oleh DULTOHA
Keutamaan Sedeqah
oleh DULTOHA
Berhati-Hatilah Dalam Berteman, Nak
Berhati-Hatilah Dalam Berteman, Nak
oleh Sigit Indriyono
Obat hati ada lima perkaranya,
Yang pertama baca Qur’an dan maknanya Yang kedua, sholat malam dirikanlah Yang ketiga, berkumpullah dengan orang saleh........
Terdengar lagu Tombo Ati yang dinyanyikan oleh Opick dari televisi di ruang keluarga, saat aku sedang istirahat usai makan malam bersama keluarga. Penggalan lagu di atas:” Yang ketiga, berkumpullah dengan orang saleh, ” mengingatkan aku pada nasehat dari almarhum ayah kepadaku dan saudara-saudaraku. Nasehat yang selalu disampaikan oleh beliau berulang kali. Tujuannya agar kami sebagai anak-anaknya selalu ingat, memperhatikan dan mematuhi nasehat beliau. Nasehat yang sangat penting dalam menjalani kehidupan.
” Berhati-hatilah dalam berteman, nak, ” itulah nasehat almarhum ayah yang selalu kupegang teguh hingga saat ini dan hari-hari mendatang. Nasehat yang singkat namun mempunyai makna yang sangat dalam. Nasehat yang selalu berulang kali kusampaikan juga kepada dua orang anakku.
Berteman adalah kebutuhan mutlak bagi kita yang merupakan makhluk sosial. Sebagai sarana untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Perlu disadari, lingkungan pergaulan yang heterogen sangat signifikan dalam membentuk karakter dan akhlak seseorang. Demikian pentingnya hal di atas, tercermin dalam sabda Rasulullah SAW: ” Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.''" (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Jika kita banyak bergaul dengan orang-orang yang saleh, maka dengan izin Allah SWT akhlak dan perilaku kita akan terimbas oleh kesalehan mereka. Demikian juga sebaliknya. ''Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api pandai besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap.'' (HR Bukhari).
Dalam realitas sehari-hari, tak jarang kita lihat orang bisa terjerumus dan menyimpang dari jalan-Nya, karena terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang tidak baik. Suatu masalah yang sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat. Berhati-hati dalam berteman adalah solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Di dalam menjalin hubungan pertemanan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, agar mendapat ridho dari Allah SWT. Pertama, saling menasehati ke arah kebaikan dan saling mengingatkan jika ada kesalahan atau kekhilafan. Kedua, tidak meremehkan atau memandang rendah pada teman. Ketiga, tidak iri atau dengki atas karunia yang diberikan kepada teman oleh Allah SWT. Keempat, tidak berprasangka buruk kepada teman. Kelima, tidak membicarakan aib teman. Keenam, menjaga rahasia yang diamanahkan oleh teman.
Pertemanan yang dijalin semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi bersifat sementara. Sekarang menjadi teman, mungkin besok atau pada kemudian hari akan menjadi lawan. Sedangkan pertemanan yang paling mulia adalah yang dijalin karena Allah SWT. Tidak ada tujuan apa pun dalam pertemanan mereka, selain untuk mendapatkan ridha-Nya.
''Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zholim menggigit kedua tangannya seraya berkata, aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya, dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.'' (QS Al-Furqaan [25]: 27-29). Ayat di atas menggambarkan betapa besar penyesalan di hari akhir, karena pertemanan akrab yang telah menyesatkan dari jalan-Nya. Suatu penyesalan yang terlambat, dan merupakan resiko yang diakibatkan oleh kelalaian dalam berteman.
Selasa, 29/01/2008 05:07 WIB
Keutamaan Sedeqah
oleh Dultoha Selasa, 29/01/2008 05:07 WIB Cetak | Kirim | RSS
Pada waktu Alloh menciptakan gunung-gunung di muka bumi bergetarlah seluruh jagat raya ini, kemudian para malaikat bertanya pada Alloh. "Ya Robi adakah yang lebih dahsyat lagi dari gunung" kemudian Alloh menjawab, "Ada, yang lebih dahsyat dan hebat dari gunung adalah Besi baja." untuk saat ini saja banyak bukit dan gunung yang berubah menjadi dataran karena di ratakan oleh Buldoser.
