Kenapa Harus Marah

Siapa saja, kalau ada hak-haknya tidak diindahkan oleh orang lain maka ia akan menimbulkan sikap yang berlawanan. Sikap inilah yang sering kelihatan manakala seseorang merasa dirinya diabaikan begitu saja. serasa tidak berharga dan tidak dipandang oleh orang lain. Apalagi dalam realitanya ia lebih baik dari pada yang lain. Maka sikap marah adalah ekspresinya.

Tentu setiap kita pernah marah. Apapun alasannya, jika hal tersebut tidak berkenan dalam hati kita, maka sikap yang muncul cenderung negatif. Marah, jengkel, kesal dan lain sebagainya akan muncul beriringan dengan rasa ego yang ada. Dan tidak sedikit dari orang-orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya, melahirkan sikap negatif yang merugikan, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga orang yang ada disekitar.

Satu kali aku menaiki angkutan umum dari mahattah (halte) akhir hay ‘Asyir menuju hay Sabi’. Di pertengahan jalan, di mahattah Gami ada seorang penumpang memberhentikan angkutan yang sedang kukendarai tersebut. Orangnya masih muda, kutaksir usianya sekitar dua puluh tujuhan. Mungkin, karena musim panas, padahal waktu itu malam, tapi kondisi mendukung untuk memeperpanjang masalah yang ada.

Berawal dari ketidaksepakatan penumpang terhadap ongkos angkutan itu. Sebenarnya, dalam hal ini yang salah adalah supir. Karena ia memasang tarif ongkos yang tidak seperti biasanya. Untuk jarak asyir ke sabi’ standarnya adalah tujuh puluh lima qirsy. Kalau Cuma sampai Enpi, karena belum sampai sabi’ maka cuma lima puluh qirsy. Nah, si penumpang protes, dengan tujuan Enpi, ongkos yang diambil sama dengan tujuan Sabie. Pertengkaran pun terjadi. Antara penumpang dan sopir, saling berkeras ditengah perjalanan. Caci maki, sesekali terlontar dari keduanya, dan si penumpang tadi minta diturunkan di mahattah berikutnya. Ia pun meminta penuh kembali ongkos yang diambil. Namun, bukan selesai masalah, tapi kembali membuka debat panjang.

Kita sering bilang, berantem orang mesir Cuma sekedar perang mulut. Laga alasan, siapa yang paling kuat dia yang menang. Siapa yang paling keras suaranya dia yang menang. Tapi, ya begitu. Kadang tidak ada yang mau mengalah. Sama-sama keras dan sama-sama mau menang. Kalau tidak ada yang melerai, mungkin mereka bisa bertengkar berhari-hari.

Ada satu yang unik. Orang mesir suka ribut, bertengkar mulut, namun melerai mereka ditengah pertengkaran tidak terlalu sulit. Sama seperti yang terlihat ketika itu, sewaktu si penumpang turun, mobil diberhentikan dan sopir juga turun. Mereka bertengkar cukup lama. Kalaulah tidak seorang penumpang di antara kami melerai mereka, pasti tambah lama. Cukup dengan kata shallu alan nabiy, menyuruh mereka bersalawat, dan emosipun redah. Pertengkaran pun bisa berhenti.

Juga, yang lebih beda adalah mereka bisa hanya marah di mulut, tanpa harus dimasuki ke dalam hati. Selesai bertengkar, selesai masalah. Tidak ada lagi yang namanya dendam. Jadi kesannya, cepat marah cepat pula hilangnya.

Dalam salah satu hadis rasulullah saw pernah bersabda; orang yang kuat bukan dilihat seberapa hebatnya dia berkelahi, tapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai emosinya ketika marah.

Penggambaran rasul mengenai orang hebat adalah penggambaran yang sangat tepat. Karena memang sehebat-hebatnya seseorang, dia tidak akan mungkin mampu mengalahkan lawan kalau tidak bisa mengendalikan emosi. Sebab, dalam bertanding di arena sekalipun, kalau cuma mengandalkan kekuatan tanpa mengindahkan cara, mustahil akan menang. Dan cara untuk mengalahkan lawan tidak mungkin ada kalau saat bertanding dirinya tidak mampu mengendalikan emosi. Sehingg yang terjadi, serangan demi serangan yang dilancarkan, berlalu sia-sia. Sebab tidak ada tekhnik yang mengendalikannya.

Itu kalau kita lihat dalam arena pertandingan. Dalam kehidupan juga tidak jauh beda. Sama seperti saat bertanding, seketika ada sesuatu yang memancing kemarahan sesungguhnya itu adalah pintu kelemahan seseorang. Kalau ia terdorong untuk masuk ke pintu itu, tanpa ada kendali sedikitpun, maka yang akan terjadi dibelakang hari adalah penyesalan.

Perhatikan orang-orang yang dikuasai nafsu amarahnya. Ia cenderung bertindak sembarangan. Tanpa pikir panjang, terkadang ia melakukan hal-hal yang justru membuat dirinya malu. Karena orang yang sedang marah, apalagi sampai berlebihan, sulit rasanya berfikir rasional. Yang penting, apa yang ada dihadapannya, dan puas hatinya meluapkan emosi kemarahan, itulah yang akan dilakukan tanpa berfikir apa dampak sesudahnya.

Marah juga demikian. Kalau tidak cepat distabilkan akan membuat segala sesuatu menjadi runyam. Tidak sedikit, ada orang yang marah tanpa sebab dan alasan, maka orang-orang disekitarnya juga kebagian. Dengan kata lain orang yang makan nangka kita yang kena getahnya. Contoh , dalam keluarga kalau orang tua kita ada masalah, terus kita ada di situ, kita juga bisa menjadi lampiasan kemarahannya. Padahal, sama sekali tidak ada kaitannya.

Marah yang tak terkendali juga akan melahirkan dendam yang berkepanjangan. kalau dirinya belum puas, malah keturunannya juga diwariskan untuk benci pada orang-orang yang menjadi musuh orang tuanya. Jadilah apa yang disebut dendam tujuh turunan. Dari bapak, anak, cucu, cicit semuanya diwariskan untuk membencinya. Wal hasil, kerukunan hidup bermasyarakat juga akan terganggu.

Apalagi kalau marah itu munculnya dalam kalangan rumah tangga. Apalah arti tinggal di rumah gedung, tapi bagai neraka. Siang malam tak henti-hentinya bertengkar. Memang benar, pertengkaran dalam rumah tangga adalah romantika kehidupan. Tapi kalau keseringan itu mala petaka. Dan itu tugas syaitan untuk memisahkan anggota keluarga satu sama lain. Karena kalau sudah yang namanya broken home, pasti bakal menjalar ke hal-hal yang lain. Kalau semua keluarga seperti itu, artinya masyarakatnya juga broken. Kalau masyarakat broken, artinya negara juga broken. Naudzubillah minzalik

http://madhan-syah.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar