Sabar tak berbatas, Syukur tak bertepi

Tadi malam, kusempatkan sedikit waktu untuk bermunajat di sepertiga malam terakhir. Tak panjang memang, hanya dua bilangan raka`at. Dalam do`a selepas sholat, ku adukan semua harapanku kepada Allah Swt. Ku pinta agar Ia memudahkan rizki bagi orang tua kami agar bisa sampai ke Kakbah-Nya. Minta dijaga keluarga kami agar senantiasa dijalannya.

Semua keinginan yang ada dalam hati kutuangkan dalam balutan do`a. Semakin dipinta semakin mesra,,, kata demi kata mengalir beriringan dengan tetesan bening yang jatuh dari kelopak mata. Sampai lidah ini menghaturkan pinta agar diberi kesabaran yang tiada batas, dan syukur yang tiada bertepi.

* * * *
Menjelang Shubuh aku dan suami sahur seadanya. Aku masih mengqodo puasa yang tertinggal, dan suami menunaikan shaum sunnah syawal. Faruq dari semalam memang belum juga tidur. Ini memang bukan hal baru bagiku, sejak kelahirannya setahun tiga bulan yang lalu, hal seperti ini memang sudah menjadi kebiasaannya. Semalaman bangun, baru tidur di pagi hari.

Selama Ramadhan sampai hari ini. Bisa dibilang Faruq tidak pernah tidur malam. Selalu tidurnya ba`da shubuh, atau paling lama pukul tujuh pagi.

* * * *
Mataku sudah perih menahankan kantuk. Tapi Faruq masih juga belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia juga mengantuk. Seperti kebiasaannya dari bayi, aku tidak boleh tidur kalau dia juga tidak tidur. Mungkin karena aku yang cerewet, jadi dia sudah terbiasa dengan suasana ramai. Sejak bayi, kalau dia bangun aku selalu mengajaknya bercerita, bercerita apa saja.

Hal ini juga yang mungkin membuat ia sadar bahwa aku sedang ada menemaninya atau tidak. Maka sejak usianya masih bilangan hari, ia akan menangis jika aku tertidur walaupun sambil memeluknya. “Jika tidak ada suara, berarti ummi tidur, tidak menemaniku”. Mungkin begitu yang ada dalam pikirannya.

Ia masih terus memintaku untuk menemaninya bermain. Tentu saja dengan caranya sendiri. Faruq memang belum bisa berbicara. Dua kata yang sudah sering keluar dari lidahnya adalah kata “udah’ dan “nggak”. Selain itu setiap meminta sesuatu, hanya ngoceh-ngoceh tidak jelas.

Rasa kantukku semakin tidak bisa ditolerir. Apalagi dalam kondisi puasa seperti ini, disamping punya sakit mag, aku juga masih dalam keadaan menyusui. Jadi jika kurang istirahat, otomatis keadaan tubuh langsung down.

Kulihat jam didinding sudah pukul delapan. Entah sudah berapa kali aku mengajaknya ke kasur sambil memberikan ASI agar ia mau tidur. Tapi lagi-lagi Faruq akan bangun, duduk dan sibuk menarik-narik badanku untuk menemaninya bermain.

Emosiku mulai tidak stabil. Dalam keadaan berpuasa seperti ini, Masih pagipun biasanya lambungku sudah terasa perih, sebelum punya bayi dulupun sudah seperti itu, apatah lagi kondisi sekarang dalam keadaan menyusui. Itu sebabnya aku sering memilih tidur ketika pagi hingga datang waktu Zuhur. Ditambah lagi kondisi alam Saudi, wanita tidak bisa banyak beraktifitas diluar rumah. Praktis seharian hanya menghabiskan waktu di dalam rumah.

Alam hatiku mulai berperang. Rasa kantuk dan rasa lelah karena belum tidur, membuat aku merasa kesal. Kutarik nafas dalam-dalam, beristigrfar sebanyak-banyaknya. Kalau sedang dalam keadaan marah seperti ini, aku sering merenung, bahwa bayi yang ada dihadapanku kelak akan menjadi seorang pahlawan, mujahid yang akan menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Anak Sholeh yang do`a-do`anya selalu kurindukan dikubur nanti. Dan kalau sudah merenung seperti ini, Alhamdulillah rasa marah dihati segera mereda. Berganti dengan semangat untuk bersabar dalam mengasuhnya.

Dalam renungan, aku teringat dengan munajatku tadi malam. Do`a yang kupanjatkan dengan linangan air mata.

“Ya Allah, beri hamba kesabaran yang tiada batas, dan rasa syukur yang tiada bertepi”

Aku tersadar dan berpikir, mungkin ini adalah jawaban Allah atas do`aku tadi malam. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa memperoleh kesabaran yang tiada batas, jika tidak dengan ujian. Dan bagaimana mungkin seorang hamba memperoleh rasa Syukur yang tak bertepi, jika tak memulai sendiri untuk menikmati ujian yang diberi.

Alhamdulillah Ya Allah, engkau telah mengijabah do`a hamba.


Jeddah, 25 September `09 (06 Syawal 1430H)
http://liaabi.multiply.com/

Ibu dan Kaumnya Ibu Kita

Ibu adalah predikat yang mulia. Sangat mulia. Hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda,”Al-jannatu tahta aqdamil ummahat.” Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Ketika sang ibu menyabung nyawa melahirkan, Tuhan pun menghargainya sebagai setara jihad di jalan-Nya dengan imbalan surga.

Begitu mulianya. Hingga ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad dan bertanya siapa yang harus dihormatinya, sang Nabi tiga kali menjawab,”Ibumu.” Barulah pada pertanyaan keempat, beliau mengatakan,”Ayahmu.” Demikian juga ketika lelaki yang lain mengutarakan hasratnya untuk berzina, beliau mengajukan pertanyaan apakah ia juga akan tega melakukan hal nista terhadap ibunya, dan kaum ibunya.

Teramat mulialah seorang ibu. Hingga ketika seorang Alqomah melalaikan ibunya yang telah renta karena diasyikkan dengan isterinya yang jelita, nyawanya pun tersangkut di kerongkongan dengan mata mendelik mengerikan. Mati tidak, hidup pun sekarat. Suatu akhir hidup yang ironis mengingat jasa-jasanya dalam berbagai peperangan membela Islam bersama sang Nabi. Sang Nabi tak kuasa berbuat, karena luka hati ibu Alqomah yang terzalimi adalah tanpa hijab menembus kemakbulan takdir Ilahi. Sang Nabi hanya dapat meminta disiapkan tumpukan kayu bakar untuk membakar tubuh Alqomah yang sekarat agar berpulang dengan tenang. Karena hanya itu penebus dosa kelalaiannya pada sang ibu.

Namun ibu adalah senantiasa seorang ibu. Sang ibu pun memaafkan karena tak rela buah susuannya dibakar hidup-hidup. Ia lupakan luka hatinya yang terabaikan bertahun-tahun demi buah hati yang dikandung selama sembilan bulan dan disusui dua tahun dengan kasih sayang dan tanpa bayaran. Alqomah pun meregang nyawa dengan tenang berkat ridho ibunya. Malin Kundang adalah Alqomah yang bahkan lebih bejad. Bertahun-tahun merantau tanpa kabar, ketika pulang dengan predikat saudagar kaya, ia campakkan ibunya yang dianggapnya tak sederajat dengannya. Berhati-hatilah dengan kutukan seorang ibu yang terlanjur luka hatinya digarami. Laut pun bergejolak dahsyat. Alam meradang hebat. Kapal mewah sang anak durhaka pecah dihantam ombak. Karam. Si Malin pun membatu, sebatu hatinya menolak mengakui sang ibu. Ibu yang berpredikat mulia adalah perempuan.

