Rindu kami

“ Maaah, 29 hari lagi kita pulang ya ke Indonesia….?”

“ Asyiiiik 7 hari lagi kita pulang….!”

“ Horeee, besok kita ke Indonesia ya Mah!”

Itulah rangkaian kata-kata yang selalu diucapkan anak-anakku, termasuk gadis cilikku yang cantik saat menjelang liburan sekolah tiba. Ya…..menghitung hari, menunggu detik-detik kepulangan kami berlibur ke tanah air, berjumpa dengan kakek, nenek, dan saudara-saudara tercinta yang selalu dekat di hati kami.

Tak terasa…..5 tahun sudah aku, suami, dan 3 orang anak-anak kami merantau di negeri gajah putih. Suka dan duka kami arungi bersama. Dulu…..jagoanku yang ganteng baru masuk kelas 2 SD, kini sudah 1 SMP. Dulu….jagoanku yang cakep masih TK-B, kini sudah kelas 5 SD. Dulu…..gadis cilikku yang cantik baru berumur 3 bulan, kini sudah kelas TK-B.

Gembira, haru dan was-was…… itulah yang aku rasakan saat pertama kali mendengar kabar kepindahan kami ke negeri orang. Aku gembira menanti petualangan baru di depan mata, aku terharu mendengar keberhasilan suami tercinta menggapai citanya, namun aku juga was-was akan kemampuan diri, mengingat aku baru saja melahirkan anak ke-3 dan terbayang semua pekerjaan rumah tangga yang harus ditangani sendiri tanpa khodimat (mbak). Sanggupkah nanti ?

Alhamdulillah sejak hijrah ke negeri yang terkenal dengan duren monthongnya, kami diberikan banyak kemudahan oleh Yang Maha Penyayang. Anak-anak menuntut ilmu di Sekolah Indonesia yang terletak di dalam area KBRI dengan lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal kami. Kami cukup mudah beradaptasi dan tidak mengalami banyak kesulitan.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berjalan, tahun demi tahun terlewati…..aku mendapatkan banyak pelajaran berharga, salah satunya memasak. Buat banyak orang memasak adalah hal yang mudah…..namun tidak demikian untukku. Aku terus mencoba dan mencoba, alhamdulillah kepercayaan diri ini perlahan muncul. Walaupun masih jauh dari kata “hebat” namun aku sangat bahagia dengan sambutan yang hangat dari orang-orang terdekat yang aku cintai tentang masakanku.

Seperti biasa, setiap libur sekolah kami mudik ke Indonesia dengan senyum lebar tersungging di wajah anak-anakku. Kakek dan nenek dengan setia selalu menyambut kami dengan hangat dan tangan terbuka lebar di depan pintu kedatangan saat kami keluar dari bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Selama liburan hati kami selalu dihiasi dengan rasa gembira. Walau kami jarang bertemu, namun canda dan tawa begitu dekat dalam keseharian kami bersama saudara-saudara tercinta di tanah air. Tak terasa….liburan satu bulan berlalu begitu cepat bagai hanya seminggu. Padatnya jadwal harian bersilaturahmi dan berwisata kuliner ke berbagai tempat di tanah air tak membuat kami lelah, semua terhapus oleh rasa gembira yang meluap-luap di dalam dada. Akhirnya tibalah saatnya kami harus kembali ke Bangkok, memulai kegiatan rutin kami, belajar dan bekerja yang semuanya adalah rangkaian ibadah.

Terlihat ada perubahan sedih di wajah anak-anakku setiap kali melihat nenek, kakek, wa, tante, oom, dan sepupu-sepupunya melambai-lambaikan tangan mengucapkan selamat jalan kepada kami di pintu masuk bandara. Sungguh, tak tega rasanya hati ini menatap ibuku tercinta yang selalu meneteskan air matanya setiap mengantarkan kami pergi. Aku berusaha untuk menahan diri agar air mata ini tak jatuh menetes.

Kaki-kaki melangkah perlahan memasuki pintu pesawat. Kucoba melirik gadis cilikku…..biasanya ia selalu ceria. Kali ini aku tersentak dengan apa yang aku lihat…..ada butiran air mengambang di pelupuk matanya. Aku coba usap air itu dengan senyum di wajahku. Aku coba menghibur lara di hatinya. Namun apa yang aku lakukan ternyata menambah deras air matanya. Gadis cilikku menangis sesengukan dalam pelukanku. Aku mencoba bertahan, kubuang pandangan mataku ke luar jendela pesawat agar air mata ini tak tumpah……kucoba sekali lagi untuk bertahan…. namun ternyata aku tak mampu…..

