Menjadi Hamba Pilihan Allah


Bila sekelompok orang banyak berkumpul di suatu tempat untuk mengadakan pemilihan pemimpin, hal-hal apakah yang menjadi poin utama untuk terpilihnya seorang pemimpin harapan?

Setiap orang yang hadir punya penilaian yang berbeda, tergantung dari sisi mana ia melihat, sejauh mana ia mengetahui individu seorang calon, seberapa besar ia memahami hakekat dan peran seorang pemimpin, seberapa banyak ia mengetahui syarat-syarat seorang pemimpin dan lain sebagainya.

Dari sekumpulan orang banyak tersebut, ada orang yang begitu bernilai, yang nilainya lebih besar dari jumlah peserta yang hadir. Yang bila ia berkata akan didengarkan, jika memberikan ide akan langsung diterima dan bila ia melontarkan sikap akan menjadi bahan pertimbangan. Dan dari sekumpulan orang banyak itu, ada orang yang biasa saja, yang nilainya bisa sama dengan satu orang atau kurang dari itu.

Dari sisi mana dan apa sajakah seseorang itu bernilai dan punya harga di hadapan orang banyak? Hal apakah yang menyebabkan mereka sering ditampilkan ke depan? Dan karena dasar apakah mereka dianggap layak untuk menjadi pemimpin? Apakah karena wajahnya yang tampan, badannya yang kekar, kepintaran berbicara, dan lainnya?

Jawabannya adalah karena pribadi yang melekat pada orang tersebut. Karena sikapnya selama ini yang selalu dapat menyentuh setiap hati. Karena kata-katanya sanggup menggugah nurani, dan keberaniannya tidak dapat dipatahkan. Mereka adalah orang-orang yang punya komitmen dan prinsip dalam hidup.

Mereka adalah orang-orang yang berani berkata untuk sebuah tanggung jawab, orang-orang yang selalu berpandangan positif dan membangun. Ya, mereka adalah orang-orang yang berani memikul tanggung jawab.

Dalam sejarah kita temukan banyak manusia–manusia yang perjalanan hidupnya mampu menorehkan tinta emas. Dan juga banyak dari manusia yang perjalanan hidupnya tidak meninggalkan kesan apapun. Mereka lahir, hidup, dan mati. Tidak ada cerita setelah itu tentang mereka.

Menjadi yang terpilih di hadapan manusia perlu pada pembinaan sikap positif yang kontinyu di hadapan mereka. Karena manusia cenderung akan melihat apa yang nampak dari luar. Sedangkan untuk mengetahui apa yang dalam hati, tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah Swt dan pribadi setiap orang jika ia mau jujur terhadap dirinya.

Pernahkah kita punya keinginan untuk menjadi hamba terpilih karena kebaikan dan ketaatan yang kita lakukan pada Allah? Menjadi hamba yang Allah cintai, yang Allah golongkan ke dalam kekasih-Nya. Hamba yang ketika berdo`a dikabulkan dan ketika meminta akan diberi?

Tentu sebagai seorang yang beriman dan mencintai Allah, keinginan untuk menjadi hamba yang terpilih adalah harapan yang selalu ingin kita wujudkan. Kita juga selalu berdo`a agar Allah menggolongkan kita untuk menjadi ahli sorga-Nya.

Seperti halnya menjadi yang terpilih di hadapan manusia kita harus ada bekal amal, prestasi, dan nilai-nilai positif lainnya yang kita miliki yang telah dapat dirasakan orang banyak, maka untuk menjadi seorang hamba pilihan Allah, apakah kita juga sudah punya syarat-syarat tersebut?

Kita harus punya prestasi yang bisa dibanggakan di hadapan Allah. Prestasi dalam segala bidang dan dimensi ibadah. Mulai dari yang bersifat harian seperti shalat malam, shalat 5 waktu tepat waktu dan berjama`ah, berdzikir, membaca al-Quran, shalat nawafil, selalu berdo`a pada Allah, menangis atas dosa dan kesalahan, mengajak orang lain pada kebaikan, mengajarkan ilmu, bersedekah, silaturrahmi dan segala ketaatan lainnya.