Kemudian Para malaikat bertanya lagi, "adakah yang lebih hebat dan kuat dari sebuah besi dan baja" Alloh menjawab, "Ada, yang lebih kuat dan hebat dari sebuah besi dan baja adalah Api" Bayangkan segimana kuatnya besi jika dibakar oleh bara Api makan akan membara dan lumer.
Kemudian Para Malaikat pun meneruskan pertanyaan lagi, "adakah yang lebih dahsyat dan kuat dari Api." Alloh menjawab "Ada, yang lebih kuat dan dhasyat dari Api adalah Air." Seganasnya Api, maka akan mati dan padam jika di timpa atau diguyur Air.
Kemudian Malaikat bertanya lagi "adakah yang lebih hebat dari Air" Alloh Menjawab "Ada, yang lebih dahsyat dari Air adalah Angin." Bayangkan luasnya Samudra yang dipenuhi air, maka air tersebut akan turut dan patuh sama Angin, maka terjadinya Ombak, besar kecilnya ombak tergantung besar kecilnya Angin.
Kemudian Malaikat Bertanya lagi. "Adakah yang lebih kuat dan hebat dari Angin" Alloh Menjawab "Ada, Yang lebih kuat dan hebat dari Angin adalah Sedeqahnya umat Adam di mana tangan kanan yang memberi dan tangan kiri tidak mengetahinya, Artinya adalah Sedeqah yang Ikhlas tanpa mengharap imbalan dan dilihat orang.
Pada suatu saat teman saya bercerita tentang temannya yang mengalami kejadian luar biasa.
Ceritanya ada dua Akhwat yang hendak pulang ke kampung halamannya di salah satu kota di jawa tengah, mereka naik salah satu Bus, dalam perjalanan bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan hebat, seluruh penumpangnya mengalami luka-luka bahkan yang duduk disebelah kursi mereka meninggal.
Anehnya Akhwat berdua tidak mengalami luka sedikitpun bahkan mereka baru menyadari bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan karena pada saat kejadian mereka tertidur.
Teman saya bertanya kepada temannya mengenai kejadian aneh yang menimpa itu. "Kenapa bisa seperti ini kalian sementara yang duduk disebelahnya saja sampai mengalami luka yang cukup serius" dari salah satu Akhwat bercerita mengenai kebiasaan bersedeqah sebelum berangkat pergi pulang kampung, dan dalam perjalanan mereka selalu bersholawat dan berdzikir sampai tertidur.
Kuharus punya : Rasa Malu
Belajar Dalam Arti Sesungguhnya
DiMH : Tersenyumlah dan Jangan Sakiti Orang Lain
oleh Sigit Indriyono
Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
oleh Muhammad Rizqon
Saya memiliki seorang paman, Mitrof namanya. Usianya sebaya dengan usia saya. Memang agak unik, paman kok usianya sebaya. Tetapi itulah kenyataannya. Ia memang bukan paman dekat, dalam arti saudara langsung dari ibu atau ayah saya. Saya tidak tahu persis bagaimana silsilahnya, tetapi karena banyak keluarga yang menyatakan bahwa ia adalah seorang paman saya, maka saya memanggilnya “Lek”, yaitu panggilan seorang paman dalam terminologi Jawa.
Suatu ketika saya berkunjung ke rumahnya. Saat itu, kami menjelang kelulusan SMA dan dihadapkan pada kebimbangan apakah akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Kami membicarakan bagaimana kiat-kiat agar bisa lolos dalam UMPTN dan mampu kuliah di tengah kondisi ekonomi yang kurang mendukung pada saat itu. Kami adalah teman satu kelas dan satu SMA di Pekalongan. Hubungan kami cukup akrab. Kadang saya yang bersilaturahim ke rumah dia, dan kadang dia yang bersilaturahim ke rumah saya.
