Bagai menelan pil pahit saat aku mendengar untuk yang kedua kalinya, suamiku mengatakan pembatalan kepindahan kami ke negeri tercinta. Ada rasa sedih, kesal, dan ingin berontak bercampur aduk membentuk sebuah kata yang disebut kecewa. Pupus sudah semua angan, rencana, dan mimpi-mimpiku yang telah cukup lama menari-nari dalam benakku. Suasana rumah yang ingin segera kutata kembali, rencana untuk kembali bekerja paruh waktu, pengaturan jadwal rutin kunjungan ke rumah orang tua tercinta, dan kemudahan mendapatkan makanan halal di kampung halaman, serta kenyamanan lain yang tak dapat aku sebutkan satu per satu….semuanya tiba-tiba hanyut, lenyap dan hilang dalam sekejap. Kembali….aku harus belajar menata diri ini, hati ini kala menghadapi rasa kecewa.
Bukan kali pertama aku kecewa namun masih tetap saja sulit rasanya mengatasi kecewa dan menjaga hati ini untuk tetap putih. Perjuangan ini seperti seorang bayi yang dalam keadaan merangkak harus memanjat sebuah tebing nan curam. Sulit dan rasanya tak mungkin. Perasaan kecewa melumpuhkan logikaku yang seharusnya berperan penting. Aku terbawa arus emosi dan ego yang saling berebut menduduki ranking teratas.
Beda rasanya di rumah sendiri dengan di rumah orang lain. Itulah yang aku rasakan tinggal di negeri orang. Ketidaknyamanan yang aku hadapi di negeri orang membuat aku ingin segera merebut kembali tahta kenyamanan yang dulu aku rasakan ketika di negeri sendiri. Tapi terkadang kenyataan tak sesuai dengan harapan….kenyataan berkata lain. Aku batal pindah.
Dalam keseharian, sesekali terdengar ucapan anak-anakku….”Kapan kita pulang ke Indonesia selamanya?”. Kadang pula mereka berucap…..”Bosen nih di sini, ingin cepat pindah”. Aku mafhum, mereka tinggal dalam apartemen di tengah kota. Berbeda dengan masa kecilku yang akrab mendengar kokok ayam jantan membangunkan aku di pagi buta, membelai lembut kelinci dan kucing nakalku, berlari bebas, mengayuh kencang sepedaku menerjang hujan. Miris rasanya melihat gedung-gedung di sekeliling kami yang semakin merapatkan barisannya, tak ada ruang gerak bagi anak-anakku untuk bermain dan bersahabat dengan alam seperti masa kecilku.
Gemetar, saat aku mengutarakan berita pembatalan (lagi) kepindahan kami Desember tahun ini kepada anak-anakku, terselip rasa khawatir mereka akan kecewa seperti yang aku rasakan. Namun ternyata, di luar dugaan, mereka begitu ikhlas dan berlapang dada mendengar berita yang aku sampaikan. Tak ada rasa marah, kesal ataupun tangisan protes. Mereka hanya terdiam sesaat dan kemudian anak tertuaku berkata….”ya udah Mah, gak apa-apa”. Sebegitu mudahnyakah? Bagaimana dengan aku yang sibuk sendiri dalam perasaan kecewa? Subhanalloh, putihnya hati mereka……..
Aku merenung dan mencoba berpikir jernih bahwa semua sudah ada yang mengatur, semua sudah tertulis dalam Laul Mahfudz. Dalam ketidaknyamanan ini seharusnya aku bersyukur karena masih banyak saudara-saudara kita yang tak pernah mengecap arti kenyamanan : kelaparan, peperangan, ketertindasan, kemiskinan dan berjuta-juta ketakutan lain yang tak terperi dan berkepanjangan mengungkung kehidupan mereka. Astaghfirulloh…..ampuni aku ya Rabb, ketidaknyamananku tidak ada artinya bagi mereka.
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS 14 :17)
…..dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridlai bagimu kesyukuranmu itu….. (QS 39 : 7)
Ramadhan masih menyisakan 11 hari lagi. Masihkah ampunan-MU terbuka lebar untukku yang kurang bersyukur ini ya Rabb? Masih sempatkah diri ini untuk membenahi hati, menjaga hati ini agar ikhlas dan berlapang dada seperti yang telah dicontohkan anak-anakku? Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Ya….aku harus belajar mengambil hikmah dari peristiwa ini, dari rasa kecewa ini. Aku harus berusaha menanggalkan jubah egoku dan aku harus mengalahkan hawa nafsuku untuk meraih kemenangan yang hakiki di yaumul akhir nanti.
Dalam sebuah Hadits Riwayat Al-Thabrani dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda : “Jihad yang paling utama adalah memerangi diri sendiri untuk mendekatkan diri kepada ALLOH SWT.”
Semoga suatu saat nanti aku mampu menjadi pemanjat tebing yang handal yang mampu menghadapi rintangan yang menghadang di depan mata dan sampai ke puncak tertinggi, puncak kemenangan hati. Semoga pil pahit yang aku telan, justru membuat hati ini menjadi sehat, semoga belum ada kata terlambat bagiku untuk belajar melatih diri ini untuk selalu memilih kata syukur dan membuang kata kecewa. Antara syukur dan kecewa, ada batas yang tipis, semuanya bermuara di dalam hati. Teringat sebuah lagu yang dulu sering dinyanyikan Aa Gym :
Jagalah hati jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati cahaya Illahi….
Wallohu a’lam bishshowaab
(mkd/bkk/09.09.09)
oleh Mira Kania Dewi
0 komentar:
Posting Komentar