oleh Sabrul Jamil
Anda tentu tahu benda yang satu ini. Melintang begitu saja di tengah jalan, menghambat siapa pun yang ingin lewat. Pengendara motor yang paling ugal-ugalan sekalipun akan terpaksa mengurangi kecepatan, dan secara hati-hati melewatinya. Seperti inlander melewati pos jaga kompeni. Benda ini biasa berada di tengah-tengah kompleks perumahan, jalan-jalan alternatif, jalan-jalan tikus, dan jalan-jalan yang menghubungkan antar gang.
Pengendara yang kurang terampil akan terpaksa menggoreskan bagian bawah kendaraannya ke benda ini. Saya misalnya, yang sering membawa motor dengan kondisi ban kurang angin. Meski sudah berusaha zig zag sebagaimana disarankan rekan-rekan sesama pengendara yang lebih mahir dan berpengalaman, tetap saja sering kali bagian bawah motor saya tersentuh benda bernama polisi tidur ini. Sungguh menyebalkan.
Keberadaan polisi tidur seolah sudah menjadi satu paket dengan pembangunan kompleks perumahan. Jika di perumahan yang rada elit benda ini mungkin dibuat dengan design, ukuran dan ketelitian yang penuh perhitungan, maka di gang-gang serta sela-sela rumah, polisi tidur dibuat bi ghoiri ilm, alias tanpa ilmu. Bahkan jarak antar polisi tidur yang satu dengan polisi tidur berikutnya tidak menjadi pertimbangan. Terkadang, hanya berjarak beberapa meter saja sudah muncul polisi tidur berikutnya. Seolah-olah warga di sekitar tempat itu akan merasa malu jika jumlah polisi tidur mereka hanya sedikit.
Bahkan, di jalan tol ada polisi tidur. Bukan hanya sebelum loket pengambilan tiket atau loket pembayaran, melainkan di jalan tolnya sendiri. Tak percaya? Silakan melaju dari jalan tol BSD--Bintaro ke arah Jalan TB Simatupang atau Jalan Tol Jagorawi. Di tikungan tajam-layang sekitar Ulujami polisi tidur siap memperlambat laju kendaraan Anda.
Polisi tidur dibuat dengan maksud yang jelas. Memastikan tak ada pengendara yang kurang sehat mentalnya melintas dengan kecepatan gila-gilaan. Kecepatan tinggi mengandung risiko yang tidak main-main, mencelakakan anak kecil yang sering melintas tanpa tengok kiri kanan, atau menabrak tukang bakso yang sedang parkir di pinggir jalan. Jadi, dipandang dari niatnya, tentu mulia adanya, yaitu menyelamatkan jiwa orang lain.
Namun polisi tidur tidak pernah pilih-pilih pengendara. Pengendara yang kurang bertanggung jawab dengan pengendara baik-baik yang selalu membawa kendaraannya dengan penuh kewaspadaan, diperlakukannya sama. Benda ini tidak pernah bangun ketika, misalnya, ada pengendara sopan yang hendak melintas.
Begitulah. Karena ulah segelintir orang terpaksa mengorbankan orang lainnya yang lebih banyak. Di negeri yang mayoritas muslim ini, berkendaraan di kampung sendiri pun tidak bisa nyaman. Tapi, yang biasa ngebut mungkin orang kampung luar, mungkin juga orang kampung sendiri.
Tanpa polisi tidur, kita merasa kurang aman. Namun dengan polisi tidur, kita merasa tidak nyaman.
Sebuah artikel di internet menceritakan fenomena polisi tidur ini dengan cerdas namun geram,
Dulu waktu pertama kali tinggal di Kota Malang, di jalan-jalan kampung banyak rambu papan di gantung dengan tulisan peringatan begini: “awas pelan banyak anak-anak” disertai gambar anak berkerumun. Rupanya seiring perjalanan waktu ada pergeseran peringatan yang mulai bernada sedikit mengancam:”ngebut benjut ” dan yang lebih parah lagi:”nyerempet, diseret” atau “nabrak, habis” dan tak ketinggalan gambar tengkorak dan pentungan…!!