Pada saat kami berbincang-bincang itu, ibu dari paman saya itu turut bergabung dan melibatkan diri dalam perbincangan. Boleh jadi, bagi beliau topiknya cukup menarik karena menyangkut masa depan anaknya. Beliau mengungkapan kata-kata yang hingga kini tidak pernah saya lupakan. Beliau berujar bahwa sudah menjadi kewajiban orang tua —termasuk diri beliau— untuk menyekolahkan dan mengkuliahkan anaknya. Beliau mengatakan bahwa selama ini berusaha keras untuk menyekolahkan dan mengkuliahkan anak-anaknya (termasuk paman saya itu), walaupun harus dengan cara bersusah-payah dalam mencari rezeki. Upaya keras yang dilakukannya itu, diibaratkan beliau dengan ungkapan ‘Walau kaki harus naik ke atas kepala, dan kepala harus turun ke bawah kaki’. Maksudnya tidak lain adalah upaya keras yang sekeras-kerasnya, menumpahkan segenap daya, mencucurkan keringat, membanting tulang, dan berusaha membalikkan hal-hal dianggap mustahil bagi manusia tetapi tidak mustahil bagi Allah SWT.
Dukungan moril dari ibu yang demikian, tentu membangkitkan semangat belajar sang anak. Pikiran sang anak juga akan terfokus pada hal-hal yang dipelajari dan mampu mengembangkan pemahaman belajar secara kreatif. Demikian pula yang dirasakan oleh paman saya itu. Paman tidak perlu pusing memikirkan apakah secara finansial bisa kuliah atau tidak. Tugas dia adalah belajar dan belajar sehingga bisa lolos dalam UMPTN. Dan memang, pada saat hasil seleksi UMPTN diumumkan, namanya tercantum sebagai calon mahasiswa yang lolos, yaitu pada fakultas farmasi sebuah PTN di Yogyakarta yang menjadi pilihan utamanya.
Kini, pamanku itu menjadi seorang apoteker di kota Pemalang dan menjadi dosen sebuah perguruan tinggi swasta di kota Pekalongan. Di samping itu, dia juga aktif dalam berbagai organisasi keagamaan termasuk sebuah lembaga pemberdayaan masjid yang dirintis dan diketuainya. Meski secara duniawi ia merasa tidak begitu sukses, namun saya menilainya secara akademis dia cukup sukses. Terlebih jika saya membandingkan banyak teman yang tidak mampu kuliah, kemudian terjun ke dunia kerja sebagai buruh kasar dengan penghasilan yang sangat pas-pasan, apa yang dicapai oleh paman saya itu adalah sebuah prestasi yang patut disyukuri.
Dan sebenarnya jika mengingat betapa nikmatnya bisa kuliah, antara lain bisa mengembangkan wawasan, menumbuhkan potensi berorganisasi dan kemampuan menajerial, melatih ketajaman berpikir, menimba ilmu alam dan keIslaman, menjalin hubungan dengan banyak pihak, dan lain-lain, maka nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat yang cukup memberikan bekal bagi kehidupan mandiri pasca kuliah. Hal tersebut adalah suatu prestasi yang tidak bisa dinilai kecil dan boleh jadi sangat mempengaruhi langka-langkah kehidupan selanjutnya.
Saya mengambil hikmah, bahwa ternyata keinginan pamanku untuk bisa kuliah dan menjadi seorang apoteker itu, terpenuhi karena dukungan yang besar dari sang ibu. Kisah pamanku itu adalah sedikit kisah dari banyak kisah yang membuktikan bahwa ‘apa yang terjadi pada seorang anak saat ini’ adalah buah dari langkah-langkah sang ibu di masa lalunya. Sang ibu yang senantiasa menapaki jalan hidupnya di dalam kebaikan, mencari rezeki halal demi masa depan anak-anaknya, rajin bermunajat di penghujung malam mendoakan anak-anaknya, semua itu sangat mempengaruhi masa depan anaknya.
Namun sebaliknya, andaikan sang ibu mencari rezeki dari jalan yang buruk, suka memberikan kata-kata kasar dan buruk kepada anaknya, memarahi dan memukuli anaknya, dan segala kegiatan beratribut buruk lainnya, maka akan berpengaruh pada perilaku anaknya. Ia akan menjadi buruk baik secara pemikiran maupun akhlak. Dan boleh jadi semua itu menjadi biang ketidakberhasilannya dalam bangku pendidikan. Tidaklah mungkin suatu output yang buruk, baik secara kognitif (keilmuan), afeksi (moralitas), dan konatif (operasional), dihasilkan dari suatu input yang baik. Sudah menjadi fakta empiris bahwa output yang buruk dihasilkan dari input yang buruk juga. Istilah kerennya adalah “garbage in garbage out”.