Rindu……gadis cilikku kini telah paham apa arti rindu. Rindunya dengan tanah air belum puas terobati……rindunya bersama dalam kehangatan keluarga besar belum tertuntaskan….. Rindu ini masih dan akan selalu ada ……”Aku sayang Indonesia,” ujarnya perlahan.

Dalam rindu ini, kupanjatkan syukur ke hadirat Illahi Rabbi karena telah Kau tanamkan sifat “Rahman dan Rahim-MU” kepada saudara-saudaranya dan cinta kepada tanah airnya di dalam hati anak-anak kami….buah hati kami….

Wallohua’lam bishshowab.

….dan dijadikan-NYA di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS Ar-Ruum :21)

…..maka ALLOH mempersatukan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat ALLOH orang-orang yang bersaudara….(QS Ali Imran : 103)

Kami yang selalu merindu…...

Bkk, 27 Juli 2009

Kenapa Harus Marah

Siapa saja, kalau ada hak-haknya tidak diindahkan oleh orang lain maka ia akan menimbulkan sikap yang berlawanan. Sikap inilah yang sering kelihatan manakala seseorang merasa dirinya diabaikan begitu saja. serasa tidak berharga dan tidak dipandang oleh orang lain. Apalagi dalam realitanya ia lebih baik dari pada yang lain. Maka sikap marah adalah ekspresinya.

Tentu setiap kita pernah marah. Apapun alasannya, jika hal tersebut tidak berkenan dalam hati kita, maka sikap yang muncul cenderung negatif. Marah, jengkel, kesal dan lain sebagainya akan muncul beriringan dengan rasa ego yang ada. Dan tidak sedikit dari orang-orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya, melahirkan sikap negatif yang merugikan, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga orang yang ada disekitar.

Satu kali aku menaiki angkutan umum dari mahattah (halte) akhir hay ‘Asyir menuju hay Sabi’. Di pertengahan jalan, di mahattah Gami ada seorang penumpang memberhentikan angkutan yang sedang kukendarai tersebut. Orangnya masih muda, kutaksir usianya sekitar dua puluh tujuhan. Mungkin, karena musim panas, padahal waktu itu malam, tapi kondisi mendukung untuk memeperpanjang masalah yang ada.

Berawal dari ketidaksepakatan penumpang terhadap ongkos angkutan itu. Sebenarnya, dalam hal ini yang salah adalah supir. Karena ia memasang tarif ongkos yang tidak seperti biasanya. Untuk jarak asyir ke sabi’ standarnya adalah tujuh puluh lima qirsy. Kalau Cuma sampai Enpi, karena belum sampai sabi’ maka cuma lima puluh qirsy. Nah, si penumpang protes, dengan tujuan Enpi, ongkos yang diambil sama dengan tujuan Sabie. Pertengkaran pun terjadi. Antara penumpang dan sopir, saling berkeras ditengah perjalanan. Caci maki, sesekali terlontar dari keduanya, dan si penumpang tadi minta diturunkan di mahattah berikutnya. Ia pun meminta penuh kembali ongkos yang diambil. Namun, bukan selesai masalah, tapi kembali membuka debat panjang.

Kita sering bilang, berantem orang mesir Cuma sekedar perang mulut. Laga alasan, siapa yang paling kuat dia yang menang. Siapa yang paling keras suaranya dia yang menang. Tapi, ya begitu. Kadang tidak ada yang mau mengalah. Sama-sama keras dan sama-sama mau menang. Kalau tidak ada yang melerai, mungkin mereka bisa bertengkar berhari-hari.

Ada satu yang unik. Orang mesir suka ribut, bertengkar mulut, namun melerai mereka ditengah pertengkaran tidak terlalu sulit. Sama seperti yang terlihat ketika itu, sewaktu si penumpang turun, mobil diberhentikan dan sopir juga turun. Mereka bertengkar cukup lama. Kalaulah tidak seorang penumpang di antara kami melerai mereka, pasti tambah lama. Cukup dengan kata shallu alan nabiy, menyuruh mereka bersalawat, dan emosipun redah. Pertengkaran pun bisa berhenti.

Juga, yang lebih beda adalah mereka bisa hanya marah di mulut, tanpa harus dimasuki ke dalam hati. Selesai bertengkar, selesai masalah. Tidak ada lagi yang namanya dendam. Jadi kesannya, cepat marah cepat pula hilangnya.

Dalam salah satu hadis rasulullah saw pernah bersabda; orang yang kuat bukan dilihat seberapa hebatnya dia berkelahi, tapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai emosinya ketika marah.

