Do’a kami


Ya ALLAH, ya . . . Robbi..

Jadikan kami sebagai keluarga yang Sakinah Mawaddah wa Rohmah, Bahagiakan kehidupan kami dalam naungan dan tauladan pesuruhMu ya ALLAH.

Semoga kami senantiasa saling berbagi dan bersama dalam cita-cita sebagai keluarga yang Sakinah. . .

Tunjukilah kami jalan yang engkau Ridhoi ya ALLAH.

Masukan kami kedalam golonganMU, ya ALLAH.

Berilah Kesejahteraan dan kesehatan pada keluarga kami, ya ALLAH.

Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hassanah wa qina adza bannar.

Ya Tuhanku berikanlah aku kebaikan di dunia dan akhirat, dan jauhkanlah aku dari api neraka, amin ya robballamin..

Waktu


AL 'ASHR (MASA)

SURAT KE 103 : 3 ayat

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal

saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan

nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (surat ke 103 Al’ashr)

Masa atau waktu dalam penggunaannya, apapun yang kita lakukan untuk dipilih adalah beresiko hilangnya kesempatan melakukan hal lain.

Waktu yang hilang pastilah tidak tergantikan,sehingga sebagian orang akan berusaha melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu, apalagi dengan tersedianya teknologi yang sudah semakin maju, semua itu adalah hal yang lumrah dilakukan.

Zaman dulu sambil mendengarkan ibu atau nenek bercerita, kita anaknya beristirahat sambil tiduran mendengarkannya. Kini akan lebih banyak lagi kegiatan dalam satu waktu, yakni mendengarkan musik sambil berjalan atau berkendaraan atau bepergian jauh sambil menyaksikan acara tv dan berkomunikasi dengan teman atau keluarga

Itulah cara lain untuk menghemat waktu, selain penggunaan waktu untuk perjalanan antar kota yang saling berjauhan. Kini sudah semakin singkat.

Kita akan mengeluarkan waktu setiap saat, dan tidak dapat menyimpannya, tetapi jejak waktu tidaklah sia-sia. Wkatu akan membekas pada perjalanan kehidupan kita hingga batas kehidupan.

Dan ingat, waktu tidak dapat tergantikan. Perjalanan waktu bagikan labirin yang terus lurus meninggalkan jejak perjalanan, sehingga waktu tak memberi kesempatan mengulangnya kembali.

Waktu yang meninggalkan kita tak akan kembali menemui kita, bagikan jalan lurus yang semakin lama semakin jauh, dan pasti tak akan berhenti walau sedetikpun.

Waktu yang telah lalu adalah kenangan dan akan menjadi investasi bagi pengalaman kehidupan kita, yang sekali waktu tentunya akan menjadi sangat bermanfaat.

Ingat !!, Waktu yang tersedia sedikit dan banyak penggunaannya akan semakin bernilai tinggi, hingga waktu sangatlah diDAMBAKAN keberadaannya.

Untuk itu manfaatkan waktu yang sisa sebaik mungkin.

Apakah percepatan waktu dizaman era teknologi informasi sekarang ini menambah kwalitas dan kwantitas bagi kehidupan kita ?

Tentu saja IYA dan TIDAK.

Rasa optimis akan hari esok hanya tersimpan dikalbu mereka yang senantiasa tawakal akan kehendak ALLAH SWT, tawakal yang disertai dengan usaha dan ikhtiar akan membuahkan keberhasilan yang didambakan.

AzifRayani

Samarinda, 31 desember 2009

Menikmati ke Indahan

Ku terus belajar untuk menikmati kehidupan ini bagaikan sorga (Ar Royyan) yang dijanjikan. indahnya berbagi, saling menghargai dan menghormati bersama dalam kebersamaan menuju cita-cita bangsa yang mulia ini.

MAWAR UNTUK IBU


Seorang pria berhenti di toko bunga  untuk memesan
seikat karangan bunga yang akan dipaketkan pada sang
ibu  yang tinggal jauh 250 km darinya. Begitu keluar
dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri
trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu.

Pria itu menanyainya kenapa dan  dijawab oleh gadis
kecil,
"Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk
ibu saya. Tapi saya cuma punya uang lima ratus saja,
sedangkan harga mawar  itu seribu."

Pria itu tersenyum dan berkata, "Ayo ikut, aku akan
membelikanmu bunga  yang kau mau."
Kemudian ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar
merah, sekaligus memesankan karangan bunga untuk
dikirimkan ke ibunya.

Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri
untuk  mengantar gadis kecil itu pulang ke rumah.
Gadis kecil itu melonjak gembira,  katanya, "Ya tentu
saja. Maukah anda mengantarkan ke tempat ibu  saya?"

Kemudian mereka berdua menuju ke tempat yang
ditunjukkan gadis  kecil itu, yaitu pemakaman umum,
dimana lalu gadis kecil itu meletakkan  bunganya pada
sebuah kuburan yang masih basah.

Melihat hal ini, hati  pria itu menjadi trenyuh dan
teringat sesuatu. Bergegas, ia kembali menuju ke  toko
bunga tadi dan membatalkan kirimannya.

Ia mengambil karangan bunga  yang dipesannya dan
mengendarai sendiri kendaraannya sejauh 250 km menuju
rumah ibunya.

(diadaptasi dari: Rose for Mama, C.W.  McCall)

"Lakukanlah yang terbaik untuk orang yang kamu kasihi,
sekarang! Jangan tunggu besok"

...................Amin..........Amin..............


by : C.W. McCall

Bersedekah Kepada Si Miskin, Berterima Kasih Kepada Si Kaya

Pak Darma ( bukan nama sebenarnya ) bukanlah orang kaya. Secara ekonomi, kehidupan keluarganya justru bisa dibilang pas-pasan. Pak Darma adalah karyawan sebuah perusahaan swasta, sedang sang istri hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Pak Darma tinggal bersama istri dan putri tunggalnya di sebuah rumah kontrakan yang ( juga ) sangat sederhana.

Meski kehidupan keluarga Pak Darma sangat sederhana, tetapi keluarga ini dikenal masyarakat sekitar sebagai keluarga yang murah hati. Setiap ada tetangga yang memerlukan bantuan, selalu saja ada yang mereka berikan. Setiap ada kegiatan amal, mereka tak pernah ketinggalan. Intinya, sekecil apapun mereka akan berusaha membantu, berbagi dengan tetangga-tetangganya.