Kaum yang juga dimuliakan Tuhan dan para Nabi dan dijamin kedudukannya yang sama sesuai fitrah Tuhan. Bahkan, jika Anda punya dua anak perempuan, ada sebuah privilege di akhirat sana bagi orang tua yang mampu mengasuh dan membesarkan kedua putri nya tersebut dengan baik dan berakhlak. Konon diperlukan perjuangan lebih keras untuk mengasuh dua anak perempuan baik secara sosial atau mental. Namun, entah apa terlintas di benak Anda dengan sebuah peraturan resmi yang terpahat di sebuah monumen kota di Fulgham v. State, Alabama, Amerikat Serikat, pada 1871: “Adalah suatu privilege dari nenek moyang bahwa seorang suami yang memukul isterinya dengan tongkat, menjambak rambut, mencekik, meludahi muka atau menendangi serta membebankan benda berat di atas tubuhnya sebagai tanda penghinaan tidak dinyatakan bersalah dalam hukum.”

Di belahan bumi lain, perempuan India harus bekerja keras mengumpulkan mahar bagi sang calon suami agar tidak dianggap “sampah hidup” yang membebani keluarga karena terlahir sebagai perempuan. Di masa Arab jahiliyah, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di tengah gurun panas. Di Nusantara, dunia R.A Kartini dan Dewi Sartika pun terbelenggu dalam tiga ruang: dapur, sumur dan kasur. Bahkan ada pepatah Jawa yang menyatakan sebagai segaraning jiwo laki-laki, perempuan akan mengikuti suaminya kemanapun, baik surga atau neraka. Senyawa betul dengan syair Sabda Alam gubahan Ismail Marzuki,”Sejak dulu wanita dijajah pria…..”

Dalam kitab suci salah satu agama bahkan disebutkan Hawa (disebut juga Eva) adalah pangkal terusirnya manusia dari surga. Iblis yang yang menyamar sebagai ular mula-mula membujuk Hawa untuk memakan buah keabadian—yang dalam literatur Islam disebut sebagai buah “khuldi”. Konon, Hawa memakan habis buah itu. Sementara Adam yang lebih rasional sejenak tersadar untuk kemudian berusaha memuntahkan kembali. Terlambat. Buah laknat itu terlanjut tersangkut di kerongkongannya, dan menjadi pembeda antara Adam dan Hawa. Itulah jakun, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Adam’s apple”.

Mitos itulah yang menyuburkan stereotipe perempuan dalam banyak kebudayaan di dunia sebagai sumber bencana, yang lemah dan tak berdaya. Perilaku selibat (baca: tak menikah selamanya) pemuka agama tertentu adalah manifestasi keyakinan pada mitos tersebut. Karena takut derajat kesucian mereka terkotori dengan menikahi perempuan. Entahlah bagaimana mereka melampiaskan nafsu kodrati kepada lawan jenis yang notabene merupakan fitrah Tuhan yang tak terelakkan. Di zaman modern pun sebagian pakar biologi yang pro-patriarkis menganggap tingkat evolusi perempuan berada di bawah laki-laki.

Sebuah mitos superioritas gender yang menjustifikasi seseorang untuk menasihati bocak laki-laki yang menangis karena terjatuh dengan ucapan,”Eh, jangan nangis. Kamu kan laki-laki!” Lebih jauh, bahkan Sigmund Freud, dalam kerangka teori psiko-analisanya membedakan lelaki dan perempuan hanya pada satu hal, ada tidaknya phallus (lingga, penis) sebagai lambing kemaluan laki-laki. Definisi lelaki adalah makhluk yang memiliki phallus, sementara perempuan adalah makhluk yang “tidak punya apa-apa”. Jadi, menurutnya, kerap terjadi persaingan dan kecemburuan perempuan terhadap laki-laki atas “apa yang tidak dipunyainya” itu. Kelak, muncul derivat teori Freud tersebut dalam seksologi untuk menjustifikasi kecenderungan perempuan dan laki-laki terhadap fellatio dan cunnilingus.

Namun kegelapan tak abadi. Selalu ada pagi ketika malam kian gelap. Ketika gerakan Women’s Lib mengusung emansipasi perempuan pada awal 60-an, dengan puncaknya pada 1978, perempuan bergerak menuntut hak-hak kebebasan di segala bidang. Akan tetapi jika air bah terlalu lama dibendung maka bendungan akan jebol juga. Dari ekstrem ditindas pun pendulum perubahan meluncur menuju ekstremitas yang lain. Wacana pro-choice (pro-aborsi) dan sederet anomali yang menentang hukum besi alam dan fitrah Tuhan meruyak merujuk pada prinsip Women’s Lib bahwa “perempuan berhak sepenuhnya atas tubuhnya dalam melakukan aborsi, hubungan seks dan menampilkan keindahan tubuhnya di depan khalayak”.

Atas dasar itu video-video mesum beredar, atas dasar itu banyak rumah tangga karam karena perselingkuhan, dan atas dasar itu pula ribuan bocah perempuan ternistakan sebelum mekar karena kawan-kawan pria mereka tak kuat menahan syahwat dengan VCD porno dan majalah syur. Sementara regulasi pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi rebah babak-belur dihajar cukong-cukong media yang bersikukuh menampilkan keindahan perempuan sebagai bumbu utama. Mumpung sebagian aktivis perempuan menganggapnya bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal HAM yang sejatinya diakui pada 10 Desember 1948 di San Francisco adalah “the rights of all human being to fair treatment and justice and to all basic needs such as food, shelter and education.” (World Book Dictionary).

Mumpung presiden dan petinggi negara lebih sibuk mengurusi poligami (lebih tepatnya polygyny) yang sebenarnya sejarah awalnya sebagai katarsis pelacuran dan seks bebas yang notabene merupakan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan, kaum yang mulia, semulia ibu yang telah melahirkan kita semua. Ada hukum besi pergaulan yang banyak dikutip para begawan motivasi mulai dari Napoleon Hill hingga Stephen Covey bahwa kita harus menghargai diri kita dahulu sebelum menghargai orang lain. Seberapa layak kita menghargai diri kita sendiri semelimpah itu pula orang akan menghargai kita. Demikianlah semestinya kita memposisikan perempuan dalam fitrah Tuhan.

Mulialah perempuan, muliakan ibu kita. Jika bunda masih di sisi, ambil tangannya dan ciumi mesra dengan janji takkan lagi kita menyakiti dia punya hati. Jika bunda telah tiada, panjatkan doa untuknya dan perpanjang silaturahmi dengan sahabat-sahabatnya.

Dedicated to all mothers in the world especially to my beloved mother in heaven…

nursalam.ar@gmail.com http://nursalam.multiply.com


Jangan Salah Pilih Kacamata

Suatu ketika lensa kacamata saya pecah. Untuk beberapa waktu saya tidak bisa banyak beraktifitas di luar rumah. Sulit bagi saya berjalan karena mata saya yang kabur. Sehingga setelah lebih satu minggu, ketika saya sudah dapat mengganti kacamata saya dengan yang baru, saya kembali bisa melaksanakan aktivitas di luar rumah.

Tanpa kacamata, saya tidak bisa membaca tulisan dalam jarak beberapa meter. Apa yang ada di hadapan saya terlihat samar dan bahkan wajah orang lain tidak bisa saya kenal dengan jelas. Kacamata sudah menjadi kebutuhan inti bagi saya untuk beraktifitas. Tanpa kacamata, tidak banyak yang bisa saya lakukan dan pekerjaan saya tidak akan bisa terselesaikan dengan baik, dan tanpa kacamata saya ragu untuk berjalan di malam hari keluar rumah.

Dalam kehidupan di dunia ini, kita juga butuh kacamata, yang dengannya kita bisa membedakan antara yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk, antara jalan yang berbahaya dan jalan yang selamat. Kacamata tersebut adalah Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Seperti halnya kacamata yang punya dua lensa. Dengan memakai satu lensa, seseorang akan sulit untuk melihat dan beraktifitas dengan seimbang. Begitu juga dengan Al-Qur'an dan sunnah keduanya tidak bisa dipisahkan.