Apakah kita termasuk orang-orang yang lamban atau cepat? Apakah kita tergolong orang-orang yang selalu meremehkan dan mempermainkan aturan-aturan Allah? Dan apakah kita senantiasa membela pandangan-pandangan yang berbenturan dengan tembok syariat? Jawabannya ada dalam diri setiap individu kita dan bisa diketahui bila kita mau mengoreksi diri dengan jujur.

Bagaimana mungkin orang banyak akan memilih seseorang dan mereka perjuangkan untuk menjadi pemimpin mereka, kalau selama ini orang tersebut sering lambat dalam bekerja, tidak cekatan, selalu meremehkan aturan yang telah ditetapkan bahkan sikap dan kata-katanya banyak menimbulkan pertentangan.

Nah, kita sekarang perlu melihat diri kita, apakah di hati kita ada keinginan yang jujur untuk menjadi hamba pilihan Allah? Bila keinginan itu ada muncul dalam hati kita, sampai saat ini sikap-sikap apakah yang telah kita bangun dalam diri sehingga Allah layak memilih kita untuk menjadi hamba-hamba yang didekatkan disisi-Nya, hamba-hamba yang terpilih menerima ampunan-Nya dan terpilih menjadi ahli sorga-Nya?

Semoga tulisan singkat dan sederhana ini bermanfaat. Selamat berjuang menjadi hamba pilihan Allah subhanahu wa ta`ala. Mohon doanya moga sukses ujian, terima kasih.

Salam,
http://marifassalman.multiply.com/
oleh M. Arif As-Salman 

Yang Kaya Makin Taqwa, Yang Miskin Makin Sholeh

Magrib telah lewat. Isya belum tiba. Kami – aku dan istriku – berencana berangkat menjenguk salah seorang sahabat yang sakit. Kami pun memperhitungkan akan sholat Isya di perjalanan, di salah satu Masjid atau Musholla yang kami temukan di jalan. Walaupun waktu Isya sebenarnya panjang, tapi kami sedang melatih diri untuk biasa sholat di awal waktu.

Benar saja, separuh perjalanan, adzan berkumandang. Perlahan kami telusuri jalan-jalan kecil di perkampungan. Adzan memang terdengar dari mana-mana, menandai bahwa banyak Masjid atau Musholla di sekitar kami.

Musholla pertama yang kami temui hingar bingar. Anak-anak berlari kesana kemari. Rupanya Musholla ini menyelenggarakan TPA. Suara adzan tak mampu membendung antusiasme anak-anak ini untuk bermain. Kami tak jadi mampir.

Hanya berjarak beberapa ratus meter, kami temui Musholla kedua. Musholla kedua ini tertutup rapat. Tak ada aktifitas apapun. Aneh juga, pikir kami. Kami juga tak jadi mampir. Akhirnya kami temukan musholla ketiga. Juga dengan jarak hanya beberapa ratus meter saja. Masih di jalur jalan yang sama. Alhamdulillah, ada seseorang yang sedang sholat di sana. Kami pun memarkirkan kendaraan roda dua di dekat teras Musholla.

Hanya seorang yang sedang sholat, dan sedang tahiyat awal. Aku pun bermasbuk, menjadi satu-satunya makmum di Musholla itu.

Usai sholat, kami – aku dan sang imam – berbincang-bincang singkat.

”Sepi ya Musholla-nya?” tanyaku. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban sebenarnya.

Pak Imam membenarkan, dan meneruskan dengan penuh prihatin terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Orang-orang malas ke Masjid. Padahal sebagian besar penduduk bukanlah orang kantoran, alias jam sekian sudah seharusnya sudah berada di rumah. Profesi mereka rata-rata tukang ojeg, jualan kecil-kecilan, dan sektor informal lainnya. Mereka lebih tersihir oleh tontonan televisi ketimbang panggilan untuk menghadap Rabb-nya.

