Sebuah Perjalanan dan Syurga
Tadi malam kami sekeluarga baru tiba dari sebuah perjalanan yang sangat jauh. Perjalanan itu sangat melelahkan karena kondisi jalan banyak yang tidak sesuai harapan. Jalannya banyak berlubang dan bergelombang. Belum lagi banyak pengemudi kendaraan yang sering kali tidak memerhatikan kesopanan berlalu-lintas.
Saat keberangkatan, hati saya sangat mantap untuk menjalani perjalanan ini. Walaupun saya tahu, perjalanan yang akan saya jalani akan meminta banyak pengorbanan. Pengorbanan tenaga, waktu dan dana. Semuanya saya ikhlaskan karena tahu perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang saya tahu akan membuat kami sekeluarga gembira. Tujuan kami memang untuk mengisi liburan anak-anak dan sekaligus bersilaturahim pada keluarga di kota lain yang sedang berduka.
Saat di dalam perjalanan itulah, saya merenung tentang hidup ini. Hidup yang harus tetap saya jalani, baik suka atau pun tidak. Kehidupan yang akan tetap pada porosnya, sesuai pengaturan sang Ilahi. Kehidupan yang bisa diandaikan sebuah perjalanan yang akan berakhir pada sebuah muara, yaitu kematian.
Kematian memang sebuah kepastian. Tapi saya merasakan sebuah ketakutan, bila saatnya datang. Ketakutan yang berdasarkan pada pribadi saya yang jauh dari yang di harapkan. Sebuah ketakutan yang akhirnya membuat saya harus berpikir ulang tentang semua prilaku dan misi saya dalam mengisi hidup.
Saya merasakan perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Perjalanan ini penuh dengan gejolak sisi ruhiyah. Perjalanan yang mampu membuatku melihat semua sisi kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya renungkan.
Saat singgah di sebuah warung makan. Saya melihat beberapa pelayan yang menyediakan makanan sangat ramah. Pelayan-pelayan itu ada wanita dan pria. Semuanya bersemangat untuk melayani permintaan kami. Padahal saya tahu mereka kelelahan. Karena tempat mereka bekerja memang sebuah warung makan yang terkenal untuk si singgahi para musafir yang membutuhkan tempat mengisi perut dan meluruskan punggung.
Saya lama memerhatikan mereka. Mereka, para pelayan itu tidak di gaji sesuai dengan gaji lokal. Maklum saja, karena mereka khusus di datangkan dari pulau seberang, agar pengeluaran untuk membayar pelayan dapat ditekan serendah mungkin. Jadi mereka menerima bayaran yang sangat minim, itu menurut saya. Tapi dengan imbalan yang minim itu mereka tetap bersemangat. Mereka bersemangat karena tahu, di kampung mereka, akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan seperti saat ini. Saat bekerja inilah mereka tahu, bahwa mereka tak perlu risau tentang : “Apa yang akan mereka makan setiap harinya?” Dapat di maklumi, mereka seringkali kelaparan saat masih bersama orang-tua mereka. Selain itu mereka dapat membantu keluarga mereka di kampung dengan cara mengirim hasil kerja mereka. Mereka termasuk orang-orang yang bersyukur atas apa harus mereka jalani.
Saat tiba di sebuah pusat perbelanjaan, saya juga melihat seorang petugas kebersihan. Dia seorang wanita. Badannya sedikit ringkih, dari penampilannya sangat kelihatan dari sebuah keluarga pra sejahtera. Tapi dia tak pernah sejenak pun terlihat menghela napas saat menyapu lantai. Padahal para pengunjung sangat padat. Dia tak kelihatan lelah untuk berputar-putar di lokasi kerjanya yang lumayan luas, untuk membuat lokasi itu tetap bersih. Sebuah semangat yang di adakan karena yakin pekerjaan yang di lakoninya akan mendapatkan sebuah imbalan. Sebuah imbalan yang akan menyambung kehidupan diri dan keluarganya. Sebuah pengharapan yang membuatnya tetap ikhlas dalam menjalani semua hari-harinya.