Malam itu, Bu Darma sedang menyusun daftar kerabat dan tetangganya yang akan dia berikan bingkisan lebaran sebagaimana biasa mereka lakukan tiap tahunnya, ketika Pak Darma pulang dari tadarus di Mushola. Usai menjawab salam, sang istri langsung menyambut dan mencium tangan sang suami. Kebetulan daftar yang ia susun sudah selesai.

“ Pak, Ibu sudah menyusun daftar dan membuat anggaran untuk bingikisan lebaran nanti. Mulai tahun ini, Ibu tambahin satu ya Pak?”

“ Siapa Bu? “ tanya Pak Darma sambil duduk disebelah sang istri.

“ Ust. Rohman ( bukan nama sebenarnya ) “ jawab sang istri sambil menyodorkan selembar kertas kepada Pak Darma.

“ Ust. Rohman? “ tanya Pak Darma ragu, tapi memang dia mendapati nama itu di daftar yang disusun sang istri.

“ Iya, betul. Kenapa Pak, nda boleh? “ tanya sang istri, hatinya harap-harap cemas kalau-kalau sang suami tidak setuju dengan idenya.

“ Boleh, boleh saja. Tapi, ust. Rohman itu kan lebih kaya dari kita “

“ Memang ndo boleh kita ngasih bingkisan ke orang kaya Pak?” bu Darma agak merasa lega karena sang suami sebenarnya mengizinkan, hanya belum paham dengan yang dia pikirkan. Kini tinggal bagaimana caranya dia menjelaskan idenya, dan dia yakin Pak Darma akan setuju. Dia tahu betul watak suami yang telah menikahinya selama 10 tahun.

“ Bukan, bukan begitu maksudku Bu. Apa nanti kita nda dianggap menghina, apalagi bingkisan kita itu kan cuman bingkisan sederhana, bukan parcel seperti yang biasa dikirim dari dan untuk orang-orang kaya dilingkungan sini. Atau takutnya kita malah dikira mengharapkan lebih dari yang kita berikan”

“ Bapak ini. Beliau ini kan seorang ustadz, nda mungkinlah beliau berpikiran seperti itu. Maksud ibu gini lho Pak. Selama ini bapak dan si Rahma ( bukan nama sebenarnya ) kan ngaji di tempat ust. Rohman. Selama ini Bapak kalau ngaji disana, jarang sekali membawa kue atau cemilan untuk teman minum kopi usai pengajian. Sedang si Rahma tiap bulan paling hanya membayar Rp. 10.000,00. Itupun sekedar untuk membantu membayar listrik. “

“ Iya juga sih, terus? “ jawab Pak Darma manggut-manggut. Sang istripun jadi semangat, ia yakin kalo sang suami kini akan mendukung idenya.

“ Nah, nda ada salahnya kan, kalau lebaran nanti kita memberikan sekedar bingkisan, itung-itung tanda terima kasih kita karena selama ini sudah mendapat banyak ilmu dari beliau. Bapak tahu kan, waktu pertama ngaji Rahma baru baca juz Ama ,tapi sekarang sudah Al Quran, malah sudah sampai juz ke 10. Belum lagi Bapak, sejak ngaji di tempat Ust. Rohman, pengetahuan agama Bapak jauh lebih luas, dan ibu bisa belajar dari Bapak“

“ Iya ya, kok aku nda kepikiran sampai ke situ ya. Malah gini Bu, bingkisan untuk ust. Rohman ibu tambahin kuenya lagi, kan yang ngaji di sana bukan cuma Rahma, tapi aku juga. Aku yakin kalau ust. Rohman nda bakal mikir macem-macem. Kalaupun beliau dan keluarganya tidak membutuhkan atau sudah memiliki kue yang cukup untuk lebaran, beliau lebih tahu kemana harus disalurkan. Makasih Bu, ibu sudah membukakan hati dan pikiran Bapak. Bagus bila kita bersedekah kepada yang miskin, tapi tak ada salahnya juga kita menunjukan rasa terima kasih kita kepada orang yang telah berjasa bagi kita, meskipun dia sudah kaya.”

“ Alhamdulillah, bapak sudah paham dengan yang ibu maksud. Makasih ya Pak. Sekarang, mana uang yang akan ibu belanjakan kue dan sirup untuk bingkisan, masa mau makai uang belanja Ibu.” Kata Bu Darma sambil tersenyum manja. Sang suamipun tersenyum, meraih pundak sang istri dan mencium keningnya dengan penuh cinta.

Begitulah, kehidupan keluarga pak Darma. Sederhana namun tak pernah lupa untuk bersedekah. Kehidupannnya yang pas-pasan tidak dijadikan alasan untuk tidak berbagi dengan sesama. Keluarga Pak Darma sadar betul, bahwa dibanding mereka, masih banyak keluarga-keluarga lain yang tidak seberuntung mereka. Bagi mereka, bukan seberapa banyak yang bisa mereka berikan, tapi seberapa banyak orang yang bisa mereka bantu. Selama ada yang bisa mereka bagi dengan orang lain, jangankan orang miskin, dengan orang yang lebih berkecukupanpun mereka mau berbagi, terlebih kepada mereka yang telah berjasa.

Sungguh keluarga yang dermawan. Kita bisa mengambil pelajaran bahwa sebuah pemberian tergantung dari niatnya. Tak selamanya memberi kepada yang miskin bisa disebut sedekah, kalau niatnya untuk riya. Juga, memberi kepada yang sudah mampu tidaklah selamanya disebut suap, tanda terima kasih jelas tidak ada salahnya. Semua tergantung niat dan keikhlasan kita berbagi.

abisabila@ymail.com

http://abisabila.blogspot.com




oleh Nurudin

Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India

Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana.

Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang manjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India. Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.

Banyak hikmah yang bisa depetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India, di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.

*****

Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum, India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.

Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.

Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota.

*****

Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!

Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India. Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.

Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India. Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi. Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India, tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya.

Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana. Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.

*****

Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India. Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India. Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.

Perempuan India, betapapun dari kalangan modern di tengah kota, bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia. Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.

