Mbah Sarni sungguh tidak paham, kenapa harga-harga berebut naik ketika ada pengumuman pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Yang ia mengerti hanyalah bahwa tempat pengisian bahan bakar di dekat perempatan jalan sebentar lagi tentu akan ramai. Akan ada antrian panjang di tempat itu karena diserbu pembeli. Itu wajar mumpung harga baru belum berlaku. Tapi kalau harga minyak goreng naik, harga cabe naik, harga tempe naik sampai harga krupuk juga naik, itu yang belum bisa ia terima dalam pemikirannya. Harusnya harga BBM naik, ya harga BBM saja. Tidak perlu sampe tempat penitipan sepeda di dekat pasar juga ikut-ikutan naik. Sehingga ia harus memberikan tambahan uang kepada cucunya yang tiap hari menitipkan sepedanya disana.
“Kenapa ya harga-harga yang lain jadi ikut naik?” Itu saja yang terus jadi pikiran janda tua ini. Kadang juga terlintas dalam pikirannya, pertanyaan mengapa pemerintah tidak bisa menjamin bahwa harga-harga yang lain tidak ikut naik. “Apa pemerintah ndak tahu kalau sekarang harga sudah pada naik? Apa tidak tahu kalau harga BBM naik, harga-harga yang lain juga bakal pada naik? Kalo tahu, kenapa tidak dipersiapkan dulu agar harga-harga yang lain tidak ikut naik?” Bingung mbah Sarni memikirkan hal itu. Tidak terjangkau pikirannya sampai pada soal-soal yang rumit seperti itu. Yang ia pikirkan sekarang, bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah pesta kenaikan harga-harga barang seperti ini.
Ia sendiri tentu akan menaikkan harga kangkung, kacang panjang dan sayuran lainnya karena harga yang ia beli memang naik. Jadi keuntungan yang didapatkan sebetulnya sama saja. Sebelum dinaikkan ya keuntungannya memang segitu. Setelah dinaikkan ya segitu-gitu juga. Tidak seberapa. Padahal ia beli langsung dari para petani sayuran yang sedang memanen hasil tanamannya di sawah. Di sana tidak ada POM bensin. Lahan pun tak perlu ditraktor yang sudah pasti membutuhkan BBM. Tapi cukup dengan otot, dicangkul saja. Tapi toh para petani tetap menaikkan harga sayuran yang dijualnya kepada mbah Sarni. “Harga gula dan teh naik mbah!” jawabnya singkat ketika mbah Sarni protes adanya kenaikan harga. Mau bagaimana lagi, mbah Sarni tentu tidak bisa mengelak. Ternyata di sawah pun ada kenaikan harga.
Sekarang ia lebih sering membawa barang dagangannya sendiri saja. Berjalan dengan membawa keranjang bambu di pinggangnya. Melelahkan memang, tapi harus bagaimana lagi. Sekarang ongkos becak pun naik. Daripada keuntungan berjualannya terpotong karena ongkos becak yang lebih mahal. Akan lebih baik kalau dizinjing sendiri saja. Ini yang bisa ia lakukan agar tetap bisa bertahan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Badannya yang renta sekarang tidak semakin berkurang bebannya. Hampir tiap malam mbah Sarni tidur dengan kaki yang ia sandarkan di tembok kamarnya. Karena dengan begitu pegal-pegal kakinya bisa lebih reda. Kadang juga ia minta dipijat cucunya.
Ia sadar beban hidupnya kian berat. Meski tak terkatakan tapi hal itu bisa dirasakan dari raut wajahnya yang semakin menua. Hendak minta tolong kepada siapa, mbah Sarni juga tidak tahu. Suaminya telah lama meninggal. Sedangkan pemerintahan desa yang sedekat-dekatnya pun terasa jauh. Dan yang pasti, tak mungkin pemerintah mengurus dirinya terus-terusan. Meskipun ia adalah janda dan sudah tua, toh di negeri ini ia harus mengurus kehidupannya sendiri.