Hikmah perjalanan yang saya dapat lain pula. Karena pada perjalanan ini, membuat saya dan keluarga sangat kelelahan untuk menempuhnya. Kelelahan yang kami dapatkan, memang telah kami perhitungkan. Sebuah perhitungan dengan membandingkan antara pengorbanan dan kenikmatan yang akan kami dapatkan.
Perjalanan itu adalah sebuah perjalanan hidayah bagiku, hingga membuatku tercerahkan. Karena saya melihat tujuan perjalanan yang harus melelahkan ini, akan bermuara pada sebuah kenikmatan. Maka saya pun menarik garis lurus dengan perjalanan waktu yang telah di sediakan Allah Swt. Yang harus saya isi dengan tujuan yang lurus, walaupun saya tahu akan banyak gelombang kehidupan, riak-riak kesedihan dan pengorbanan perasaan dan dana untuk mencapai kenikmatan yang telah di sediakan oleh sang Pengasih.
Memang dalam hidup ini kita selalu ingin berada pada posisi yang nyaman. Materi melimpah, kesehatan yang selalu prima, jabatan yang tinggi, dan banyak hal lainnya yang semuanya berujung pada sebuah kata : “Tak ingin sengsara.”
Tapi haruskah kita mengisi hidup dengan hal-hal yang hanya menyenangkan raga? Haruskah kita hanya mengejar materi? Jabatan? Kenapa kita hanya ingin mengisi perjalanan hidup dengan hanya sebuah perjalanan yang harus selalu menyenangkan bagi kita? Sementara kita di rancang oleh Allah Swt. sebagai makhluk Rahmatan lil’alamin?
Dimana fungsi keberadaan kita? Kemana semangat kita untuk mengisi perjalanan dunia dengan sebuah keikhlasan untuk meraih Ridho-Nya? Padahal kita tahu sebuah kenikmatan abadi akan menanti kita, jika perjalanan di dunia ini kita isi dengan sebuah semangat untuk selalu memperbaiki diri dan mencerahkan orang lain. Agar kita dan lingkungan kita, akan menerima sebuah syurga yang telah di janjikan Allah Swt.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
29 Juni 2009
Ambe.mardiah@gmail.com
oleh Ambe Mardiah
Sibuk Membangun Dunia Lupa Membangun Akhirat
Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke rumah seorang kakak senior di daerah Qatamea. Daerah ini masih terbilang pemukiman baru. Sepanjang jalan yang saya lewati terlihat para kuli bangunan tengah sibuk mengerjakan pembangunan gedung. Gambar–gambar model gedung yang akan dibangun begitu beragam dan memukau. Saya terkagum dengan berbagai model arsitekturnya.
Saya kemudian berpikir, berapa banyak waktu yang telah dihabiskan oleh para pekerja tersebut. Berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan, berapa banyak tenaga yang telah dikuras, dan berapa banyak pikiran yang telah diperas. Dan kalau secara tiba-tiba terjadi kebakaran, gempa kuat, dan gejala alam lainnya, tentunya gedung yang telah dibangun dalam waktu yang cukup lama dan dengan biaya yang tidak sedikit itu dalam hitungan detik akan langsung ambruk.
Betapa kehidupan dunia ini hanya tipuan, betapa keindahannya tidak kekal, dan betapa kesenangannya hanya sebentar. Tapi, kenapa orang-orang masih tetap bekerja keras hanya untuk dunia ini. Apakah mereka lupa bahwa suatu saat apa yang mereka bangun tidak akan mereka tempati selamanya, apa yang mereka kumpulkan tidak akan mereka nikmati selamanya, dan apa yang mereka cintai akan mereka tinggalkan dan suatu saat nanti mereka akan mati.
Sungguh mengherankan tingkah orang-orang yang meyakini bahwa sorga itu ada, bagaimana mereka sampai lalai untuk meraihnya. Dan sungguh mengherankan orang-orang yang takut dari neraka, mereka tidak menjauhkan diri dari perkara-perkara yang akan memasukkan mereka ke dalamnya.
