Menolong, Pekerjaan Paling Nikmat

Bayu Gawtama

Seringkali saya melihat seorang pemuda dengan sabar menyeberangkan seorang tunanetra, tangannya erat menuntun agar terhindar dari kecelakaan. Di lain tempat, pemuda lainnya memanfaatkan dua tangan kuatnya untuk membantu seorang ibu menjinjing barang belanjaan. Bukan, ia bukan kuli angkut di pasar yang biasa menjual tenaganya. Tapi ini benar-benar seorang pemuda yang dengan ikhlas membantu tanpa pamrih. Sementara itu, seorang gadis terlihat sopan mengobati luka seorang pengendara motor yang terjatuh. Dari dalam mobilnya, ia mengambil kotak obat, kemudian memberikan pertolongan pertama.

Cukupkah bagi saya hanya sebagai penonton dari aksi yang dilakukan orang-orang itu? Tentu tidak. Dari hari ke hari semakin banyak episode-episode kebaikan yang tak henti berlalu lalang di depan mata ini, semakin terdorong diri ini untuk mengetahui motif apa yang membuat mereka mau dan rela melakukan itu semua. Nampaknya agak nakal saya ketika harus bertanya tentang ’motif’ mereka, seolah saya meragukan niat ikhlas mereka dan menggantinya dengan motif kacangan, seperti imbalan materi, pamer kesalihan atau tebar pesona.

Tapi, tetap saja saya tergelitik untuk terus bertanya, dan maafkan kalau saya memang terlalu lancang untuk menanyakannya. Bukan berarti selama ini saya tak pernah menolong orang lain. Sebab katanya, orang Indonesia itu sangat ramah dan saling tolong menolong. Tapi entah kenapa, saya lagi-lagi harus bertanya tentang motif kebaikan yang dilakukan orang lain. Aksi tanya menanya itu berhenti ketika seorang sahabat yang menjadi ’korban’ pertanyaan saya menjawabnya dengan kalimat tegas, ”Berhentilah bertanya, lakukan saja”.

Kemudian saya pun tak lagi melulu menjadi penonton. Setiap kali ada kesempatan untuk menolong tak terbuang sia-sia. Saya upayakan tak terlewatkan dengan kalimat andalan, ”maaf” atau berkilah sambil berharap orang lain akan membantunya. Saya percaya betul, bahwa kesempatan berbuat baik itu kadang tak datang dua kali. Sekali terlewati, sudah itu tak ada lagi. Sekali kita buang kesempatan baik itu, esok tak bertemu lagi. Tinggallah kita berharap Allah mau memberikan kesempatan kedua agar kita bisa berbuat baik.

***

Seorang bapak berusia senja memeluk saya erat seolah tak ingin saya pergi dari hadapannya. ”Datanglah ke sini kapan pun, rumah kami selalu terbuka untuk anda,” ujarnya terbata-bata. Isterinya tak henti menahan-nahan saya agar tetap tinggal, kalau perlu ia mempersilahkan memilih satu dari beberapa cucunya yang mulai tumbuh dewasa untuk dipersunting. Aih.

Di lain tempat, seorang ibu tak henti berucap terima kasih hanya karena lima ribu rupiah yang saya berikan kepadanya. Ia mengaku kehabisan ongkos untuk kembali ke rumah, sambil menangis ia meminta uang untuk bisa sampai pulang.

Nampaknya saya tak perlu lagi bertanya kenapa begitu banyak orang mau menolong sesama. Pertanyaan itu tak lagi menggelitik rasa penasaran saya, dan telah terhenti. Tak perlu pula ada yang menjawab kenapa orang tak bosan berbuat kebaikan untuk orang lainnya. Karena saya telah menemukan sendiri jawaban itu. Ternyata, menolong itu nikmat. Bahkan bisa dibilang pekerjaan paling nikmat yang pernah saya tahu, saya kerjakan, dan coba saya jadikan kebiasaan dalam hidup.

Menolong tak selalu berupa materi, tak melulu berbentuk harta. Bisa jadi hanya sebuah doa yang tulus jika memang raga tak mampu, harta pun tak ada. Jika waktu tak ada, namun ada sedikit rezeki, bisalah kita membantu. Sungguh, berbuat kebaikan terhadap sesama, tak saja nikmat, tapi juga sebuah investasi dunia akhirat. Percayalah.***


Penulis adalah anggota Communication Team Aksi Cepat Tanggap (ACT)

Beratkah Berucap 'Terima Kasih'?

Sudahkah kalimat “terima kasih” selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah membantu Anda? Jika ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang berbicara tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin saja termasuk saya.

Nyaris setiap hari, setiap jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai nan sigap yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat. Tapi terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?

Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?

Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, “Jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.

Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, serta merta sang isteri dibantu si kecil membukakan sepatu dan kaus kaki, kita pun berpikir, itu sudah kewajiban mereka; Melayani kita yang bekerja seharian. Andai isteri mendengar kalimat itu, mungkin ia akan berujar, “Kamu pikir saya di rumah hanya tidur-tiduran saja?”

Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima kasih kepada isteri yang setiap malam menemani saya tidur, atau berterima kasih kepada Si Euceu yang setiap pukul 05.30 sudah datang untuk membantu isteri saya mencuci pakaian. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya. “Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?

Kita sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. Isteri dan anak-anak, misalnya. Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?

Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir angkot.

Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.

Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.

Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu terucapkan.

Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya. ***

Bayu Gawtama

Pelajaran Maaf dari Sang Pengantar Air

Hal yang sangat rawan hidup di kawasan perkotaan Surabaya saat ini adalah masalah air bersih, terutama untuk minum dan masak. Menggunakan air PDAM untuk keperluan itu masih harus berpikir seribu kali, kecuali saya tidak lagi berpikir soal kesehatan keluarga sepuluh dua puluh tahun ke depan. Betapa tidak! Jika menggunakan air pemerintah itu, sebulan saja bak mandi tidak dibersihkan, endapan kotoran di dasar dan dindingnya cukup untuk mengisi ulang pasta gigi kita yang habis. Itu kalau putih, lha kalau hitam?