Anak-anak yang susah sekali diajak kepada jalan kebaikan, yang suka berhura-hura, yang berkata kotor, yang bermental preman, mimum-minuman keras, memakai narkoba, dan lain-lain, boleh jadi disebabkan oleh langkah dari ibu-ibu mereka yang kurang tepat di masa lalu. Dan tentu saja, ini tidak mengke sampingkan peran ayah sebagai pemimpin bagi ibu dan anak-anak.
***
Suatu ketika ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah Saw meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama Rasulullah Saw, maka beliau bertanya, “Adakah engkau masih memiliki ibu?”. Orang itu menjawab, “Ya, Masih. ” Kemudian beliau bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu. Karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya”.
‘Surga di bawah telapak kaki ibu’, demikian petikan bunyi hadits yang sering kita dengar sebagai ungkapan yang sering disitir banyak orang. Bagaimana mengartikannya? Banyak orang mengambil pelajaran tentang kewajiban setiap anak untuk berbakti kepada ibunya (orang tua) mengingat jasa ibu yang demikian teramat besar bagi sang anak. Jasa ibu yang demikian besar tidak bisa dibalas oleh seorang anak, walau dengan emas dan permata setinggi gunung sekalipun. Pemahaman yang demikian penting diresapi bagi ‘seorang anak’ agar ia mampu mengoptimalkan kebaktiannya kepada ibunya (orang tuanya).
Namun seringkali seorang anak tidak selamanya hanya berperan sebagai anak yang senantiasa diliputi pikiran untuk berbakti kepada ibu-(orang tua)-nya. Jika ia seorang anak laki-laki yang sudah beristri dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan pendidikan isteri dan anak-anaknya. Jika ia seorang isteri yang telah bersuami dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya.
Dan hadits “surga di bawah telapak kaki ibu” itu menyimpan sisi hikmah yang agung bagi seorang ibu agar menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya karena kebaikan sang anak (surga) tergantung dari langkah kaki (upaya pendidikan) dari ibunya.
Seorang ibu yang selalu menapakkan langkahnya menuju kemaksiatan, maka sentuhan pendidikannya adalah penuh kemaksiatan. Kemaksiatan yang tertanam pada seorang anak ini bisa menghantarkannya kepada neraka. Contoh kecil saja bagaimana seorang ibu yang senantiasa berdusta kemudian ia memberikan sentuhan pendidikan kepada anaknya pun dengan dusta. Maka wajarlah jika kebiasaan dusta itu menurun kepada seorang anak. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda barang siapa yang berkata dusta, maka kedustaannya itu akan menghantarkannya pada keburukan, dan keburukan itu akan menghantarkannya pada api neraka.
Alangkah indah jika ungkapan di atas dipahami secara bijak oleh seorang anak dan juga seorang ibu. Seorang anak lebih melihat kepada 'kewajiban berbakti' dan seorang ibu akan lebih melihat kepada 'kewajiban mendidik'. Insya Allah jika demikian adanya, maka tidak akan pernah terjadi konflik yang mempertentangkan antara orang tua dan anak. Sebaliknya, suasana kehidupan keluarga terasa sangat kondusif buat menumbuh-suburkan potensi kebajikan yang akan menghantarkan mereka semua kepada surga Allah nan abadi kenikmatannya.
Saat ini kita melihat peran seorang ibu yang demikian strategis itu banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh sebagian para ibu. Mereka lebih suka mengerjakan tugas lain selain tugas merawat dan mendidik anak. Seharusnya, bagaimana pun kesibukannya pekerjaan merawat dan mendidik anak adalah pekerjaan prioritas di atas pekerjaan yang lain. Tugas merawat dan mendidik anak bukanlah pekerjaan sepele. Dia membutuhkan profesionalitas. Bagaimana tidak? Tugas yang mengantarkan pada pencapaian sumber kebahagian yang semu saja (duniawi) membutuhkan profesionalitas, bagaimana dengan tugas yang menghantarkan pada kekuatan generasi yang menghantarkan pada kekuatan ummat? Padahal di dalam kekuatan ummat itulah potensi-potensi kebajikan yang menghantarkan pada kebahagian abadi (surga) bisa dioptimalkan? Jelas bahwa tugas demikian sangat membutuhkan profesionalitas, bahkan harus.