Dunia memang sering kali membuat manusia tertipu dengan kemegahannya. Sedangkan ia pada hakikatnya tidak lebih bernilai disisi Allah Swt. dibanding satu sayap nyamuk. Hanya orang-orang yang paham akan hakikat dunia dan hakikat akhirat yang selalu tepat menjalani kehidupan ini.
Manusia akhirat adalah pekerja keras untuk membangun istana-istana megah di akhirat. Segala perbekalan akan ia kumpulkan untuk kehidupan akhirat yang lebih kekal.
Ibarat mereka yang menjadi tenaga kerja di luar negri. Orang yang bijak dari mereka tidak akan menghamburkan uang gaji yang telah diperoleh untuk hal yang sia-sia. Hasil dari jerih payah tersebut akan ia kumpulkan untuk bekal pulang ke negeri asalnya. Karena ia sadar keberadaannya di rantau orang tidak akan selamanya, suatu saat ia harus pulang sesuai batas waktu yang telah ditetapkan untuknya.
Adapun orang-orang yang berfikir pendek dari mereka lebih memilih kesenangan sesaat. Waktu mereka telah dihabiskan, tenaga telah banyak dikuras, pikiran telah diperas. Dan mereka ingin langsung menikmati hasil kerja keras itu. Sehingga ketika batas waktu telah habis, waktu pulang ke negeri asal telah tiba, mereka tidak punya perbekalan untuk dibawa ke kampung halaman. Tidak ada yang bisa mereka berikan untuk keluarga dan sanak saudara. Semuanya telah mereka habiskan selama di negeri orang.
Begitulah lebih kurang perumpamaan orang-orang yang cerdas dan bodoh. Sehingga Rasulllah Saw. sendiri telah menegaskan bahwa, "Orang cerdas itu adalah dia yang selalu menghisab dirinya dan beramal untuk sesudah kematian, adapun mereka yang lemah [jiwa dan akal] adalah mereka yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan suka berangan-angan pada Allah Swt."
Dan sekarang kembali pada diri kita, kita ingin tergolong kemana diantara keduanya.
Apakah kita akan menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan harta kita untuk kesenangan yang sesaat? Ataukah kita memilih untuk bersabar dan mengutamakan kenikmatan yang kekal di akhirat kelak?
Dalam sebuah hadits yang sudah sering kita dengar yang diriwayatkan oleh Abu Barzah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam a.s. pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara: Tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia gunakan, hartanya dari mana di peroleh dan kemana dibelanjakan, dan ilmunya apa yang diamalkannya." (HR. Tirmidzi )
Bekerja di dunia memang tidak salah, yang salah adalah ketika menjadikan dunia tujuan sehingga lupa pada akhirat. Yang terbaik adalah bekerjalah di dunia untuk persiapan bekal di akhirat kelak. Bangunlah gedung-gedung sebagai sarana untuk ibadah, amal soleh, dan segala bentuk ketaatan, serta kebaikan yang diridhai Allah Swt. sehingga waktu yang terpakai, pikiran yang diperas, tenaga yang terkuras, dan biaya yang telah dikeluarkan tidak sia-sia, tapi mendapat balasan yang setimpal di akhirat kelak. Wallâhu a`lam.
Semoga bisa menjadi renungan kita bersama.
Salam dari Kairo,
marif_assalman@yahoo.com
oleh M. Arif As-Salman
Antara Shalat dan Maksiat
"Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. 29 : 45)
Berdasarkan zahir ayat ini, setiap orang yang shalat tidak akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tapi, hal ini bertentangan dengan realita di lapangan. Banyak orang shalat tapi mencuri, korupsi, bohongnya tetap jalan. Bahkan, ada orang yang shalat tapi ia tetap melakukan dosa besar.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa beberapa sahabat menanyakan kepada Rasulullah saw perihal seseorang yang suka berbuat maksiat, tapi shalat tidak pernah dia tinggalkan. Rasulullah saw menjawab "Suatu saat nanti shalatnya akan mencegahnya dari maksiat itu." Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa orang itu telah tobat.