*****

Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.

Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota. Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.

India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.

*****

Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.

Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.

Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.

Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasinya Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.

*****

Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!

Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.

Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.

*****

India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta. Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia. Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.

Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.

Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India. Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.

*****

Pembaca….

Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.

Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.

India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India, saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?

Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India, di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri.

Ah, Indonesia!

Doha, 8 October 2009

Shardy2@hotmail.com

oleh Syaifoel Hardy

Semua Untukmu

Hari ini angin rindu datang berhembus, menggugurkan daun-daun yang sudah menguning. Titik air di ujung daunnya pun akhirnya terjatuh setelah sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak pecah. Tapi ternyata semua ada batasnya. Tak ada yang abadi. Begitu juga dengan rindu ini. Tak akan lama bertahan sembunyi dalam gua hati.

Dunia seperti berputar kembali, menayangkan rekaman saat-saat aku bersamanya. Masa di mana sangat aku rasakan sayang dan perhatiannya, yang terus menerus mengalir seolah tak kenal muara. Pelukannya saat aku butuh kehangatan, suara lembutnya saat hati ini dilanda kegundahan. Dengan sepenuh hati dia merelakan dadanya untuk tempatku bersandar kala sakit menyerang tubuhku, atau saat aku menahan perihnya hati ini saat terluka.

Langit hari ini masih cerah. Tapi siapa sangka kalau hujan akan datang. Meski tidak begitu deras, tapi bisa melepas dahaga sang tanah yang memang haus akan air, cukup untuk membuat suasana terasa lebih segar. Mencerahkan kembali fikiran-fikiran yang kalut terhadap berbagai persoalan dunia. Dan bagiku, membawa kembali pada keindahan dan kehangatan saat-saat bersamanya, hingga rindu yang terbendung pecah seketika.

Teringat pada suatu senja, ketika aku akan memulai hidup tanpa ada seseorang yang dekat di sisiku. Hari itu, adalah hari terakhir aku bersama dengannya sebelum kami berpisah. Pesan dan nasehat pun mengalir dengan suaranya yang tetap lembut. Sampai akhirnya detik itu datang juga, saat ku rengkuh tangan kekarnya, kemudian mengecup tangannya dengan penuh rasa hormat, dia membalasnya dengan kecupan di keningku, tanda bahwa rasa sayangnya melebihi kekhawatirannya meninggalkanku sendiri. Dalam ku rasakan deburan cintanya yang kuat dan tulus. Membuat air mata ini ingin segera menumpahkan segala yang dipunya. Tapi itu tak kulakukan di depannya. Aku harus tunjukkan bahwa aku baik-baik saja tanpa ada dia di sisiku. Cukup pada Allah sajalah dia menitipkan aku. Tak ingin mengganggu konsentrasinya karena aku.

Tuhan, ternyata cinta begitu dekat denganku. Kasih dan pengorbanannya untukku takkan pernah bisa kubalas meski dengan tetesan darah dan airmata. Segala yang aku miliki dalam hidup ini, materi yang aku punya atau kehidupan yang aku miliki, pun tak kan bisa membalas apa yang pernah dia lakukan untukku. Usapan tangannya, pelukan hangatnya, suara lembutnya, sikapnya yang bijak, tak akan pernah tergantikan dengan seluruh yang ada di langit dan bumi ini.

Maka nikmat-Mu yang manakah yang aku dustakan, Ya Rabb?

Karenanya aku ada. Karenanya aku bisa menikmati indah dunia-Mu. Karenanya aku menemukan diriku. Karenanya aku merasa punya arti dalam hidup ini. Karenanya aku mengenal-Mu. Karenanya aku terbiasa membaca surat cinta-Mu. Karenanya pula aku menjadi muslimah.

Saat ini, ku rela bersusah payah mengejar cita-cita yang menjadi impiannya. Tak ingin sedikit pun ku torehkan segurat kecewa di hatinya. Karena yang ku tahu, aku adalah harapannya. Aku ingin dia bangga. Bukan melihat diriku melainkan melihat ikhtiarnya sepanjang hidup yang telah dia jalani sejak aku ada.

”Tuhan tolonglah

Sampaikan sejuta sayangku untuknya

Ku trus berjanji

Tak kan khianati pintanya”

Aku ingin melengkapi lukisan hidupnya, menjadi lukisan yang sempurna. Meski dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan yang dia miliki, aku tetap bangga padamu, Ayahku.

oleh Ayu_shafiyah

Mama...maafkan Aku Mama

Hari sudah gelap, semburat merah langitpun telah hilang…..sayup-sayup sepanjang jalan kudengar masjid telah mengumandangkan Adzan Isya….. yach waktu telah Isya, seperti biasa aku baru tiba dirumah.

Diruangan yang cukup redup, nyaman….ruangan yang selalu ada dipikiranku…ruangan yang selalu aku merinduinya, ruang keluarga dirumah. Beliau sudah terlihat sangat lelah…duduk disofa kesayangannya menikmati saat-saat istirahat setelah seharian beliau mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluarga tercinta, mempersiapkan makan untuk suami, anak-anak tercinta, pengabdian, pengorbanan mana lagi yang kau anggap kurang, maka pantaslah Tuhan mewakilkan diri-Nya kepada beliau…. “Ridha orang tua adalah Ridha Allah……..

Ibu,………

Mama,……

Posisimu lebih mulia 3 kali dari pada Bapak………..

Maafkan aku mama, ampuni aku mama, aku anakmu yang masih belum bisa berbakti kepadamu,

Perjuanganmu, pengorbananmu, perhatianmu, kasih sayangmu, tidak akan mungkin terbalas olehku…

Pengorbananmu membawa beban berat selama 9 bulan, pertaruhkan nyawa ketika melahirkan aku, merawat aku menyayangi aku, hingga aku bisa seperti ini. Ya Allah sayangi mama seperti sayangnya kepadaku ketika aku kecil, jaga kesehatannya selalu, sampe aku bisa membalas kebaikannya sebanyak mungkin, walapun, tidak mungkin aku bisa membalas jasanya itu.

