Hidup di dunia adalah perjuangan. Dari hal yang sangat kecil sampai yang besar, semuanya harus diperolah dengan upaya keras. Semakin besar sesuatu yang diinginkan, semakin keras pula usaha yang dikerahkan.
Semua makhluk ciptaan Allah di bumi tidak pernah berhenti berjuang agar tetap hidup. Bahkan apapun resikonya, setiap makhluk berani mengambilnya asalkan ia tetap dapat bertahan hidup. Dan untuk bisa bertahan hidup, Allah memberikan perangkat gratis bagi makhluknya di mana ia amat banyak bergantung pada nilai epektifitasnya. Semakin sering perangkat itu dipergunakan, semakin epektif dan semakin cerdas ia di medan hidup.
” Ayah, hebat ya anak ayam itu. Baru menetas beberapa menit, tapi sudah bisa berdiri dan berjalan. Adek bayi sudah satu tahun lebih, kok baru bisa merangkak?”.
Sebuah pertanyaan lugu dan polos yang mungkin saja dijumpai bukan hanya oleh satu dua orang tua dari anak-anak mereka. Anak-anak yang selalu tertarik dengan berbagai hal dan selalu menuntut untuk diberi jawaban yang memuaskan akalnya. Bagi orang tua, jangan sia-siakan kesempatan itu. Inilah saat yang paling tepat untuk mengisi hatinya dengan nilai-nilai kesahihan dan membimbing akalnya untuk sampai pada ke-Maha Besaran Allah. Tentu dengan kadar dan volume untuk anak seusianya. Di sinilah dibutuhkan, betapa kasih sayang, kesabaran dan kegembiraan seorang ayah atau ibu ketika melayani mereka amat menentukan pembentukan karakter anak-anak mereka kelak. Salah dalam pengalaman ini, fatal akibatnya.
Ah, pertanyaan tentang anak ayam itu menggelitik. Saya tidak tahu, apakah Imam Ahmad Musthafa al-Maraghi lebih dulu mendapat pertanyaan serupa ini kemudian menulis tafsiran salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah dalam tafsirnya yang terkenal itu. Sebab pertanyaan itu terpecahkan bagi siapa yang sudi mampir di tafsirnya dan membaca teliti uraiannya dalam al-Fatihah.
Sungguh Allah Maha Murah bagi manusia di dunia; di belantara hidup maha luas ini. Manusia ditempatkan di bumi dengan sekantung perbekalan yang berisi empat kompas mata angin agar kelak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pertama, hidaayatul ilhaam.
Pernahkah terpikirkan oleh kita apa urgensi menangis bahasa bayi? Pernah pulakah terpikirkan, bagaimana bisa begitu pandainya bayi yang baru beberap jam dilahirkan ”mimi” air susu ibu padahal ia tidak pernah belajar bagaimana keahlian menghisap? Inilah yang disebut ilham atau gharizah atau naluri. Bayi mahluk mungil, halus, lembut dan sangat rapuh bergantung sepenuhnya pada ilham. Itulah kompas hidup pertama pemberian Allah yang mengantarkannya tetap survive. Semua kebutuhan hidupnya dapat terjawab dengan naluri menangisnya. Lapar, haus, lembab, sakit, panas, dingin, ngantuk dan sebagainya dibahasakan dengan tangisan. Lalu sang ibu dengan rahimnya mampu menerjemahkan tangis bayinya itu dalam berbagai kondisi, berbekal watak keibuannya. Tangisnya berhenti setelah terpuaskan hajatnya.
Hidayah ilham semakin tajam seiring waktu berjalan. Ketajamannya semakin halus saat hidaayatul hissi sebagai perangkat kedua mempercepat proses kematangannya. Maka manusia semakin cerdas, semakin energik dan semakin mampu membaca segala kebutuhannya. Hissiyyah atau Indera bahkan menjadi gerbang imajinasi dan pengembaraan yang bukan saja membuat ilhamnya semakin terpuaskan, tetapi juga sanggup mengantarkan rasa kagum atas segala penciptaan.