Jika kita tinjau dari sisi bahasa mencegah atau melarang adalah semacam perintah untuk meninggalkan sesuatu. Larangan sebagaimana perintah bukan berarti membelenggu dan merantai sehingga orang tidak bisa bergerak. Tapi dia tak lebih dari ajakan yang meminta seseorang untuk meninggalkan sesuatu. Merupakan tabiat sebuah ajakan bahwa terealisasi atau tidaknya larangan tersebut kembali kepada orang yang dilarang. Seperti ketika Allah melarang manusia berbuat dosa. Tapi tetap saja ada manusia yang melakukannya.
Diantara keajaiban shalat, ia menghadirkan perasaan menyesal dan bersalah pada orang yang melakukan maksiat. Berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa diolah setan untuk dijadikan pembenaran terhadap sebuah kesalahan. Seperti ibadah zakat. Seorang koruptur dan perampok –dengan bisikan setan- merasa bahwa dengan mengeluarkan zakat korupsi dan perampokannya akan diampuni. Atau setan membisikan bahwa tindakan korupsinya adalah sebuah tindakan yang benar karena menjadi jalan kebaikan bagi orang miskin yang menerima zakat. Sehingga dia semakin semangat untuk melakukan aksinya itu. Sementara ketika shalat, bisikan-bisikan pembenaran terhadap maksiat biasanya tidak muncul. Yang muncul dan menghantui justru perasaan bersalah dan menyesal. Sehingga orang yang melakukan maksiat sebelum shalat biasanya untuk berdoa tidak percaya diri.
Bagi seorang yang menjaga shalat sekaligus pecandu maksiat penyesalan dan perasaan bersalah akan terus menghantui selama dia menjaga shalatnya. Minimal lima kali sehari perasaan itu mengetuk dan membuat nuraninya memberontak.
Agar terhindar dari perasaan itu dia terdesak pada dua pilihan, menunaikan shalat dan meninggalkan maksiat atau tetap bermaksiat tapi meninggalkan shalat. Salah satu dari dua pilihan itu mesti dia ambil. Jika tidak, perasaan itu akan terus muncul minimal lima kali sehari, yaitu ketika dia shalat.
Orang yang mengambil pilihan pertama, menjaga shalat dan meninggalkan maksiat, pada awalnya barangkali akan merasa berat ketika godaan-godaan maksiat itu datang. Namun ketika shalat dia akan aman dan khusu' bebas dari penyesalan dan perasaan bersalah. Sehingga,dia pun percaya diri ketika menengadahkan tangan berdoa kepada-Nya. Sementara yang mengambil pilihan kedua, tetap bermaksiat dan meninggalkan shalat akan semakin larut dalam maksiatnya. Perasaan bersalah dan menyesal yang selama ini muncul lima kali sehari sudah tidak ada lagi. Semakin lama dia akan semakin larut dan terkubur dalam jurang maksiat. Pilihan itu mesti dia ambil karena shalat dan maksiat selamanya tidak akan bisa disatukan. Wallahua'lam
oleh Koprinurzen
Menyepelekan Dosa Kecil
"Sudah menikah mas?"
Tanya seorang wanita yang duduk disampingnya, ketika menumpangi "Pesawat Saudia" penerbangan Indonesia-Saudi Arabia.
"Belum". Jawabnya enteng.
Pemuda ini menceritakan kisahnya selama di pesawat yang duduk bersebelahan dengan seorang wanita, yang ternyata juga berprofesi sebagai pramugari. Saya cukup tersentak dengan cerita teman dari suamiku itu. Sontak saya menjawab.
"Kenapa sich nggak jujur aja kalau udah punya istri?. Kan kasihan istrinya disana.
"Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung."
"Astagrfirullahal`azhiim," Aku beristigrfar mendengar jawaban teman itu.
Bukan sekedar heran karena dia adalah seorang mahasiswa indonesia yang menuntut ilmu di Madinah, bahkan satu-satunya mahasiswa Asia yang lulus melanjutkan ke S2 dalam ujian beberapa waktu yang lalu. Ada persoalan yang lebih mendasar yang terpikir olehku. Segampang inikah seseorang melakukan kebohongan. Aku percaya dia tidak punya niat sama sekali untuk menyakiti perasaan istrinya. Meskipun kalau istrinya tahu, ini tentu hal yang menyakitkan. Istri mana yang tidak terluka hatinya jika mendengar suaminya mengaku-ngaku masih lajang kepada orang lain.