Apapun akan kulakukan demi membahagiakanmu mama…… kau minta setengah duniaku akan kuberikan mama….. asal engkau bahagia… janglah engkau menangis lagi mama, sudah waktunya mama tersenyum…menikmati kesuksesanku… telah kau bekali aku dengan ilmu, telah kau berikan aku pendidikan yang cukup tinggi, hingga aku bisa seperti ini, mencoba berbakti walaupun jasamu tidak mungkin terbayar dengan seluruh penghasilan aku……

Tapi mama…..kenapa aku rasa ada yang berubah pada dirimu…..bukan kasih sayangmu yang berubah….kasih sayangmu akan tetap abadi…….apakah aku yang berubah mama ?

Dulu mama adalah sahabat, tempat aku berkeluh kesah, tempat aku mengadu, tempat aku bermanja, tempat aku cerita semua yang terjadi sepanjang hari, tapi kenapa sekarang mama selalu menghindar ketika aku akan bermanja-manja, mama selalu menyerahkan semua keputusan kepadaku ketika aku minta pendapat mama, seolah-olah mama telah anggap aku dewasa…….

Mama aku masih butuh tempat bermanja, aku masih butuh saran-saran mama, aku masih butuh tempat untuk semuanya…. Aku mau seperti dulu mama, mama yang menjadi sahabat aku…..mama.

Bukan mama yang berubah, tapi mungkin aku yang berubah….. apa yang harus aku lakukan mama,… ? Mama sekarang terlihat lebih tenang,…tapi bukan tenang aku lebih melihat mama jadi pendiam. Seolah mama tak khawatirkan aku lagi ketika aku pulang malam, mama ga peduli kalo aku pulang terlambat….

Kenapa mama ?

Kenapa ?

Telah begitu besarkan dosaku padamu,

begitu menyakitkan kah perbuatanku akhir-akhir ini …..

mama tolong kasih tau aku….. cerita mama….

Cerita seperti dulu, kita saling bercerita….

Bagaimana aku memahami mama, kalo mama seperti ini……

Bahkah sekarang mama tidak pernah bercerita tentang sakitnya mama…..Aku bersyukur kalo memang mama telah sembuh, tapi aku akan sedih sekali jika mama tahan-tahan skit mama, seolah-olah mama sehat, padahal mama sakit, mama hanya ingin aku tidak sedih…..

Jangan mama, tolong jangan lakukan itu padaku…… aku masih anakmu mama, mama masih tetap sahabatku mama………

Maafkan aku mama……

oleh Icha Putri

Jabatan Presiden

Pagi ini, setelah shalat sunat Dhuha aku mulai menerawang sendiri, dan merasakan nikmatnya di dalam kamar sendiri dengan semburan air conditioner membuat kepala dan hati menjadi dingin karenanya.

Aku tak tahu, kenapa saat ini memikirkan aktifitas seorang presiden. Presiden kita, presiden yang baru saja memenangkan pemilihan umum yang baru lalu. Aku pun belum membuka mukena yang terpakai, sajadah pun belum terlipat. Tapi saat ini aku benar-benar merasakan sebuah saat bagaimana rasanya bila aku menjadi sorang presiden. Padahal sejak kecil pun aku tidak punya cita-cita itu. Tapi namanya sebuah pikiran, tentu bisa saja semua yang tidak pernah ingin di bayangkan, akan kita angan-angan kan. Semuanya kan tidak dilarang, sepanjang tidak membayangkan sesuatu yang terlarang bagi agama kita.

Aku membayangkan kesibukan seorang presiden. Seorang presiden yang mempunyai istri dan anak-anak, seperti yang aku jalani saat ini. Seorang presiden yang juga ingin dekat dengan keluarganya. Presiden yang punya jiwa tegar, tapi mungkin sesekali juga akan mengalami kecemasan yang sangat tinggi. Presiden yang di pundaknya terpikul amanah bangsa ini, yang mengharapkannya untuk berlaku adil, mengharapkannya berbuat sesuatu agar bangsa ini tidak terpuruk oleh utang-utang yang semakin menumpuk. Banyak harapan dari rakyatnya, bila dicatat mungkin tidak akan muat satu kamar. Yah ini hanya bayanganku saat ini. Betapa susahnya jadi presiden.

Bila aku bandingkan dengan keadaanku saat ini, aku jadi tertawa kecil sendiri. Coba bayangkan, saat ini aku hanya punya tiga anak lelaki yang umurnya berbeda sekitaran 4 tahun. Mereka bertiga tersebut selalu berbeda pendapat. Wajar saja, mereka kan tidak se-umur jadi imajinasi dan keinginan mereka tidak sama. Karena perbedaan umur itu lah sering kali terjadi bentrokan kecil. Keributan, pertengkaran dan kemauan ingin di menangkan dari ibunya sering-kali harus mampu ku tindaki secara adil dan memuaskan ketia pihak. Terasa berat.

Ketika si bungsu, Thorieq ingin pula main play station bersama kakaknya yang pertama, Fadhil, tentu saja tidak akan nyambung, karena Fadhil tidak mau bermain dengannya. Katanya sih Fadhil merasa tidak ada tantangan bermain dengan adik kecilnya. Begitu pula saat anakku Yazid yang merupakan anak kedua, suka “mengerjai” adiknya. Sering-kali di buatnya nangis karena adiknya tidak suka, bila kakaknya menyebut kata “bebek”.

Aku juga tidak tahu mengapa si bungsu tidak menyukai kata-kata itu. Aku pun tidak berusaha untuk tahu. Tapi memang begitulah Yazid, suka sekali mengulang kata itu, hingga Thorieq melapor kepadaku agar Yazid dimarahi olehku. Pusing juga rasanya dengan tiga anak yang berbeda karakter, disaat liburan sekolah yang cukup lama ini, dan kami tidak pergi kemana pun saat ini, karena suami berada di pulau seberang untuk satu minggu ini. Jadilah kadang aku bingung sendiri, yang mana harus aku prioritaskan untuk setiap pertengkaran dan keinginan mereka yang jarang sekali seirama.

Nah membayangkan untuk berbuat adil dan memenuhi keinginan ketiga anakku yang selalu berbeda, membuatku membandingkan diriku dengan seorang presiden saat ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan diriku dengan seorang bupati, misalnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak membandingkan dengan seorang gubernur. Pikiran ini hanya merasuk dalam otakku, dan aku dengan suasana yang sedikit dingin ini merasakan betapa tidak enaknya jadi presiden.