Fenomena penyimpangan perilaku sang anak yang kemudian ditelusur ternyata akibat pendidikan yang salah dari orang tua, menyadarkan akan kebenaran bahwa ‘surga sang anak itu memang berada di bawah telapak kaki ibunya. ’ Dalam kisah paman saya, keberhasilan studi sang paman (keberhasilan dunia) adalah berkat didikan kerja keras ibunya. Dan akhlakul karimah dari seorang anak yang akan menghantarkanya ke surga akhirat, adalah berkat didikan dari ibunya juga.
Semoga kita bisa mengoptimalkan rasa bakti kita pada orang tua kita pada satu sisi, dan mengoptimalkan daya didik kepada anak-anak kita pada sisi lainnya. Semua harus dijalankan secara terpadu, seimbang dan harmonis, demi lahirnya potensi-potensi kebaikan yang menghantarkan ke surga. Amin.
Waallahua’lam
(rizqon_ak@eramuslim. Com)
Balada Polisi Tidur
Balada Polisi Tidur
oleh Sabrul Jamil
Anda tentu tahu benda yang satu ini. Melintang begitu saja di tengah jalan, menghambat siapa pun yang ingin lewat. Pengendara motor yang paling ugal-ugalan sekalipun akan terpaksa mengurangi kecepatan, dan secara hati-hati melewatinya. Seperti inlander melewati pos jaga kompeni. Benda ini biasa berada di tengah-tengah kompleks perumahan, jalan-jalan alternatif, jalan-jalan tikus, dan jalan-jalan yang menghubungkan antar gang.
Pengendara yang kurang terampil akan terpaksa menggoreskan bagian bawah kendaraannya ke benda ini. Saya misalnya, yang sering membawa motor dengan kondisi ban kurang angin. Meski sudah berusaha zig zag sebagaimana disarankan rekan-rekan sesama pengendara yang lebih mahir dan berpengalaman, tetap saja sering kali bagian bawah motor saya tersentuh benda bernama polisi tidur ini. Sungguh menyebalkan.
Keberadaan polisi tidur seolah sudah menjadi satu paket dengan pembangunan kompleks perumahan. Jika di perumahan yang rada elit benda ini mungkin dibuat dengan design, ukuran dan ketelitian yang penuh perhitungan, maka di gang-gang serta sela-sela rumah, polisi tidur dibuat bi ghoiri ilm, alias tanpa ilmu. Bahkan jarak antar polisi tidur yang satu dengan polisi tidur berikutnya tidak menjadi pertimbangan. Terkadang, hanya berjarak beberapa meter saja sudah muncul polisi tidur berikutnya. Seolah-olah warga di sekitar tempat itu akan merasa malu jika jumlah polisi tidur mereka hanya sedikit.
Bahkan, di jalan tol ada polisi tidur. Bukan hanya sebelum loket pengambilan tiket atau loket pembayaran, melainkan di jalan tolnya sendiri. Tak percaya? Silakan melaju dari jalan tol BSD--Bintaro ke arah Jalan TB Simatupang atau Jalan Tol Jagorawi. Di tikungan tajam-layang sekitar Ulujami polisi tidur siap memperlambat laju kendaraan Anda.
Polisi tidur dibuat dengan maksud yang jelas. Memastikan tak ada pengendara yang kurang sehat mentalnya melintas dengan kecepatan gila-gilaan. Kecepatan tinggi mengandung risiko yang tidak main-main, mencelakakan anak kecil yang sering melintas tanpa tengok kiri kanan, atau menabrak tukang bakso yang sedang parkir di pinggir jalan. Jadi, dipandang dari niatnya, tentu mulia adanya, yaitu menyelamatkan jiwa orang lain.