Tapi kembali lagi, ada persoalan yang lebih mendasar.
"Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung."
Kata-kata yang mengalir seolah tanpa beban. Semudah itukah manusia melakukan dosa kecil. Bahkan untuk alasan yang juga sangat seserhana. Hanya sekedar agar obrolan berjalan menyenangkan. Ya Allah, Tidak sadarah bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, tidak terpikirkah ada Zat yang tidak pernah berhenti mengawasi.
Saya jadi teringat kata-kata yang populer di tengah-tengah akhwat masa-masa gadis dulu.
"Jangan lihat sekecil apa dosa yang engkau lakukan, tapi lihat sebesar apa Zat yang engkau tentang."
Tanpa sadar, kita begitu sering menyepelekan dosa kecil. Mungkin awalnya hanya sekali, dua kali. Tapi ingat, dosa sekecil apapun, jika ia tidak dibersihkan dengan Taubat, maka ia akan tumbuh menjadi kebiasaan. Kita punya hati nurani. Ketika kita melakukan dosa, hati nurani itu akan menentang, memberontak.
Tapi jika bisikan nurani itu juga tidak kita hiraukan, maka lama-kelamaan bisikan itu juga tidak akan kedenaran lagi. Karena ruang hati kita sudah dipenuhi oleh bisikan-bisikan syaiton. Dosa-dosa kecil yang kita lakukan seakan menjadi hal sepele, ringan tanpa beban.
Atau perumpamaan lain yang sering kita dengar, Hati ibarat cermin. Jika ada noda dosa yang menempel lalu kita bersihkan dengan taubat, maka kesuciannya akan tetap terjaga. Namun jika noda-noda kecil itu kita biarkan, lama-kelamaan cermin hati itu akan berkarat, dan inilah yang menghijabi antara kita dengan Allah.
Ketika kita melakukan dosa, kita seolah tidak bisa melihat cahaya Allah, karena dosa yang berkarat itu telah menutup cahaya itu untuk masuk.
Maka berhati-hatilah dengan dosa kecil. Karena jika ia dibiarkan, maka ia akan bersarang dan menjadi virus yang mematikan hati kita. wallahu a`lam Bisshowab. Semoga bermanfa`at.
http://liaabi.multiply.com/
oleh Juriati Dahlia
Pengakuan Dusta
Alkisah, seorang cucu sangat mencintai neneknya. Setiap pekan ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi sang nenek yang tinggal di kampung. Menjelang lebaran, sang cucu berencana membelikan baju lebaran untuk sang nenek.
Tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada sang nenek, sang cucu berinisiatif untuk membeli pakaian atas usulan istri dan anaknya. Setelah pakaian dibeli dan kemudian diberikan pada sang nenek, sang nenek kecewa dan tidak berkenan menerima pakaian tersebut, alasan sang nenek adalah pakaian yang telah dibelikan untuknya tidak sesuai dengan selera dan kesukaannya. Menurut beliau, model dan warna pakaian yang dibeli sang cucu lebih layak diberikan pada anak muda.
Namun sang cucu berkata, “Saya menyayangi nenek dan saya memberikan apa yang saya sukai pada nenek. Istri dan anak saya juga menyukainya.” Sang nenek membalas, “Tapi saya tidak menyukainya.”
Dilain kisah, pada suatu ketika seorang Raja meminta dua prajuritnya datang menghadap. Sang raja ingin mengetahui siapakah dari dua orang prajurit tersebut yang betul-betul mencintai sang Raja. Kemudian Sang Raja memerintahkan mereka berdua untuk pergi mendatangkan minuman untuk Sang Raja. Satu orang pergi melaksanakan perintah sang Raja, yang satu lagi tidak beranjak pergi, dia tetap berdiri di hadapan Raja. Ketika ditanya kenapa ia tidak pergi, ia menjawab, “Saya sangat mencintai Tuan, saya tidak ingin berjauhan dari Tuanku, saya tidak ingin berpaling dari melihat wajah Tuan.”
