Antara Shalat dan Maksiat

"Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. 29 : 45)

Berdasarkan zahir ayat ini, setiap orang yang shalat tidak akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tapi, hal ini bertentangan dengan realita di lapangan. Banyak orang shalat tapi mencuri, korupsi, bohongnya tetap jalan. Bahkan, ada orang yang shalat tapi ia tetap melakukan dosa besar.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa beberapa sahabat menanyakan kepada Rasulullah saw perihal seseorang yang suka berbuat maksiat, tapi shalat tidak pernah dia tinggalkan. Rasulullah saw menjawab "Suatu saat nanti shalatnya akan mencegahnya dari maksiat itu." Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa orang itu telah tobat.

Jika kita tinjau dari sisi bahasa mencegah atau melarang adalah semacam perintah untuk meninggalkan sesuatu. Larangan sebagaimana perintah bukan berarti membelenggu dan merantai sehingga orang tidak bisa bergerak. Tapi dia tak lebih dari ajakan yang meminta seseorang untuk meninggalkan sesuatu. Merupakan tabiat sebuah ajakan bahwa terealisasi atau tidaknya larangan tersebut kembali kepada orang yang dilarang. Seperti ketika Allah melarang manusia berbuat dosa. Tapi tetap saja ada manusia yang melakukannya.

Diantara keajaiban shalat, ia menghadirkan perasaan menyesal dan bersalah pada orang yang melakukan maksiat. Berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa diolah setan untuk dijadikan pembenaran terhadap sebuah kesalahan. Seperti ibadah zakat. Seorang koruptur dan perampok –dengan bisikan setan- merasa bahwa dengan mengeluarkan zakat korupsi dan perampokannya akan diampuni. Atau setan membisikan bahwa tindakan korupsinya adalah sebuah tindakan yang benar karena menjadi jalan kebaikan bagi orang miskin yang menerima zakat. Sehingga dia semakin semangat untuk melakukan aksinya itu. Sementara ketika shalat, bisikan-bisikan pembenaran terhadap maksiat biasanya tidak muncul. Yang muncul dan menghantui justru perasaan bersalah dan menyesal. Sehingga orang yang melakukan maksiat sebelum shalat biasanya untuk berdoa tidak percaya diri.

Bagi seorang yang menjaga shalat sekaligus pecandu maksiat penyesalan dan perasaan bersalah akan terus menghantui selama dia menjaga shalatnya. Minimal lima kali sehari perasaan itu mengetuk dan membuat nuraninya memberontak.

Agar terhindar dari perasaan itu dia terdesak pada dua pilihan, menunaikan shalat dan meninggalkan maksiat atau tetap bermaksiat tapi meninggalkan shalat. Salah satu dari dua pilihan itu mesti dia ambil. Jika tidak, perasaan itu akan terus muncul minimal lima kali sehari, yaitu ketika dia shalat.

Orang yang mengambil pilihan pertama, menjaga shalat dan meninggalkan maksiat, pada awalnya barangkali akan merasa berat ketika godaan-godaan maksiat itu datang. Namun ketika shalat dia akan aman dan khusu' bebas dari penyesalan dan perasaan bersalah. Sehingga,dia pun percaya diri ketika menengadahkan tangan berdoa kepada-Nya. Sementara yang mengambil pilihan kedua, tetap bermaksiat dan meninggalkan shalat akan semakin larut dalam maksiatnya. Perasaan bersalah dan menyesal yang selama ini muncul lima kali sehari sudah tidak ada lagi. Semakin lama dia akan semakin larut dan terkubur dalam jurang maksiat. Pilihan itu mesti dia ambil karena shalat dan maksiat selamanya tidak akan bisa disatukan. Wallahua'lam


oleh Koprinurzen

0 komentar:

Posting Komentar