Penggambaran rasul mengenai orang hebat adalah penggambaran yang sangat tepat. Karena memang sehebat-hebatnya seseorang, dia tidak akan mungkin mampu mengalahkan lawan kalau tidak bisa mengendalikan emosi. Sebab, dalam bertanding di arena sekalipun, kalau cuma mengandalkan kekuatan tanpa mengindahkan cara, mustahil akan menang. Dan cara untuk mengalahkan lawan tidak mungkin ada kalau saat bertanding dirinya tidak mampu mengendalikan emosi. Sehingg yang terjadi, serangan demi serangan yang dilancarkan, berlalu sia-sia. Sebab tidak ada tekhnik yang mengendalikannya.

Itu kalau kita lihat dalam arena pertandingan. Dalam kehidupan juga tidak jauh beda. Sama seperti saat bertanding, seketika ada sesuatu yang memancing kemarahan sesungguhnya itu adalah pintu kelemahan seseorang. Kalau ia terdorong untuk masuk ke pintu itu, tanpa ada kendali sedikitpun, maka yang akan terjadi dibelakang hari adalah penyesalan.

Perhatikan orang-orang yang dikuasai nafsu amarahnya. Ia cenderung bertindak sembarangan. Tanpa pikir panjang, terkadang ia melakukan hal-hal yang justru membuat dirinya malu. Karena orang yang sedang marah, apalagi sampai berlebihan, sulit rasanya berfikir rasional. Yang penting, apa yang ada dihadapannya, dan puas hatinya meluapkan emosi kemarahan, itulah yang akan dilakukan tanpa berfikir apa dampak sesudahnya.

Marah juga demikian. Kalau tidak cepat distabilkan akan membuat segala sesuatu menjadi runyam. Tidak sedikit, ada orang yang marah tanpa sebab dan alasan, maka orang-orang disekitarnya juga kebagian. Dengan kata lain orang yang makan nangka kita yang kena getahnya. Contoh , dalam keluarga kalau orang tua kita ada masalah, terus kita ada di situ, kita juga bisa menjadi lampiasan kemarahannya. Padahal, sama sekali tidak ada kaitannya.

Marah yang tak terkendali juga akan melahirkan dendam yang berkepanjangan. kalau dirinya belum puas, malah keturunannya juga diwariskan untuk benci pada orang-orang yang menjadi musuh orang tuanya. Jadilah apa yang disebut dendam tujuh turunan. Dari bapak, anak, cucu, cicit semuanya diwariskan untuk membencinya. Wal hasil, kerukunan hidup bermasyarakat juga akan terganggu.

Apalagi kalau marah itu munculnya dalam kalangan rumah tangga. Apalah arti tinggal di rumah gedung, tapi bagai neraka. Siang malam tak henti-hentinya bertengkar. Memang benar, pertengkaran dalam rumah tangga adalah romantika kehidupan. Tapi kalau keseringan itu mala petaka. Dan itu tugas syaitan untuk memisahkan anggota keluarga satu sama lain. Karena kalau sudah yang namanya broken home, pasti bakal menjalar ke hal-hal yang lain. Kalau semua keluarga seperti itu, artinya masyarakatnya juga broken. Kalau masyarakat broken, artinya negara juga broken. Naudzubillah minzalik

http://madhan-syah.blogspot.com/

Antara Doa dan Kepastian

Tahun ketigaku disini, adalah tahun duka juga bahagia. Di tahun itu untuk pertama kalinya kampus Azhar menetapkan aku termasuk mahasiswa yang harus ngulang alias tidak lulus. Sedih memang, hanya untuk mengejar ketertinggalan beberapa mata kuliah, aku harus menunggu tahun berikutnya. Tapi ya begitulah adanya, kampus antik tempat menimbah ilmuku yang katanya telah berusia ribuan tahun itu, memang punya cara tersendir i. Agak sedikit beda dengan yang lain. Karena azhar ingin mahasiswanya benar-benar menguasai mata kuliah yang diajarkan. Makanya diberi waktu setahun untuk mengulang kembali jika lebih dari dua mata kuliah yang tinggal. Bahkan, yang lebih dahsyat adalah mereka yang di strata dua. Kalau dalam ujian ada satu mata kuliah yang tinggal, maka wajib mengulangnya bersamaan mata kuliah yang lulus.

Tapi, waktu itu juga aku merasakan kebahagiaan. Memang hidup tak selamanya di bawah. Sewaktu-waktu bisa naik ke atas. Dunia bagaikan roda yang berputar. Satu saat kita menangis, mungkin tak selang begitu lama kita bisa tertawa. Itulah romantika kehidupan. Selalu hadir berpasang-pasangan.