Aku membenarkan juga kata-katanya. Sepanjang jalan yang aku lalui, banyak anak remaja yang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ’sibuk’ membicarakan entah apa. Suara adzan tak berarti apa-apa buat mereka.

Selanjutnya pak Imam menanyakan dari mana kedatanganku, dan tak lupa menanyakan pula bagaimana semangat sholat berjamaah di lingkunganku.

Sejujurnya kusampaikan bahwa tempat tinggalku sebenarnya tak terlalu jauh. Aku tinggal di perkampungan, dekat pinggiran kompleks. Jadi aku lebih sering sholat di Musholla atau Masjid kompleks, yang asri dan terawat. Jamaah sholatnya cukup banyak. Bahkan saat Maghrib bisa hampir memenuhi Masjid. Sedangkan sholat shubuh pun cukup ramai, menandai warga sekitar Masjid cukup semangat memakmurkan Masjid mereka. Warga kompleks dan sekitarnya umumnya dari kalangan berpunya. Rata-rata mereka punya kendaraan roda empat.

Aku pun tergoda untuk menyimpulkan, pada kasus ini, yang kaya justru semakin menunjukkan peningkatan ketaatan. Mereka lebih peduli terhadap ibadah, dan lebih rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Dari arus kas masjid pun dapat disimpulkan bahwa warga sekitar masjid ini gemar berinfaq.

Sebaliknya, setiap kali adzan berkumandang, cukup banyak tukang becak yang sesungguhnya tidak melakukan apa-apa selain hanya duduk-duduk. Mereka tidak bergerak meninggalkan becak mereka. Aku pun kembali miris, seolah kemiskinan berbanding lurus dengan kemalasan beribadah.

* * * * *

Tapi benarkah kekayaanlah yang mendorong seseorang menjadi lebih bertaqwa? Tentu kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa. Sebagaimana tak perlu pula kita menyimpulkan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan seseorang malas beribadah.

Ada pengalaman-pengalaman lain yang setidaknya memberikan perspektif lain kepadaku.

Tengoklah itu, Mas Yono, tetanggaku yang mengontrak rumah petak bersama istri dan lima orang anaknya. Seolah hampir tak peduli dengan pembeli, setiap adzan Magrib ia langsung meninggalkan gerobak baksonya, bergegas memenuhi panggilan Allah. Lihat pula abang-abang tukang roti, tukang es dan tukang entah apa lagi, yang ramai memarkirkan gerobaknya di pelataran masjid. Mereka bergegas memenuhi panggil Rabb-nya di tengah-tengah usaha mereka mencari nafkah.

Mereka, kaum mustadhafin itu, berdiri dan duduk berdampingan dengan orang-orang yang memiliki rumah gedongan dan kendaran mewah. Semua sama di mata Allah. Allah hanya melihat bagaimana mereka menyikapi kemiskinan sebagaimana Allah menilai bagaimana saudara-saudara mereka menyikapi kekayaan.

Sementara itu, boleh jadi di saat yang lain, saudara-saudara mereka yang bekerja di ruang-ruang AC yang sejuk, masih asyik chatting atau melihat-lihat berita gosip di internet, meski waktu sholat telah masuk. Atau boleh jadi dengan alasan pekerjaan belum selesai, mengejar deadline, dan alasan-alasan ’logis’ lainnya, mereka jadi merasa menemukan pembenaran untuk menunda-nunda sholatnya. Apalagi jika diimbuhi dengan argumentasi ”toh masih sholat, dari pada enggak?”

Alasan seperti ini sesungguhnya hanya mencerminkan betapa rapuhnya hubungan seseorang dengan Rabb-nya, yang telah memberinya aneka kemudahan, kelapangan, dan kenikmatan.

Betapa kenyamanan tak selamanya berujung ketaatan.

Akhirnya memang kita bisa menyimpulkan bahwa kaya atau miskin sama-sama bisa menghantar seseorang untuk menjadi dekat dengan Rabb-nya. Bahwa beberapa masjid kompleks yang aku temui terlihat lebih makmur aktifitasnya dibandingkan beberapa masjid/musholla perkampungan, mungkin ini sangatlah subyektif, karena hanya berdasarkan pengalaman pribadiku saja.

