Ketika saya kecil, kalau bedug tanda berbuka puasa berbunyi, maka betapa gembiranya saya. Makanan-makanan yang sudah saya kumpulkan sejak siang, cepat-cepat saya lahap. Kolak, bubur, buah-buahan dan lain-lainnya. Pokoknya segala makanan yang terhidang di atas meja ingin sekali saya sikat habis. Walaupun pada kenyataannya perut tidak bisa menampung semua itu.
Itu puasanya anak kecil. Orang-orang alim mengatakan itu puasa perut. Puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga di siang hari. Dan pada malam harinya bisa kembali rakus seperti singa kelaparan.
Setelah bisa berpikir dan tahu apa sebenarnya hakekat puasa yang di-syari'at-kan itu, saya baru tahu, bahwa tidak makan dan minum di siang hari, tidak harus 'balas dendam' makan sekenyang-kenyangnya di malam hari. Sebab jika semua itu terjadi, ibadah lain di malam Ramadlan, seperti shalat taraweh, tadarrus, atau yang lainnya akan sangat berat untuk dilakukan.
Puasa adalah mengekang sifat berlebih. Puasa adalah menahan kita untuk 'melahap' terlalu banyak sesuatu dari porsi yang sebenarnya. Maka Ramadhan hadir kepada kita, tiada lain adalah 'tarbiyah' untuk menuju itu semua.
Dan suatu saat saya sempat bersilaturrahmi kepada seorang kyai pesantren. Beliau mempunyai sekolahan yang cukup megah. Bangunan pesantrennyapun tak kalah megahnya. Murid dan santrinya juga banyak. Tapi begitu masuk kediaman pribadi Kyai tersebut, subhanallah, saya tercengang. Tercengang karena kesederhanaannya. Ruang tamunya saja tidak lebih bagus dari ruang tamu tetangga saya yang tukang ojek.
Maka ketika pulang dari kompleks pesantren itu, teman saya berbisik. "Itu sosok manusia yang sudah bisa mengaplikasikan puasa dalam kehidupan sehari-hari. Beliau bisa membangun rumah lebih megah dari itu. Tapi beliau tidak melakukannya. Karena sudah punya sikap ketahanan untuk tidak berlebihan."
Maka ketika suatu saat saya mencoba mengulangi lagi membaca literatur kehidupan Rasulullah, sahabat dan para pengikut-pengikutnya yang shaleh, saya tidak begitu heran lagi.
Memang harus seperti itulah sikap seorang muslim yang beriman.
Rasulullah yang Nabi, menolak ketika Allah menawarinya dengan emas sebesar gunung Uhud. Padahal emas adalah lambang kemewahan yang diburu orang sepanjang zaman. Ternyata Rasulullah SAW memilih kesederhanaan saja. Umar bin Khattab, rela hanya memakai baju satu dalam beberapa hari. Padahal ia pemimpin umat. Umar bin Abdul Aziz, melarang anaknya membeli baju baru saat lebaran, karena hati-hatinya terhadap tanggung jawabnya kelak. Lantas Ali bin Abi Thalib? Ya Allah, makanan hariannya saja sering sekali kekurangan.
Jadi sangat tidak heran jika Kyai pesantren itu bersikap seperti itu dalam kehidupan kesehariannya. Sederhana. Zuhud. Tidak berlebihan walaupun mampu untuk berbuat lebih. Karena yakin beliau berkiblat bukan kepada siapa-siapa, tetapi berkiblat kepada para 'bintang-bintang' muslim yang sudah jelas terang sinarnya. Dan sudah bisa menghasilkan takwa dari proses 'tarbiyah' Ramadhannya.***
woyo72 at yahoo dot com
0 komentar:
Posting Komentar