Di tengah himpitan kesulitan seperti ini, mbah Sarni sebetulnya tidak merasa sendiri. Di pasar tempat ia berjualan, para pedagangpun mengeluhkan hal yang sama. Bahkan tak jarang disertai sumpah serapah dan omongan kasar lainnya. Hidup yang sudah susah, semakin susah saja kata mereka. Para pembeli juga tak berbeda. Seringkali malah menuduh para pedagang menaikkan harga barang seenaknya. Memanfaatkan situasi dikala harga BBM naik. Mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Para pembeli merasa merekalah yang paling dirugikan dari naiknya harga BBM. “Gaji mas Kardi ndak naik mbah, sekarang harga-harga pada naik begini?” keluh Ibu Guru Warti saat menawar kangkung.
Di mushalla tempat mbah Sarni sholat pun demikian juga. Obrolan selepas dzikir dan mengaji masih soal kenaikan harga. Tapi suasananya lebih tenang dan rileks. Haji Kamir yang punya dua mobil angkot pun berkomentar dengan nada yang lesu. Harga suku cadang naik, dan sekarang ia masih bimbang dengan kenaikan setoran di tengah keberatan dari para sopirnya. Pendapatan dari dua angkot yang disewakannya tentu tidak sebanyak dulu lagi.
Kadang mbah Sarni merasakan beratnya beban hidup yang ia jalani. Tapi ia lebih sering memendamnya saja. Sudah terbiasa dari muda bekerja keras dengan sekuat tenaga. Hal-hal yang pahit sudah terbiasa ia rasakan dari muda. Segala sesuatu harus dicapai dengan kerja keras dan mengatasi berbagai kesulitan Itu yang tertanam kokoh dalam pikirannya. Seperti noktah hitam dalam lembaran putih hatinya. Sehingga menghadapi situasi tidak menggembirakan seperti ini pun, mbah Sarni sudah siap dengan segala daya upayanya. Dalam suasana penuh keprihatinan seperti inipun, mbah Sarni masih bisa menyedekahkan satu teko teh manis dan aneka jajanan pasar kepada jamaah pada tiap malam Jumat.
Alangkah beruntungnya pemerintah di republik ini, memiliki banyak rakyat yang begitu mandiri dan bersih hati. Rakyat yang lebih senang memberi daripada memiliki. Walau mereka sendiri sebetulnya tak punya kekayaan yang mencukupi. Tidak terbayang sebelumnya kalau pengorbanan mereka akan dijanjikan mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah. Alangkah bersyukurnya kalau memang dana kompensasi bisa tepat sasaran kepada yang berhak menerimanya. Karena walau bagaimanapun kenaikan harga adalah beban yang teramat berat bagi warga miskin dan berkekurangan hidupnya. Hidup dengan segala keterbatasan tak setiap orang sanggup menjalaninya.
Akan tetapi, andaipun dana tersebut tak sampai kepada mbah Sarni yang sudah renta. Insya Allah itu tak akan berarti apa-apa bagi dia. Karena Allah sudah pasti menggantinya dengan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kekayaan amalnya teramat agung jika dibandingkan dengan secuil dana kompensasi dari pemerintah. Dan tidak perlu iri kalau Allah lebih memuliakannya kelak di kemudian hari. Karena ia rakyat kaya yang sebenarnya. Tak butuh difasilitasi untuk bisa bekerja dan menjalani kehidupannya di dunia fana ini. Sementara yang lain sibuk dengan segala macam tuntutan kenaikan gaji, asuransi, tunjangan dan banyaknya deposit uang yang memang akan usang. Sangat menyedihkan jika seringkali orang justru berebut dengan segala cara untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara-cara yang hina. Semoga saja itu tidak dilakukan oleh para pejabat, pemimpin dan anggota dewan yang terhormat di seluruh wilayah negeri kita, kini dan di masa yang akan datang. Semoga.
Deni M.
mukhyidin at yahoo dot de
0 komentar:
Posting Komentar