Sesungguhnya Islam hadir untuk mencegah adanya kesenjangan kelas dalam masyarakat, bahkan membangun persaudaraan antara si kaya dan si miskin dan menciptakan kesatuan untuk menghadapi berbagai macam kebutuhan. Allah berfirman, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”(al-Baqarah:273)

Wallahu a’lam

sabruljamil.multiply.com


oleh Sabrul Jamil 

Keberhasilan Diukur Hanya Dengan Materi

Saat aku dan keluarga akan berlibur ke kota Samarinda, maka kami pun mengendarai mobil ke Samarinda dengan memakan jarak tempuh sekitar lima jam ( bila kondisi jalan stabil ) dengan kecepatan sedang. Maklum saja, jalan yang kami lalui lebih banyak lubangnya daripada yang mulusnya. Biasa, begitulah kondisi jalan umumnya di Kalimantan Timur nan kaya ini. Bila dibandingkan dengan ibukota Jakarta, maka sangat ironis tentunya. Jakarta punya jalan layang yang bertingkat, maka di Kalimatan Timur yang hanya punya satu jalan dengan kondisi yang tidak kita temui di pulau Jawa, itupun harus kami syukuri daripada terisolir!

Tapi tentu saja aku tidak ingin mengupas tentang ketimpangan pembangunan. Hanya aku menguraikan sedikit bagaimana perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh lebih singkat, ternyata harus memakan waktu satu hari. Saat melakukan perjalanan itulah saya bertemu kembali dengan sohib ( kawan saat kuliah ) yang telah pula berkeluarga. Kami bertemu setelah lama tak bersua, sekitar tujuh tahun. Dia berlawan arah denganku. Tujuannya ke kota Sengata, sementara aku yang dari Sengata menuju ke kota Samarinda.

Pertemuan itu tentu saja menggembirakan. Bertemu kawan karib yang lama tak terlihat batang hidungnya, ternyata jumpanya di perjalanan saat kami sama-sama mengambil napas di sebuah warung makan di tengah perjalanan, antara Samarinda dan Sengata. Perjalanan itu mungkin seperti mengikuti rely mobil! ( mungkin berlebihan ya?! ) Setiap tanjakan jalan pasti akan ada belokan, begitu pula saat ada penurunan maka kita akan menemui belokan jalan, baik ke kiri maupun ke kanan. Belum lagi jalanan yang banyak lubangnya, hingga sang sopir seringkali secara reflek menghindari lobang sekaligus menghindari kendaraan dari depan karena sama-sama mencari jalan yang bisa di lewati kendaraan. Gerakan reflek yang dilakukan sopir, membuat kami penumpangnya akan sering-sering terbanting, bagaikan terbanting di ring tinju! He..he…Makanya, jangan heran panjang jalan yang tidak cukup dua ratus kilometer akan membuat badan kami pegel-pegel seperti habis dipukulin!

Kami mulai berbincang tentang kawan-kawan yang sudah punya karier yang lumayan, membuat kami gembira dan bersyukur, ternyata kawan-kawan telah berhasil terjun ke masyarakat. Cerita itu akhirnya bertumpu pada cerita kawan kami yang telah bekerja di sebuah bank negeri di Samarinda. Dia seorang wanita, cantik lagi. Tapi bukan kecantikannya yang diulas oleh sohibku ini, tapi keberhasilannya. Tentu saja aku senang bila kawan berhasil. Dengan semangatnya dia bercerita :”Mah, aku ketemu ama si anu pakaiannya bagus sekali. Sangat cantik dan serasi. Mobilnya? Sangat bagus! Aku senang lho dia berhasil!” Dia dengan semangat 45 menceritakan keberhasilan kawan kami itu. Aku hanya menyunggingkan sebaris senyum dan mengumam dalam hati :”Ah, kawanku ini rupanya mengukur keberhasilan hanya lewat materi!”