Namun polisi tidur tidak pernah pilih-pilih pengendara. Pengendara yang kurang bertanggung jawab dengan pengendara baik-baik yang selalu membawa kendaraannya dengan penuh kewaspadaan, diperlakukannya sama. Benda ini tidak pernah bangun ketika, misalnya, ada pengendara sopan yang hendak melintas.
Begitulah. Karena ulah segelintir orang terpaksa mengorbankan orang lainnya yang lebih banyak. Di negeri yang mayoritas muslim ini, berkendaraan di kampung sendiri pun tidak bisa nyaman. Tapi, yang biasa ngebut mungkin orang kampung luar, mungkin juga orang kampung sendiri.
Tanpa polisi tidur, kita merasa kurang aman. Namun dengan polisi tidur, kita merasa tidak nyaman.
Sebuah artikel di internet menceritakan fenomena polisi tidur ini dengan cerdas namun geram,
Dulu waktu pertama kali tinggal di Kota Malang, di jalan-jalan kampung banyak rambu papan di gantung dengan tulisan peringatan begini: “awas pelan banyak anak-anak” disertai gambar anak berkerumun. Rupanya seiring perjalanan waktu ada pergeseran peringatan yang mulai bernada sedikit mengancam:”ngebut benjut ” dan yang lebih parah lagi:”nyerempet, diseret” atau “nabrak, habis” dan tak ketinggalan gambar tengkorak dan pentungan…!!
Kini semua tulisan peringatan itu sudah jarang. Tampaknya kata-kata tidak cukup bermakna bagi pengendara. Bahasa sudah kehilangan manfaat komunikatifnya. Apalagi hanya dengan simbol-simbol batas kecepatan dan gambar orang menyeberang. Dijamin tidak akan digubris. Dan tidak ampuh lagi sebagai bahasa manusia beradab.(http://nustaffsite.gunadarma. Ac.id/blog/raziq_hasan/)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama (1988) dan Edisi Kedua (1991), polisi tidur belum terdaftar. Polisi tidur mulai diakui dalam KBBI Edisi Ketiga (2001: 886) dan diberi makna 'bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan'.
Jauh sebelum tercatat dalam KBBI, polisi tidur sebetulnya sudah dicatat Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984: 148) dan diberi makna 'rintangan (berupa permukaan jalan yang ditinggikan) untuk menghambat kecepatan kendaraan'. Jadi, ungkapan polisi tidur pasti sudah ada sebelum tahun 1984. (kompas. Com)
Bicara soal polisi tidur adalah bicara soal penghalang jalan. Bicara penghalang jalan, saya jadi teringat hadits Rasul SAW tentang menyingkirkan duri dari jalan. Nabi Muhammad bersabda, keimanan seseorang harus terus dibuktikan dan salah satu buktinya adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Duri adalah material yang akan mengganggu pengguna jalan. Duri adalah sejenis penghalang jalan. Duri tak pernah pandang bulu, bisa menusuk dan menyakiti siapa pun yang menginjaknya. Pengguna jalan bisa siapa pun, terlepas dari jenis kelamin, agama, atau kepentingan politiknya. Duri yang dibiarkan akan menghalangi aktivitas publik, karena itu Islam yang memiliki spirit "menyebarkan keselamatan bagi siapa pun" menegaskan, menyingkirkan hal-hal yang mengganggu aktivitas ruang publik merupakan bukti keimanan.
Duri bisa juga berarti polisi tidur, karena sama-sama menghalangi. Masalahnya sekarang, menyingkirkan polisi tidur mengandung risiko yang bisa menyeramkan juga, yaitu terjadinya kecelakaan ulah pengendara yang melintas terlalu cepat.
Kalau peringatan sudah tidak bisa disampaikan secara baik-baik, ini pertanda buruk bahwa terjadi penurunan peradaban kita sebagai manusia. Semangat saling mempercayai antarmanusia sudah luntur, seperti baju dengan merk palsu yang kita beli di kaki lima. Terlihat seperti manusia, namun pada hakikatnya adalah predator, dalam skala kecil-kecilan. Homo homini lupus kata orang latin, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Orang lain adalah ancaman.