Jabatan presiden, yang membuatnya harus mampu mengayomi berapa juta rakyatnya ini, tentu saja akan sangat kelelahan. Rakyat yang banyak berbeda pemahaman, agama, karakter dan berbagai macam keinginan ini, harus lah dapat diolah dengan sebuah kemampuan yang tinggi. Dibanding denganku, yang hanya punya tiga anak, tapi seringkali merasa kena serangan jantung. .Hingga kadang timbul perasaan jenuh, dan kadang serasa ingin juga “cuti” sementara dari keruwetan ini.

Presiden yang juga punya waktu sepertiku, dua puluh empat jam seharinya, harus mampu mengintip semua aktifitas dan keadaan rakyatnya, tentu akan membuat kepalanya sering berdenyut. Kelaparan di beberapa tempat, gempa bumi di Jogja, lumpur Lapindo di Sidoarjo dan beberapa daerah lagi yang terjadi banjir dan sebagainya. Mungkinkah presiden masih bsa beristirahat seperti diriku? Dimana jika aku kadang merasa jenuh dengan situasi rumah, maka biasanya aku akan pergi ke sebuah rumah kawan atau pergi ke toko buku untuk mendinginkan hati. Tapi seorang presiden? Dia harus selalu ada, tak boleh putus hubungan komunikasi dengan para pembantunya untuk memantau semua rakyat dan negara yang di pimpinnya saat ini.

Aku seorang istri dengan tiga orang anak yang sedang tumbuh-tunbuhnya, menggunakan energiku berlipat ganda. Menuntutku untuk selalu belajar tentang apa yang seharusnya aku lakukan untuk mereka. Mereka anak-anakku adalah pendorong motivasi ku untuk selalu tidak berada dalam tahap “diam”. Mereka secara sadar atau tidak merupakan tempat ladang amalku. Selain itu mereka pula sebagai ujian kesabaran dan tempat untuk belajar memahami setiap karakter mereka.

Situasi yang sepertinya ruwet ini, tentu saja aku harus hadapi walau kadang aku sedikit “puyeng”. Bila semangat lagi diatas rata-rata, tentu saja semua keluhan mereka adalah sebuah irama manis terdengar di telingaku. Tapi bila iman berada di bawah garis, semuanya seperti desingan peluru seperti yang terjadi saat ini di beberapa tempat dimana saudara kita sesama muslim berjuang mempertahankan diri dari serbuan musuh.

Kembali ke presiden, maka untuk waktu yang lima tahun harus dijalaninya dengan harus banyak bersabar dan harus banyak mengenali karakter rakyatnya beserta semua kebutuhannya. Presiden yang dipilih oleh rakyatnya dengan banyak harapan yang dipikulkan di pudaknya bukanlah pekerjaan mudah. Pekerjaan seorang presiden yang amanahnya akan di pertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat nantinya, tentu saja sebuah beban yang sangat berat dirasakannya.

Oleh karena itulah aku memahami kenapa Allah Swt. tidak memberikan aku jabatan presiden, karena untuk mengasuh ketiga anakku saja, aku seringkali kelimpungan, apalagi mengurus berjuta-juta manusia yang berbeda paham, tingkah laku maupun keinginan.

Aku hanya bisa mendo’akan agar presiden yang terpilih saat ini, mampu mengemban amanah dan kepercayaan dari rakyatnya. Presiden yang aku harapkan pula akan selalu sehat wal-afiat dalam menjalankan semua tugas-tugas kenegaraannya dan tidak melalaikan ibadahnya sebagai seorang muslim.

Aku juga mendo’akan beliau, semoga mampu mengayomi rakyatnya dan membuat rakyatnya dapat bersandar padanya dengan rasa aman. Dan yang terakhir semoga Allah Swt. memberikan kepadanya sebuah Hidayah, agar beliau bisa sukses dalam menjalankan semua kewajibannya di dunia, dan dapat pula masuk ke Syurga-Nya karena semua yang dijalaninya adalah karena “lillahi ta’ala”. Amin.

( Teriring salam dariku, Selamat Idul Fithri, Mohon Maaf lahir dan Bathin untuk bapak Presiden Bambang Susilo Yudhoyono beserta keluarga )

Sengata, 30 September 2009

Oleh :Halimah Taslima

Sabar tak berbatas, Syukur tak bertepi

Tadi malam, kusempatkan sedikit waktu untuk bermunajat di sepertiga malam terakhir. Tak panjang memang, hanya dua bilangan raka`at. Dalam do`a selepas sholat, ku adukan semua harapanku kepada Allah Swt. Ku pinta agar Ia memudahkan rizki bagi orang tua kami agar bisa sampai ke Kakbah-Nya. Minta dijaga keluarga kami agar senantiasa dijalannya.

Semua keinginan yang ada dalam hati kutuangkan dalam balutan do`a. Semakin dipinta semakin mesra,,, kata demi kata mengalir beriringan dengan tetesan bening yang jatuh dari kelopak mata. Sampai lidah ini menghaturkan pinta agar diberi kesabaran yang tiada batas, dan syukur yang tiada bertepi.

* * * *
Menjelang Shubuh aku dan suami sahur seadanya. Aku masih mengqodo puasa yang tertinggal, dan suami menunaikan shaum sunnah syawal. Faruq dari semalam memang belum juga tidur. Ini memang bukan hal baru bagiku, sejak kelahirannya setahun tiga bulan yang lalu, hal seperti ini memang sudah menjadi kebiasaannya. Semalaman bangun, baru tidur di pagi hari.

Selama Ramadhan sampai hari ini. Bisa dibilang Faruq tidak pernah tidur malam. Selalu tidurnya ba`da shubuh, atau paling lama pukul tujuh pagi.

* * * *
Mataku sudah perih menahankan kantuk. Tapi Faruq masih juga belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia juga mengantuk. Seperti kebiasaannya dari bayi, aku tidak boleh tidur kalau dia juga tidak tidur. Mungkin karena aku yang cerewet, jadi dia sudah terbiasa dengan suasana ramai. Sejak bayi, kalau dia bangun aku selalu mengajaknya bercerita, bercerita apa saja.