Mungkin jika dia hanya menceritakan tentang karier kawan kami itu, aku dapat turut berbangga hati. Tapi, dia menjelaskan secara detail tentang mobil, pakaian dan lainnya yang menyangkut kebendaan. Aku pun sedih mendengarnya. Padahal dia dulu kawan yang sering terjun di acara kampus yang bernuansa Islam. Dia dekat denganku pada setiap acara kampus dan acara pertemanan lainnya. Dia sama denganku, sedikit tomboy! Tapi, saat pertemuan di perjalanan itu, aku melihat perbedaan yang sangat besar di antara kami. Rupanya, waktu yang tujuh tahun membuatku mampu menilainya dari sisi yang lain. Sisi ruhiyahnya tak terisi. Pakaiannya-pun seperti kebanyakan wanita yang aku temui. Celana jeans dan baju berkaus berlengan pendek yang ketat, sepatunya bermodel sport. yang semuanya melambangkan kepraktisan. Dulu, aku juga begitu!

Ada sedikit kesedihan yang mampir di relung hati ini. Kawan yang dulunya serasa sehati, ternyata saat bertemu kembali bagaikan bertemu dengan orang yang tak pernah aku kenal. Cerita-ceritanya tak membuatku nyaman. Pandangan hidupnya yang berorientasi kebendaan membuatku kasihan. Kasihan padanya, karena dia tak mendapatkan hidayah Allah yang membuatnya merasa tenang dengan semua keadaannya. Kawan, maafkan aku atas segala persepsi miringku terhadapmu.

Lain sohibku ini lain pula dengan beberapa orang keluarga yang berkunjung ke rumahku. Beberapa orang ini bergantian bersilaturhim ke rumah karena merasa kangen padaku. Beberapa orang yang punya satu persepsi tentang keberhasilan hidup, tapi aku selalu hanya bisa diam, karena mereka orang yang aku segani. Ketika, salah seorang bertemu denganku, maka dia pun bercerita dengan bersemangat tentang keberhasilan orang-orang yang telah lama tak aku jumpai. Cerita tentang mobil, tentang pekerjaan maupun cerita lainnya yang semuanya bertumpu pada satu titik : MATERI!

Aku juga merasakan kesedihan pada pertemuan ini, sama seperti pada pertemuan sohibku dulu. Beberapa orang yang lama tak berjumpa denganku, ternyata punya persepsi yang sama tentang hidup ini. Aku tak bisa berkata, ataupun memberi jeda pada ucapannya yang sangat berapi-api tentang keberhasilan orang-orang lain. Aku pun duduk dengan diam, mungkin tanpa ekspresi! Tapi, dia tak melihat itu!

Ketika ada peluang, maka aku pun mengeluarkan peluru yang telah lama ada di hati ini. Aku secepatnya berlomba dengan waktu yang sedikit, tanpa memberi ruang waktu untuknya untuk menambah ceritanya tentang keberhasilan orang-orang yang dikaguminya.
“Aku gembira mereka berhasil. Tapi, apakah kita hanya menilai seseorang dari harta yang didapatnya? Apakah tante tidak pernah berpikir harta itu belum tentu membuat mereka bahagia? Apakah tante tidak lihat, mereka yang berhasil menurut tante ternyata banyak perselingkuhan di dalamnya? Atau…Bagaimana anak-anak mereka menjadi liar? Hidup mereka berlimpah materi, tapi hati mereka kosong, kering dari kesejukan iman!”

Aku pun mengambil napas sebentar dan melanjutkan : “Apakah bila sebuah keluarga yang hidupnya biasa-biasa saja tidak termasuk berhasil? Padahal mereka menjalankan ibadah shalat dengan baik. Anak-anaknya rajin ke masjid? Bila mereka sering khatam al-Quran bukan sebuah keberhasilan?!” Kok jadinya aku pun berapi-api menerangkan argumentasiku. Sudah lama sekali aku pendam ketidak-nyamanan ini. Aku seperti gunung yang memuntahkan laharnya. Aku tak begitu peduli dengan wajah yang melongo di hadapanku. Aku ingin melepaskan semua yang aku rasakan, bahwa materi bukanlah satu-satunya keberhasilan yang harus dibanggakan!

