eramuslim - Pedih, seolah ada pisau yang menyayat di hati. Aku merasakannya ketika untuk kedua kalinya aku membaca tulisan salah seorang teman. Kali ini tulisan bercerita tentang kisah nyata seorang anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah kawasan Pasar Minggu.
Banyak hal yang kudapat dari tulisan ini. Sedemikian banyak sehingga sulit diungkap satu demi satu. Bukan hanya pelajaran tentang kehidupan anak jalanan di Jakarta. Melainkan lebih pada kerinduannya pada sang ayah. Ya, pada seorang lelaki yang telah menitipkan benih kepada ibunya sehingga menyebabkan dia ada.
Dalam tulisan tersebut, si anak jalanan-sebut saja namanya Ari- merindukan kehadiran ayahnya yang belum pernah dijumpai sejak dia lahir sampai berumur 6 tahun. Saking besar keinginannya untuk menemukan ayah tersebut, Ari meninggalkan ibunya seorang diri dan pergi untuk mencari ayahnya.
Kenyataan ini semakin membuat hatiku pedih, menorehkan luka yang teramat dalam sehingga menimbulkan genangan kecil air yang kemudian mengalir perlahan di kedua pipiku. Kubayangkan Ari, seorang anak berumur 6 tahun, berjalan sendirian di jalan, tanpa orang tua, tanpa teman. Hanya karena kerinduannya untuk menemukan sang ayah.
Sampai suatu ketika Ari menuliskan surat kepada ayahnya, ketika temanku memberi pelatihan menulis kepada anak-anak jalanan tersebut. .".. Ayah, di manakah kau berada saat ini, tidakkah ayah merindukan ari. Ayah, Ari kangen, ingin bertemu ayah. Ari ingin minta mainan mobil-mobilan dan bisa sekolah seperti teman-teman. Ari mau jalan-jalan dengan ayah ke mall dan makan di restoran kentucki.."
Duhai, betapa pedihnya untaian kalimat yang dituliskan oleh Ari yang merupakan cerminan kerinduannya pada kehadiran sang ayah. Sampai dia melukiskan dalam bentuk surat yang ditulis tidak hanya sekali, melainkan berulang kali. Semuanya bertema sama, tentang kerinduannya pada seorang sosok bernama ayah.
Refleks aku mengambil foto di dompetku. Sebuah foto yang tidak tergantikan kedudukannya sejak Oktober 2003 yang lalu. Sebuah foto bertiga, aku, ibu dan bapak. Sambil memandangi foto tersebut aku merasakan betapa beruntungnya aku dibanding dengan Ari. Aku memiliki seorang ayah dan ibu yang selalu ada untukku.
Walaupun rambut putih sudah mulai menemani rambut hitam yang mereka punya, namun mereka masih selalu dan selalu bisa nyambung ketika berbincang denganku. Walaupun sudah 28 tahun umurku, namun mereka masih selalu mengkhawatirkan aku seperti halnya ketika aku kecil. Bahkan seringkali, ketika aku pulang ke rumah. Ibuku akan menemani aku di kamar sampai aku tertidur, dan barulah beliau akan beranjak keluar dari kamarku setelah terlebih dahulu membenarkan letak selimutku dan mematikan lampu kamarku.
Dan kerinduanku pada kedua orang tuaku menyeruak hadir tanpa kusadari ketika aku membaca kisah perjalanan seorang Ari. Jika saja Jakarta-Kudus merupakan jarak yang bisa ditempuh dalam hitungan menit, tentu aku sudah bergegas untuk pulang untuk menemui mereka.
Aku mengobati kerinduanku dengan dua hal. Pertama, aku meraih hp di meja belajarku dan mulai mengirimkan sms ke bapakku. Sebuah kegiatan yang setiap hari kulakukan, aku memang setiap hari sms ke orang tuaku, untuk menanyakan kabar mereka dan menceritakan kabarku disini. Kedua, aku berdoa kepada Allah supaya mengampuni dan menyayangi mereka serta membuat mereka berbahagia dunia akhirat.
Setelah melakukan dua hal tersebut, ada kelegaan yang hadir walau tidak sepenuhnya karena aku tidak bisa melihat mereka secara langsung dan memeluk mereka. Rasa syukur mengaliri rongga dada manakala aku selesai membaca tulisan tersebut. Walaupun terpisah oleh jarak, tapi aku mempunyai orangtua dan keluarga yang selalu mendukungku. Aku kemudian berpikir, bagaimana halnya dengan seorang Ari? Adakah menulis surat yang ditujukan kepada orang yang (seolah-olah) dianggapnya ayah tersebut sudah cukup melegakannya?
Tak dapat kubayangkan kepedihan yang melanda hati Ari. Jangankan bertemu dengan ayahnya, gambaran wajahnya saja dia tidak punya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, tidak ada foto, lalu bagaimana Ari bisa menemukan ayahnya dan mengobati kerinduannya?
Wajar saja jika kemudian seorang teman saya tersebut berempati dengan penderitaan Ari. Karena pada hakekatnya semua manusia mempunya hati. Namun apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ari-ari yang ada di jalanan? Untuk meringankan kerinduannya pada sang ayah?
Anisa Kuffa
0 komentar:
Posting Komentar