Kini semua tulisan peringatan itu sudah jarang. Tampaknya kata-kata tidak cukup bermakna bagi pengendara. Bahasa sudah kehilangan manfaat komunikatifnya. Apalagi hanya dengan simbol-simbol batas kecepatan dan gambar orang menyeberang. Dijamin tidak akan digubris. Dan tidak ampuh lagi sebagai bahasa manusia beradab.(http://nustaffsite.gunadarma. Ac.id/blog/raziq_hasan/)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama (1988) dan Edisi Kedua (1991), polisi tidur belum terdaftar. Polisi tidur mulai diakui dalam KBBI Edisi Ketiga (2001: 886) dan diberi makna 'bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan'.
Jauh sebelum tercatat dalam KBBI, polisi tidur sebetulnya sudah dicatat Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984: 148) dan diberi makna 'rintangan (berupa permukaan jalan yang ditinggikan) untuk menghambat kecepatan kendaraan'. Jadi, ungkapan polisi tidur pasti sudah ada sebelum tahun 1984. (kompas. Com)
Bicara soal polisi tidur adalah bicara soal penghalang jalan. Bicara penghalang jalan, saya jadi teringat hadits Rasul SAW tentang menyingkirkan duri dari jalan. Nabi Muhammad bersabda, keimanan seseorang harus terus dibuktikan dan salah satu buktinya adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Duri adalah material yang akan mengganggu pengguna jalan. Duri adalah sejenis penghalang jalan. Duri tak pernah pandang bulu, bisa menusuk dan menyakiti siapa pun yang menginjaknya. Pengguna jalan bisa siapa pun, terlepas dari jenis kelamin, agama, atau kepentingan politiknya. Duri yang dibiarkan akan menghalangi aktivitas publik, karena itu Islam yang memiliki spirit "menyebarkan keselamatan bagi siapa pun" menegaskan, menyingkirkan hal-hal yang mengganggu aktivitas ruang publik merupakan bukti keimanan.
Duri bisa juga berarti polisi tidur, karena sama-sama menghalangi. Masalahnya sekarang, menyingkirkan polisi tidur mengandung risiko yang bisa menyeramkan juga, yaitu terjadinya kecelakaan ulah pengendara yang melintas terlalu cepat.
Kalau peringatan sudah tidak bisa disampaikan secara baik-baik, ini pertanda buruk bahwa terjadi penurunan peradaban kita sebagai manusia. Semangat saling mempercayai antarmanusia sudah luntur, seperti baju dengan merk palsu yang kita beli di kaki lima. Terlihat seperti manusia, namun pada hakikatnya adalah predator, dalam skala kecil-kecilan. Homo homini lupus kata orang latin, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Orang lain adalah ancaman.
Mereka seperti binatang ternak, kata AlQuran, bahkan lebih rendah lagi, kata AlQuran lebih tandas. Binatang ternak tak pernah mengancam binatang lainnya. Namun manusia bisa saling mengancam, bahkan kalau perlu sampai tujuh turunan. Kambing tak perlu khawatir melihat kerbau, meski makanan mereka sama. Tapi manusia bisa tega membunuh, jika ladang rejekinya tersaingi.
Saya membayangkan jalan-jalan di kampung saya bersih dari polisi tidur, bahkan dari polisi betulan. Orang-orang berkendara dengan sopan, saling menghargai jiwa orang lain sebagaimana mereka menghargai jiwa mereka sendiri. Anak-anak dan orang tua bisa berjalan dengan tenang di trotoar tanpa takut terserempet. Trotoarnya juga lapang tanpa dipenuhi pedagang yang berjejalan menadah tetesan rejeki. Polisi tidak lagi diperlukan karena semua orang sudah tidak perlu lagi ditakut-takuti dengan peluit, tilang, denda dan kurungan. Juga tak ada pak Ogah yang bekerja lebih giat dari pak Polisi di mulut-mulut gang, karena para pak Ogah itu sudah bekerja di perusahaan betulan, atau sudah membuka usaha sendiri walau kecil-kecilan. Usaha sungguhan, bukan usaha jadi-jadian menjadi relawan di perempatan jalan.
sabruljamil. Multiply. Com
0 komentar:
Posting Komentar