Impian, berwujud kenyataan. Betapa tidak, dulu sebelum tiba di Mesir, kapan ya aku bisa melihat ka’bah. Bayanginnya antara Mesir dan Saudi itu dekat. Jadi, kemungkinan besar peluang menunaikan ibadah haji lebih besar ketimbang dari Indonesia. Dan akhirnya, the dreaming comes true. Aku jadi juga berangkat ke tanah suci tahun itu. Ya, meskipun tidak mulus-mulus aja proses pengurusannya.

Hal yang paling mendebarkan, saat pengurusan, aku harus berhadapan dengan administrasi yang berbelit-belit. Waktu itu, semua berkas telah lengkap, tinggal taqdim (ngajukan) ke travel. Selanjutnya pihak travel lah yang membawa ke safarah (kedutaan ) saudi untuk mengambil visa haji. Apa yang terjadi, ternyata dalam kelompok berkas yang diajukan, punyaku di tolak pihak travel. Sebab passporku baru, dan mereka minta syahadah taharrukah, semacam surat keterangan dari imigrasi setempat yang menerangkan kalau aku belum pernah haji dalam kurun empat tahun. Soalnya jatah haji di Mesir hanya boleh sekali dalam empat tahun.

Apakah takdir yang berlaku, kayaknya aku belum di perkenankan berucap labbaikallahuma labbaik. Waktu yang mepet. Hanya tinggal satu minggu untuk jatah pengajuan. Sementara pihak imigrasi mengatakan syahadah taharukah baru bisa diambil bulan depan. Cuma bisa pasrah, dan berdoa.

Yang bisa kulakukan saat itu ya, cuma berdoa. Terkadang kalau teringat Ka’bah, tak sadar air mata langsung tertumpah. Berharap tamasya rohani tahun itu, setidaknya bisa mengurangi kesedihanku karena tinggal kuliah, namun mungkin lagi-lagi kebahagian belum berpihak padaku. Cuma doa dan munajat panjang yang tertumpah dalam sujud-sujud malam.

Ada satu yang membesarkan hatiku, kalimat yang terdengar dari ustad Hasan saat menerima panggilan Hpnya. Beliau adalah pengajar di lisanul arab. Tempat kami kursus bahasa arab. Tengah mengajar, Hpnya berdering, dan diapun berbicara. Satu kalimat yang langsung tertangkap olehku saat dia bilang inna du’a wa al qada’ musharaah. Doa dan kepastian itu bertempur. Lebih banyak doa, maka peluang dikabulkan keinginan kita juga lebih besar. Maka harus tetap optimis dan terus berdoa sampai keputusan itu ada.

Langsung, teringat kembali urusan hajiku. Tak henti-hentinya berdoa. Dan aku yakin bisa berangkat. Wal hasil, seminggu setelahnya aku ke kantor imigrasi mengambil syahadah taharrukah. Lalu, taqdim ke travel dan seminggu setelahnya passporku dapat visa haji. Alhamdulillah.

Doa, memang begitu berharga. Ini adalah senjata yang paling ampuh untuk setiap masalah. Namun terkadang, kita belum optimal menggunakannya. Sehingga terkadang masih enggan berdoa pada saat-saat genting. Bahkan, karena seringny berdoa, dan ternyata jarang dikabulkan. Maka degan cepat ia putus asa. Dan beranggapan doa atau tidak sama saja.

Ini adalah sikap yang keliru. Seorang muslim tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan aktifitas yang satu ini. Tidak berdoa sama sekali, justeru bisa bisa kita dicap sebagai hamba yang sombong. Karena secara tidak langsung , kita tidak mengakui kemahakuasaan Allah. Kalau Tuhan saja sudah disepelekan, bagaimana kebahagian hidup akan diperoleh. Itu makanya doa termasuk ibadah. Beribadah, berarti mengakui bahwa diri kita itu rendah dihadapan yang Maha kuasa. Bukankah doa juga seperti itu.

Sebenarnya tidak ada ruginya kalau kita berdoa. Dikabulkan atau tidak, kita tetap untung. Kalau belum dikabulkan, kita telah mengantongi pahala dari doa itu. Kalau makbul, dapat pahala plus dengan terwujud keinginan. Tinggal seberapa sering dan ikhlas doa itu dipanjatkan. Jangan lupa pula, kalau doa itu harus yakin.

Saya pernah melihat buku La taruddu al qadha’ illa ad du’a. Tidak berubah keputusan kecuali dengan doa. Judul yang cukup memukau . Bagus untuk membentuk pola pikir positif terhadap doa. Juga biar kita tidak pesimis kalau berdoa tapi tidak dikabulkan. Di situ, banyak dijelaskan bagaimana seharusnya kita memandang doa. Dan akhirnya kita bisa menggunakan doa itu secara profesional dan proporsional. Bagaimana caranya dan kapan waktunya serta sikap apa seharusnya diambil terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada pada doa.