Akhirnya dadaku PLONG dari himpitan yang lama terikat kuat. Mulutku sudah puas memuntahkan yang seharusnya aku muntahkan. Aku tidak boleh berdiam diri dengan semua persepsi orang terdekatku tentang keberhasilan yang berbanding lurus dengan jumlah harta yang mereka miliki. Aku puas, karena aku telah menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat mereka memikir ulang tentang pandangannya ( itulah harapanku ), pandangan yang hanya berpatokan pada materi yang di dapat!

Semoga saja, mereka di berikan pencerahan oleh Sang Pemberi Cahaya kehidupan, karena aku tak punya kuasa untuk itu.

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

halimahtaslima@gmail.com

oleh Halimah 

Tangga Kesabaran

Sebut saja namanya Z, seorang manajer sebuah perusahaan swasta Bandung. Suatu hari datang ke seorang ustadz. Kedatangannya karena keinginan yang menggebu - gebu atas kehampaan jiwa yang sedang ia rasakan. Rutinitas pekerjaan yang ia lakukan, memaksa mengedepankan kemamampuan intelektualnya, namun berbarengan dengan itu sisi spiritual telah diabaikan, hingga pada sebuah titik ia bertemu dengan sebuah kehampaan.

Ketika sudah ketemu dengan sang ustadz, sang ustadzpun tidak banyak bicara dan basa basi lainnya, ia hanya berkata sedikit, ”kamu berlatih sabar dulu, karena orang yang sabar itu bersama Allah.”. Si manajer itupun kembali dari rumah sang ustadz. Dalam perjalanannya ia pulang, iapun bertanya-tanya, ”jauh-jauh datang, ingin mencari pengobat hati yang hampa, malahan hanya dapat sebuah kalimat pendek. Kalau hanya seperti itu ngapain jauh – jauh, baca di buku – buku yang bertebaran di toko buku juga banyak.”

Beberapa minggu waktu telah berlalu, namun kehampaan jiwa masih selalu menggelayut dalam benak sang manajer. Rutinitas harian yang ia laluipun, hanya berkutik pada aktivitas intelektual semata. Ibadah ritual yang ia jalankan, seolah tak membekas dalam relung hatinya yang terdalam. Sholatnyapun terasa hanya sebuah penggugur kewajiban, tak membekas di jiwanya,apalagi implikasi sosial.

Pada suatu hari ada meeting di kantornya, akibat krisis global yang melanda dunia, perusahaan tempatnya bekerjapun terkena imbas. Keputusan Dewan Direksi, perusahaan akan memberlakukan PHK, tidak terkecuali di jajaran departemen yang ia manajeri. Sebagai tahap awal manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan di tingkat staff. Akibat dari keputusan tersebut, si manajer harus melakukan pekerjaan yang tidak sedikit, karena pekerjaan yang biasanya bisa dilimpahkan ke staffnya, maka terpaksa harus dilakukan ia sendiri.

Sebagai akibat dari keputusan tersebut, iapun mulai merasakan kepenatan yang lebih. Kalau dulu ia hanya mengkonsep, dan staffnya yang mengetik surat, maka sekarang ia harus mengonsep sendiri, mengetik sendiri, bahkan harus melakukan hal – hal lain, yang sebenarnya bukan kerjaan seorang manajer. Tidak hanya itu, iapun mulai merasakan kehilangan kharismanya. Kalau dulu ia tinggal perintah, maka sekarang minta tolong ke temanpun tidak selalu diperhatikan. Ia merasa, bahwa ia kerja sendiri, tidak disupport teman – teman. Masing – masing mulai muncul egoisme pribadi. Kalau dulu toleransi begitu mengakar di perusahaan, sekarang toleransi itu, hampir – hampir sirna termakan kepentingan sendiri – sendiri.

Hari – hari berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya si manajerpun datang kembali ke tempat sang ustadz. Kalau dulu ia datang dengan tujuan mencari pencerahan dari kehampaan jiwa, maka sekarang ia datang untuk mengadukan kepenatan lingkungan kerjanya.