Oleh karena itu, saya berlangganan air bersih isi ulang yang didatangkan dari kawasan pegunungan Prigen, Pandaan. Setidaknya demikianlah yang saya pernah baca di punggung tangki air yang memasok toko air isi ulang langganan saya. Sedangkan air PDAM hanya saya gunakan untuk keperluan MCK dan menyiram halaman atau tanaman di depan rumah.

Harga air isi ulang yang belum dimasak Rp 1.500,- per galon, lebih murah seribu rupiah daripada yang sudah dimasak. Sebulan biasanya kami menghabiskan 8-12 galon dalam 2-3 kali pemesanan. Ditambah ongkos kirim ke rumah Rp 500,- per galon, maka jadilah per bulan saya keluar duit sekitar Rp 16.000,- s.d. 24.000,- untuk membeli air bersih isi ulang ini. Tentu saja sangat murah jika dibandingkan dengan kesehatan badan jika sedang terkena ujian sakit.

Tak terasa, hal demikian sudah berlangsung hampir 2,5 tahun sejak kami tinggal di Surabaya ini. Bagi saya, pemandangan ini menjadi rutinitas biasa yang sama sekali lepas dari pengamatan saya, hingga pada suatu hari, pengantar air isi ulang langganan keluarga saya itu datang ke rumah. Ia memang sedang mengantar 4 galon air pesanan istri saya seperti biasa. Saya sendiri sedang di kantor. Seperti biasa pula, Mbak Mis, khadimah kami di rumah mengawasi pemuda pengantar air itu membawa 4 galon air ke ruang dapur, menukarnya dengan 4 buah galon kosong, memberikan uang pembelian air, dan menerima kuitansinya. Yang tidak biasa, ia minta bertemu dengan istri saya. Istri saya pun dengan penuh tanda tanya keluar menemui pemuda itu.

"Ada apa, Mas?" tanya istri saya keheranan.

"Begini, Bu. Mungkin, ini terakhir kali saya mengantar air ke rumah Ibu," kata pemuda itu.

"Lho, memangnya kenapa? Apa mau kerja di tempat lain?" selidik istri saya.

"Nggak, Bu. Saya berencana untuk mondok di pesantren. Mau mengaji, Bu," katanya terus terang.

"Oh, ya bagus sekali itu," jawab istri saya surprised. "Lantas, ada apa pengin menemui saya?"

"Emm, saya pengin minta maaf, Bu. Barangkali selama saya mengantar air ke tempat ini ada salah terhadap Ibu dan keluarga di sini."

Masih dengan suara bergetar istri saya menceritakan kejadian itu malamnya kepada saya. Betapa seorang yang tidak pernah kita perhitungkan, bahkan cenderung kita lupakan, masih memiliki pribadi yang begitu rendah hati. Meminta maaf adalah soal gampang. Sekarang bahkan lewat SMS saja bisa. Tetapi, pemuda pengantar air ini saya bayangkan mendatangi pelanggannya satu demi satu untuk berpamitan dan sekaligus meminta maaf. Subhanallah!

Saya lalu seperti tiba-tiba teringat pada pemuda itu. Ia kecil, setengah kerempeng. Tingginya sekitar 165 cm. Sederhana, setidaknya cara dia berpakaian. Tipikal pemuda desa. Umurnya mungkin baru 22 tahunan. Rambut ikal. Warna kulit cenderung coklat sawo matang. Bentuk mukanya agak kotak seperti vas bunga dua dimensi. Nah suatu pagi beberapa bulan silam, pemuda itu mengantar air ke rumah, pesanan istri saya. Entah mengapa, motor roda tiga pengangkut airnya menyenggol mobil milik kantor yang saya parkir di luar rumah. Saya bergegas ke depan rumah dan menemukan pemuda itu sedang menatap mobil saya dengan muka pasi. Lumayan. Pada body belakang di atas roda kiri mobil itu ada bekas goresan cukup dalam memanjang sekitar 20 cm.

"Maaf, tergores, Pak!" katanya dengan nada penuh penyesalan.

"Wah, gimana Anda ini?" hardik saya sambil memperhatikan goresan itu. Tidak cukup kalau hanya didempul atau ditutupi dengan Kit penutup goresan. "Anda harus bertanggung jawab!"

Ia tampak bingung. "Maksud Bapak gimana?"

"Ini mobil kantor, Mas, bukan mobil saya. Tolong dimasukkan bengkel," pinta saya. "Setahu saya, mengecat satu bagian body itu bisa habis 500 ribu."

Ia tercengang. "Lima ratus ribu, Pak?"

"Ya," jawab saya tanpa mengurangi volume suara. "Kecuali mobil ini diasuransikan oleh kantor. Saya mesti tanya dulu. Biasanya untuk bayar klaim 100 ribu jika ditanggung asuransi."

Pemuda itu seperti linglung. Syukurlah saya masih sempat terpikir, barangkali duit seratus ribu itu besar buatnya.

"Sudahlah," kata saya akhirnya. "Siapkan saja 100 ribu.
Mudah-mudahan mobil ini ditanggung asuransi. Nanti saya kabari ke toko."

"Ya, Pak. Tapi saya butuh waktu untuk menyediakan uang itu,"
katanya menawar.