Hal ini juga yang mungkin membuat ia sadar bahwa aku sedang ada menemaninya atau tidak. Maka sejak usianya masih bilangan hari, ia akan menangis jika aku tertidur walaupun sambil memeluknya. “Jika tidak ada suara, berarti ummi tidur, tidak menemaniku”. Mungkin begitu yang ada dalam pikirannya.

Ia masih terus memintaku untuk menemaninya bermain. Tentu saja dengan caranya sendiri. Faruq memang belum bisa berbicara. Dua kata yang sudah sering keluar dari lidahnya adalah kata “udah’ dan “nggak”. Selain itu setiap meminta sesuatu, hanya ngoceh-ngoceh tidak jelas.

Rasa kantukku semakin tidak bisa ditolerir. Apalagi dalam kondisi puasa seperti ini, disamping punya sakit mag, aku juga masih dalam keadaan menyusui. Jadi jika kurang istirahat, otomatis keadaan tubuh langsung down.

Kulihat jam didinding sudah pukul delapan. Entah sudah berapa kali aku mengajaknya ke kasur sambil memberikan ASI agar ia mau tidur. Tapi lagi-lagi Faruq akan bangun, duduk dan sibuk menarik-narik badanku untuk menemaninya bermain.

Emosiku mulai tidak stabil. Dalam keadaan berpuasa seperti ini, Masih pagipun biasanya lambungku sudah terasa perih, sebelum punya bayi dulupun sudah seperti itu, apatah lagi kondisi sekarang dalam keadaan menyusui. Itu sebabnya aku sering memilih tidur ketika pagi hingga datang waktu Zuhur. Ditambah lagi kondisi alam Saudi, wanita tidak bisa banyak beraktifitas diluar rumah. Praktis seharian hanya menghabiskan waktu di dalam rumah.

Alam hatiku mulai berperang. Rasa kantuk dan rasa lelah karena belum tidur, membuat aku merasa kesal. Kutarik nafas dalam-dalam, beristigrfar sebanyak-banyaknya. Kalau sedang dalam keadaan marah seperti ini, aku sering merenung, bahwa bayi yang ada dihadapanku kelak akan menjadi seorang pahlawan, mujahid yang akan menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Anak Sholeh yang do`a-do`anya selalu kurindukan dikubur nanti. Dan kalau sudah merenung seperti ini, Alhamdulillah rasa marah dihati segera mereda. Berganti dengan semangat untuk bersabar dalam mengasuhnya.

Dalam renungan, aku teringat dengan munajatku tadi malam. Do`a yang kupanjatkan dengan linangan air mata.

“Ya Allah, beri hamba kesabaran yang tiada batas, dan rasa syukur yang tiada bertepi”

Aku tersadar dan berpikir, mungkin ini adalah jawaban Allah atas do`aku tadi malam. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa memperoleh kesabaran yang tiada batas, jika tidak dengan ujian. Dan bagaimana mungkin seorang hamba memperoleh rasa Syukur yang tak bertepi, jika tak memulai sendiri untuk menikmati ujian yang diberi.

Alhamdulillah Ya Allah, engkau telah mengijabah do`a hamba.


Jeddah, 25 September `09 (06 Syawal 1430H)
http://liaabi.multiply.com/

Ibu dan Kaumnya Ibu Kita

Ibu adalah predikat yang mulia. Sangat mulia. Hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda,”Al-jannatu tahta aqdamil ummahat.” Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Ketika sang ibu menyabung nyawa melahirkan, Tuhan pun menghargainya sebagai setara jihad di jalan-Nya dengan imbalan surga.

Begitu mulianya. Hingga ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad dan bertanya siapa yang harus dihormatinya, sang Nabi tiga kali menjawab,”Ibumu.” Barulah pada pertanyaan keempat, beliau mengatakan,”Ayahmu.” Demikian juga ketika lelaki yang lain mengutarakan hasratnya untuk berzina, beliau mengajukan pertanyaan apakah ia juga akan tega melakukan hal nista terhadap ibunya, dan kaum ibunya.

Teramat mulialah seorang ibu. Hingga ketika seorang Alqomah melalaikan ibunya yang telah renta karena diasyikkan dengan isterinya yang jelita, nyawanya pun tersangkut di kerongkongan dengan mata mendelik mengerikan. Mati tidak, hidup pun sekarat. Suatu akhir hidup yang ironis mengingat jasa-jasanya dalam berbagai peperangan membela Islam bersama sang Nabi. Sang Nabi tak kuasa berbuat, karena luka hati ibu Alqomah yang terzalimi adalah tanpa hijab menembus kemakbulan takdir Ilahi. Sang Nabi hanya dapat meminta disiapkan tumpukan kayu bakar untuk membakar tubuh Alqomah yang sekarat agar berpulang dengan tenang. Karena hanya itu penebus dosa kelalaiannya pada sang ibu.

Namun ibu adalah senantiasa seorang ibu. Sang ibu pun memaafkan karena tak rela buah susuannya dibakar hidup-hidup. Ia lupakan luka hatinya yang terabaikan bertahun-tahun demi buah hati yang dikandung selama sembilan bulan dan disusui dua tahun dengan kasih sayang dan tanpa bayaran. Alqomah pun meregang nyawa dengan tenang berkat ridho ibunya. Malin Kundang adalah Alqomah yang bahkan lebih bejad. Bertahun-tahun merantau tanpa kabar, ketika pulang dengan predikat saudagar kaya, ia campakkan ibunya yang dianggapnya tak sederajat dengannya. Berhati-hatilah dengan kutukan seorang ibu yang terlanjur luka hatinya digarami. Laut pun bergejolak dahsyat. Alam meradang hebat. Kapal mewah sang anak durhaka pecah dihantam ombak. Karam. Si Malin pun membatu, sebatu hatinya menolak mengakui sang ibu. Ibu yang berpredikat mulia adalah perempuan.