Selain Al-Qur'an dan sunnah ada kacamata hawa nafsu dan setan. Harganya murah, diobral dimana-mana, untuk mendapatkannya tidak sulit. Sebagian orang yang terpedaya lebih memilih memakai kacamata nafsu dan setan. Sehingga ia sering kali tertipu tanpa ia sadari. Apa yang sebenarnya berbahaya bagi dirinya, diperlihatkan indah ketika ia memakai kacamata hawa nafsu dan setan. Dan apa yang akan menyelamatkan bagi dirinya diperlihatkan setan membahayakan dirinya. Yang baik, menjadi terlihat buruk dan yang buruk terlihat sebaliknya.

Setiap manusia yang mendambakan kebahagiaan dan keselamatan hidup haruslah menjadikan Al-Qur`an dan sunnah sebagai pedoman. Di dalamnya telah dijelaskan segala perkara yang akan menyelamatkan dan diterangkan segala perilaku yang akan menyengsarakan. Di dalamnya ada aturan, perintah dan larangan. Melihat kehidupan dunia dengan menggunakan kacamata Al-Qur`an dan sunnah akan menjadikan kita selalu tepat dan bijak memilih dan menentukan langkah hidup. Kita tidak akan salah jalan dan salah memilih. Hanya dengan Al-Qur`an dan sunnah kita akan bisa selamat dalam perjalanan kita mengarungi samudera kehidupan ini.

Allah telah berfirman pada pembukaan surat Al-Baqarah, "Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Al-Baqarah [2]: 1-5)

Tentang perintah mengikuti ajaran Rasul-Nya, Allah telah menerangkan, "... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." (QS Al-Hasyr [59]: 7)

Rasulullah SAW juga menyebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., beliau bersabda, "Setiap orang dari umatku akan masuk sorga, kecuali yang enggan, para sahabat bertanya, "Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?", Rasulullah menjawab, "Barangsiapa yang taat pada perintahku, akan masuk sorga, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadap suruhanku, maka dia telah enggan." (HR. Bukhari).

Dalam kehidupan yang kita jalani, kita bisa menyaksikan orang-orang yang menggunakan kacamata hawa nafsu dan setan. Mereka begitu seenaknya menghalalkan segala sesuatu yang jelas telah diharamkan. Mereka berzina, berjudi, meminum khamar, membunuh, menipu, melakukan praktek hubungan sejenis, dan segala bentuk tindak kejahatan dan kriminal lainnya. Hati dan akal pikiran mereka telah tertutup. Sehingga bagi mereka yang baik dan halal itu adalah apa yang telah diperlihatkan baik dan halal oleh nafsu dan setan.

Sedangkan Allah SWT telah mengingatkan, "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar diantara kamu. Maka, apakah kamu tidak mengerti? ( Yasin [36] : 60-62)

Bahkan Allah SWT mencela keras orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsunya, firman-Nya, ""Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya tuhannya, apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya." (QS Al-Furqan [25]: 43-44)

Saat ini kerusakan tidak hanya terbatas pada akhlak dan moral tapi sudah meluas pada kerusakan ilmu, amal ibadah dan akidah. Orang-orang yang berpaham liberal, plural, sekuler sudah menyebar di berbagai tempat. Mereka telah banyak menduduki peran-peran penting di pemerintahan dan institusi pendidikan islam.

Orang-orang tersebut menggunakan kacamata hawa nafsu dan setan. Sehingga kita bisa melihat, bahwa mereka selalu memunculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman islam yang benar, sebagaimana yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dan para pendahulu kita dari para salafus soleh.

Bertopang pada akal semata, tidaklah cukup, akal sangat terbatas kemampuannya. Dan bergantung pada mata kita juga tidaklah cukup, mata kita juga sangat terbatas kemampuannya untuk melihat. Dengan lensa Al-Qur`an dan sunnah segala sesuatu akan terlihat sangat jelas dan jernih. Kita akan bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil, antara jalan yang berbahaya dan yang akan menyelamatkan kita. Kita tidak akan pernah tertipu. Kita juga akan bisa memilih dengan tepat. Sehingga dengan demikian kehidupan yang kita jalani di dunia tidak akan menjadi sia-sia.

Dari itu, jangan salah pilih memakai kacamata, karena kesalahan kita memilih kacamata akan berakibat fatal bagi keselamatan diri kita. Pilih lah kacamata yang akan menjelaskan pada kita bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah, dan yang akan menerangi langkah hidup kita di tengah gemerlapnya kehidupan dunia ini . Wallahul musta'an wa a`lam.

Salam Ramadhan dari Kairo,

marif_assalman@yahoo.com www.marifassalman.multiply.com

Antara Syukur dan Kecewa

Bagai menelan pil pahit saat aku mendengar untuk yang kedua kalinya, suamiku mengatakan pembatalan kepindahan kami ke negeri tercinta. Ada rasa sedih, kesal, dan ingin berontak bercampur aduk membentuk sebuah kata yang disebut kecewa. Pupus sudah semua angan, rencana, dan mimpi-mimpiku yang telah cukup lama menari-nari dalam benakku. Suasana rumah yang ingin segera kutata kembali, rencana untuk kembali bekerja paruh waktu, pengaturan jadwal rutin kunjungan ke rumah orang tua tercinta, dan kemudahan mendapatkan makanan halal di kampung halaman, serta kenyamanan lain yang tak dapat aku sebutkan satu per satu….semuanya tiba-tiba hanyut, lenyap dan hilang dalam sekejap. Kembali….aku harus belajar menata diri ini, hati ini kala menghadapi rasa kecewa.

Bukan kali pertama aku kecewa namun masih tetap saja sulit rasanya mengatasi kecewa dan menjaga hati ini untuk tetap putih. Perjuangan ini seperti seorang bayi yang dalam keadaan merangkak harus memanjat sebuah tebing nan curam. Sulit dan rasanya tak mungkin. Perasaan kecewa melumpuhkan logikaku yang seharusnya berperan penting. Aku terbawa arus emosi dan ego yang saling berebut menduduki ranking teratas.

Beda rasanya di rumah sendiri dengan di rumah orang lain. Itulah yang aku rasakan tinggal di negeri orang. Ketidaknyamanan yang aku hadapi di negeri orang membuat aku ingin segera merebut kembali tahta kenyamanan yang dulu aku rasakan ketika di negeri sendiri. Tapi terkadang kenyataan tak sesuai dengan harapan….kenyataan berkata lain. Aku batal pindah.

Dalam keseharian, sesekali terdengar ucapan anak-anakku….”Kapan kita pulang ke Indonesia selamanya?”. Kadang pula mereka berucap…..”Bosen nih di sini, ingin cepat pindah”. Aku mafhum, mereka tinggal dalam apartemen di tengah kota. Berbeda dengan masa kecilku yang akrab mendengar kokok ayam jantan membangunkan aku di pagi buta, membelai lembut kelinci dan kucing nakalku, berlari bebas, mengayuh kencang sepedaku menerjang hujan. Miris rasanya melihat gedung-gedung di sekeliling kami yang semakin merapatkan barisannya, tak ada ruang gerak bagi anak-anakku untuk bermain dan bersahabat dengan alam seperti masa kecilku.

Gemetar, saat aku mengutarakan berita pembatalan (lagi) kepindahan kami Desember tahun ini kepada anak-anakku, terselip rasa khawatir mereka akan kecewa seperti yang aku rasakan. Namun ternyata, di luar dugaan, mereka begitu ikhlas dan berlapang dada mendengar berita yang aku sampaikan. Tak ada rasa marah, kesal ataupun tangisan protes. Mereka hanya terdiam sesaat dan kemudian anak tertuaku berkata….”ya udah Mah, gak apa-apa”. Sebegitu mudahnyakah? Bagaimana dengan aku yang sibuk sendiri dalam perasaan kecewa? Subhanalloh, putihnya hati mereka……..