Begitulah kejadian itu seketika saya ingat kembali. Waktu itu pertimbangan saya sih agar ia bertanggung jawab dan di waktu mendatang lebih berhati-hati lagi membawa motor roda tiganya. Tetapi, hari ini, ketika ia baru saja berpamitan siang tadi, saya seperti dipaksa berpikir kembali. Jika saja dalam sehari ia bisa mengirim 10 galon air, maka jika sebulan ia masuk 22 hari, ia bisa mengirim 220 galon air. Itu setara dengan uang kira-kira Rp 550.000,- yang disetorkan ke pemilik toko. Jika ia mendapat insentif 20% dari uang hasil penjualan air itu, maka ia sebulan akan mendapat Rp 110.000,- saja. Andai ia menerima gaji secara persentase tergantung dari banyaknya galon air yang berhasil ia jual, maka ia hanya akan mendapat 110.000 sampai 150.000 sebulan barangkali. Jika ia harus makan 3x sehari @Rp 1.500,- maka untuk makan saja sebulan perlu Rp 135.000,- Katakanlah ia puasa Senin-Kamis, maka sebulan ia makan sekitar 22 hari. Itu menghabiskan Rp 99.000,- Jika ia tidak punya keperluan selain itu, maka sebulan ia bisa menyisihkan barang 30 ribu. Itu berarti ia harus mengumpulkan 3-4 bulan sisa gajinya untuk membayar klaim asuransi mobil saya yang tergores tempo hari! Untuk itupun, ia harus berpuasa Senin-Kamis.

Saya jadi lemes. Rasanya sangat berdosa membebankan pada seseorang yang santun seperti dia sesuatu yang bagi saya mungkin tak seberapa, tetapi baginya sangat besar. Meski untuk tujuan baik sekalipun.

Bersama istri saya sepakat untuk mengembalikan uang seratus ribunya itu. Mudah-mudahan ia belum keburu pergi. Dan hati saya semakin merasa bersalah saja, karena sampai detik ini, saya bahkan belum tahu siapa namanya.

Moga Allah mengampuni saya.


Surabaya, 18 Nopember 2005
Penulis Ketua FLP Jatim 2004-2006 (http://bahtiarhs dot multiply dot com)

Lahirnya Sikap Sederhana

Ketika saya kecil, kalau bedug tanda berbuka puasa berbunyi, maka betapa gembiranya saya. Makanan-makanan yang sudah saya kumpulkan sejak siang, cepat-cepat saya lahap. Kolak, bubur, buah-buahan dan lain-lainnya. Pokoknya segala makanan yang terhidang di atas meja ingin sekali saya sikat habis. Walaupun pada kenyataannya perut tidak bisa menampung semua itu.

Itu puasanya anak kecil. Orang-orang alim mengatakan itu puasa perut. Puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga di siang hari. Dan pada malam harinya bisa kembali rakus seperti singa kelaparan.

Setelah bisa berpikir dan tahu apa sebenarnya hakekat puasa yang di-syari'at-kan itu, saya baru tahu, bahwa tidak makan dan minum di siang hari, tidak harus 'balas dendam' makan sekenyang-kenyangnya di malam hari. Sebab jika semua itu terjadi, ibadah lain di malam Ramadlan, seperti shalat taraweh, tadarrus, atau yang lainnya akan sangat berat untuk dilakukan.

Puasa adalah mengekang sifat berlebih. Puasa adalah menahan kita untuk 'melahap' terlalu banyak sesuatu dari porsi yang sebenarnya. Maka Ramadhan hadir kepada kita, tiada lain adalah 'tarbiyah' untuk menuju itu semua.

Dan suatu saat saya sempat bersilaturrahmi kepada seorang kyai pesantren. Beliau mempunyai sekolahan yang cukup megah. Bangunan pesantrennyapun tak kalah megahnya. Murid dan santrinya juga banyak. Tapi begitu masuk kediaman pribadi Kyai tersebut, subhanallah, saya tercengang. Tercengang karena kesederhanaannya. Ruang tamunya saja tidak lebih bagus dari ruang tamu tetangga saya yang tukang ojek.

Maka ketika pulang dari kompleks pesantren itu, teman saya berbisik. "Itu sosok manusia yang sudah bisa mengaplikasikan puasa dalam kehidupan sehari-hari. Beliau bisa membangun rumah lebih megah dari itu. Tapi beliau tidak melakukannya. Karena sudah punya sikap ketahanan untuk tidak berlebihan."

Maka ketika suatu saat saya mencoba mengulangi lagi membaca literatur kehidupan Rasulullah, sahabat dan para pengikut-pengikutnya yang shaleh, saya tidak begitu heran lagi.
Memang harus seperti itulah sikap seorang muslim yang beriman.

Rasulullah yang Nabi, menolak ketika Allah menawarinya dengan emas sebesar gunung Uhud. Padahal emas adalah lambang kemewahan yang diburu orang sepanjang zaman. Ternyata Rasulullah SAW memilih kesederhanaan saja. Umar bin Khattab, rela hanya memakai baju satu dalam beberapa hari. Padahal ia pemimpin umat. Umar bin Abdul Aziz, melarang anaknya membeli baju baru saat lebaran, karena hati-hatinya terhadap tanggung jawabnya kelak. Lantas Ali bin Abi Thalib? Ya Allah, makanan hariannya saja sering sekali kekurangan.

Jadi sangat tidak heran jika Kyai pesantren itu bersikap seperti itu dalam kehidupan kesehariannya. Sederhana. Zuhud. Tidak berlebihan walaupun mampu untuk berbuat lebih. Karena yakin beliau berkiblat bukan kepada siapa-siapa, tetapi berkiblat kepada para 'bintang-bintang' muslim yang sudah jelas terang sinarnya. Dan sudah bisa menghasilkan takwa dari proses 'tarbiyah' Ramadhannya.***

woyo72 at yahoo dot com

Ayah (Hampir) Pensiun Kini

Beberapa kali ayah saya membicarakan tentang rencana pensiunnya. Beberapa kali pula itu saya tanggapi dengan setengah hati. Bukan karena tidak menghormati beliau tetapi saya merasa tidak bermasalah dengan pensiun itu. Toh selama ini saya sudah belajar memenuhi semua kebutuhan hidup sendiri. Justru saya senang karena ayah akan punya banyak waktu di rumah dan bisa melakukan kegemaran berkebunnya. Namun ternyata tidak hanya ayah yang ‘ribut’ masalah pensiun, tapi juga ibu. Suatu ketika dengan serius beliau membicarakan rencana pensiun ayah tersebut. Ibu membeli sawah dekat rumah, katanya untuk aktivitas ayah. Selama ini Ayah memang perlu berjalan jauh untuk ke sawah. Ayak! Segitunya. Dan kembali saya tanggapi dengan tenang. Saya setuju saja, wong itu juga investasi.

