Tangga Kesabaran

Sebut saja namanya Z, seorang manajer sebuah perusahaan swasta Bandung. Suatu hari datang ke seorang ustadz. Kedatangannya karena keinginan yang menggebu - gebu atas kehampaan jiwa yang sedang ia rasakan. Rutinitas pekerjaan yang ia lakukan, memaksa mengedepankan kemamampuan intelektualnya, namun berbarengan dengan itu sisi spiritual telah diabaikan, hingga pada sebuah titik ia bertemu dengan sebuah kehampaan.

Ketika sudah ketemu dengan sang ustadz, sang ustadzpun tidak banyak bicara dan basa basi lainnya, ia hanya berkata sedikit, ”kamu berlatih sabar dulu, karena orang yang sabar itu bersama Allah.”. Si manajer itupun kembali dari rumah sang ustadz. Dalam perjalanannya ia pulang, iapun bertanya-tanya, ”jauh-jauh datang, ingin mencari pengobat hati yang hampa, malahan hanya dapat sebuah kalimat pendek. Kalau hanya seperti itu ngapain jauh – jauh, baca di buku – buku yang bertebaran di toko buku juga banyak.”

Beberapa minggu waktu telah berlalu, namun kehampaan jiwa masih selalu menggelayut dalam benak sang manajer. Rutinitas harian yang ia laluipun, hanya berkutik pada aktivitas intelektual semata. Ibadah ritual yang ia jalankan, seolah tak membekas dalam relung hatinya yang terdalam. Sholatnyapun terasa hanya sebuah penggugur kewajiban, tak membekas di jiwanya,apalagi implikasi sosial.

Pada suatu hari ada meeting di kantornya, akibat krisis global yang melanda dunia, perusahaan tempatnya bekerjapun terkena imbas. Keputusan Dewan Direksi, perusahaan akan memberlakukan PHK, tidak terkecuali di jajaran departemen yang ia manajeri. Sebagai tahap awal manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan di tingkat staff. Akibat dari keputusan tersebut, si manajer harus melakukan pekerjaan yang tidak sedikit, karena pekerjaan yang biasanya bisa dilimpahkan ke staffnya, maka terpaksa harus dilakukan ia sendiri.

Sebagai akibat dari keputusan tersebut, iapun mulai merasakan kepenatan yang lebih. Kalau dulu ia hanya mengkonsep, dan staffnya yang mengetik surat, maka sekarang ia harus mengonsep sendiri, mengetik sendiri, bahkan harus melakukan hal – hal lain, yang sebenarnya bukan kerjaan seorang manajer. Tidak hanya itu, iapun mulai merasakan kehilangan kharismanya. Kalau dulu ia tinggal perintah, maka sekarang minta tolong ke temanpun tidak selalu diperhatikan. Ia merasa, bahwa ia kerja sendiri, tidak disupport teman – teman. Masing – masing mulai muncul egoisme pribadi. Kalau dulu toleransi begitu mengakar di perusahaan, sekarang toleransi itu, hampir – hampir sirna termakan kepentingan sendiri – sendiri.

Hari – hari berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya si manajerpun datang kembali ke tempat sang ustadz. Kalau dulu ia datang dengan tujuan mencari pencerahan dari kehampaan jiwa, maka sekarang ia datang untuk mengadukan kepenatan lingkungan kerjanya.

Setelah sampai ke tempat sang ustadz, sang ustadzpun dengan santai hanya memberi satu kalimat sederhana, ” kamu, baru dikasih satu tangga untuk menuju kesabaran”. Si manajerpun terangguk- angguk, bukan karena mengerti kata-kata sang ustadz, tapi karena bagi dia tambah bingung.

Sesampai di rumah, si manajer masih saja bingung, dengan kata – kata sang ustadz. Logika berfikirnya masih belum bisa menerima. Di kantor ia sudah pusing dengan kondisi perusahaan. Ketika datang ke sang ustadz, hanya dikasih seuntai kalimat, yang ia terngiang – ngiang, ”tangga kesabaran”.

Di sebuah malam, tidak seperti biasanya sang manajer bisa bangun malam, tepat jam tiga ia berusaha melakukan sholat tahajud. Ada sebuah kedamaian yang ia rasakan setelah sholat. Beban – beban yang ia rasakan di siang hari,seolah tak menggelayut di relung fikirannya.

Sehabis sholat dan wiridan, iapun bergegas ke teras depan. Sambil menunggu waktu shubuh iapun duduk termenung, hingga pada sebuah titik ia mulai dianugerahi sebuah pencerahan. Ia mulai mengingat, dulu datang ke tempat sang ustadz, dengan tujuan mencari pencerahan atas kehampaan jiwanya. Namun setelah datang ke tempat sang ustadz, justru di kantornya terjadi kondisi yang selalu memancing emosinya...., kondisi yang seolah menghilangkan kharismanya...., terjadi kondisi yang membuat perasaannya semakin tersiksa....., kenapa ??? ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri.

Yah.... itulah sebuah kenyataan, yang memaksa diri untuk bertindak sabar. ”Kalau saya selalu emosi, kurang percaya diri, merasa dikhianati, berarti terjerembab oleh sebuah keadaan.” gumannya dalam hati. ”Padahal bukan sebuah kebetulan, bila kondisi itu memang sengaja diberikan sama Allah, supaya saya bisa belajar sabar....” jawabnya dalam hati. Iapun kemudian berujar, ”Karena kondisi ini, maka saya dipaksa belajar sabar, bila sabar telah tertoreh, maka pertolongan Allah akan datang, jadi kondisi itu hanyalah sebuah anak tangga menuju kesabaran.”

Demikianlah, seberkas cahanya telah merasuk dalam dinding kalbunya, hingga saat adzan shubuh terdengar, kakinya ringan melangkah menuju masjid. Ketika pagi telah menjelang, iapun berjalan menuju kantor dengan raut wajah yang terang, sorot matanyapun berbinar tidak nampak kelesuan disana. Langkahnyapun terlihat tegap, seolah langkah menuju ke tempat yang selama ini ia rindukan.

Terang wajahnya, dan berbinar sorot matanya, bukan karena ia di kantor tidak akan menemui orang – orang yang tak mempedulikannya, namun karena ia yakin, bahwa Allah telah menganugerahi anak tangga menuju kesabaran, yang selama ini ia cita-citakan.

Wallahu a’alam.



oleh Imam Sutrisno 

0 komentar:

Posting Komentar