Aku merenung dan mencoba berpikir jernih bahwa semua sudah ada yang mengatur, semua sudah tertulis dalam Laul Mahfudz. Dalam ketidaknyamanan ini seharusnya aku bersyukur karena masih banyak saudara-saudara kita yang tak pernah mengecap arti kenyamanan : kelaparan, peperangan, ketertindasan, kemiskinan dan berjuta-juta ketakutan lain yang tak terperi dan berkepanjangan mengungkung kehidupan mereka. Astaghfirulloh…..ampuni aku ya Rabb, ketidaknyamananku tidak ada artinya bagi mereka.

Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS 14 :17)

…..dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridlai bagimu kesyukuranmu itu….. (QS 39 : 7)

Ramadhan masih menyisakan 11 hari lagi. Masihkah ampunan-MU terbuka lebar untukku yang kurang bersyukur ini ya Rabb? Masih sempatkah diri ini untuk membenahi hati, menjaga hati ini agar ikhlas dan berlapang dada seperti yang telah dicontohkan anak-anakku? Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Ya….aku harus belajar mengambil hikmah dari peristiwa ini, dari rasa kecewa ini. Aku harus berusaha menanggalkan jubah egoku dan aku harus mengalahkan hawa nafsuku untuk meraih kemenangan yang hakiki di yaumul akhir nanti.

Dalam sebuah Hadits Riwayat Al-Thabrani dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda : “Jihad yang paling utama adalah memerangi diri sendiri untuk mendekatkan diri kepada ALLOH SWT.”

Semoga suatu saat nanti aku mampu menjadi pemanjat tebing yang handal yang mampu menghadapi rintangan yang menghadang di depan mata dan sampai ke puncak tertinggi, puncak kemenangan hati. Semoga pil pahit yang aku telan, justru membuat hati ini menjadi sehat, semoga belum ada kata terlambat bagiku untuk belajar melatih diri ini untuk selalu memilih kata syukur dan membuang kata kecewa. Antara syukur dan kecewa, ada batas yang tipis, semuanya bermuara di dalam hati. Teringat sebuah lagu yang dulu sering dinyanyikan Aa Gym :

Jagalah hati jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini

Jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati cahaya Illahi….

Wallohu a’lam bishshowaab

(mkd/bkk/09.09.09)



oleh Mira Kania Dewi

PIN Dewan, Antara 'Pantat' dan Kepala (baca: Antara Aib dan Kehormatan)

Pin yang disematkan di dada baju safari baju anggota dewan memang memiliki 'sima'. 'Sima' dalam bahasa sunda berarti pesona yang memiliki daya magis sehingga dapat membuat seseorang yang berada di hadapan tergagap, lemas, menunduk patuh, dan pasrah. Deskripsi saya mungkin membuat anda tambah pusing. Saya buat simpel saya, 'sima' adalah kesan yang anda rasakan ketika berada di tempat sepi, sendirian tiba-tiba di depan berdiri sebuah harimau bertaring tajam 15 centimeter panjangnya, matanya mengumbar hasrat mengunyah anda, dan besarnya harimau tadi hampir sama dengan seekor kuda Australia!

Ya, itulah pin para anggota dewan kita yang terhormat. 'Wajarlah' jika pin ini dibandrol 5 juta rupiah perkeping. Pin ini hadir sebagai bentuk pengejawantahan akan makna dari sebuah lembaga yang menjungjung tinggi kehormatan. Pin bukan sembarang pin. Bukan pin yang biasa disematkan kepada para anggota siaga atau penggalang dalam kepanduan kita. Saya tidak tahu apakah ada versi KW 1 atau KW 2 untuk pin ini. Itu tidak penting karena biasanya semua sudah ditenderkan terlebih dahul melalui birokrasi yang dari dulu sampai sekarang konon banyak 'keranjang sampahnya'. Ya..karena sebentar-sebentar urusan tender menender harus buang duit.

Sebagai warga kebanyakan, dengan pemahaman yang terbatas tentang ketatanegaraan, saya sendiri tidak mengerti jika pin ini bisa seharga 5 juta rupiah perkeping. Jika ia terbuat dari emas, yang jika dilihat rate emas 22 karat pergramnya 263676 rupiah maka mungkin saja beratnya sekitar 18,96 gram. Saya belum sempat memegangnya tapi bisa jadi beratnya kurang dari itu. Lantas apa yang membuat pin ini begitu mahal? Ada yang pernah berkata mungkin jalur birokrasi, mungkin modelnya berbeda dan sangat terbatas jumlahnya, dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan lainnya. Di balik itu semua pin ini adalah simbol dari sebuah kehormatan. Ya kehormatan..! (barangkali)

Antara Pantat dan Kepala (baca antara Aib dan Kehormatan)

Saya tinggal di gulf saat ini. Ada yang menarik saya amati dalam hal budaya yang dijunjung tinggi oleh para penduduk asli arab gulf. Mereka memandang menjaga aib adalah sebuah usaha menjaga kehormatan. Contohnya; jangan pernah sekali-kali disengaja atau tidak menepuk 'pantat' terhadap teman sendiri (Yang sejenis tentunya). (maaf) Pantat dan sekitar aurat yang semestinya dijaga bagi mereka adalah wilayah 'aib'. 'Aib yang berarti malu dan cela. Bukan semata menepuk pantatnya tetapi perbuatan menepuk pantat itu sebuah simbol atau pesan bahwa wilayah yang semestinya dijaga itu sudah diintervensi sebagai bentuk usaha mempermalukan karena wilayah itu adalah aurat. Aurat diartikan sebagai 'dignity'. Bisa juga berarti kemulyaan. Mengapa ini dipersoalkan ? karena ini menyangkut 'worthy'. Seberapa berharganya kemulyaan diri mereka di hadapan masyarakatnya.

Ini berbeda dengan kita. Umumnya budaya kita adalah sangat menjunjung tinggi kepala. Kepala adalah simbol akan berharganya 'otak' manusia. Orang gulf bilang al mukh/ mukhun yang berarti akal. Lewat mukh/ akal inilah manusia diberikan kemampuan berfikir. Beda dengan binatang yang mempunyai kepala dan batang otak tapi tidak mampu berfikir. Kita sepakat begitu berharganya akal yang dismbolkan dengan kepala, maka siapa saja yang berani menyentuh, mengeplak, menjitak atau apapun bentuknya bisa diartikan sebagai sebuah 'declare of war'. Pernyataan perang dan awas ya..kalau berani-berani pegang!karena hal itu bentuk penghinaan. Kemarahan luar biasa disertai perasaan terhina akan meluap hingga ubun-ubun. Ini semua karena masyarakat kita begitu menghargai bahwa AKAL adalah anugerah Tuhan dan pergunakanlah ia semestinya.

Ditarik korelasi antara (maaf) PANTAT di budaya arab Gulf dan KEPALA di budaya masyarakat Indonesia begitu singkron. Untuk arab Gulf kira-kira pesannya berbunyi;

Jagalah dirimu dari perbuatan cela/aib karena nilai seberapa berharganya dirimu ditentukan oleh usahamu menjaga aib/ cela dirimu dan keluargamu.

Sedangkan untuk orang Indonesia kira-kira berbunyi:

Jagalah akalmu dan muliakanlah dirimu dengan selalu mendahulukan berfikir dengan akal sehatmu.

Jadi yang satu menjaga cela dan satu lagi lagi menggunakan akal sehat. Itulah sebuah NILAI KEHORMATAN dalam hidup.