Setelah sampai ke tempat sang ustadz, sang ustadzpun dengan santai hanya memberi satu kalimat sederhana, ” kamu, baru dikasih satu tangga untuk menuju kesabaran”. Si manajerpun terangguk- angguk, bukan karena mengerti kata-kata sang ustadz, tapi karena bagi dia tambah bingung.

Sesampai di rumah, si manajer masih saja bingung, dengan kata – kata sang ustadz. Logika berfikirnya masih belum bisa menerima. Di kantor ia sudah pusing dengan kondisi perusahaan. Ketika datang ke sang ustadz, hanya dikasih seuntai kalimat, yang ia terngiang – ngiang, ”tangga kesabaran”.

Di sebuah malam, tidak seperti biasanya sang manajer bisa bangun malam, tepat jam tiga ia berusaha melakukan sholat tahajud. Ada sebuah kedamaian yang ia rasakan setelah sholat. Beban – beban yang ia rasakan di siang hari,seolah tak menggelayut di relung fikirannya.

Sehabis sholat dan wiridan, iapun bergegas ke teras depan. Sambil menunggu waktu shubuh iapun duduk termenung, hingga pada sebuah titik ia mulai dianugerahi sebuah pencerahan. Ia mulai mengingat, dulu datang ke tempat sang ustadz, dengan tujuan mencari pencerahan atas kehampaan jiwanya. Namun setelah datang ke tempat sang ustadz, justru di kantornya terjadi kondisi yang selalu memancing emosinya...., kondisi yang seolah menghilangkan kharismanya...., terjadi kondisi yang membuat perasaannya semakin tersiksa....., kenapa ??? ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri.

Yah.... itulah sebuah kenyataan, yang memaksa diri untuk bertindak sabar. ”Kalau saya selalu emosi, kurang percaya diri, merasa dikhianati, berarti terjerembab oleh sebuah keadaan.” gumannya dalam hati. ”Padahal bukan sebuah kebetulan, bila kondisi itu memang sengaja diberikan sama Allah, supaya saya bisa belajar sabar....” jawabnya dalam hati. Iapun kemudian berujar, ”Karena kondisi ini, maka saya dipaksa belajar sabar, bila sabar telah tertoreh, maka pertolongan Allah akan datang, jadi kondisi itu hanyalah sebuah anak tangga menuju kesabaran.”

Demikianlah, seberkas cahanya telah merasuk dalam dinding kalbunya, hingga saat adzan shubuh terdengar, kakinya ringan melangkah menuju masjid. Ketika pagi telah menjelang, iapun berjalan menuju kantor dengan raut wajah yang terang, sorot matanyapun berbinar tidak nampak kelesuan disana. Langkahnyapun terlihat tegap, seolah langkah menuju ke tempat yang selama ini ia rindukan.

Terang wajahnya, dan berbinar sorot matanya, bukan karena ia di kantor tidak akan menemui orang – orang yang tak mempedulikannya, namun karena ia yakin, bahwa Allah telah menganugerahi anak tangga menuju kesabaran, yang selama ini ia cita-citakan.

Wallahu a’alam.



oleh Imam Sutrisno 

Memaknai Bahagia

Kemarin seorang sahabat bercerita dengan penuh haru tentang tingkah laku buah hatinya yang gelisah menanti esok hari tiba karena pada hari yang dinanti-nantinya itu  di Jerman ada perayaan Muttertag (hari ibu), ia ingin mempersembahkan sesuatu untuk ibunya. Anak-anak usia sekolah di Jerman memang dibiasakan menyambut hari ibu dengan memberi suatu hadiah dalam berbagai macam kreasi, bisa berupa untaian puisi, gambar, bunga dan lain sebagainya untukmewakili ungkapan cinta pada ibunya. Kepolosan tingkah anak yang ingin mebahagiakan ibunya itu mengingatkan saya pada suatu hal yang belum lama ini menyadarkan saya akan makna membahagiakan orangtua.