Lama-lama saya risih juga. Setiap kali pulang mudik, tidak ada ada topik lain kecuali pensiun. Setelah lama baru saya mengerti bahwa ayah saya sedang memasuki masa penyesuian untuk tahap usia selanjutnya. Dalam psikologi perkembangan dikenal dengan masa lanjut usia. Masa ini biasanya ditandai dengan mulainya pensiun atau menurunnya fungsi-fungsi tubuh baik fisik maupun psikis. Ada juga yang mengalami post power syndrome. Saya memahaminya sebagai suatu gejala perubahan respon terhadap perubahan situasi. Tak terkecuali ayah saya, tak urung pensiun itu menjadi pemicu kecemasannya. Meski beliau belum benar-benar pensiun dari pekerjaannya.

Ada sikap mental yang harus dikelola dalam masa perubahan yang dialami setiap orang. Ayah saya sedang mengalami perubahan peran, perubahan kebiasaan dan berbagai hal yang mengikuti atas perubahan statusnya kini. Dulu beliau adalah seorang guru dengan kesibukan mengajar, menyiapkan ulangan, mengoreksi ujian dan berbagai aktivitas lain sebagai pegawai negeri. Dulu ayah memiliki relasi sesama guru dan aktivitas relationship yang tentu berbeda dengan ketika nanti beliau pensiun. Dulu saya sering meminta uang dan mengharap berbagai hadiah dari beliau. Tentu nanti saya akan tak asal minta.

Saya bisa menyesuaikan masalah ini. Karena saya pun mulai melonggarkan ketergantungan saya pada orang tua. Baik itu masalah keuangan maupun keputusan-keputusan hidup. Tetapi saya kan tidak tahu sudut pandang orang tua. Mungkin kita tidak merasa perlu meminta uang saku lagi. Tetapi bisa jadi itu masalah bagi ayah, karena merasa tidak bisa memberi lagi. Sesuatu yang biasa bagi saya ketika bercerita tentang aktivitas di kantor atau bercerita tentang teman-teman kantor, padahal itu belum tentu menjadi bahan cerita yang menyenangkan bagi beliau. Ah, kini saya mengerti.

Kali ini saya akan pulang dengan padangan yang berbeda. Seorang teman menawarkan bibit pohon jati gratis ketika kami sama-sama mengikuti Jogja Education Fair. Stan kami berhadapan. Saya pun memboyong sepuluh bibit pohon jati setinggi pinggang. Sesampai di rumah saya langsung mencari ayah dan mengatakan rencana saya. Saya ingin punya hutan jati. Saya ingin kebun kami juga dipenuhi pohon pisang dan buah-buahan lain. Oya, kami juga merencanakan untuk beternak kambing untuk persiapan tahun 2009. Ehm, topik pembicaraan kami kini telah berganti. Ayah selalu melaporkan perkembangan kebun-kebun kami. Atau rencana kandang kambing kami. Tentu saya juga menaggapinya dengan antusias, meski sebenarnya saya tidak tahu-menahu tentang kambing dan pohon pisang.

Ah, sebenarnya ini adalah hal yang sederhana. Kita tak perlu mengirim orang tua kita ke panti jompo. Hal yang sering dilakukan orang ketika para orang tua kita sudah lanjut usia sedang kita memiliki kesibukan yang sangat. Tetapi kita hanya perlu memberikan perhatian dengan memberikan kebutuhannya. Saya tidak marah bila tiba-tiba ayah muncul di kampus atau di kantor bahkan pada jam-jam sibuk hingga tidak bertemu saya. Pernah suatu ketika beliau telpon ke kos saya, padahal sehari sebelumnya saya sudah izin untuk keluar kota. Pada awalnya saya marah karena merasa bersalah tidak dapat menemui atau menjawab telponnya. Saya sudah memberikan jadwal aktivitas saya, hingga harusnya beliau tahu kapan kami bisa bertemu. Tetapi, ayah saya memang punya cara yang unik dalam mengekspresikan cintanya. Saya makin mengerti. Setelah itu kami malah punya bahan cerita. Ya, Ayah pasti akan bercerita tentang “petualangannya” mencari saya tanpa ekspresi menyesal. Saya pun mendengarnya tanpa bosan.
Saya juga dengan senang hati menerima tawaran diantar ke tempat rapat, ke kampus dan lain-lain (bahkan ditunggu hingga selesai acara), meski dengan kecepatan motor setengah dari kecepatan saya. Padahal untuk sesuatu yang mendesak, saya tipe orang yang memilih naik taksi meski mahal, dari pada naik angkot berlama-lama. Bayangkan saja, Ayah mengantar saya dari Parangtritis hingga ring road selatan yang berjarak sekitar 20 km, lalu Ayah pulang ke Parangtritis lagi. Padahal perjalanan saya tinggal lima belas menit menuju kampus. Hihi, kadang saya merasa konyol. Tetapi kali ini anggap saja kami sedang ingin bernostalgia. Meski beliau kian uzur, cintanya tidak luntur. Beliau masihlah jagoan saya. Seperti dulu, beliaulah yang mengantarkan ke mana saya suka. Sebaiknya kita memang harus punya daya kompromi yang luas, demi orang tua kita.

Pada umumnya ada dua tipe orang lanjut usia, yang full activity dan disangagement, yang terus aktif dan yang lebih memilih banyak istirahat. Setelah mengenali tipe ini, kita bisa menentukan dengan tepat bagaimana seharusnya kita bersikap. Ayah saya tipe orang yang suka beraktivitas, maka sengaja saya sediakan “ruang” untuk tetap beraktivitas, tentu dengan mengikuti pergesaran perannya. Ini berbeda dengan ibu saya yang justru “pusing” melihat kegiatan saya yang tak pernah henti. Kadang-kadang saya memerlukan untuk diam di rumah, cuti atau mudik untuk sekedar tidur-tiduran atau membaca buku. Hanya demi melihat Ibu saya nampak lega karenanya. Hanya kitalah, anak-anaknya atau keluarga besarnya yang dapat mengantarkan orang tua kita pada perasaan sejahtera. Hingga beliau tak pernah merasa disisihkan karena kesibukan kita. Saya percaya setiap kita pasti mencintai beliau dengan amat sangat. Tetapi tidak setiap orang tua dapat memahami cinta kita itu. Kitalah yang harus memahami beliau dengan ekspresi cinta yang beliau sukai.