Intinya, dibuku itu kalau mau doa makbul, kuncinya ikhalas dan yakin. Dan fungsi doa cukup penting. Bayankang, bait-bait munajat yang terangkai dari hamba mampu merubah qadha atau ketetapan yang pernah dibuat oleh Sang pencipta. Dan itu bisa dibuktikan sendiri. Mungkin, Allah berencana memutuskan A kepada kita. Namun kita ingin keputusan itu menjadi B. dan doa mampu merbah keputusan yang tadinya A menjadi B.

Maka tepat kalau ada ungkapan doa itu bertempur dengan ketetapan yang ada. Kalau Allah mengatakan, berubah atau tidaknya seseorang tergantung bagaiman dia merubahnya. Itu artinya doa juga merupakan rangkaian usaha yang bisa kita lakukan.

Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhiratil hasanah waqina azabannar

http://www.madhan-syah.blogspot.com/

Hidup dan Matinya Hati

Pernahkah suatu kali Anda melihat ikan berada di atas tanah? Apakah yang terjadi pada dirinya saat itu? Anda akan mendapatkan ikan tersebut menggelapar-gelepar dan tidak bisa tenang. Bila keadaan itu berlangsung dalam waktu yang lama, bisa dipastikan ikan tadi akan mati.

Dari ilustrasi di atas, pelajaran apa yang kira-kira bisa kita petik?

Sesungguhnya ikan hanya akan bisa hidup jika ia berada dalam air. Ketika ia dikeluarkan dari komunitas hidupnya, ia tidak akan bisa bertahan hidup secara normal dan apabila itu berlangsung lama, ia akan mati. Dengan demikian, ikan diciptakan untuk hidup di air.

Begitulah lebih kurang penulis umpamakan kondisi hati manusia. Sesungguhnya Allah Swt menciptakan hati dan menjadikan sumber kehidupan dan ketenangannya adalah dengan mengenal Allah, mencintai-Nya dan selalu ingat pada-Nya. Dengan hal itu hati akan bisa hidup dan selalu bisa merasakan nikmat-nikmat Allah. Dengan hidupnya hati, ia akan memberi cahaya pada jalan-jalan kehidupan yang dilalui.

Namun bila hati diletakkan pada dunia, cinta padanya dan dunia mendapat tempat di dalam hati, maka dipastikan hati tersebut tidak akan pernah bisa tenang dan tentram dalam arti yang sesungguhnya. Walaupun secara zahir nampak ketenangan dan kebahagiaan, tapi ia hanya bersifat sementara bahkan kesenangan yang menipu.

Allah Swt berfirman: "Ketahuilah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah, hati menjadi tenang." (QS. ar-Ra`du : 28)

Ayat di atas telah menjelaskan pada kita bahwa hanya dengan berzikir pada Allah hati akan merasakan ketenangan, seperti halnya ikan akan bisa hidup tenang di dalam air.

Ketika hati lalai dari mengingat Allah, ia akan selalu resah, gelisah, dan tidak pernah merasa tentram, seperti halnya juga bila ikan keluar dari komunitas hidupnya, ikan tersebut akan menggelepar-gelepar. Bila keadaan itu berlangsung lama, bisa dipastikan hati akan sakit dan pada akhirnya akan mati seperti matinya ikan.

Hati yang hidup akan bisa mengambil pelajaran dan menerima petunjuk. Sebagaimana firman Allah Swt: "Al-Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup." (QS. Yasin : 69-70)

Dan firman Allah Swt yang lain: "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati." (QS. Qaf : 37 )

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw menyampaikan, "Perumpamaan orang yang mengingat Tuhannya dan yang tidak mengingat-Nya adalah seperti orang yang hidup dan yang mati." (HR. Bukhari ) dan Muslim meriwayatkan: "Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan Allah dan yang tidak disebutkan Allah di dalamnya adalah umpama orang yang hidup dan yang mati".

Di hadits lain Rasulullah Saw menyebutkan, "Allah Swt berfirman, "Aku bergantung pada prasangkaan hamba-Ku pada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku, apabila ia mengingat (menyebut)-Ku di kumpulan orang banyak, Aku akan menyebutnya di kumpulan yang lebih baik dari mereka. " (Muttafaq `Alaihi )

Hadits di atas menerangkan pada kita bahwa Allah Swt bergatung pada persangkaan hamba-Nya pada-Nya dan Dia selalu bersama hamba-Nya bila seorang hamba selalu ingat dan menyebut Allah Swt.