Sejak ayah berpulang ke hadiratnya di masa saya kecil, terpatri dalam pikiran saya bahwa salah satu cara membahagiakan ibunda adalah tidak membebaninya dengan masalah yang saya hadapi. Seberat apa pun masalah, saya selalu mencoba menyelesaikannya sendiri. Saya merasa ibunda sudah cukup berat bebannya, sendirian membesarkan kami lima bersaudara.

Apalagi ketika jarak dan waktu memisahkan antara saya dan ibunda, dimana hanya telpon yang menjadi penyambung ungkapan cinta dan rindu kami. Rasanya di setiap kesempatan menelpon saya hanya ingin mendengar suara khasnya yang lemah lembut dan menyejukkan. Ekspresi gembira ibunda sering terwakilkan pula dalam tawanya manakala mendengar celoteh anak-anak kami, hal ini menjadikan selaksa bahagia menyelusup dalam hati saya dan membuat betah berlama-lama menelponnya. Ingin sekali saya persembahkan sebanyak-banyaknya cinta yang dapat membuatnya bahagia. Untuk itu maka setiap perbincangan di telpon, di samping menanyakan kabar ibunda, kakak dan adik, saya upayakan menyelipkan cerita dan kabar kami yang bisa membuat ibunda bahagia.

Cara pandang itu telah melekat bertahun-tahun hingga ibunda menilai kehidupan yang saya jalani baik-baik saja. Saya senang mendapat penilaian tersebut dan terus berusaha menyenangkan hati beliau dengan cara-cara yang baik tentunya. Sebuah kebahagiaan yang sangat berarti buat saya membayangkan wajah penuh kasihnya tersenyum gembira dengan mata berkaca-kaca. Dari segala yang saya lakukan, sirat kebahagiaan itulah yang selalu saya harapkan.

Namun kemarin, adalah salah satu lembar hari yang menorehkan kesan tersendiri buat saya yang menjungkirbalikkan cara pandang saya dalam memaknai arti membahagiakan orangtua.  Berawal dari perbincangan kami di telpon yang berujung pada mengalirnya cerita saya akan ujian hidup yang saat ini saya hadapi.

Isak tangis di seberang telpon menyadarkan saya untuk tak meneruskan cerita, saya pun segera memohon maaf  karena telah membuatnya bersedih. Tetapi ternyata saya keliru memaknai tangisnya. Ibunda dengan tutur kata yang mengalir tenang di sela isaknya menyampaikan pada saya bahwa hari itu ia merasa menjadi sosok ibu yang utuh karena kini putrinya mau berbagi dengannya tak lagi hanya hal yang menggembirakan.

Ternyata selama ini ia merindukan saya berbagi tak hanya suka tapi juga duka. Ia pun merindukan memeluk saya, mengelus rambut dan menggenggam tangan saya sambil membisikan kalimat-kalimat  pembangkit semangat serta menenangkan hati saya dikala lara itu menerpa. Sekalipun kerinduan itu belum terpenuhi, mendengar saya mau berbagi duka dengannya, sudah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Tentu ia berbahagia bukan karena keadaan yang yang saya hadapi, melainkan bahagia saat merasa menjadi seorang ibu yang bisa hadir untuk buah hatinya dalam segala kondisi.

Mendengar tuturannya, saya pun tak kuasa menahan rasa... aliran bening dua bola mata saya menyadarkan diri ternyata seperti  itu bahasa cinta ibunda. Suatu hal yang luput dari pikiran saya, bahwa ternyata ia merindu anaknya berbagi duka tak hanya suka. Benar-benar suatu hal yang sulit saya pahami namun hal ini sungguh berarti. Saya pun mencoba merefleksikannya pada diri, membayangkan ketika anak-anak saya beranjak dewasa dan menemukan tantangan dalam kehidupan mereka, ternyata saya pun berharap mereka mau berbagi dengan saya apa pun yang mereka hadapi.

Terimakasih ya Allah atas apa yang telah terjadi kemarin, kini saya mencoba melihat dan memahami makna membahagiakan dari sisi yang lain.



Berlin, 10 Mei 2009

http://bundaahsan.multiply.com

oleh Ineu