Nurika Nugraheni

Untuk semua orang tua yang “membesarkan” kita, I love you.

Jelata yang Kaya Raya

Mbah Sarni sungguh tidak paham, kenapa harga-harga berebut naik ketika ada pengumuman pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Yang ia mengerti hanyalah bahwa tempat pengisian bahan bakar di dekat perempatan jalan sebentar lagi tentu akan ramai. Akan ada antrian panjang di tempat itu karena diserbu pembeli. Itu wajar mumpung harga baru belum berlaku. Tapi kalau harga minyak goreng naik, harga cabe naik, harga tempe naik sampai harga krupuk juga naik, itu yang belum bisa ia terima dalam pemikirannya. Harusnya harga BBM naik, ya harga BBM saja. Tidak perlu sampe tempat penitipan sepeda di dekat pasar juga ikut-ikutan naik. Sehingga ia harus memberikan tambahan uang kepada cucunya yang tiap hari menitipkan sepedanya disana.

“Kenapa ya harga-harga yang lain jadi ikut naik?” Itu saja yang terus jadi pikiran janda tua ini. Kadang juga terlintas dalam pikirannya, pertanyaan mengapa pemerintah tidak bisa menjamin bahwa harga-harga yang lain tidak ikut naik. “Apa pemerintah ndak tahu kalau sekarang harga sudah pada naik? Apa tidak tahu kalau harga BBM naik, harga-harga yang lain juga bakal pada naik? Kalo tahu, kenapa tidak dipersiapkan dulu agar harga-harga yang lain tidak ikut naik?” Bingung mbah Sarni memikirkan hal itu. Tidak terjangkau pikirannya sampai pada soal-soal yang rumit seperti itu. Yang ia pikirkan sekarang, bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah pesta kenaikan harga-harga barang seperti ini.

Ia sendiri tentu akan menaikkan harga kangkung, kacang panjang dan sayuran lainnya karena harga yang ia beli memang naik. Jadi keuntungan yang didapatkan sebetulnya sama saja. Sebelum dinaikkan ya keuntungannya memang segitu. Setelah dinaikkan ya segitu-gitu juga. Tidak seberapa. Padahal ia beli langsung dari para petani sayuran yang sedang memanen hasil tanamannya di sawah. Di sana tidak ada POM bensin. Lahan pun tak perlu ditraktor yang sudah pasti membutuhkan BBM. Tapi cukup dengan otot, dicangkul saja. Tapi toh para petani tetap menaikkan harga sayuran yang dijualnya kepada mbah Sarni. “Harga gula dan teh naik mbah!” jawabnya singkat ketika mbah Sarni protes adanya kenaikan harga. Mau bagaimana lagi, mbah Sarni tentu tidak bisa mengelak. Ternyata di sawah pun ada kenaikan harga.

Sekarang ia lebih sering membawa barang dagangannya sendiri saja. Berjalan dengan membawa keranjang bambu di pinggangnya. Melelahkan memang, tapi harus bagaimana lagi. Sekarang ongkos becak pun naik. Daripada keuntungan berjualannya terpotong karena ongkos becak yang lebih mahal. Akan lebih baik kalau dizinjing sendiri saja. Ini yang bisa ia lakukan agar tetap bisa bertahan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Badannya yang renta sekarang tidak semakin berkurang bebannya. Hampir tiap malam mbah Sarni tidur dengan kaki yang ia sandarkan di tembok kamarnya. Karena dengan begitu pegal-pegal kakinya bisa lebih reda. Kadang juga ia minta dipijat cucunya.

Ia sadar beban hidupnya kian berat. Meski tak terkatakan tapi hal itu bisa dirasakan dari raut wajahnya yang semakin menua. Hendak minta tolong kepada siapa, mbah Sarni juga tidak tahu. Suaminya telah lama meninggal. Sedangkan pemerintahan desa yang sedekat-dekatnya pun terasa jauh. Dan yang pasti, tak mungkin pemerintah mengurus dirinya terus-terusan. Meskipun ia adalah janda dan sudah tua, toh di negeri ini ia harus mengurus kehidupannya sendiri.

Di tengah himpitan kesulitan seperti ini, mbah Sarni sebetulnya tidak merasa sendiri. Di pasar tempat ia berjualan, para pedagangpun mengeluhkan hal yang sama. Bahkan tak jarang disertai sumpah serapah dan omongan kasar lainnya. Hidup yang sudah susah, semakin susah saja kata mereka. Para pembeli juga tak berbeda. Seringkali malah menuduh para pedagang menaikkan harga barang seenaknya. Memanfaatkan situasi dikala harga BBM naik. Mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Para pembeli merasa merekalah yang paling dirugikan dari naiknya harga BBM. “Gaji mas Kardi ndak naik mbah, sekarang harga-harga pada naik begini?” keluh Ibu Guru Warti saat menawar kangkung.

Di mushalla tempat mbah Sarni sholat pun demikian juga. Obrolan selepas dzikir dan mengaji masih soal kenaikan harga. Tapi suasananya lebih tenang dan rileks. Haji Kamir yang punya dua mobil angkot pun berkomentar dengan nada yang lesu. Harga suku cadang naik, dan sekarang ia masih bimbang dengan kenaikan setoran di tengah keberatan dari para sopirnya. Pendapatan dari dua angkot yang disewakannya tentu tidak sebanyak dulu lagi.