Kaum yang juga dimuliakan Tuhan dan para Nabi dan dijamin kedudukannya yang sama sesuai fitrah Tuhan. Bahkan, jika Anda punya dua anak perempuan, ada sebuah privilege di akhirat sana bagi orang tua yang mampu mengasuh dan membesarkan kedua putri nya tersebut dengan baik dan berakhlak. Konon diperlukan perjuangan lebih keras untuk mengasuh dua anak perempuan baik secara sosial atau mental. Namun, entah apa terlintas di benak Anda dengan sebuah peraturan resmi yang terpahat di sebuah monumen kota di Fulgham v. State, Alabama, Amerikat Serikat, pada 1871: “Adalah suatu privilege dari nenek moyang bahwa seorang suami yang memukul isterinya dengan tongkat, menjambak rambut, mencekik, meludahi muka atau menendangi serta membebankan benda berat di atas tubuhnya sebagai tanda penghinaan tidak dinyatakan bersalah dalam hukum.”

Di belahan bumi lain, perempuan India harus bekerja keras mengumpulkan mahar bagi sang calon suami agar tidak dianggap “sampah hidup” yang membebani keluarga karena terlahir sebagai perempuan. Di masa Arab jahiliyah, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di tengah gurun panas. Di Nusantara, dunia R.A Kartini dan Dewi Sartika pun terbelenggu dalam tiga ruang: dapur, sumur dan kasur. Bahkan ada pepatah Jawa yang menyatakan sebagai segaraning jiwo laki-laki, perempuan akan mengikuti suaminya kemanapun, baik surga atau neraka. Senyawa betul dengan syair Sabda Alam gubahan Ismail Marzuki,”Sejak dulu wanita dijajah pria…..”

Dalam kitab suci salah satu agama bahkan disebutkan Hawa (disebut juga Eva) adalah pangkal terusirnya manusia dari surga. Iblis yang yang menyamar sebagai ular mula-mula membujuk Hawa untuk memakan buah keabadian—yang dalam literatur Islam disebut sebagai buah “khuldi”. Konon, Hawa memakan habis buah itu. Sementara Adam yang lebih rasional sejenak tersadar untuk kemudian berusaha memuntahkan kembali. Terlambat. Buah laknat itu terlanjut tersangkut di kerongkongannya, dan menjadi pembeda antara Adam dan Hawa. Itulah jakun, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Adam’s apple”.

Mitos itulah yang menyuburkan stereotipe perempuan dalam banyak kebudayaan di dunia sebagai sumber bencana, yang lemah dan tak berdaya. Perilaku selibat (baca: tak menikah selamanya) pemuka agama tertentu adalah manifestasi keyakinan pada mitos tersebut. Karena takut derajat kesucian mereka terkotori dengan menikahi perempuan. Entahlah bagaimana mereka melampiaskan nafsu kodrati kepada lawan jenis yang notabene merupakan fitrah Tuhan yang tak terelakkan. Di zaman modern pun sebagian pakar biologi yang pro-patriarkis menganggap tingkat evolusi perempuan berada di bawah laki-laki.

Sebuah mitos superioritas gender yang menjustifikasi seseorang untuk menasihati bocak laki-laki yang menangis karena terjatuh dengan ucapan,”Eh, jangan nangis. Kamu kan laki-laki!” Lebih jauh, bahkan Sigmund Freud, dalam kerangka teori psiko-analisanya membedakan lelaki dan perempuan hanya pada satu hal, ada tidaknya phallus (lingga, penis) sebagai lambing kemaluan laki-laki. Definisi lelaki adalah makhluk yang memiliki phallus, sementara perempuan adalah makhluk yang “tidak punya apa-apa”. Jadi, menurutnya, kerap terjadi persaingan dan kecemburuan perempuan terhadap laki-laki atas “apa yang tidak dipunyainya” itu. Kelak, muncul derivat teori Freud tersebut dalam seksologi untuk menjustifikasi kecenderungan perempuan dan laki-laki terhadap fellatio dan cunnilingus.

Namun kegelapan tak abadi. Selalu ada pagi ketika malam kian gelap. Ketika gerakan Women’s Lib mengusung emansipasi perempuan pada awal 60-an, dengan puncaknya pada 1978, perempuan bergerak menuntut hak-hak kebebasan di segala bidang. Akan tetapi jika air bah terlalu lama dibendung maka bendungan akan jebol juga. Dari ekstrem ditindas pun pendulum perubahan meluncur menuju ekstremitas yang lain. Wacana pro-choice (pro-aborsi) dan sederet anomali yang menentang hukum besi alam dan fitrah Tuhan meruyak merujuk pada prinsip Women’s Lib bahwa “perempuan berhak sepenuhnya atas tubuhnya dalam melakukan aborsi, hubungan seks dan menampilkan keindahan tubuhnya di depan khalayak”.

Atas dasar itu video-video mesum beredar, atas dasar itu banyak rumah tangga karam karena perselingkuhan, dan atas dasar itu pula ribuan bocah perempuan ternistakan sebelum mekar karena kawan-kawan pria mereka tak kuat menahan syahwat dengan VCD porno dan majalah syur. Sementara regulasi pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi rebah babak-belur dihajar cukong-cukong media yang bersikukuh menampilkan keindahan perempuan sebagai bumbu utama. Mumpung sebagian aktivis perempuan menganggapnya bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal HAM yang sejatinya diakui pada 10 Desember 1948 di San Francisco adalah “the rights of all human being to fair treatment and justice and to all basic needs such as food, shelter and education.” (World Book Dictionary).

Mumpung presiden dan petinggi negara lebih sibuk mengurusi poligami (lebih tepatnya polygyny) yang sebenarnya sejarah awalnya sebagai katarsis pelacuran dan seks bebas yang notabene merupakan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan, kaum yang mulia, semulia ibu yang telah melahirkan kita semua. Ada hukum besi pergaulan yang banyak dikutip para begawan motivasi mulai dari Napoleon Hill hingga Stephen Covey bahwa kita harus menghargai diri kita dahulu sebelum menghargai orang lain. Seberapa layak kita menghargai diri kita sendiri semelimpah itu pula orang akan menghargai kita. Demikianlah semestinya kita memposisikan perempuan dalam fitrah Tuhan.

Mulialah perempuan, muliakan ibu kita. Jika bunda masih di sisi, ambil tangannya dan ciumi mesra dengan janji takkan lagi kita menyakiti dia punya hati. Jika bunda telah tiada, panjatkan doa untuknya dan perpanjang silaturahmi dengan sahabat-sahabatnya.