Siapakah diantara kita yang tidak ingin memiliki hati yang hidup? Hati yang akan selalu menjadi pendorong untuk ketaatan dan amal kebaikan.

Namun kehidupan hati tidak akan bisa kita dapatkan, kecuali bila ia kita isi dengan ma`rifatullah, yang dengannya ia akan bisa merasakan ketenangan. Hati akan hidup bila ia selalu berada dalam samudera zikir ilahi, hati akan hidup bila ia diisi dengan cinta pada Allah Swt, dengan selalu menyebut-Nya dan merasakan kehadiran-Nya dimanapun kita berada. Semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita bersama.

Salam dari Kairo,

marif_assalman@yahoo.com

www.marifassalman.multiply.com

Kali Ini Aku Berkisah Tentang Kalian, Ayah..Bunda

Aku sedang menyendok sepiring nasi uduk, lengkap dengan bakwan dan sambel kacang khas buatan Bunda. Sesendok dua sendok nasi ku suap ke dalam mulutku, tiba-tiba ku dengar suara lemah itu membuka bicara.

" Ci . . Kalo kamu ngga pulang ke rumah, emangnya di kosan kamu ngga inget Mama ya?" tanyanya dengan wajah sewajar mungkin.

Hampir aku tersedak. Tapi ku rapikan air wajahku. Ku jawab tanya itu dengan segaris senyum," kok Mama bilang gitu?" ku balas tanya dengan tanya.

"Habis . . . kamu ngga nelpon-nelpon. Sampe 2 minggu baru pulang, kan jaraknya deket. . "

Aku tak bisa menjawab. Ku jawab halus dalam hati.

Ahh, Bund! Aku bahkan tak tahu apa alasan yang sebenarnya.

Jika ku jawab karena aktivitasku di luaran? Jika ku jawab karena tersitanya waktuku untuk tugas yang jadi radang? Jika ku jawab dengan pembenaran-pembenaran lain atas nama statusku yang adalah mahasiswa?

Ahh . . semua hanya alasan.

Padahal aku punya waktu, Bund!

3 Jam dari 1 hari aktivitasku, pastinya ada waktu yang ku gunakan untuk beristirahat.

Sangat mungkin aku menggunakannya untuk pulang kerumah. Perjalanan Pulang-Pergi antara Bintaro-Kemang pun hanya makan waktu 2 jam dengan mengendarai motor. Lantas ada waktu satu jam untuk bersenda di rumah, mencium tanganmu dan memeluk tubuhmu yang kian rengkuh.

Aku larut dalam khayalan kemungkinan itu.

Tersadar,

Aku menjejak kembali ke bumi.

Kau bercerita. Tentang sakitmu yang rasanya kian berangsur membaik.

Ya, Bunda! Sejak kau divonis memiliki tumor itu. Emosimu senantiasa teraduk tak tentu. Kerutan diwajahmu aku rasa bertambah. Peluh perih yang kau rasa terlihat melalui ringisan sesaat dari wajahmu yang kadang hadir. Alhamdulillah, gurat keputusasaan itu tidak hadir lagi.

Kau bercerita dengan wajah sumringah. Senyum yang sudah 2 minggu tak terekam di otakku, kini terpasang tegas di wajahmu. Kau bercerita betapa kau bersyukurnya dengan perkembangan hasil terapi itu. Kau bercerita tentang kebaikan-kebaikan yang terdapat pada orang yang mengobatimu. Juga kau bercerita tentang biaya pengobatan itu yang dirasa mahal.

Kau bercerita dengan penuh ambisi untuk mengenyahkan tumor itu dari tubuhmu.

Ingin rasanya saat itu tangis ini luruh. Tapi aku tak ingin lihat kau khawatir. Mengira aku tak stabil.

Bund, aku sungguh bersyukur.

Lalu, ayah bercerita serupa. Tentang semakin baiknya ibadahmu. Tentang semakin baiknya tata emosimu. Juga tentang berangsur baiknya penyakitmu.

Aku jadi teringat. Teringat cerpen-cerpen yang kubaca. Tentang aktivis yang kadang tak peka terhadap keluarganya sendiri. Akibat apa? Akibat kebaikan-kebaikan yang menyibukkannya di lapangan. Lantas menjadi tersilap kondisi keluarga yang bisa jadi tak lebih baik.

Apalah jadinya jika kesibukan itu hanya pikiran, padahal Alloh tak nilai demikian? Akan dikemanakan pengharapan atas kebaikan yang sempat tertanam?

Apalah arti kegiatan-kegiatan yang menyibukkanku selama ini jika ku tak menghargai keberadaan orangtua ku yang jauh menjagaku. Menjadikanku berfikrah seperti sekarang. Menjadikanku bertabiat seperti sekarang. Mengukir perangai laku ku layaknya saat ini?