Prajurit yang pergi mendatangkan minuman untuk sang Raja menjadi lebih dicintai oleh sang Raja, karena ia patuh pada apa yang sang Raja perintahkan. Walau ia berjauhan secara tempat dengan sang Raja, tapi kedudukannya di sisi Raja lebih dekat. Sedangkan yang tidak pergi untuk melaksanakan perintah sang Raja, walau ia dekat berada disisi sang Raja, tapi kedudukan dirinya jauh dari sang Raja, karena ia tidak mau melaksanakan perintah sang Raja.
Al-Syahrastani dalam bukunya, Al-Milal wa Al-Nihal menuliskan :
Diriwayatkan bahwa Iblis bertanya pada malaikat, “Aku mengakui bahwa Allah adalah Tuhanku dan Tuhan seluruh makhluk, yang maha mengetahui dan maha kuasa, tidak dipertanyakan tentang kodrat dan kehendak-Nya, dan apabila Ia berkehendak terhadap sesuatu, Dia hanya berfirman, “Kun”(Jadilah), maka jadilah ia. Dia juga maha bijaksana, tetapi ada beberapa pertanyaan yang tertuju terhadap kebijaksanaan-Nya.”
Malaikat bertanya, “Apakah pertanyaan-pertanyaan itu? Berapa jumlahnya?”
Iblis (semoga Allah melaknatnya) menjawab, “Ada tujuh pertanyaan.”
“Yang pertama, Dia telah mengetahui sebelum Dia menciptakan aku, apa yang akan ku lakukan. Maka, mengapa Dia menciptakan aku? Dan apa kebijaksanaan-Nya dalam menciptakan aku?”
“Kedua, jika Dia menciptakanku sesuai dengan kehendak-Nya, mengapa Dia memerintahkan aku untuk mengetahui dan mematuhi-Nya? Dan apakah kebijaksanaan-Nya dalam perintah ini, sedangkan Dia tidak akan memperolah keuntungan dengan ketaatanku dan tidak memperoleh mudharat dengan kemaksiatan?”
“Ketiga, ketika Dia menciptakanku dan memerintahkan aku untuk mengakui dan mematuhi-Nya, akupun memenuhinya serta mengakui dan mematuhi-Nya. Mengapa Dia memerintahkan aku untuk mematuhi Adam dan sujud padanya? Apakah kebijaksanaan-Nya dalam perintah khusus ini, padahal ini tidak menambah pengetahuanku dan kepatuhanku terhadap-Nya?”
“Keempat, ketika Dia menciptakan aku dan memerintahkanku secara mutlak, kemudian Dia memerintahkan dengan perintah khusus ini, lalu aku tidak sujud pada Adam, mengapa Dia melaknat aku dan mengeluarkan aku dari sorga? Apakah kebijaksanaan-Nya dalam hal ini? Sedangkan aku tidak melakukan keburukan, kecuali aku hanya berkata, “Aku tidak akan bersujud kecuali hanya kepada-Mu.”
"Kelima, ketika Dia menciptakan aku dan memerintahkan aku secara umum dan secara khusus, kemudian aku tidak mematuhinya, Dia mengutuk aku dan mengusir aku dari sorga. Maka mengapa Dia memberi aku jalan untuk menggoda Adam sehingga aku memasuki sorga sebanyak dua kali, menggodanya dengan bujuk rayuku, sehingga Adam memakan dari pohon yang terlarang dan Dia mengeluarkan Adam dari sorga bersamaku? Apa kebijaksanaan-Nya dalam hal ini ? Seandainya Dia melarangku masuk ke sorga, Adam pasti dapat menghindar dariku dan hidup didalamnya selamanya?”