Mereka seperti binatang ternak, kata AlQuran, bahkan lebih rendah lagi, kata AlQuran lebih tandas. Binatang ternak tak pernah mengancam binatang lainnya. Namun manusia bisa saling mengancam, bahkan kalau perlu sampai tujuh turunan. Kambing tak perlu khawatir melihat kerbau, meski makanan mereka sama. Tapi manusia bisa tega membunuh, jika ladang rejekinya tersaingi.
Saya membayangkan jalan-jalan di kampung saya bersih dari polisi tidur, bahkan dari polisi betulan. Orang-orang berkendara dengan sopan, saling menghargai jiwa orang lain sebagaimana mereka menghargai jiwa mereka sendiri. Anak-anak dan orang tua bisa berjalan dengan tenang di trotoar tanpa takut terserempet. Trotoarnya juga lapang tanpa dipenuhi pedagang yang berjejalan menadah tetesan rejeki. Polisi tidak lagi diperlukan karena semua orang sudah tidak perlu lagi ditakut-takuti dengan peluit, tilang, denda dan kurungan. Juga tak ada pak Ogah yang bekerja lebih giat dari pak Polisi di mulut-mulut gang, karena para pak Ogah itu sudah bekerja di perusahaan betulan, atau sudah membuka usaha sendiri walau kecil-kecilan. Usaha sungguhan, bukan usaha jadi-jadian menjadi relawan di perempatan jalan.
sabruljamil. Multiply. Com
Sabar dan Mengutamakan Kepentingan Orang Lain
oleh Sigit Indriyono
Kesempatan untuk berhaji merupakan karunia dari Allah SWT yang patut disyukuri. Banyak orang yang telah mendaftarkan diri untuk beribadah haji, namun harus menunggu daftar antrian atau waiting list yang cukup panjang. Inilah tahap awal proses ibadah haji, sejak tahap pendaftaran kita harus sabar memantau waiting list haji dari tahun ke tahun. Waiting list biasa ditempel di Kantor Departemen Agama setempat, yaitu kota atau kabupaten. Kuota haji dari pemerintah Saudi Arabia untuk negara kita telah ditentukan jumlahnya. Distribusi kuota haji ke daerah disesuaikan secara proporsional sesuai jumlah penduduk muslim di daerah tersebut.
Ada juga yang telah memiliki kemampuan untuk berhaji, tetapi masih belum berencana untuk melaksanakannya. ''Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. '' (QS Ali Imran [3]: 97).
Perjalanan untuk ibadah haji memerlukan proses persiapan yang cukup panjang. Mulai dari pendaftaran dengan setoran minimal jumlah tertentu di Bank, kemudian mendaftar di Kantor Departemen Agama setempat. Setelah mendapat kepastian porsi untuk berangkat, banyak urusan harus dilakukan. Mulai dari cek kesehatan, melakukan proses administrasi pelunasan biaya perjalanan ibadah haji. Pembuatan pasfoto, fotocopy dokumen-dokumen seperti KTP dan Kartu Keluarga harus disipkan juga. Karena semua urusan harus dilakukan pada saat hari kerja, mau tak mau harus rela meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Yang paling utama untuk persiapan ibadah haji adalah mengikuti pelatihan manasik haji.
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Calon haji harus memasuki embarkasi haji untuk segera diberangkatkan ke Tanah Suci. Proses registrasi di embarkasi haji adalah titik awal prosesi ibadah haji. Semua harus mau antri dengan sabar dalam tahapan proses yang telah ditentukan.
Setelah proses registrasi calon haji selesai, dilanjutkan antri untuk pembagian paspor, boarding pass pesawat terbang dan living cost beberap saat sebelum keberangkatan dari emarkasi haji ke bandara. Makan siang dan makan malam dengan sistem kupon harus dilakukan dengan antri pula. Untuk memakai kamar mandi di Embarkasi Haji pada saat sore hari harus antri juga. Antrian bersama ratusan orang telah dimulai di Embarkasi Haji. Bagaimana nanti di tanah suci, dengan jutaan jama’ah haji untuk antri sesuatu, misalnya toilet dan tempat wudhu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi? Pikiran berkecamuk dalam benakku.