Jika orang-orang yang dekat denganku saja tak bisa ku curahi kasih dengan sebaik-baiknya. Lantas, apa yang membuatku percaya diri untuk bersosialisasi di luar? Apa yang ku harapkan untuk diriku sendiri jika ku tak mampu mencintai orang-orang terdekatku dengan sebenar cinta?

Mengapa orang-orang yang terdekat dengan kita selalu jadi bagian terlupa?

Mengapa cinta mereka seolah terhapus sehingga mudah bagi kita mendahulukan kepentingan yang lain daripada kepentingan mereka?

Ayah . . bunda, jika saja aku tak hidup lewat perantara kalian. Apa aku sekarang?

Ayah . . bunda, jika saja kau biarkan aku tanpa kasih dan curahan perhatian. Apa yang melukis hariku hingga sekarang?

Ayah . .bunda, jika saja kalian tak berkorban. Akan jadi apa aku sekarang??

Semoga silap yang menghijabi kepekaan hati ini mampu sedikit-demi sedikit memudar.

Sadarkan aku, Bund! Saat aku harusnya menjadi sebaik-baik diriku untukmu.

Sadarkan aku, Yah! Saat aku harusnya mempersembahkan sebaik-baik bakti pengganti cinta kalian.

Ya Rabb, aku mungkin sering terlupa. Seringnya tak menyadari. Tapi Kau Yang Maha Hidup di hati-hati hambaMu, maka hidupkan hati-hati orangtuaku dengan cahayaMu.

Ya Rabb, aku mungkin tak bisa persembahkan bakti sempurna. Tapi Kau yang Maha Segalanya, maka lengkapi ketidakberdayaanku dengan rahmatMu untuk Kau titipkan di hari-hari mereka.

Ya Rabb, aku mohon dengan sangat. Saat nanti aku benar-benar tak memiliki pembenaran alasan selain kematian yaitu tidak bisa membersamai mereka dalam masa-masa ringkih mereka maka jadikanlah pada hati-hati mereka, Dirimu sebagai sebaik-baik tempat berteduh bagi mereka. Selamanya . .

*faraziyya.multiply.com

Membangun Kejujuran

Salah satu fenomena menarik berkait dengan upaya membudayakan perilaku jujur sebagai gaya hidup adalah penggalakan pembangunan kantin kejujuran di lingkungan sekolah dasar. Murid-murid sekolah dasar yang merupakan calon generasi dan pemimpin di masa depan harus dibudayakan berperilaku jujur untuk menggantikan generasi dan pemimpin di zaman ini yang terkenal akrab dengan budaya korupsi. Sekolah anak saya, yakni sekolah dasar negeri di daerah Bekasi, tidak luput dari program pemerintah yang bervisi mulia tersebut.

Ketika saya menyaksikan pertama kali kantin kejujuran di sekolah anak saya, kondisi kantin itu betul-betul sakral dan tidak ada penjaganya. Tulisan spanduk di atas kantin yang berbunyi “Allah Maha Melihat, Malaikat pun mencatat”, menjadi alasan kenapa kantin itu tidak perlu dijaga oleh seorang pramuniaga. Seorang anak yang ingin membeli makanan atau barang, tinggal melihat harga pada label yang melekat, lalu mengambil makanan atau barang dimaksud, kemudian menaruh uang pas di sebuah kotak uang yang disediakan. Jika merasa uangnya berlebih, bisa mengambil uang kembalian atau diinfaqkan kelebihannya itu. Ada dua potensi kebaikan di sana, yakni berlaku jujur dan berlaku dermawan dengan menginfaqkan kelebihan uang atas makanan atau barang yang diambil.

Sabtu kemarin, anak saya berkenan mencari perlengkapan seragam sekolah berupa pengikat dasi pramuka berlogo tunas kelapa. Ia memberi referensi untuk membeli di kantin kejujuran sekolahnya. Dari situlah mengalir pembicaraan dengan anak saya tentang fenomena kantin kejujuran yang banyak mengalami kebangkrutan akhir-akhir ini. Pembicaraan berlangsung di atas sepeda motor ketika saya hendak mengantar menuju sekolahnya pagi itu.

Saya berujar, “Nak, Abi baca di berita banyak kantin kejujuran yang bangkrut atau rugi.”