Tentang pin anggota dewan. Akal sehat saya serta merta menolak bahwa pin kecil bisa berharga 5 juta rupiah!.Jika ia berada di pasar atau mal dan dijual bebas menurut anda, adakah yang mau membeli pin ini seharga 5 juta rupiah? Sudahkah akal fikiran digunakan untuk menentukan nilai dari pin ini? Jika biaya untuk membeli pin ini berasal dari kantong pribadi tidak menjadi soal tetapi biaya membeli pin ini dari uang kita semua..ya uang anda dan seluruh rakyat Indonesia.

Di saat masyarakat tengah ditimpa musibah oleh gempa dan banyak menimbulkan korban harta serta jiwa dan hidup dalam keprihatinan maka sebuah AIB/ CELA rasanya uang yang seyogyanya bisa diperbantukan meringankan derita dan beban yang ditimpa musibah malah dipakai untuk biaya pelantikan. Meminjam istilah edirorial Indonesia, pelantikan tak ubahnya hari pertama masuk sekolah.

Maka, bagaimana kita memaknai arti dari harga sebuah pin yang akan disematkan pada dada para anggota dewan yang katanya terhormat itu?

oleh Lawang Bagja



Nikmat Tuhan Jangan Didustakan

Hidup di dunia adalah perjuangan. Dari hal yang sangat kecil sampai yang besar, semuanya harus diperolah dengan upaya keras. Semakin besar sesuatu yang diinginkan, semakin keras pula usaha yang dikerahkan.

Semua makhluk ciptaan Allah di bumi tidak pernah berhenti berjuang agar tetap hidup. Bahkan apapun resikonya, setiap makhluk berani mengambilnya asalkan ia tetap dapat bertahan hidup. Dan untuk bisa bertahan hidup, Allah memberikan perangkat gratis bagi makhluknya di mana ia amat banyak bergantung pada nilai epektifitasnya. Semakin sering perangkat itu dipergunakan, semakin epektif dan semakin cerdas ia di medan hidup.

” Ayah, hebat ya anak ayam itu. Baru menetas beberapa menit, tapi sudah bisa berdiri dan berjalan. Adek bayi sudah satu tahun lebih, kok baru bisa merangkak?”.

Sebuah pertanyaan lugu dan polos yang mungkin saja dijumpai bukan hanya oleh satu dua orang tua dari anak-anak mereka. Anak-anak yang selalu tertarik dengan berbagai hal dan selalu menuntut untuk diberi jawaban yang memuaskan akalnya. Bagi orang tua, jangan sia-siakan kesempatan itu. Inilah saat yang paling tepat untuk mengisi hatinya dengan nilai-nilai kesahihan dan membimbing akalnya untuk sampai pada ke-Maha Besaran Allah. Tentu dengan kadar dan volume untuk anak seusianya. Di sinilah dibutuhkan, betapa kasih sayang, kesabaran dan kegembiraan seorang ayah atau ibu ketika melayani mereka amat menentukan pembentukan karakter anak-anak mereka kelak. Salah dalam pengalaman ini, fatal akibatnya.

Ah, pertanyaan tentang anak ayam itu menggelitik. Saya tidak tahu, apakah Imam Ahmad Musthafa al-Maraghi lebih dulu mendapat pertanyaan serupa ini kemudian menulis tafsiran salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah dalam tafsirnya yang terkenal itu. Sebab pertanyaan itu terpecahkan bagi siapa yang sudi mampir di tafsirnya dan membaca teliti uraiannya dalam al-Fatihah.

Sungguh Allah Maha Murah bagi manusia di dunia; di belantara hidup maha luas ini. Manusia ditempatkan di bumi dengan sekantung perbekalan yang berisi empat kompas mata angin agar kelak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pertama, hidaayatul ilhaam.

Pernahkah terpikirkan oleh kita apa urgensi menangis bahasa bayi? Pernah pulakah terpikirkan, bagaimana bisa begitu pandainya bayi yang baru beberap jam dilahirkan ”mimi” air susu ibu padahal ia tidak pernah belajar bagaimana keahlian menghisap? Inilah yang disebut ilham atau gharizah atau naluri. Bayi mahluk mungil, halus, lembut dan sangat rapuh bergantung sepenuhnya pada ilham. Itulah kompas hidup pertama pemberian Allah yang mengantarkannya tetap survive. Semua kebutuhan hidupnya dapat terjawab dengan naluri menangisnya. Lapar, haus, lembab, sakit, panas, dingin, ngantuk dan sebagainya dibahasakan dengan tangisan. Lalu sang ibu dengan rahimnya mampu menerjemahkan tangis bayinya itu dalam berbagai kondisi, berbekal watak keibuannya. Tangisnya berhenti setelah terpuaskan hajatnya.

Hidayah ilham semakin tajam seiring waktu berjalan. Ketajamannya semakin halus saat hidaayatul hissi sebagai perangkat kedua mempercepat proses kematangannya. Maka manusia semakin cerdas, semakin energik dan semakin mampu membaca segala kebutuhannya. Hissiyyah atau Indera bahkan menjadi gerbang imajinasi dan pengembaraan yang bukan saja membuat ilhamnya semakin terpuaskan, tetapi juga sanggup mengantarkan rasa kagum atas segala penciptaan.

”Ayah, Jeruk kan rasanya manis, Mangga juga manis, Lengkeng manis. Tapi kok, sama-sama manis, manisnya beda ya?”.

Subhanallah, Dia menciptakan salah satu indera pengecap sebagai perangkat hidup yang membuat hidup lebih hidup. Sekerat daging kecil di rongga mulut itu, memiliki daya penterjemahan atas cita rasa yang sangat luar biasa akurat dan alamiah. Apalah artinya sebuah penamaan Jeruk, Mangga, Lengkeng dan sebagainya itu, apabila tidak disertai dengan pembedaan atas cita rasa, aroma dan khasnya? meskipun masih dalam penyebutan yanga sama; manis. Misalkan seperti meletakan ketiga daging buah tadi di atas telapak tangan yang tidak memiliki efek pembeda cita rasa. Maka, gugurlah sedikit dari keindahan dan kenikmatan hidup ini.

“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Terjemah QS. Ar Rahman [55]: 13. Redaksi ayat ini diulang-ulang sebanyak 32 kali dalam surah Ar Rahman).

Maka hidup menjadi lebih bermakna dengan empat panca indera yang lain. Ya. Jeruk, Mangga dan Lengkeng menjadi utuh gambaran kehadirannya apabila juga dapat dilihat bentuknya, dicium aromanya, didengar sebutan namanya dan diraba bentuk serta teksturnya.

Anak ayam adalah perwakilan soal kematangan instink dan indera. Inilah bedanya manusia dan hewan. Harus diakui sejujurnya, Allah lebih cepat memberikan kematangan dua hidayah itu pada mahluk yang kadang dijadikan bahan perbandingan bagi manusia dalam kitab suci kita. Bahkan bisa jadi melebihi yang diberi kepada kita soal keistimewaannya. Setajam-tajamnya mata kita melihat, jarak pandangnya tak setajam, sepanjang dan seluas mata Elang. Dan hingga sekarang, tak pernah ada Elang mengenakan lensa minus atau silinder untuk membantunya mempertajam penglihatannya. Atau setajam-tajamnya pendengaran kita, masihlah kalah dibanding pekanya pendengaran Klelawar. Begitulah, soal berdiri dan dapat berjalan serta kemampuan mencari makan sendiri pun, manusia juga harus angkat topi kepada anak ayam.

