Beberapa kali ayah saya membicarakan tentang rencana pensiunnya. Beberapa kali pula itu saya tanggapi dengan setengah hati. Bukan karena tidak menghormati beliau tetapi saya merasa tidak bermasalah dengan pensiun itu. Toh selama ini saya sudah belajar memenuhi semua kebutuhan hidup sendiri. Justru saya senang karena ayah akan punya banyak waktu di rumah dan bisa melakukan kegemaran berkebunnya. Namun ternyata tidak hanya ayah yang ‘ribut’ masalah pensiun, tapi juga ibu. Suatu ketika dengan serius beliau membicarakan rencana pensiun ayah tersebut. Ibu membeli sawah dekat rumah, katanya untuk aktivitas ayah. Selama ini Ayah memang perlu berjalan jauh untuk ke sawah. Ayak! Segitunya. Dan kembali saya tanggapi dengan tenang. Saya setuju saja, wong itu juga investasi.
Lama-lama saya risih juga. Setiap kali pulang mudik, tidak ada ada topik lain kecuali pensiun. Setelah lama baru saya mengerti bahwa ayah saya sedang memasuki masa penyesuian untuk tahap usia selanjutnya. Dalam psikologi perkembangan dikenal dengan masa lanjut usia. Masa ini biasanya ditandai dengan mulainya pensiun atau menurunnya fungsi-fungsi tubuh baik fisik maupun psikis. Ada juga yang mengalami post power syndrome. Saya memahaminya sebagai suatu gejala perubahan respon terhadap perubahan situasi. Tak terkecuali ayah saya, tak urung pensiun itu menjadi pemicu kecemasannya. Meski beliau belum benar-benar pensiun dari pekerjaannya.
Ada sikap mental yang harus dikelola dalam masa perubahan yang dialami setiap orang. Ayah saya sedang mengalami perubahan peran, perubahan kebiasaan dan berbagai hal yang mengikuti atas perubahan statusnya kini. Dulu beliau adalah seorang guru dengan kesibukan mengajar, menyiapkan ulangan, mengoreksi ujian dan berbagai aktivitas lain sebagai pegawai negeri. Dulu ayah memiliki relasi sesama guru dan aktivitas relationship yang tentu berbeda dengan ketika nanti beliau pensiun. Dulu saya sering meminta uang dan mengharap berbagai hadiah dari beliau. Tentu nanti saya akan tak asal minta.
Saya bisa menyesuaikan masalah ini. Karena saya pun mulai melonggarkan ketergantungan saya pada orang tua. Baik itu masalah keuangan maupun keputusan-keputusan hidup. Tetapi saya kan tidak tahu sudut pandang orang tua. Mungkin kita tidak merasa perlu meminta uang saku lagi. Tetapi bisa jadi itu masalah bagi ayah, karena merasa tidak bisa memberi lagi. Sesuatu yang biasa bagi saya ketika bercerita tentang aktivitas di kantor atau bercerita tentang teman-teman kantor, padahal itu belum tentu menjadi bahan cerita yang menyenangkan bagi beliau. Ah, kini saya mengerti.
Kali ini saya akan pulang dengan padangan yang berbeda. Seorang teman menawarkan bibit pohon jati gratis ketika kami sama-sama mengikuti Jogja Education Fair. Stan kami berhadapan. Saya pun memboyong sepuluh bibit pohon jati setinggi pinggang. Sesampai di rumah saya langsung mencari ayah dan mengatakan rencana saya. Saya ingin punya hutan jati. Saya ingin kebun kami juga dipenuhi pohon pisang dan buah-buahan lain. Oya, kami juga merencanakan untuk beternak kambing untuk persiapan tahun 2009. Ehm, topik pembicaraan kami kini telah berganti. Ayah selalu melaporkan perkembangan kebun-kebun kami. Atau rencana kandang kambing kami. Tentu saya juga menaggapinya dengan antusias, meski sebenarnya saya tidak tahu-menahu tentang kambing dan pohon pisang.
Ah, sebenarnya ini adalah hal yang sederhana. Kita tak perlu mengirim orang tua kita ke panti jompo. Hal yang sering dilakukan orang ketika para orang tua kita sudah lanjut usia sedang kita memiliki kesibukan yang sangat. Tetapi kita hanya perlu memberikan perhatian dengan memberikan kebutuhannya. Saya tidak marah bila tiba-tiba ayah muncul di kampus atau di kantor bahkan pada jam-jam sibuk hingga tidak bertemu saya. Pernah suatu ketika beliau telpon ke kos saya, padahal sehari sebelumnya saya sudah izin untuk keluar kota. Pada awalnya saya marah karena merasa bersalah tidak dapat menemui atau menjawab telponnya. Saya sudah memberikan jadwal aktivitas saya, hingga harusnya beliau tahu kapan kami bisa bertemu. Tetapi, ayah saya memang punya cara yang unik dalam mengekspresikan cintanya. Saya makin mengerti. Setelah itu kami malah punya bahan cerita. Ya, Ayah pasti akan bercerita tentang “petualangannya” mencari saya tanpa ekspresi menyesal. Saya pun mendengarnya tanpa bosan.
Saya juga dengan senang hati menerima tawaran diantar ke tempat rapat, ke kampus dan lain-lain (bahkan ditunggu hingga selesai acara), meski dengan kecepatan motor setengah dari kecepatan saya. Padahal untuk sesuatu yang mendesak, saya tipe orang yang memilih naik taksi meski mahal, dari pada naik angkot berlama-lama. Bayangkan saja, Ayah mengantar saya dari Parangtritis hingga ring road selatan yang berjarak sekitar 20 km, lalu Ayah pulang ke Parangtritis lagi. Padahal perjalanan saya tinggal lima belas menit menuju kampus. Hihi, kadang saya merasa konyol. Tetapi kali ini anggap saja kami sedang ingin bernostalgia. Meski beliau kian uzur, cintanya tidak luntur. Beliau masihlah jagoan saya. Seperti dulu, beliaulah yang mengantarkan ke mana saya suka. Sebaiknya kita memang harus punya daya kompromi yang luas, demi orang tua kita.
Pada umumnya ada dua tipe orang lanjut usia, yang full activity dan disangagement, yang terus aktif dan yang lebih memilih banyak istirahat. Setelah mengenali tipe ini, kita bisa menentukan dengan tepat bagaimana seharusnya kita bersikap. Ayah saya tipe orang yang suka beraktivitas, maka sengaja saya sediakan “ruang” untuk tetap beraktivitas, tentu dengan mengikuti pergesaran perannya. Ini berbeda dengan ibu saya yang justru “pusing” melihat kegiatan saya yang tak pernah henti. Kadang-kadang saya memerlukan untuk diam di rumah, cuti atau mudik untuk sekedar tidur-tiduran atau membaca buku. Hanya demi melihat Ibu saya nampak lega karenanya. Hanya kitalah, anak-anaknya atau keluarga besarnya yang dapat mengantarkan orang tua kita pada perasaan sejahtera. Hingga beliau tak pernah merasa disisihkan karena kesibukan kita. Saya percaya setiap kita pasti mencintai beliau dengan amat sangat. Tetapi tidak setiap orang tua dapat memahami cinta kita itu. Kitalah yang harus memahami beliau dengan ekspresi cinta yang beliau sukai.
Nurika Nugraheni
Untuk semua orang tua yang “membesarkan” kita, I love you.
0 komentar:
Posting Komentar