Kadang mbah Sarni merasakan beratnya beban hidup yang ia jalani. Tapi ia lebih sering memendamnya saja. Sudah terbiasa dari muda bekerja keras dengan sekuat tenaga. Hal-hal yang pahit sudah terbiasa ia rasakan dari muda. Segala sesuatu harus dicapai dengan kerja keras dan mengatasi berbagai kesulitan Itu yang tertanam kokoh dalam pikirannya. Seperti noktah hitam dalam lembaran putih hatinya. Sehingga menghadapi situasi tidak menggembirakan seperti ini pun, mbah Sarni sudah siap dengan segala daya upayanya. Dalam suasana penuh keprihatinan seperti inipun, mbah Sarni masih bisa menyedekahkan satu teko teh manis dan aneka jajanan pasar kepada jamaah pada tiap malam Jumat.

Alangkah beruntungnya pemerintah di republik ini, memiliki banyak rakyat yang begitu mandiri dan bersih hati. Rakyat yang lebih senang memberi daripada memiliki. Walau mereka sendiri sebetulnya tak punya kekayaan yang mencukupi. Tidak terbayang sebelumnya kalau pengorbanan mereka akan dijanjikan mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah. Alangkah bersyukurnya kalau memang dana kompensasi bisa tepat sasaran kepada yang berhak menerimanya. Karena walau bagaimanapun kenaikan harga adalah beban yang teramat berat bagi warga miskin dan berkekurangan hidupnya. Hidup dengan segala keterbatasan tak setiap orang sanggup menjalaninya.

Akan tetapi, andaipun dana tersebut tak sampai kepada mbah Sarni yang sudah renta. Insya Allah itu tak akan berarti apa-apa bagi dia. Karena Allah sudah pasti menggantinya dengan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kekayaan amalnya teramat agung jika dibandingkan dengan secuil dana kompensasi dari pemerintah. Dan tidak perlu iri kalau Allah lebih memuliakannya kelak di kemudian hari. Karena ia rakyat kaya yang sebenarnya. Tak butuh difasilitasi untuk bisa bekerja dan menjalani kehidupannya di dunia fana ini. Sementara yang lain sibuk dengan segala macam tuntutan kenaikan gaji, asuransi, tunjangan dan banyaknya deposit uang yang memang akan usang. Sangat menyedihkan jika seringkali orang justru berebut dengan segala cara untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara-cara yang hina. Semoga saja itu tidak dilakukan oleh para pejabat, pemimpin dan anggota dewan yang terhormat di seluruh wilayah negeri kita, kini dan di masa yang akan datang. Semoga.

Deni M.
mukhyidin at yahoo dot de

Mengingat Kematian

Suatu hari, seorang lelaki sedang tiduran di bawah pohon apel. Tiba-tiba salah satu dari buah apel gugur dan menimpa salah satu bagian badannya. Laki-laki itu lantas berpikir. Kenapa barang ini jatuh ke bawah? Bagi orang biasa, jatuh ke bawah adalah hal biasa, sebab yang namanya jatuh, sudah pasti ke bawah. Tidak perlu pemikiran yang lebih sulit lagi. Tapi bagi laki-laki berotak cerdas ini menjadi hal yang luar biasa. Dan dari gerilya pemikiran laki-laki inilah lahir teori gravitasi bumi yang mashur itu. Dan laki-laki itu bernama Newton, fisikawan Eropa.

Tiba-tiba, suatu hari saya mengingat laki-laki itu. Sebab ketika saya sedang santai di bawah pohon mangga, setelah letih bekerja, tiba-tiba salah satu buah mangga, jatuh dan menimpa saya. Karena otak saya tidak secerdas otak Newton, kejadian itu juga saya pandang biasa-biasa saja. Tapi ada satu yang menjadi luar biasa adalah, ketika yang jatuh itu adalah buah yang masih muda. Bahkan untuk menjadi masak, buah ini perlu proses alamiah yang lebih lama lagi.

Kenapa mangga muda yang jatuh? Bukankah ada mangga yang lebih layak jatuh terlebih dahulu? Pandangan umum manusia, suatu saat akan sangat berbeda dengan kekuasaan Sang Maha pencipta. Kita mengatakan, benda ini layaknya begini dan begitu. Tapi, Allah SWT mempunyai hak prerogatif untuk berkata dan bertindak lain. Dalam bahasa orang-orang yang beriman: Apa yang terjadi di dunia ini, sudah barang tentu ada dalam lingkup qada dan qadar-Nya. Dan jatuhnya mangga muda itu, tak hanya sekedar terkena tiupan angin yang berhembus belaka, tapi di balik itu semua, Allah SWT ikut berperan di dalamnya.

Alhamdulillah, dari jatuhnya mangga itu, saya diingatkan untuk yang kesekian kalinya oleh Allah, untuk mengingat kembali sesuatu yang sangat penting, yaitu kematian. Ada sebuah kisah, bahwa seorang saleh zaman dulu, pernah meletakkan batu nisan di depan pintu rumahnya. Tujuannya tak ada lain hanyalah agar setiap saat ia bisa mengingat kematian. Itu tentu wajar -wajar saja, sebab datangnya ajal adalah sebuah kepastian, dan tak ada satu mahlukpun yang mengetahuinya.

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang ajalnya. Dan Allah maha mengtahui apa yang kamu kerjakan. (QS 63:11)

Dan dalam perjlanan hidup saya, saya tidak harus meletakkan batu nisan di depan pintu rumah saya. Kalau berpikir ke belakang sana, sudah sangat sering sebenarnya saya diingatkan tentang hal tersebut. Hal-hal yang seharusnya saya lebih waspada dan cepat-cepat berbuat amal kebaikan. Sebelum kematian menjemput saya.

Ketika saya berumur sepuluh tahun, adik yang sangat saya sayangi, adik yang selalu saya gendong ke sana ke mari kalau ibu saya memasak atau ke kebun, dipanggil oleh Allah SWT. Masuk SMP, kembali Allah mengingatkan saya, dengan meninggalnya bapak saya, yang baru berusia 40-an. Umur yang masih sangat produktif, dan saya masih sangat membutuhkan pendidikan darinya.