Apakah ini celah bahwa Allah dapat dikatakan tidak adil, padahal manusia disebutnya sebagai ahsanu taqwiim (sebaik-baik penciptaan)? Jika hanya berhenti pada instink dan indera, maka secara logika bahwa Allah tidak adil adalah masuk akal. Meskipun itu adalah anggapan yang terburu-buru dan tetap tidak benar. Sebab, hewan memang hanya membutuhkan instink dan indera. Dua modal itu sudah cukup baginya untuk menikmati hidup. Tugas hidupnya pun singkat, tanpa taklif dan sebatas aktivitas fisik. Makan, minum, tidur, kawin, beranak dan bahkan ada yang harus merelakan akhir hidupnya di ujung mata pisau sembelihan. Menggelepar, dikuliti, direbus lalu dihidangkan di meja perjamuan. Ia diingat diujung lidah karena kelezatannya, setelah itu dilupakan.

”Enak ya Yah seperti burung. Bisa terbaaaaang tinggi. Bisa ke awan lagi. Lihat pemandangan”.

Hmm, hewan telah sempurna pengabdian hidupnya hanya dengan mengandalkan instink dan indera. Tapi tidak dengan manusia. Manusia tidak sempurna hanya bermodalkan ilham dan indera saja. Ia tidak dapat bertahan hanya dengan keduanya sebab taklif di pundaknya amatlah berat; khalifah. Gelar khalifah terlalu mentereng yang takkan sanggup diemban jika hanya dibayar dengan harga ilham dan indera.

Bagi anak cucu Adam, ilham dan indera memiliki keterbatasan bawaan. Bukankah lidah bisa kehilangan fungsinya di saat sakit? Allah Sang Pemberi lidah pada saat tertentu memintanya untuk bereaksi pahit. Maka di saat kesehatan manusia rapuh, apapun yang dimakan dan diminumnya akan terasa pahit. Bukan karena minuman dan makanannya yang pahit, tetapi karena keterbatasan indera dalam dimensi kuasa Allah. Atau cobalah isi gelas dengan air bening hampir penuh. Lalu masukkanlah sebatang pensil ke dalamnya. Lihatlah dari sudut kanan atau kiri. Mengapa pensil terlihat patah? Padahal pensilnya tetap utuh. Sekali lagi, itu karena indera penglihatan yang terbatas dan tak sanggup mengurainya.

Karena itu, hidaayatul aqli dibekali untuk menutupi kekurangan ilham dan indera. Perangkat ketiga ini justru kemudian menjadi salah satu kunci yang memisahkan garis kemakhlukan antara manusia dan hewan. Jelasnya amat nyata, laksana siang dan malam. Antara putih dan hitam.

Dengan akalnya, manusia tidak sekedar dapat menutupi kelemahan indera, tetapi berhasil membangun peradaban dan mampu mengubah sesuatu yang tadinya mustahil dan tak terpikiran menjadi nyata dan sungguh terjadi. Memang, penglihatan Elang amat tajam, tetapi penglihataan akal manusia sanggup menciptakan mesin mikroskof yang dapat melihat jasad renik semacam Amuba yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang manusia dan Elang itu. Atau, pendengaran manusia yang kalah dengan Klelawar tidak lagi berlaku ketika akal manusia telah menunjukkan taringnya. Sebab sekarang orang dapat bercakap dan mendengar suara lawan bicaranya meskipun jarak dipisah negara atau benua. Teknologi ciptaan akal manusia telah berhasil memperpendek jarak yang begitu jauh dan membuka sumbatan gendang telinga manusia. Sehingga jarak dengar Depok-Saudi seolah hanya di batasi dinding kain tipis di antara dua bilik. Begitu juga soal berjalan di atas awan. Dominasi Burung dalam keahlian terbang di angkasa telah dipatahkan oleh akal manusia dengan kehadiran ”Garuda” atau ”Merpati” besi hasil kreasi cerdas pikirnya. Maka dengan ketajamannya, akal pun mampu menjelaskan mengapa pensil kelihatan patah bila dilihat dari sisi gelas yang berisi air. Padahal menurut mata sendiri itu tetaplah menjadi misteri.

“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Terjemah QS. Ar Rahman [55]: 13).

Yang keempat adalah hidaayatul adyaan atau petunjuk agama. Inilah perangkat yang paling lunak, mahal dan berharga. Instrumen yang mampu mengarahkan ilham, indra dan akal kepada cahaya iman dan keselamatan hidup. Bukan hanya keselamatan hidup di dunia tetapi juga kehidupan akhirat yang abadi.

Apalah artinya ilham, indera dan akal apabila tidak disinari iman. Semuanya hanya akan menjadi sebutan belaka apabila tanpa makna dalam dimensi ke-Tuhanan. Indera dan akal memang canggih, tetapi rentan dan mudah tersesat apabila tidak dilapisi agama. Bukankah banyak orang yang cerdas akalnya tetapi disalah guna? Begitu banyak orang cerdas, tetapi menyengsarakan banyak orang. Artinya, manusia tidak bisa hidup sempurna hanya dengan ilham, indera dan akal. Secerdas apapun dia, tetap membutuhkan agama yang menjadi komandan hidupnya. Sayang, iman kadang dibutuhkan di saat sulit tapi dilupakan di saat senang. Orang lari mendekat kepada agama di saat akalnya sudah mentok putus asa.

Duhai Allah, terima kasih. Telah Engkau anugerahkan hamba iman dan Islam. Tetapkan dalam hati hamba Ya Rabb, semoga dapat hamba nikmati sampai nafas yang penghabisan. Aamiin.

Untuk ketiga buah hati yang rasa ingin tahunya menjadi lautan inspirasi.

Ciputat, 2 September 2009.

Abdul Mutaqin

Rahasia Bahagia dan Ketentraman Hidup

Hati ibarat raja yang selalu memerintah dan berkehendak. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW menyampaikan, bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh manusia dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh manusia, dan segumpal daging itu adalah hati.

Hati yang baik, yang penuh dengan petunjuk Ilahi akan selalu mengantarkan pemiliknya pada kebaikan dan keselamatan. Ia akan selalu mendorong untuk melakukan perkara-perkara yang baik dan mulia. Baginya tidak ada keinginan untuk melakukan hal yang buruk dan jahat.

Hati jenis ini adalah hati yang selamat dari pengaruh nafsu dan tipu daya setan. Sehingga orang yang berhati baik akan nampak dari tutur kata, raut muka, sikapnya yang selalu menyenangkan dan menyejukkan. Setiap waktu hati jenis ini akan selalu mendorong pemiliknya untuk terus meningkatkan iman, amal kebaikan, ibadah dan meningkatkan kualitas ilmu.

Adapun hati yang rusak selalu mengajak pemiliknya pada keburukan. Hati jenis ini telah dikuasai oleh nafsu dan setan. Sehingga orang yang memiliki hati yang rusak lebih cenderung berbuat dosa dan kemaksiatan. Ia tidak suka pada kebaikan. Hati tersebut akan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan yang sia-sia dan yang akan mendatangkan murka Allah SWT.

Sahabat Hudzaifah bin Yaman menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ada berbagai cobaan yang ditampilkan kepada hati, seperti sepotong tikar yang disusun dari jerami, sehelai demi sehelai. Setiap kali ia condong kepada dosa, maka hati itu diwarnai satu titik hitam. Tetapi jika ia menolaknya, maka hati itu diwarnai satu titik putih, sampai terbentuklah dua macam hati, yaitu hati yang berwarna hitam pekat, hati semacam ini tidak pernah mengenal kebaikan sedikitpun. Dan hati yang berwarna putih cemerlang, hati macam ini tidak condong pada keburukan sedikitpun, selama langit dan bumi masih ada."

Menyucikan hati adalah langkah awal sebelum menempuh jalan ilmu. Hati yang baik akan mudah menerima ilmu dan kebaikan. Adapun hati yang rusak akan selalu membuat orang menjadi malas dan membuatnya menjauh dari ilmu dan kebaikan. Imam Syafi'i bercerita :

Aku mengadu pada guruku tentang lemahnya hafalanku

Kemudian guruku memerintahkanku untuk meninggalkan perbuatan maksiat

Guruku memberi tahuku bahwa ilmu adalah cahaya

Dan cahaya Allah tidak diberikan pada orang yang berbuat maksiat

Apa yang mendorong seseorang berani terjun ke medan jihad di jalan Allah? Ia rela meninggalkan anak istri yang dicintainya, meninggalkan harta, kampung halaman dan segala kesenangan dunia untuk mati dalam peperangan? Jawabannya adalah karena cintanya pada Allah yang telah menguasai hatinya membuatnya rela berkorban harta, nyawa dan menempuh segala kesulitan.

