 100 ribu.
Mudah-mudahan mobil ini ditanggung asuransi. Nanti saya kabari ke toko."

"Ya, Pak. Tapi saya butuh waktu untuk menyediakan uang itu,"
katanya menawar.

Begitulah kejadian itu seketika saya ingat kembali. Waktu itu pertimbangan saya sih agar ia bertanggung jawab dan di waktu mendatang lebih berhati-hati lagi membawa motor roda tiganya. Tetapi, hari ini, ketika ia baru saja berpamitan siang tadi, saya seperti dipaksa berpikir kembali. Jika saja dalam sehari ia bisa mengirim 10 galon air, maka jika sebulan ia masuk 22 hari, ia bisa mengirim 220 galon air. Itu setara dengan uang kira-kira Rp 550.000,- yang disetorkan ke pemilik toko. Jika ia mendapat insentif 20% dari uang hasil penjualan air itu, maka ia sebulan akan mendapat Rp 110.000,- saja. Andai ia menerima gaji secara persentase tergantung dari banyaknya galon air yang berhasil ia jual, maka ia hanya akan mendapat 110.000 sampai 150.000 sebulan barangkali. Jika ia harus makan 3x sehari @Rp 1.500,- maka untuk makan saja sebulan perlu Rp 135.000,- Katakanlah ia puasa Senin-Kamis, maka sebulan ia makan sekitar 22 hari. Itu menghabiskan Rp 99.000,- Jika ia tidak punya keperluan selain itu, maka sebulan ia bisa menyisihkan barang 30 ribu. Itu berarti ia harus mengumpulkan 3-4 bulan sisa gajinya untuk membayar klaim asuransi mobil saya yang tergores tempo hari! Untuk itupun, ia harus berpuasa Senin-Kamis.

Saya jadi lemes. Rasanya sangat berdosa membebankan pada seseorang yang santun seperti dia sesuatu yang bagi saya mungkin tak seberapa, tetapi baginya sangat besar. Meski untuk tujuan baik sekalipun.

Bersama istri saya sepakat untuk mengembalikan uang seratus ribunya itu. Mudah-mudahan ia belum keburu pergi. Dan hati saya semakin merasa bersalah saja, karena sampai detik ini, saya bahkan belum tahu siapa namanya.

Moga Allah mengampuni saya.


Surabaya, 18 Nopember 2005
Penulis Ketua FLP Jatim 2004-2006 (http://bahtiarhs dot multiply dot com)

0 komentar:

Posting Komentar