Aku sedang menyendok sepiring nasi uduk, lengkap dengan bakwan dan sambel kacang khas buatan Bunda. Sesendok dua sendok nasi ku suap ke dalam mulutku, tiba-tiba ku dengar suara lemah itu membuka bicara.
" Ci . . Kalo kamu ngga pulang ke rumah, emangnya di kosan kamu ngga inget Mama ya?" tanyanya dengan wajah sewajar mungkin.
Hampir aku tersedak. Tapi ku rapikan air wajahku. Ku jawab tanya itu dengan segaris senyum," kok Mama bilang gitu?" ku balas tanya dengan tanya.
"Habis . . . kamu ngga nelpon-nelpon. Sampe 2 minggu baru pulang, kan jaraknya deket. . "
Aku tak bisa menjawab. Ku jawab halus dalam hati.
Ahh, Bund! Aku bahkan tak tahu apa alasan yang sebenarnya.
Jika ku jawab karena aktivitasku di luaran? Jika ku jawab karena tersitanya waktuku untuk tugas yang jadi radang? Jika ku jawab dengan pembenaran-pembenaran lain atas nama statusku yang adalah mahasiswa?
Ahh . . semua hanya alasan.
Padahal aku punya waktu, Bund!
3 Jam dari 1 hari aktivitasku, pastinya ada waktu yang ku gunakan untuk beristirahat.
Sangat mungkin aku menggunakannya untuk pulang kerumah. Perjalanan Pulang-Pergi antara Bintaro-Kemang pun hanya makan waktu 2 jam dengan mengendarai motor. Lantas ada waktu satu jam untuk bersenda di rumah, mencium tanganmu dan memeluk tubuhmu yang kian rengkuh.
Aku larut dalam khayalan kemungkinan itu.
Tersadar,
Aku menjejak kembali ke bumi.
Kau bercerita. Tentang sakitmu yang rasanya kian berangsur membaik.
Ya, Bunda! Sejak kau divonis memiliki tumor itu. Emosimu senantiasa teraduk tak tentu. Kerutan diwajahmu aku rasa bertambah. Peluh perih yang kau rasa terlihat melalui ringisan sesaat dari wajahmu yang kadang hadir. Alhamdulillah, gurat keputusasaan itu tidak hadir lagi.
Kau bercerita dengan wajah sumringah. Senyum yang sudah 2 minggu tak terekam di otakku, kini terpasang tegas di wajahmu. Kau bercerita betapa kau bersyukurnya dengan perkembangan hasil terapi itu. Kau bercerita tentang kebaikan-kebaikan yang terdapat pada orang yang mengobatimu. Juga kau bercerita tentang biaya pengobatan itu yang dirasa mahal.
Kau bercerita dengan penuh ambisi untuk mengenyahkan tumor itu dari tubuhmu.
Ingin rasanya saat itu tangis ini luruh. Tapi aku tak ingin lihat kau khawatir. Mengira aku tak stabil.
Bund, aku sungguh bersyukur.
Lalu, ayah bercerita serupa. Tentang semakin baiknya ibadahmu. Tentang semakin baiknya tata emosimu. Juga tentang berangsur baiknya penyakitmu.
Aku jadi teringat. Teringat cerpen-cerpen yang kubaca. Tentang aktivis yang kadang tak peka terhadap keluarganya sendiri. Akibat apa? Akibat kebaikan-kebaikan yang menyibukkannya di lapangan. Lantas menjadi tersilap kondisi keluarga yang bisa jadi tak lebih baik.
Apalah jadinya jika kesibukan itu hanya pikiran, padahal Alloh tak nilai demikian? Akan dikemanakan pengharapan atas kebaikan yang sempat tertanam?
Apalah arti kegiatan-kegiatan yang menyibukkanku selama ini jika ku tak menghargai keberadaan orangtua ku yang jauh menjagaku. Menjadikanku berfikrah seperti sekarang. Menjadikanku bertabiat seperti sekarang. Mengukir perangai laku ku layaknya saat ini?
Jika orang-orang yang dekat denganku saja tak bisa ku curahi kasih dengan sebaik-baiknya. Lantas, apa yang membuatku percaya diri untuk bersosialisasi di luar? Apa yang ku harapkan untuk diriku sendiri jika ku tak mampu mencintai orang-orang terdekatku dengan sebenar cinta?
Mengapa orang-orang yang terdekat dengan kita selalu jadi bagian terlupa?
Mengapa cinta mereka seolah terhapus sehingga mudah bagi kita mendahulukan kepentingan yang lain daripada kepentingan mereka?
Ayah . . bunda, jika saja aku tak hidup lewat perantara kalian. Apa aku sekarang?
Ayah . . bunda, jika saja kau biarkan aku tanpa kasih dan curahan perhatian. Apa yang melukis hariku hingga sekarang?
Ayah . .bunda, jika saja kalian tak berkorban. Akan jadi apa aku sekarang??
Semoga silap yang menghijabi kepekaan hati ini mampu sedikit-demi sedikit memudar.
Sadarkan aku, Bund! Saat aku harusnya menjadi sebaik-baik diriku untukmu.
Sadarkan aku, Yah! Saat aku harusnya mempersembahkan sebaik-baik bakti pengganti cinta kalian.
Ya Rabb, aku mungkin sering terlupa. Seringnya tak menyadari. Tapi Kau Yang Maha Hidup di hati-hati hambaMu, maka hidupkan hati-hati orangtuaku dengan cahayaMu.
Ya Rabb, aku mungkin tak bisa persembahkan bakti sempurna. Tapi Kau yang Maha Segalanya, maka lengkapi ketidakberdayaanku dengan rahmatMu untuk Kau titipkan di hari-hari mereka.
Ya Rabb, aku mohon dengan sangat. Saat nanti aku benar-benar tak memiliki pembenaran alasan selain kematian yaitu tidak bisa membersamai mereka dalam masa-masa ringkih mereka maka jadikanlah pada hati-hati mereka, Dirimu sebagai sebaik-baik tempat berteduh bagi mereka. Selamanya . .
*faraziyya.multiply.com
0 komentar:
Posting Komentar