Apa yang mendorong para sahabat Rasulullah SAW menjadi perisai bagi beliau ketika dalam peperangan? Sehingga panah, tombak dan sayatan pedang menimpa mereka? Adalah karena kecintaan yang telah menghujam kuat dalam hati mereka pada Rasulullah SAW sehingga mereka rela terbunuh demi membela Rasulullah SAW.

Demikianlah, cinta dan sebuah cita cita yang telah menghujam kuat dalam hati bisa membuat seseorang rela menempuh segala kesulitan dan melakukan pengorbanan. Karenanya, hati perlu untuk selalu kita didik dan arahkan agar ia bersikap sesuai yang kita harapkan. Dan hati akan mudah kita kendalikan bila ia dapat kita lepaskan dari pengaruh nafsu dan bisikan setan.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa roda kehidupan selalu berputar. Tidak selamanya kehidupan yang kita jalani dan temui sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Terkadang ia bertentangan dengan harapan kita. Orang-orang yang berhati baik akan bisa menyikapi keadaan tersebut dengan arif dan bijaksana.

Ketika ia mendapatkan kebaikan ia akan banyak bersyukur pada Allah SWT dan tidak membuatnya lupa diri dan terlena. Dan ketika apa yang ia temui tidak sesuai dengan harapannya, iapun menyikapinya dengan sikap sabar dan tenang.

Sedangkan mereka yang punya hati sakit, ketika mendapat kesenangan, ia begitu berbahagia dan bangga sehingga terkadang membuatnya terlena dan lupa diri. Dan ketika yang ia temui tidak seperti yang ia harapkan akan terlihat kekecewaan dari raut mukanya, ia akan berputus asa dan mengeluh.

Untuk menjadikan hati baik maka diantara langkah yang harus kita tempuh adalah mendidiknya untuk cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Hal itu dapat dilakukan dengan melatihnya untuk selalu membaca dan menghayati al-Qur'an, berzikir, shalat dengan penuh khusyuk, melakukan amal sholih, memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah SAW dan segala bentuk amal kebaikan lainnya.

Ketika hati telah dipenuhi oleh kecintaan pada Allah, maka ia akan selalu berada dalam petunjuk dan bimbingan Allah. Ia akan terjaga dari gangguan nafsu dan tipu daya setan.

"Bila hati kian bersih, pikiranpun akan jernih, semangat hidup akan gigih, prestasi mudah diraih. Bila hati sempit, segalanya jadi rumit, seakan hidup terhimpit, lahir batin terasa sakit", begitulah petuah Aa Gym.

Dengan demikian setiap individu hendaklah berupaya untuk selalu memenej hati dan mengarahkannya pada kebaikan. Dimanapun kita hidup tidak semua yang kita inginkan dan harapkan akan terwujud. Ada kalanya kita harus bisa bersikap sabar dan lapang hati dengan realita yang terjadi.

Barangkali istri, anak-anak, tempat tinggal, pekerjaan, dllnya berbeda dari yang kita harapkan. Tapi bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan. Dengan terus melatih hati dalam keimanan dan amal soleh, insya Allah segala kesulitan dan kendala yang menghadang jalan cita-cita akan bisa kita sikapi dengan bijak dan tepat.

Orang-orang yang memiliki kontrol hati yang baiklah yang akan bisa meraih prestasi di tengah sulit dan beratnya tantangan dan ujian hidup yang dihadapi. Mereka tidak pernah mengenal lelah, rasa malas, putus asa, pesimis dan minder. Mereka selalu bersemangat walau sesulit apapun rintangan yang menghadang jalan cita-cita. Tekad yang terpendam dalam hati mereka telah kuat, lebih besar dari pasir-pasir dan kerikil-kerikil rintangan yang menghalangi langkah-langkah mereka.

Mari kita senantiasa membiasakan diri untuk membaca do`a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW, "Wahai (Allah) yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu". Amin. Wallahu a`lam bish-showab.

Salam dari Kairo,

marif_assalman@yahoo.com

www.marifassalman.multiply.com



oleh M. Arif As-Salman

Pertolongan Allah Sangat Dekat


eramuslim - Setiap jiwa pasti tergantung pada pertolongan Allah. Betapapun usaha yang dilakukan, bila Allah tidak mengizinkannya, maka usaha yang dilakukan itu hanya akan sia-sia. Mungkin kita pernah berfikir, kita telah berusaha keras, bekerja giat, senantiasa memohon pertolongan Allah dalam setiap sholat dan do'a-do'a yang kita lantunkan, namun nasib kita tetap seperti itu-itu saja, bahkan kita senantiasa terpuruk, usaha kita tidak berarti apa-apa, bahkan kita senantiasa terhina.
Dunia Islam menangis, meratapi kekerdilan jiwa kita, menyaksikan keangkuhan diri ini. Kenapa kita senantiasa menyalahkan Allah yang tak kunjung memberikan pertolongan, padahal kita tidak pernah berpegang pada petunjuk-Nya. Kenapa kita selalu bertanya kapan pertolongan itu tiba, sedangkan kita tidak bersatu dan bersimpul pada tali Islam. Kita selalu menuntut agar di dunia ini keinginan kita dipenuhi oleh Allah, tapi sedikitpun kita tidak pernah menunaikan kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba kepada-Nya.
Kita senantiasa meratapi nasib sebagai orang yang selalu miskin, gagal dalam berbisnis dan kuliah, karier mandek, prestasi anjlok. Namun pernahkah kita berfikir kalau iman kita tandus, hati kita gersang, pernahkah kita minta tolong kepada Allah agar Ia senantiasa menerangi qalbu ini dengan cahaya Allah yang tiada pernah pudar, agar Allah tidak membolak-balik hati kita kepada kekufuran setelah Ia berikan hidayah?
Ternyata kita hanya mementingkan diri sendiri, mau menang sendiri ketika kehancuran, ketika kegagalan, ketika bencana sedang melanda, ketika ujian sedang menimpa, kita ingat pada-Nya, kita meminta tolong pada-Nya. Ia terasa begitu dekat. Namun bila pertolongan itu tidak kita rasakan, kita berani-beraninya menanyakan “dimana pertolongan Allah? Seolah-olah Allah tidak pernah menolong kita. Namun jika sebaliknya yang terjadi, apakah kita ingat pada Allah, adakah kita ikuti perintah-Nya? Padahal kita tahu kalau bukan karena Allah kita tidak berarti apa-apa di dunia ini. Kita benar-benar tidak adil…
Walaupun kita tidak memenuhi hak-hak Allah, dan senantiasa berbuat maksiat kepada-Nya, bagi Allah itu tidak menjadi masalah, semua itu sedikitpun tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya. Ia akan tetap mencurahkan Rahman dan Rahim-Nya kepada kita. Ia senantiasa akan memberikan pertolongan-Nya, sekali pun tidak diminta.
Janji Allah pasti benar, Ia telah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya keteguhan, kedudukan, dan pertolongan di muka bumi ini, namun pantaskah diri dan jiwa kita yang kerdil ini mendapat pertolongan, pembelaan dan keteguhan dari Allah? Sementara kita sendiri tidak menolong agama Allah, padahal Allah mengatakan “Barang siapa menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhamad:7)
Pertolongan Allah sangat dekat bagi orang-orang yang mengikhlaskan diri menolong agama-Nya, orang-orang yang mengendalikan hawa nafsunya, orang-orang yang hatinya bersih, dan bagi orang-orang yang tidak mengikuti langkah syaitan. Sudahkah kita rasakan pertolongan Allah itu yang sesungguhnya amat sangat dekat dengan kita? (Yesi Elsandra)

Berjemur Di Padang Mahsyar

"panas hari ini belum ada apa apanya, padang mahsyar jauh lebih panas, saya hanya sedang melatih diri menghadapi hari hisab itu".