Setelah meninggalnya bapak saya, saya jadi sering sekali pergi ke kuburan untuk men-ziarahi makamnya. Atau saya sangat sering pergi ke tempat tersebut, karena saya sering ikut menggali kubur kalau saudara atau tetangga saya meninggal.

Dewasa sedikit, saya lebih sering masuk ke liang lahat, untuk menghadapkan wajah sang mayat ke kiblat, sebelum ditimbun dengan tanah. Saya sering sekali melihat wajah-wajah terakhir orang yang mau menghadap-Nya. Atau saya sering sekali diajak oleh mudin, orang yang mengurusi tentang kematian di kampung untuk menjadi asistennya. Saya membantu mempersiapkan kain kafan, ikut memandikan jika mayatnya laki-laki dan sekaligus ikut membantu membungkusnya.

Sebelum saya berangkat merantau ke Brunei, saya banyak dihubungi tokoh-tokoh masyarkat desa saya, agar saya jangan merantau lagi. Mereka menginginkan saya agar jadi Kaur Kesra, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat. Yaitu suatu struktur organisasi desa yang mengurusi tentang kesejahteraan rakyat, pernikahan dan sekaligus tentang urusan kematian. Tapi saya menolak dengan sopan. Saya merasa masih terlalu muda untuk mengurusi hal kemasyarakatan, dan lebih menghormati senior saya, tentu yang ilmu agamanya lebih dari saya.

Dan hari-hari ini, alhamdulillah, Allah masih sayang kepada saya, bahwa di perantauan inipun Allah memberikan pekerjaan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kematian. Setiap hari, kalau saya membuat mie putih ala Cina, saya harus mencuci kain putih sepanjang lima meter. Kain yang selalu mengingatkan saya kepada pembungkus mayat. Dan Kalau saya membuat tahu, juga saya selalu berhadapan dengan kain putih untuk menyaring susu kedele. Dan tentu saja ini juga mengingatkan saya kepada benda yang akan dibawa jika kelak kita meninggal dunia.

Maka, ketika saya kejatuhan mangga muda, saya merenung. Sudah sering sekali Allah mengingatkan saya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian, tapi apakah saya sendiri sudah ingat dengan kematian yang akan menimpa saya? Dan sudah cukupkah bekal saya jika tiba-tiba Izrail menemui saya? Sudahkah saya termasuk golongan orang-orang cerdas menurut prespektif Rasulullah? Karena menurut Rasulullah orang-orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian.

Saya meraba diri saya, dengan mengingat perbuatan selama hidup saya ini. Saya mencoba bercermin dengan para salafusshaleh, sudah sejauh manakah jejak mereka yang saya laksanakan. Dan sudah sejauh mana kelayakan saya jika menghadap-Nya.

Otak saya terus bergerilya. Walaupun otak saya tidak secerdas seperti para penerima beasiswa, apalagi deretan ilmuwan fisika dan para penerima hadiah Nobel, seperti Newton misalnya, tapi mudah-muahan Allah memasukan saya kepada deretan orang-orang cerdas menurut kacamata khatamul ambiya, Muhammad SAW. Yang selalu mengingat akan datangnya kematian. Itulah yang tak henti-hentinya saya mohonkan pada-Nya

Sus Woyo

Kerinduan Pada Sang Ayah

eramuslim - Pedih, seolah ada pisau yang menyayat di hati. Aku merasakannya ketika untuk kedua kalinya aku membaca tulisan salah seorang teman. Kali ini tulisan bercerita tentang kisah nyata seorang anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah kawasan Pasar Minggu.

Banyak hal yang kudapat dari tulisan ini. Sedemikian banyak sehingga sulit diungkap satu demi satu. Bukan hanya pelajaran tentang kehidupan anak jalanan di Jakarta. Melainkan lebih pada kerinduannya pada sang ayah. Ya, pada seorang lelaki yang telah menitipkan benih kepada ibunya sehingga menyebabkan dia ada.

Dalam tulisan tersebut, si anak jalanan-sebut saja namanya Ari- merindukan kehadiran ayahnya yang belum pernah dijumpai sejak dia lahir sampai berumur 6 tahun. Saking besar keinginannya untuk menemukan ayah tersebut, Ari meninggalkan ibunya seorang diri dan pergi untuk mencari ayahnya.

Kenyataan ini semakin membuat hatiku pedih, menorehkan luka yang teramat dalam sehingga menimbulkan genangan kecil air yang kemudian mengalir perlahan di kedua pipiku. Kubayangkan Ari, seorang anak berumur 6 tahun, berjalan sendirian di jalan, tanpa orang tua, tanpa teman. Hanya karena kerinduannya untuk menemukan sang ayah.

Sampai suatu ketika Ari menuliskan surat kepada ayahnya, ketika temanku memberi pelatihan menulis kepada anak-anak jalanan tersebut. .".. Ayah, di manakah kau berada saat ini, tidakkah ayah merindukan ari. Ayah, Ari kangen, ingin bertemu ayah. Ari ingin minta mainan mobil-mobilan dan bisa sekolah seperti teman-teman. Ari mau jalan-jalan dengan ayah ke mall dan makan di restoran kentucki.."

Duhai, betapa pedihnya untaian kalimat yang dituliskan oleh Ari yang merupakan cerminan kerinduannya pada kehadiran sang ayah. Sampai dia melukiskan dalam bentuk surat yang ditulis tidak hanya sekali, melainkan berulang kali. Semuanya bertema sama, tentang kerinduannya pada seorang sosok bernama ayah.

Refleks aku mengambil foto di dompetku. Sebuah foto yang tidak tergantikan kedudukannya sejak Oktober 2003 yang lalu. Sebuah foto bertiga, aku, ibu dan bapak. Sambil memandangi foto tersebut aku merasakan betapa beruntungnya aku dibanding dengan Ari. Aku memiliki seorang ayah dan ibu yang selalu ada untukku.

