Salah satu fenomena menarik berkait dengan upaya membudayakan perilaku jujur sebagai gaya hidup adalah penggalakan pembangunan kantin kejujuran di lingkungan sekolah dasar. Murid-murid sekolah dasar yang merupakan calon generasi dan pemimpin di masa depan harus dibudayakan berperilaku jujur untuk menggantikan generasi dan pemimpin di zaman ini yang terkenal akrab dengan budaya korupsi. Sekolah anak saya, yakni sekolah dasar negeri di daerah Bekasi, tidak luput dari program pemerintah yang bervisi mulia tersebut.
Ketika saya menyaksikan pertama kali kantin kejujuran di sekolah anak saya, kondisi kantin itu betul-betul sakral dan tidak ada penjaganya. Tulisan spanduk di atas kantin yang berbunyi “Allah Maha Melihat, Malaikat pun mencatat”, menjadi alasan kenapa kantin itu tidak perlu dijaga oleh seorang pramuniaga. Seorang anak yang ingin membeli makanan atau barang, tinggal melihat harga pada label yang melekat, lalu mengambil makanan atau barang dimaksud, kemudian menaruh uang pas di sebuah kotak uang yang disediakan. Jika merasa uangnya berlebih, bisa mengambil uang kembalian atau diinfaqkan kelebihannya itu. Ada dua potensi kebaikan di sana, yakni berlaku jujur dan berlaku dermawan dengan menginfaqkan kelebihan uang atas makanan atau barang yang diambil.
Sabtu kemarin, anak saya berkenan mencari perlengkapan seragam sekolah berupa pengikat dasi pramuka berlogo tunas kelapa. Ia memberi referensi untuk membeli di kantin kejujuran sekolahnya. Dari situlah mengalir pembicaraan dengan anak saya tentang fenomena kantin kejujuran yang banyak mengalami kebangkrutan akhir-akhir ini. Pembicaraan berlangsung di atas sepeda motor ketika saya hendak mengantar menuju sekolahnya pagi itu.
Saya berujar, “Nak, Abi baca di berita banyak kantin kejujuran yang bangkrut atau rugi.”
Anak saya agak kaget dan merespon, “Iya, Bi?”. Saya melanjutkan, “Iya, karena ternyata banyak yang berlaku tidak jujur. Misal mengambil barang harganya Rp 2.500, dia ngasihnya Rp 2.000 atau cuma Rp 1.000. Lama-lama barangnya habis dan uang untuk membeli barang lagi tidak cukup.” Ia menimpali, “Iya sih. Tapi kalau anak-anak (teman-teman) sih jujur. Orang-orang dewasa tuh yang nggak jujur.” Yang dimaksud orang-orang dewasa oleh anak saya adalah bapak-bapak/ibu-ibu yang mendampingi anak-anaknya di sekolah dan ketika sang anak membutuhkan sesuatu mereka juga berbelanja di kantin kejujuran itu.
Jawaban spontan dan polos dari anak saya, setidaknya sedikit membuka mata bahwa ternyata budaya jujur bukannya tidak berhasil diterapkan lewat sebuah kantin kejujuran di sekolah, tetapi agaknya intervensi dari orang tua (yang tidak mau jujur) yang menghambat internalisasi dari budaya jujur itu di kalangan anak-anak. Pendidikan di sekolah tetap saja berpijak dari pendidikan yang ada di rumah. Jika orang tua membudayakan dan sangat menjunjung perilaku jujur, maka kejujuran anak pun mudah dibudayakan di mana saja. Namun sebaliknya, jika orang tua sulit untuk berperilaku jujur, maka membudayakan sikap jujur dengan resiko apapun pada seorang anak akan terasa sangat sulit.
Saya membayangkan, jika anak saya bisa saya perintahkan untuk jujur atau berinfaq atas kelebihan uang jika memang tidak ada kembalian. Bagaimana dengan orang tua lain yang kondisinya serba pas-pasan dan amat terbatas? Bukannya ini justru peluang (untuk berlaku menyimpang) bagi mereka? Tidak dipungkiri bahwa cukup banyak orang tua berekonomi sulit menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar tempat anak saya bersekolah. Jadi apa yang diungkap oleh anak saya cukup beralasan. Terlebih jika saya mengingat bahwa anak saya itu cukup jeli dan kritis mengamati perilaku orang-orang disekitarnya.
Keterpurukan ekonomi boleh jadi memunculkan pandangan dan moral hazard (perilaku buruk) bahwa kantin kejujuran adalah “rahmat” sehingga mereka terbantu memenuhi kebutuhan anak-anaknya tanpa harus mengeluarkan biaya yang sepadan. Naudzubillah, jika memang hal ini yang terjadi, nampaknya membangun kejujuran merupakan sebuah agenda besar di negara kita. Kondisi masyarakat yang terpuruk kehidupan ekonominya cukup memperparah pembudayaan perilaku jujur, utamanya di kalangan anak-anak. Mereka yang dibekali nilai-nilai aqidah (keimanan) yang memadai saja yang mampu bersabar atas kondisi yang bisa menjerumuskannya itu. Adalah benar dan logis bahwa Sesungguhnya kefakiran itu bisa menjadikan seorang hamba dekat dengan kekufuran. Demikian sabda Rasul Saw yang sering kita dengar dari uraian para mubaligh dan khotib.
Tidak lama kami menaiki sepeda motor, sampailah kami pada sekolah akan saya dan sepada motor saya hentikan di depan kantin kejujuran. Sudah cukup lama saya tidak mampir dan memperhatikan kantin kejujuran itu. Namun di pagi setelah pembicaraan itu, ketika mengantar sang anak membeli barang di sana, saya jadi mengamati bahwa ternyata kondisi katin kejujuran sekolah sudah berubah dari setting awalnya. Ini sedikit menjawab pertanyaan saya kenapa kantin kejujuran di sana bisa bertahan dan tidak bangkrut sebagaimana terjadi di banyak kantin kejujuran sekolah lainnya. Rupanya sudah ada pramuniaganya di sana. Jadi kondisinya seperti kantin biasa meski spanduknya masih bertulis “Kantin Kejujuran”.
Saya terbayang pada orang-orang yang taat berlalu lintas ketika sadar ada polisi yang mengawasi. Saya juga terbayang pada bus PPD RMB dulu yang penumpangnya membayar “sukarela” yang sekarang tidak diberlakukan lagi karena boleh jadi tidak efektif. Oh, rupanya sudah banyak upaya membangun kejujuran dilakukan namun sampai detik ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Demikian pula dengan kantin kejujuran ini. Rupanya jika kantin kejujuran ingin bertahan, slogan “Allah Maha Melihat, Malaikat pun mencatat” belumlah cukup efektif diterapkan. Namun harus diiringi slogan lainnya agar menjadi efektif meski tidak harus ditulis, yakni “ Pramuniaga melihat dan pramuniaga pun mencatat”.
Waallahua’lam Bishshawaab.
muhammadrizqon.multiply.com
0 komentar:
Posting Komentar