Musim panas tahun ini semakin terasa menyengat, matahari seolah sudah turun beberapa centi dan memanggang tubuh-tubuh kerdil di negeri gulf ini. Suhu udara 50 derajat bahkan kadang lebih sudah cukup membuat orang malas keluar rumah, apalagi ditambah humidity di atas 70%, membuat orang-orang semakin betah saja berlama lama di dalam ruangan ber-AC. Karena kalau keluar ruangan, meski tidak melakukan pekerjaan fisik yang berat, tubuh bagai meleleh dengan keringat langsung membasahi sampai ke ujung kaki.

Tapi tidak demikian dengan salah seorang rekan kerja saya, namanya Sterne Rydell. European berpasport Sweden ini senantiasa menghabiskan waktu liburnya dengan berjemur di pantai. Jadwal kerja kami yang empat hari kerja dan empat hari libur, semakin memanjakan dia dan keluarganya untuk berpuas diri bermain di pantai yang sepi, berenang di air laut yang panas dan tiduran di atas pasir pantai yang panas di tengah terik matahari summer pula. Padahal baru minggu kemaren dia kembali bekerja setelah cuti vacation ke negaranya selama hampir dua bulan. Meski di negaranya juga sedang summer, tapi suhu tertinggi disana hanya sampai 20 derajat yang buat orang Indonesia seperti saya sudah sangat dingin, tapi bagi dia dan warga Europe lainnya belum ada apa apanya karena saat winter, suhu udara mencapai -15 derajat. Tak heran ketika kembali ke negeri gulf ini seakan melanjutkan liburan bagi dia dan keluarganya.

Lain Sterne, lain lagi sahabat saya yang satu ini. Namanya Mahmood, imigran asal pakistani ini setiap hari menyirami pohon-pohon kurma yang berjejer rapih di sisi kanan kiri jalan kompleks tempat tinggal kami, bukannya kurang kerjaan tapi memang itulah kerjaan dia sehingga datang ke negeri gulf ini. Tidak pernah tampak lelah di wajahnya, setiap hari dia menjalankan tugasnya dengan semangat yang tak pernah berubah baik di saat winter maupun summer. Kalau ada waktu luang saya terbiasa menemuinya hanya untuk sekedar ngobrol ataupun membawakan soft drink untuknya, kemampuan dia berbahasa arab maupun inggris membantu saya untuk lebih mengenalnya.

Dari obrolan itu saya jadi tahu kalau Mahmood ini sudah bekerja sebagai buruh migran selama lebih dari 20 tahun dan waktu selama itu dia habiskan hanya sebagai pemelihara tanaman. Berdekatan dengan Mahmood seolah sedang berada di taman surga, wajahnya teduh, tatapan matanya penuh cahaya, ucapannya sarat hikmah, gurauannya tidak menyakitkan dan tingkah polanya menggambarkan kalau dia orang yang lebih mementingkan kepentingan akhirat daripada sibuk mengurusi dunia, terlalu banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dari buruh migran yang hanya menengok keluarganya tiga tahun sekali ini. Begitupun siang hari itu setelah sholat duhur saya menemuinya di bawah pohon (rumah) kurmanya.

Dengan membawa Kobus (roti arab) dan soft drink yang langsung saya taruh disampingnya, saya duduk di sampingnya dan seperti biasa setelah bertegur sapa, kami terlibat obrolan yang tidak pernah membosankan bagi saya. Sambil ngobrol, saya mempersilahkan Mahmood untuk menikmati apa yang saya bawa. Mahmood hanya tersenyum dan ketika saya mengulanginya lagi, dia menjawab dengan ucapan yang seolah tak ingin diucapkannya `ana Sho`im` jawabnya. Ah betapa malunya saya, terbiasa menghabiskan banyak waktu di ruangan yang nyaman tapi jarang melakukan sunnah Rosul yang satu ini. Apalagi setelah ingat kalau siang itu bukan hari senin atau kamis, berarti Mahmood sedang menjalankan puasa sunah Daud, sehari puasa sehari berbuka, subhanallah.

Saya jadi ingat, pantas setiap saya membawa soft drink Mahmood selalu mengatakan akan meminumnya nanti. Ah saya merasa semakin kerdil saja di hadapan Mahmood. Siang itu saya semakin haus untuk mendapatkan hikmah darinya. Dengan hati hati saya tanyakan ke Mahmood, kenapa dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan puasa sunah? Apalagi saat summer season. Mahmood kembali hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke langit jauh seolah tidak perlu menjawab pertanyaan saya, tapi setelah melihat mimik wajah saya yang masih menunggu, akhirnya dia menjawab juga. Mahmood menjelaskan kalau salari sebagai tukang kebun itu kecil sekali, paling banyak 500 Dirham ( Rp. 1,3 juta ). Uang segitu tidak akan cukup untuk hidup layak di negeri gulf yang terkenal serba mahal ini. Kalau dia tidak pandai cost saving, tidak ada yang bisa dia berikan untuk istri dan anak anaknya ketika pulang nanti, dan cara yang dia pilih dalam usaha cost savingnya itu adalah dengan menjalankan puasa sunah Daud, sebuah cara yang teramat indah dalam menyikapi kesulitan hidup.

Ah saya semakin malu dibuatnya, segala kemudahan yang saya dapat masih juga belum menumbuhkan rasa cinta saya kepada Allah dengan melakukan amalan amalan yang di cintaiNya. Mendengar jawaban seperti itu saya semakin bersemangat melanjutkan obrolan siang hari itu. Mahmood kembali saya tanya, kalau saat winter dengan udara yang dingin dan kita tidak banyak mengeluarkan banyak cairan tubuh, ok lah kita kuat berpuasa sunah, tapi saat summer dan dia juga harus tetap mengalirkan air ke pohon pohon kurma itu meski di terik matahari sekalipun, apa dia tidak struggle menahan haus dan panas? Masih diiringi senyuman khasnya, sambil menepuk nepuk pundak saya Mahmood menjawab "habibi (panggilan untuk menyayangi dan menghormati), panas hari ini belum ada apa apanya, kita masih bisa berteduh walau hanya di bawah pohon kurma, padang mahsyar jauh lebih panas dan tidak ada tempat berteduh di sana, saya hanya sedang melatih diri menghadapi hari hisab itu". Dug... sebuah palu besar menghantam dada saya sehingga hancur berkeping keping, kali ini saya bukan hanya malu, melainkan terharu, lemah, kerdil dan merasa semakin hina di hadapan Mahmood.

Setelah itu saya tidak melanjutkan pertanyaan, saya lebih banyak diam dan Mahmood pun membiarkan saya seolah tahu kalau kata katanya sangat menyentuh, hati dan pikiran ini lebih disibukkan pada jawaban Mahmood yang sungguh telah menohok hati saya yang paling dalam sekalipun. Tak lama setelah itu, sayapun pamit sambil tetap memikirkan apa yang telah saya dapat hari itu. Dari bibir seorang laki laki biasa, meluncur kata kata hikmah yang luar biasa. Segala puji bagiMu Allah yang telah mempertemukan saya dengan Mahmood, lelaki teramat sederhana tapi bisa menjadi cahaya bagi siapa saja yang dekat dengannya.

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. QS. Albaqoroh 207.

Salam hangat dari Ruwais, sebuah kota penuh pesona.

Ali Alfarisi (alialfarisi.multiply.com)