Kunci untuk mengatasinya adalah kesabaran dan ketertiban dalam mengantri sesuatu. Aku memohon kepada Allah SWT untuk selalu diberikan kesabaran. Bukankah salah satu indikator taqwa adalah kesabaran. Taqwa tidak bisa didapatkan secara seketika. Memerlukan usaha yang istiqamah untuk mendapatkannya. Sabar, syukur, istighfar, dan banyak berbuat kebajikan sebagai indikator taqwa, merupakan kunci-kunci kenikmatan selama beribadah di Tanah Suci. Sebaik-baik bekal untuk ibadah haji adalah taqwa. ''Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. '' (Al-Baqarah [2]: 197).
Di Masjid Haram dan Masjid Nabawi, tersedia puluhan toilet dan tempat wudhu yang terletak di bawah tanah halaman Masjid. Antrian panjang saat menjelang waktu sholat wajib lima waktu merupakan pemandangan yang umum di depan toilet Masjid. Di sini terlihat karakter orang yang bermacam-macam. Ada yang sabar dalam antrian, ada yang sedikit sabar, ada yang tidak sabar sama sekali. Yang terakhir ini biasanya akan berulah dengan mengetuk toilet yang sedang terisi, maksudnya agar orang yang sedang berada di dalamnya segera ke luar.
Di Arafah dan Mina, makanan untuk jama’ah haji Indonesia disajikan secara prasmanan. Namun, jama’ah haji tidak bisa mengambil sendiri. Ada petugas yang mengambilkan nasi dan lauk ke dalam piring aluminium foil persegi panjang bersekat-sekat. Satu kloter (sekitar 300 sampai 400 orang) mendapat satu meja makan prasmanan, dilayani oleh dua orang petugas catering service. Buah-buahan dan minuman tersedia cukup banyak. Bahkan pelayanan aneka minuman seperti teh, kopi, air dalam botol kemasan dan sari buah dalam kotak kemasan tersedia selama 24 jam. Kalau antrian sedang panjang, biasanya orang mengganjal dulu perut dengan mi instant dalam mangkok yang disediakan oleh maktab haji. Tinggal dituang dengan air panas yang tersedia melimpah. Kalau antrian tinggal sedikit, kemudian antri untuk makan nasi.
Dalam antrian panjang makan siang menjelang wukuf di Arafah di bawah terik matahari, dua orang ibu yang sudah berusia lanjut dengan nada iba, memohon agar tidak usah antri. Berat bagi mereka untuk mereka berlama-lama berdiri di bawah terik matahari. Dengan ramah, seorang ibu muda yang berdiri di antrian terdepan mempersilakan mereka untuk langsung menuju meja. Antrian yang panjang di belakangnya tidak protes karena didahului orang lain. Semuanya dengan kerelaan hati mendahulukan kepentingan orang lain, padahal semua orang dalam antrian sama-sama mempunyai kebutuhan untuk segera makan.
Hal di atas mengingatkan kisah di balik perang Yarmuk. Ikrimah, seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan ke sebelahnya, orang tersebut juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah wafat dalam keadaan syahid, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun mereka tetap mendahulukan kepentingan orang lain.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW beserta sahabat dan pengikut Islam dari Makkah ke Madinah, memberikan contoh lain di mana kepentingan orang lain lebih diutamakan. Dalam hal ini kaum Anshor rela berkurban untuk kepentingan kaum muhajirin. ”dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung ”. (QS Al-Hasyr [59]: 9)
Mendahulukan kepentingan orang lain dalam interaksi sosial sehari-hari adalah suatu kebajikan. Sekadar contoh, masuk ke dalam bis kota dengan antri secara tertib merupakan hal yang kelihatannya ringan tetapi bernilai mulia. Atau memberikan tempat duduk dalam bis kota kepada orang yang sudah lanjut usia dan ibu-ibu yang membawa bayi. Seperti oase di padang pasir yang menyejukkan, di tengah-tengah fenomena kehidupan saat ini yang hedonis dan individualis terdapat orang yang mempunyai empati demikian terhadap orang lain, semata-mata mencari ridho Allah SWT.