Anak saya agak kaget dan merespon, “Iya, Bi?”. Saya melanjutkan, “Iya, karena ternyata banyak yang berlaku tidak jujur. Misal mengambil barang harganya Rp 2.500, dia ngasihnya Rp 2.000 atau cuma Rp 1.000. Lama-lama barangnya habis dan uang untuk membeli barang lagi tidak cukup.” Ia menimpali, “Iya sih. Tapi kalau anak-anak (teman-teman) sih jujur. Orang-orang dewasa tuh yang nggak jujur.” Yang dimaksud orang-orang dewasa oleh anak saya adalah bapak-bapak/ibu-ibu yang mendampingi anak-anaknya di sekolah dan ketika sang anak membutuhkan sesuatu mereka juga berbelanja di kantin kejujuran itu.

Jawaban spontan dan polos dari anak saya, setidaknya sedikit membuka mata bahwa ternyata budaya jujur bukannya tidak berhasil diterapkan lewat sebuah kantin kejujuran di sekolah, tetapi agaknya intervensi dari orang tua (yang tidak mau jujur) yang menghambat internalisasi dari budaya jujur itu di kalangan anak-anak. Pendidikan di sekolah tetap saja berpijak dari pendidikan yang ada di rumah. Jika orang tua membudayakan dan sangat menjunjung perilaku jujur, maka kejujuran anak pun mudah dibudayakan di mana saja. Namun sebaliknya, jika orang tua sulit untuk berperilaku jujur, maka membudayakan sikap jujur dengan resiko apapun pada seorang anak akan terasa sangat sulit.

Saya membayangkan, jika anak saya bisa saya perintahkan untuk jujur atau berinfaq atas kelebihan uang jika memang tidak ada kembalian. Bagaimana dengan orang tua lain yang kondisinya serba pas-pasan dan amat terbatas? Bukannya ini justru peluang (untuk berlaku menyimpang) bagi mereka? Tidak dipungkiri bahwa cukup banyak orang tua berekonomi sulit menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar tempat anak saya bersekolah. Jadi apa yang diungkap oleh anak saya cukup beralasan. Terlebih jika saya mengingat bahwa anak saya itu cukup jeli dan kritis mengamati perilaku orang-orang disekitarnya.

Keterpurukan ekonomi boleh jadi memunculkan pandangan dan moral hazard (perilaku buruk) bahwa kantin kejujuran adalah “rahmat” sehingga mereka terbantu memenuhi kebutuhan anak-anaknya tanpa harus mengeluarkan biaya yang sepadan. Naudzubillah, jika memang hal ini yang terjadi, nampaknya membangun kejujuran merupakan sebuah agenda besar di negara kita. Kondisi masyarakat yang terpuruk kehidupan ekonominya cukup memperparah pembudayaan perilaku jujur, utamanya di kalangan anak-anak. Mereka yang dibekali nilai-nilai aqidah (keimanan) yang memadai saja yang mampu bersabar atas kondisi yang bisa menjerumuskannya itu. Adalah benar dan logis bahwa Sesungguhnya kefakiran itu bisa menjadikan seorang hamba dekat dengan kekufuran. Demikian sabda Rasul Saw yang sering kita dengar dari uraian para mubaligh dan khotib.

Tidak lama kami menaiki sepeda motor, sampailah kami pada sekolah akan saya dan sepada motor saya hentikan di depan kantin kejujuran. Sudah cukup lama saya tidak mampir dan memperhatikan kantin kejujuran itu. Namun di pagi setelah pembicaraan itu, ketika mengantar sang anak membeli barang di sana, saya jadi mengamati bahwa ternyata kondisi katin kejujuran sekolah sudah berubah dari setting awalnya. Ini sedikit menjawab pertanyaan saya kenapa kantin kejujuran di sana bisa bertahan dan tidak bangkrut sebagaimana terjadi di banyak kantin kejujuran sekolah lainnya. Rupanya sudah ada pramuniaganya di sana. Jadi kondisinya seperti kantin biasa meski spanduknya masih bertulis “Kantin Kejujuran”.

Saya terbayang pada orang-orang yang taat berlalu lintas ketika sadar ada polisi yang mengawasi. Saya juga terbayang pada bus PPD RMB dulu yang penumpangnya membayar “sukarela” yang sekarang tidak diberlakukan lagi karena boleh jadi tidak efektif. Oh, rupanya sudah banyak upaya membangun kejujuran dilakukan namun sampai detik ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Demikian pula dengan kantin kejujuran ini. Rupanya jika kantin kejujuran ingin bertahan, slogan “Allah Maha Melihat, Malaikat pun mencatat” belumlah cukup efektif diterapkan. Namun harus diiringi slogan lainnya agar menjadi efektif meski tidak harus ditulis, yakni “ Pramuniaga melihat dan pramuniaga pun mencatat”.

Waallahua’lam Bishshawaab.

muhammadrizqon.multiply.com