Walaupun rambut putih sudah mulai menemani rambut hitam yang mereka punya, namun mereka masih selalu dan selalu bisa nyambung ketika berbincang denganku. Walaupun sudah 28 tahun umurku, namun mereka masih selalu mengkhawatirkan aku seperti halnya ketika aku kecil. Bahkan seringkali, ketika aku pulang ke rumah. Ibuku akan menemani aku di kamar sampai aku tertidur, dan barulah beliau akan beranjak keluar dari kamarku setelah terlebih dahulu membenarkan letak selimutku dan mematikan lampu kamarku.

Dan kerinduanku pada kedua orang tuaku menyeruak hadir tanpa kusadari ketika aku membaca kisah perjalanan seorang Ari. Jika saja Jakarta-Kudus merupakan jarak yang bisa ditempuh dalam hitungan menit, tentu aku sudah bergegas untuk pulang untuk menemui mereka.

Aku mengobati kerinduanku dengan dua hal. Pertama, aku meraih hp di meja belajarku dan mulai mengirimkan sms ke bapakku. Sebuah kegiatan yang setiap hari kulakukan, aku memang setiap hari sms ke orang tuaku, untuk menanyakan kabar mereka dan menceritakan kabarku disini. Kedua, aku berdoa kepada Allah supaya mengampuni dan menyayangi mereka serta membuat mereka berbahagia dunia akhirat.

Setelah melakukan dua hal tersebut, ada kelegaan yang hadir walau tidak sepenuhnya karena aku tidak bisa melihat mereka secara langsung dan memeluk mereka. Rasa syukur mengaliri rongga dada manakala aku selesai membaca tulisan tersebut. Walaupun terpisah oleh jarak, tapi aku mempunyai orangtua dan keluarga yang selalu mendukungku. Aku kemudian berpikir, bagaimana halnya dengan seorang Ari? Adakah menulis surat yang ditujukan kepada orang yang (seolah-olah) dianggapnya ayah tersebut sudah cukup melegakannya?

Tak dapat kubayangkan kepedihan yang melanda hati Ari. Jangankan bertemu dengan ayahnya, gambaran wajahnya saja dia tidak punya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, tidak ada foto, lalu bagaimana Ari bisa menemukan ayahnya dan mengobati kerinduannya?

Wajar saja jika kemudian seorang teman saya tersebut berempati dengan penderitaan Ari. Karena pada hakekatnya semua manusia mempunya hati. Namun apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ari-ari yang ada di jalanan? Untuk meringankan kerinduannya pada sang ayah?

Anisa Kuffa

Mewaspadai Empat Perkara

Setiap manusia mencari kebahagiaan di dunia ini. Ada yang mencari bahagia di kantor, di sekolah, di warung kopi, di mal, di pasar, atau di mana saja. Mungkin ada yang bahagia saat membeli perhiasan baru, dan ada yang merasa bahagia ketika baru menerima gaji. Bahkan ada pula yang memiliki rasa bahagia hanya karena sepucuk surat dari orang yang tercinta.

Kebahagiaan adalah milik siapa saja, baik yang kaya maupun yang miskin, yang berpangkat ataupun tidak, yang memiliki jabatan tinggi atau rendah, yang memiliki gelar ataupun tidak, dari seorang bocah yang masih ingusan hingga yang renta. Semua berhak mendapatkan sesuatu yang bernama bahagia, karena inti kebahagiaan adalah mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Itulah bahagia.

Tetapi cobalah tengok aktifitas keseharian kita. Usai bangun tidur dan salat subuh berjamaah dengan isteri dan anak-anak, telpon mulai berdering, radio berbunyi membeberkan bursa efek dan valuta asing, sementara televisi sudah menyuguhkan berita terhangat bahkan gambar yang kadang tak layak dilihat anak-anak kita. Sementara al-Qur'an nyaris kita tinggalkan. Kita lupa terhadap perintah Rasulullah: sinarilah rumahmu dengan bacaan al-Qur'an.

Kalau hak Allah tersisihkan, kata Rasulullah, maka Allah akan menumbuhkan empat perkara. Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang pada pagi harinya menjadikan dunia sebagai konsentrasi yang utama, dan sama sekali tidak memperhatikan hak Allah, niscaya Allah akan menumbuhkan empat perkara kepadanya. Pertama, keinginan yang tidak pernah habis-habisnya. Kedua, kesibukan yang tidak pernah terselesaikan olehnya. Ketiga, kebutuhan yang tidak berujung. Dan keempat, angan-angan yang tidak pernah tercapai. (HR Dailami)

Hal tersebut terjadi karena konsenstrasi kita belum seimbang. Ada cara yang efektif untuk menghindari dari penyakit tersebut. Ketika kita makan, seyogyanya niatkan untuk mengisi ulang energi dalam rangka beribadah kepada Allah. Manakala kita hendak bekerja, lakukan niat bahwa bekerja adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan untuk menafkahi isteri dan keluarga. Dengan demikian, bekerja atau aktifitas apapun untuk kepentingan keluarga dan masyarakat akan bernilai ibadah di sisi Allah swt.

"….Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perkerjaanmu itu..." (QS 9:105)

Bekerja itu sendiri adalah nikmat Allah yang wajib disyukuri. Salah satu mensyukuri nikmat itu diaplikasikan dengan menyumbangkan sebagian kecil harta kita kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa mendermakan harta merupakan salah satu upaya untuk membersihkan harta dari hal-hal yang mengandung syubhat, menolak malapetaka dan penyakit, serta mendatangkan rezeki yang lebih berkah disamping menggembirakan orang miskin (idkhalus suruur lil-mu'minin).

Dengan demikian keempat macam penyakit tadi dapat dihindari; segala keinginan pasti terbatas karena hanya karena Allah semata, kesibukan akan terselesaikan karena Allah senantiasa memberi inayah (pertolongan), kebutuhan akan terpenuhi karena Allah swt memberkahi, dan tentunya tidak ada angan-angan yang lebih mulia selain mengharap ridha Allah swt.

Wallahu a'lam

Taufik Munir