”Ayah, Jeruk kan rasanya manis, Mangga juga manis, Lengkeng manis. Tapi kok, sama-sama manis, manisnya beda ya?”.
Subhanallah, Dia menciptakan salah satu indera pengecap sebagai perangkat hidup yang membuat hidup lebih hidup. Sekerat daging kecil di rongga mulut itu, memiliki daya penterjemahan atas cita rasa yang sangat luar biasa akurat dan alamiah. Apalah artinya sebuah penamaan Jeruk, Mangga, Lengkeng dan sebagainya itu, apabila tidak disertai dengan pembedaan atas cita rasa, aroma dan khasnya? meskipun masih dalam penyebutan yanga sama; manis. Misalkan seperti meletakan ketiga daging buah tadi di atas telapak tangan yang tidak memiliki efek pembeda cita rasa. Maka, gugurlah sedikit dari keindahan dan kenikmatan hidup ini.
“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Terjemah QS. Ar Rahman [55]: 13. Redaksi ayat ini diulang-ulang sebanyak 32 kali dalam surah Ar Rahman).
Maka hidup menjadi lebih bermakna dengan empat panca indera yang lain. Ya. Jeruk, Mangga dan Lengkeng menjadi utuh gambaran kehadirannya apabila juga dapat dilihat bentuknya, dicium aromanya, didengar sebutan namanya dan diraba bentuk serta teksturnya.
Anak ayam adalah perwakilan soal kematangan instink dan indera. Inilah bedanya manusia dan hewan. Harus diakui sejujurnya, Allah lebih cepat memberikan kematangan dua hidayah itu pada mahluk yang kadang dijadikan bahan perbandingan bagi manusia dalam kitab suci kita. Bahkan bisa jadi melebihi yang diberi kepada kita soal keistimewaannya. Setajam-tajamnya mata kita melihat, jarak pandangnya tak setajam, sepanjang dan seluas mata Elang. Dan hingga sekarang, tak pernah ada Elang mengenakan lensa minus atau silinder untuk membantunya mempertajam penglihatannya. Atau setajam-tajamnya pendengaran kita, masihlah kalah dibanding pekanya pendengaran Klelawar. Begitulah, soal berdiri dan dapat berjalan serta kemampuan mencari makan sendiri pun, manusia juga harus angkat topi kepada anak ayam.
Apakah ini celah bahwa Allah dapat dikatakan tidak adil, padahal manusia disebutnya sebagai ahsanu taqwiim (sebaik-baik penciptaan)? Jika hanya berhenti pada instink dan indera, maka secara logika bahwa Allah tidak adil adalah masuk akal. Meskipun itu adalah anggapan yang terburu-buru dan tetap tidak benar. Sebab, hewan memang hanya membutuhkan instink dan indera. Dua modal itu sudah cukup baginya untuk menikmati hidup. Tugas hidupnya pun singkat, tanpa taklif dan sebatas aktivitas fisik. Makan, minum, tidur, kawin, beranak dan bahkan ada yang harus merelakan akhir hidupnya di ujung mata pisau sembelihan. Menggelepar, dikuliti, direbus lalu dihidangkan di meja perjamuan. Ia diingat diujung lidah karena kelezatannya, setelah itu dilupakan.
”Enak ya Yah seperti burung. Bisa terbaaaaang tinggi. Bisa ke awan lagi. Lihat pemandangan”.
Hmm, hewan telah sempurna pengabdian hidupnya hanya dengan mengandalkan instink dan indera. Tapi tidak dengan manusia. Manusia tidak sempurna hanya bermodalkan ilham dan indera saja. Ia tidak dapat bertahan hanya dengan keduanya sebab taklif di pundaknya amatlah berat; khalifah. Gelar khalifah terlalu mentereng yang takkan sanggup diemban jika hanya dibayar dengan harga ilham dan indera.