Dedicated to all mothers in the world especially to my beloved mother in heaven…

nursalam.ar@gmail.com http://nursalam.multiply.com


Jangan Salah Pilih Kacamata

Suatu ketika lensa kacamata saya pecah. Untuk beberapa waktu saya tidak bisa banyak beraktifitas di luar rumah. Sulit bagi saya berjalan karena mata saya yang kabur. Sehingga setelah lebih satu minggu, ketika saya sudah dapat mengganti kacamata saya dengan yang baru, saya kembali bisa melaksanakan aktivitas di luar rumah.

Tanpa kacamata, saya tidak bisa membaca tulisan dalam jarak beberapa meter. Apa yang ada di hadapan saya terlihat samar dan bahkan wajah orang lain tidak bisa saya kenal dengan jelas. Kacamata sudah menjadi kebutuhan inti bagi saya untuk beraktifitas. Tanpa kacamata, tidak banyak yang bisa saya lakukan dan pekerjaan saya tidak akan bisa terselesaikan dengan baik, dan tanpa kacamata saya ragu untuk berjalan di malam hari keluar rumah.

Dalam kehidupan di dunia ini, kita juga butuh kacamata, yang dengannya kita bisa membedakan antara yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk, antara jalan yang berbahaya dan jalan yang selamat. Kacamata tersebut adalah Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Seperti halnya kacamata yang punya dua lensa. Dengan memakai satu lensa, seseorang akan sulit untuk melihat dan beraktifitas dengan seimbang. Begitu juga dengan Al-Qur'an dan sunnah keduanya tidak bisa dipisahkan.

Selain Al-Qur'an dan sunnah ada kacamata hawa nafsu dan setan. Harganya murah, diobral dimana-mana, untuk mendapatkannya tidak sulit. Sebagian orang yang terpedaya lebih memilih memakai kacamata nafsu dan setan. Sehingga ia sering kali tertipu tanpa ia sadari. Apa yang sebenarnya berbahaya bagi dirinya, diperlihatkan indah ketika ia memakai kacamata hawa nafsu dan setan. Dan apa yang akan menyelamatkan bagi dirinya diperlihatkan setan membahayakan dirinya. Yang baik, menjadi terlihat buruk dan yang buruk terlihat sebaliknya.

Setiap manusia yang mendambakan kebahagiaan dan keselamatan hidup haruslah menjadikan Al-Qur`an dan sunnah sebagai pedoman. Di dalamnya telah dijelaskan segala perkara yang akan menyelamatkan dan diterangkan segala perilaku yang akan menyengsarakan. Di dalamnya ada aturan, perintah dan larangan. Melihat kehidupan dunia dengan menggunakan kacamata Al-Qur`an dan sunnah akan menjadikan kita selalu tepat dan bijak memilih dan menentukan langkah hidup. Kita tidak akan salah jalan dan salah memilih. Hanya dengan Al-Qur`an dan sunnah kita akan bisa selamat dalam perjalanan kita mengarungi samudera kehidupan ini.

Allah telah berfirman pada pembukaan surat Al-Baqarah, "Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Al-Baqarah [2]: 1-5)

Tentang perintah mengikuti ajaran Rasul-Nya, Allah telah menerangkan, "... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." (QS Al-Hasyr [59]: 7)

Rasulullah SAW juga menyebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., beliau bersabda, "Setiap orang dari umatku akan masuk sorga, kecuali yang enggan, para sahabat bertanya, "Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?", Rasulullah menjawab, "Barangsiapa yang taat pada perintahku, akan masuk sorga, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadap suruhanku, maka dia telah enggan." (HR. Bukhari).

Dalam kehidupan yang kita jalani, kita bisa menyaksikan orang-orang yang menggunakan kacamata hawa nafsu dan setan. Mereka begitu seenaknya menghalalkan segala sesuatu yang jelas telah diharamkan. Mereka berzina, berjudi, meminum khamar, membunuh, menipu, melakukan praktek hubungan sejenis, dan segala bentuk tindak kejahatan dan kriminal lainnya. Hati dan akal pikiran mereka telah tertutup. Sehingga bagi mereka yang baik dan halal itu adalah apa yang telah diperlihatkan baik dan halal oleh nafsu dan setan.

Sedangkan Allah SWT telah mengingatkan, "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar diantara kamu. Maka, apakah kamu tidak mengerti? ( Yasin [36] : 60-62)

Bahkan Allah SWT mencela keras orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsunya, firman-Nya, ""Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya tuhannya, apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya." (QS Al-Furqan [25]: 43-44)

Saat ini kerusakan tidak hanya terbatas pada akhlak dan moral tapi sudah meluas pada kerusakan ilmu, amal ibadah dan akidah. Orang-orang yang berpaham liberal, plural, sekuler sudah menyebar di berbagai tempat. Mereka telah banyak menduduki peran-peran penting di pemerintahan dan institusi pendidikan islam.

Orang-orang tersebut menggunakan kacamata hawa nafsu dan setan. Sehingga kita bisa melihat, bahwa mereka selalu memunculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman islam yang benar, sebagaimana yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dan para pendahulu kita dari para salafus soleh.

Bertopang pada akal semata, tidaklah cukup, akal sangat terbatas kemampuannya. Dan bergantung pada mata kita juga tidaklah cukup, mata kita juga sangat terbatas kemampuannya untuk melihat. Dengan lensa Al-Qur`an dan sunnah segala sesuatu akan terlihat sangat jelas dan jernih. Kita akan bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil, antara jalan yang berbahaya dan yang akan menyelamatkan kita. Kita tidak akan pernah tertipu. Kita juga akan bisa memilih dengan tepat. Sehingga dengan demikian kehidupan yang kita jalani di dunia tidak akan menjadi sia-sia.

Dari itu, jangan salah pilih memakai kacamata, karena kesalahan kita memilih kacamata akan berakibat fatal bagi keselamatan diri kita. Pilih lah kacamata yang akan menjelaskan pada kita bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah, dan yang akan menerangi langkah hidup kita di tengah gemerlapnya kehidupan dunia ini . Wallahul musta'an wa a`lam.

Salam Ramadhan dari Kairo,

marif_assalman@yahoo.com www.marifassalman.multiply.com