“Keenam, setelah Dia menciptakan aku dan memerintahkan aku secara umum dan secara khusus dan melaknat aku, kemudian memberiku jalan ke sorga, dan terjadilah permusuhan antara aku dengan Adam, mengapa Dia memberikan padaku kedudukan yang lebih dari anak-anak Adam, sehingga aku dapat melihat mereka sedangkan mereka tidak dapat melihat diriku? Dan bisikan-bisikanku dapat mempengaruhi mereka sedangkan mereka tidak memiliki kemampuan dan kekuatan apapun untuk mempengaruhiku? Apa kebijaksanaan-Nya dalam hal ini? Sedangkan jika Dia menciptakan mereka dalam keadaan fitrah, dan tak seorangpun yang akan memalingkan mereka dari keadaan itu, tentulah mereka akan hidup dalam kesucian, selalu mendengarkan dan patuh. Dan hal ini lebih baik bagi mereka, dan lebih layak dikatakan bijaksana.”
“Ketujuh, aku mengakui semua ini, Dia memerintahkanku secara umum dan khusus, dan apabila aku tidak patuh Dia melaknatku dan mengusirku dari sorga, dan ketika aku ingin masuk sorga, Dia memperkenanku untuk melakukannya dan memberiku jalan, dan ketika aku melakukan apa yang ingin aku lakukan, dia mengeluarkanku tapi Dia memberiku kekuasaan atas anak-cucu Adam. Maka, mengapa ketika aku memohon pada-Nya untuk memberiku kelonggaran. Dia mengabulkannya. Aku berkata; “Ya Tuhanku, beri tangguhlah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan.” Allah berfirman , “Maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh. Sampai pada hari yang telah ditentukan waktunya [hari kiamat] [QS Shad : 79-81].
“Apakah kebijaksanaan-Nya dalam hal ini? Jika Dia memusnahkan aku pada saat itu , Adam dan seluruh umat manusia pastilah akan hidup aman dan tidak akan ada tersisa kejahatan dimuka bumi, bukankah kelangsungan dunia dalam kedaan yang tertib lebih baik dari pada dunia yang diliputi oleh kejahatan?!
Iblis melanjutkan, “Inilah argumenku yang aku pertahankan atas setiap pertanyaan.”
Berkata penafsir Injil, “Allah kemudian mewahyukan pada malaikat untuk menyampaikan pada Iblis, “Sesungguhnya pengakuanmu bahwa Aku adalah Tuhanmu dan Tuhan sekalian makhluk adalah tidak benar dan tidak tulus, sebab jika engkau sungguh-sungguh berkata jujur bahwa Aku Tuhan semesta alam, pastilah engkau tidak akan bertanya “Mengapa” karena aku Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Aku. Aku tidak ditanya terhadap apa yang Aku lakukan, sedangkan manusia akan diminta pertanggung jawaban mengenai apa yang mereka lakukan.”
Iblis telah salah besar, karena ia mengukur pengetahuan Zat yang tanpa batas dengan dirinya yang sangat terbatas. Bagaimanakah ia akan bisa memahami maksud semua perintah Allah yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu? Bukankah semestinya Iblis pasrah, berserah, dan tunduk pada apa yang Allah perintahkan jika ia jujur dengan pengakuannya bahwa Allah adalah Tuhan sekalian makhluk? Namun rasa sombong dan angkuh lebih cenderung mendominasi dirinya.
Beberapa kisah diatas juga mengajarkan pada kita bahwa cinta yang tulus sesungguhnya menjadikan diri orang yang mencintai patuh dan tunduk pada kehendak yang dicintai.
Selama diri kita masih dikuasai oleh bisikan-bisikan setan dan ajakan hawa nafsu dan kepatuhan kita pada perintah Allah berdasarkan atas apa yang kita inginkan, yang kita cintai, dan yang kita sukai, bukan berdasarkan atas apa yang Allah cintai, inginkan, dan kehendaki dari kita, maka sesungguhnya belumlah dinamakan itu pengakuan jujur, cinta yang tulus dan benar.
Pengakuan yang murni dan tulus pada Allah yang sesungguhnya adalah yang memunculkan kepatuhan dan ketundukan yang total terhadap segala perintah dan kehendak Allah Swt.
Salam,
marif_assalman@yahoo.com
http://marifassalman.multiply.com/
oleh M. Arif As-Salman