Bagi anak cucu Adam, ilham dan indera memiliki keterbatasan bawaan. Bukankah lidah bisa kehilangan fungsinya di saat sakit? Allah Sang Pemberi lidah pada saat tertentu memintanya untuk bereaksi pahit. Maka di saat kesehatan manusia rapuh, apapun yang dimakan dan diminumnya akan terasa pahit. Bukan karena minuman dan makanannya yang pahit, tetapi karena keterbatasan indera dalam dimensi kuasa Allah. Atau cobalah isi gelas dengan air bening hampir penuh. Lalu masukkanlah sebatang pensil ke dalamnya. Lihatlah dari sudut kanan atau kiri. Mengapa pensil terlihat patah? Padahal pensilnya tetap utuh. Sekali lagi, itu karena indera penglihatan yang terbatas dan tak sanggup mengurainya.
Karena itu, hidaayatul aqli dibekali untuk menutupi kekurangan ilham dan indera. Perangkat ketiga ini justru kemudian menjadi salah satu kunci yang memisahkan garis kemakhlukan antara manusia dan hewan. Jelasnya amat nyata, laksana siang dan malam. Antara putih dan hitam.
Dengan akalnya, manusia tidak sekedar dapat menutupi kelemahan indera, tetapi berhasil membangun peradaban dan mampu mengubah sesuatu yang tadinya mustahil dan tak terpikiran menjadi nyata dan sungguh terjadi. Memang, penglihatan Elang amat tajam, tetapi penglihataan akal manusia sanggup menciptakan mesin mikroskof yang dapat melihat jasad renik semacam Amuba yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang manusia dan Elang itu. Atau, pendengaran manusia yang kalah dengan Klelawar tidak lagi berlaku ketika akal manusia telah menunjukkan taringnya. Sebab sekarang orang dapat bercakap dan mendengar suara lawan bicaranya meskipun jarak dipisah negara atau benua. Teknologi ciptaan akal manusia telah berhasil memperpendek jarak yang begitu jauh dan membuka sumbatan gendang telinga manusia. Sehingga jarak dengar Depok-Saudi seolah hanya di batasi dinding kain tipis di antara dua bilik. Begitu juga soal berjalan di atas awan. Dominasi Burung dalam keahlian terbang di angkasa telah dipatahkan oleh akal manusia dengan kehadiran ”Garuda” atau ”Merpati” besi hasil kreasi cerdas pikirnya. Maka dengan ketajamannya, akal pun mampu menjelaskan mengapa pensil kelihatan patah bila dilihat dari sisi gelas yang berisi air. Padahal menurut mata sendiri itu tetaplah menjadi misteri.
“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Terjemah QS. Ar Rahman [55]: 13).
Yang keempat adalah hidaayatul adyaan atau petunjuk agama. Inilah perangkat yang paling lunak, mahal dan berharga. Instrumen yang mampu mengarahkan ilham, indra dan akal kepada cahaya iman dan keselamatan hidup. Bukan hanya keselamatan hidup di dunia tetapi juga kehidupan akhirat yang abadi.
Apalah artinya ilham, indera dan akal apabila tidak disinari iman. Semuanya hanya akan menjadi sebutan belaka apabila tanpa makna dalam dimensi ke-Tuhanan. Indera dan akal memang canggih, tetapi rentan dan mudah tersesat apabila tidak dilapisi agama. Bukankah banyak orang yang cerdas akalnya tetapi disalah guna? Begitu banyak orang cerdas, tetapi menyengsarakan banyak orang. Artinya, manusia tidak bisa hidup sempurna hanya dengan ilham, indera dan akal. Secerdas apapun dia, tetap membutuhkan agama yang menjadi komandan hidupnya. Sayang, iman kadang dibutuhkan di saat sulit tapi dilupakan di saat senang. Orang lari mendekat kepada agama di saat akalnya sudah mentok putus asa.
Duhai Allah, terima kasih. Telah Engkau anugerahkan hamba iman dan Islam. Tetapkan dalam hati hamba Ya Rabb, semoga dapat hamba nikmati sampai nafas yang penghabisan. Aamiin.
Untuk ketiga buah hati yang rasa ingin tahunya menjadi lautan inspirasi.
Ciputat, 2 September 2009.
Abdul Mutaqin